BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teori
2.1.1
Mata Pelajaran Matematika dan Pembelajarannya Matematika memiliki banyak definisi dan tidak mempunyai definisi
tunggal yang disepakati. Beberapa ahli matematika banyak yang berpendapat tentang definisi matematika. Akan tetapi, pengertian tersebut didasarkan pada sudut pandang kebutuhannya masing-masing. Pengertian dari beberapa ahli matematika tersebut dapat diterima karena matematika dapat dipandang dari segala sudut sesuai dengan kebutuhannya. Berikut ini definisi matematika menurut beberapa ahli. Menurut Chanles Echels dalam Anitah (2008:7.4), matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya. Menurut James dan James dalam Anitah (2008:7.4), matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep hubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Menurut Hudoyo dalam Anitah (2008:7.4), matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis. Berdasarkan pendapat dari ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri yang diatur menurut urutan yang logis. Pengertian belajar menurut Fontana (1981) adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman (Winataputra, 2008:1.8), sedangkan pembelajaran menurut Gagne, Briggs, dan Wager (1992) adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa (Winataputra, 2008:1.19). Menurut Muhsetyo dalam bukunya pembelajaran matematika SD (2008:1.26), pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana 8
9
sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Menurut Nickson (2011), pembelajaran matematika adalah pemberian bantuan kepada siswa untuk membangun konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi (arahan terbimbing) sehingga konsep atau prinsip itu terbangun. Pendapat tersebut menandakan bahwa guru dituntut untuk dapat mengaktifkan siswanya selama pembelajaran berlangsung. Proses pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru melainkan pada siswa. Guru bukan mentransfer pengetahuan pada siswa tetapi juga membantu siswa untuk membentuk sendiri pengetahuannya. Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana untuk membangun konsepkonsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari.
Adapun fungsi mata pelajaran Matematika adalah untuk menentukan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi dan eksperimen sebagai alat pemecahan masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, dan diagram dalam menyeleseikan masalah (Kurikulum Pendidikan Dasar Tahun 2004). Tujuan umum pembelajaran Matematika dijenjang pendidikan dasar sebagaimana yang tercantum dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 2004 yaitu : 1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, ekplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsisten. 2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. 3) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. ( Anitah, 2008:7.30)
10
Sedangkan pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Depdiknas 2003 dalam Anitah (2008:7.31). Standar untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dapat ditetapkan melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan di atas. Selain itu, dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain. Standar Kompetensi (SK) merupakan ukuran kemampuan minimal yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan dari suatu materi yang diajarkan. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) merupakan penjabaran dari Standar Kompetensi (SK) peserta didik yang cakupan materinya lebih sempit dibandingkan dengan standar kompetensi (Hardini, 2012:159). Berikut ini tabel Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika kelas 5 SD semester 2 tentang mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan bangun ruang.
11
Tabel 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat Geometri dan Pengukuran 6. Memahami sifat-sifat bangun bangun datar dan hubungan antar bangun 6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat bangun ruang Sumber: Badan Nasional Standar Pendidikan, 2004:428
2.1.2 2.1.2.1
Metode Penemuan Terbimbing Pengertian Metode Penemuan Terbimbing Dalam Sabri (2007:49), metode pembelajaran adalah cara-cara atau teknik
penyajian bahan pelajaran yang akan digunakan oleh guru pada saat menyajikan bahan pelajaran, baik secara individual atau secara kelompok. Metode discovery merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri dan menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan serta tidak akan mudah dilupakan siswa (Asmani, 2011:154). Metode discovery terdiri dari metode discovery murni dan metode discovery terpimpin. Metode discovery murni merupakan metode yang tidak terstruktur, dimana siswa mengidentifikasi pola dan hubungan tanpa bimbingan dari guru. Penelitian mengindikasikan bahwa discovery yang tak terstruktur kurang efektif daripada discovery terpimpin karena waktu tidak dimanfaatkan dengan efektif dan tanpa bimbingan. Siswa seringkali tersesat, frustasi dan kebingungan ini dapat menggiring pada kesalahpahaman. Carlk & Mayer dalam Jacobsen (2009:210). Metode discovery yang dapat diterapkan pada siswa usia SD adalah metode penemuan terbimbing. Hal itu dikarenakan siswa kelas 5 SD yang berusia antara 10-11 tahun. Anak seusia tersebut masih sangat memerlukan bimbingan dan arahan dari guru. Namun, petunjuk atau bimbingan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa tetap lebih aktif dalam memecahkan masalah untuk menemukan (Simamora, 2011). Oleh sebab itu, metode penemuan
12
(discovery) yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penemuan terbimbing (guided discovery). Metode Penemuan Terbimbing (Guided Discovery) dilakukan dengan guru memberikan beberapa petunjuk kepada siswa untuk membantu siswa menghindari jalan buntu. Guru memberi pertanyaan atau mengungkapkan dilema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan, menyediakan materi-materi yang sesuai dan menarik, serta meningkatkan kemampuan siswa untuk mengemukakan dan menguji hipotesis (Anitah, 2008:1.9). Menurut Eggen & Kauchak (2007) dalam Jacobsen ( 2009:209), guided discovery merupakan suatu metode pengajaran yang dirancang untuk mengajarkan konsep-konsep dan hubungan antarkonsep. Menurut Sund dan Trowbridge dalam Hamruni (2008:53), pembelajaran penemuan terbimbing adalah suatu metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Dalam Muhsetyo (2008:1.35), metode
penemuan terbimbing adalah
suatu metode pembelajaran yang mana guru membimbing siswa-siswanya dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis sehingga mereka merasa menemukan sesuatu. Apa yang diperoleh siswa bukanlah temuan-temuan baru bagi guru, tetapi bagi siswa dapat mereka rasakan sebagai temuan baru. Melalui metode penemuan terbimbing ini diyakini siswa akan lebih aktif melakukan kegiatan melalui arahan dan bimbingan guru. Hal sedemikian dapat membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful learning). Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing yaitu metode pembelajaran yang melibatkan siswa aktif melakukan kegiatan penemuan melalui langkah-langkah yang sistematis dengan bimbingan guru.
2.1.2.2 Langkah-Langkah Metode Penemuan Terbimbing Menurut Suchman dalam Hamdani (2011:185) menyebutkan sembilan langkah “Guided Discovery Lesson” yaitu:
13
1) Adanya
problema
yang
akan
dipecahkan
yang dinyatakan
dengan
“pernyataan” atau “pertanyaan”. 2) Jelas tingkat atau kelasnya (dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi pelajaran). 3) Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa melalui kegiatan tersebut perlu ditulis dengan jelas. 4) Alat atau bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan penemuan. 5) Diskusi sebagai pengarahan dilakukan dalam bentuk tanya jawab antara siswa dan guru sebelum para siswa melakukan kegiatan penemuan. 6) Kegiatan pembelajaran penemuan dapat berupa penyelidikan atau percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. 7) Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental operational siswa yang diharapkan dalam kegiatan. 8) Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan siswa perlu diberikan. 9) Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari pelajaran dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, terutama bila kegiatan penyelidikan mengalami kegagalan atau tidak berjalan seperti yang direncanakan. Menurut
Soli
Abimanyu
dalam
Maryati
(2011),
tahap-tahap
pembelajaran dalam metode penemuan terbimbing meliputi: 1) Kegiatan persiapan Guru bertugas mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa (need asessment), merumuskan tujuan pembelajaran, menyiapkan problem materi pelajaran yang akan dipecahkan dan menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan. 2) Kegiatan pelaksanaan penemuan Memotivasi siswa mengemukakan tujuan pembelajaran dan kegiatan atau tugas yang dilakukan, mengemukakan problema yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penemuan, diskusi pengarahan dilanjutkan pelaksanan penemuan berupa kegiatan percobaan untuk menemukan konsep atau prinsip,
14
membimbing siswa dengan informasi, menganalisis data, merangsang interaksi serta memberikan pujian dilanjutkan siswa melaporkan hasil penemuannya. Kemudian guru melakukan evaluasi hasil dan proses penemuan serta melakukan tindak lanjut. Sedangkan dalam Winataputra (2008:3.19), langkah-langkah pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing adalah sebagai berikut: 1) Stimulus (pemberian perangsang atau stimuli) Kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa, menganjurkan dan mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. 2) Problem Statement (mengidentifikasi masalah) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara dari masalah tersebut). 3) Data collection (pengumpulan data) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan yang sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut. 4) Data processing (pengolahan data) Mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. 5) Verification Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil serta pengolahan data. 6) Generalisasi Mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
15
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa langkahlangkah pembelajaran metode penemuan terbimbing meliputi: 1) Mengarahkan siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan perlengkapan yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan guru. 2) Mengorganisasikan siswa dalam belajar Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat. 3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Guru membimbing dan mendorong siswa melaksanakan eksperimen atau percobaan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.\ 4) Menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan atau model yang membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. 5) Mengevaluasi kegiatan Guru membantu siswa untuk merefleksi penyelidikan dan proses penemuan. Berdasarkan
kesimpulan
langkah-langkah
pembelajaran
metode
penemuan terbimbing, maka langkah-langkah pembelajaran metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika yaitu: 1) Mengarahkan siswa pada masalah a) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan menyiapkan macam-macam bangun datar dan bangun ruang. b) Guru memberikan pertanyaan atau permasalahan seputar bangun datar dan bangun ruang. c) Siswa mengamati bangun datar dan bangun ruang yang dibawa guru dan aktif turut serta dalam memecahkan masalah yang diberikan guru. 2) Mengorganisasikan siswa dalam belajar a) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok.
16
b) Setiap kelompok mendapatkan macam-macam bangun datar dan bangun ruang serta lembar petunjuk. 3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Siswa mengamati dan mengidentifikasi sifat-sifat bangun datar dan bangun ruang secara kelompok berdasarkan lembar petunjuk dan bimbingan guru. 4) Menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan Siswa membuat laporan hasil diskusi dan kesimpulan, serta perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya tentang mengidentifikasi sifatsifat bangun datar dan bangun ruang. 5) Mengevaluasi kegiatan Siswa mengerjakan tes evaluasi.
2.1.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Metode Penemuan Terbimbing a. Kelebihan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing Dalam Soedjana (1986: 81), kelebihan metode penemuan terbimbing yaitu: 1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir. 2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab ia mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat. 3) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin menemukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat. 4) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks. 5) Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
b. Kelemahan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing Dalam Soedjana (1986: 81-82), kelemahan metode penemuan terbimbing yaitu: 1) Metode ini banyak menyita waktu, juga tidak menjamin siswa tetap bersemangat menemukan.
17
2) Tidak semua guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan. 3) Tidak semua anak mampu melakukan penemuan. 4) Metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan setiap topik. 5) Kelas yang banyak muridnya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan pengarahan belajar.
2.1.3 Hasil Belajar Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku akibat proses belajar mengajar (Sudjana, 2012:3). Dalam Purwanto (2008:34), hasil belajar merupakan perubahan perilaku siswa akibat belajar. Menurut Tri Ani (2006:5), hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan seseorang berubah dalam sikap dan tingkah lakunya (Winkel dalam Purwanto, 2008:45). Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotorik. Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Untuk mengaktualisasikan hasil belajar tersebut diperlukan serangkaian pengukuran menggunakan alat evaluasi yang baik dan memenuhi syarat (Purwanto, 2008: 44). Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa setelah mengalami proses belajar mengajar yang dapat diukur menggunakan alat evaluasi. Pengumpulan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik dapat dilakukan dengan beragam teknik, baik berhubungan dengan proses belajar maupun hasil belajar. Teknik pengumpulan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Penilaian suatu kompetensi dasar dilakukan berdasarkan indikator-indikator pencapaian hasil belajar, baik berupa domain
18
kognitif, afektif maupun psikomotor. (Depdiknas, 2006). Secara umum teknik asesmen dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu teknik tes dan non tes. Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran (Sudjana, 2012:35). Ada dua jenis tes yaitu tes uraian atau tes essay dan tes objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas, dan uraian berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari bentuk pilihan benar salah, pilihan berganda dengan berbagai variasinya, menjodohkan, dan isian pendek atau melengkapi. Teknik non tes merupakan teknik penilaian berisi pertanyaan atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Alat penilaian non tes yang sering digunakan antara lain kuesioner dan wawancara, skala (skala penilaian, skala sikap, skala minat), observasi atau pengamatan, studi kasus dan sosiometri (Sudjana, 2012:67).
2.1.4 Hubungan Hasil Belajar dengan Metode Penemuan Terbimbing Menurut Mc Namara & Healy dalam Winataputra (2008:6.25), dalam beberapa
penelitian
ditemukan
bahwa
seseorang
akan
mengingat
dan
menggunakan kembali pengetahuan yang diperoleh apabila pengetahuan tersebut dihasilkan dari upaya mengkonstruksi sendiri melalui pengalaman (learning by doing) dalam bentuk eksplorasi dan memanipulasi. Dengan begitu, akan menjadikan sesuatu yang dipelajari diingat untuk waktu lama khususnya oleh anak-anak usia sekolah dasar. Sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka lebih mudah memahami
suatu fenomena melalui
pengalaman konkret
dibandingkan hanya mendengar ceramah dari guru saja. Hal tersebut sejalan dengan metode penemuan terbimbing yaitu metode pembelajaran yang melibatkan siswa aktif melakukan kegiatan penemuan melalui langkah-langkah yang sistematis dengan bimbingan guru. Penerapan metode penemuan terbimbing dilaksanakan melalui lima tahap kegiatan yaitu: (1) mengarahkan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan
19
siswa dalam belajar, (3) membimbing penyelidikan individual atau kelompok, (4) menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan, (5) mengevaluasi kegiatan. Alasan yang mendasari penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika karena metode ini menekankan pada pengalaman konkret siswa dalam menemukan suatu konsep pembelajaran. Siswa diajak berpartisipasi aktif dalam menemukan konsep pembelajaran melalui kegiatan penemuan sehingga metode ini tepat diterapkan pada anak masa usia operasional konkret karena sesuai dengan karakteristik anak kelas 5 SD yang aktif bergerak dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Melalui metode penemuan terbimbing, siswa akan lebih aktif dan antusias dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu, materi pelajaran akan terus diingat dan tidak mudah dilupakan oleh siswa karena siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, melalui metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2.2
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain menggunakan
metode penemuan terbimbing digunakan untuk menguatkan penelitian ini. Penelitian tersebut antara lain: Penelitian Dwi Maryati (2011) yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran IPA melalui Penerapan Pembelajaran Penemuan Terbimbing pada Siswa Kelas IV SD Negeri 01 Werdoyo Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan Semester II Tahun 2010/2011”. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada pra siklus, terdapat 17 siswa atau 40% siswa tuntas belajar. Pada siklus I terdapat 34 siswa atau 79% siswa tuntas dengan rata-rata 75. Pada siklus II terdapat 43 siswa atau 100% siswa tuntas dengan nilai rata-rata 86,25. Penelitian Jamil Makhmudin (2010) yang berjudul “Penggunaan Metode Belajar Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas IV SDN 2 Wonokromo Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen Semester 1 Tahun Pelajaran 2009/2010”. Penelitian ini juga berhasil meningkatkan
20
ketuntasan hasil belajar siswa walaupun belum 100%. Pada pra siklus, terdapat 18 siswa atau 46% dari 39 siswa yang tuntas, dan pada siklus II terdapat 31 siswa atau 79% tuntas dari 39 siswa.
2.3
Kerangka Pikir Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dalam pembelajaran
matematika di kelas 5 SDN Langensari 03 Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang, guru merupakan figur sentral dan pengendali dari seluruh kegiatan belajar. Pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered). Guru masih menggunakan pembelajaran konvensional dalam mengajar sehingga siswa diberi materi secara penuh. Aktivitas guru masih terlihat sangat dominan dibandingkan dengan aktivitas siswa. Hal itu terjadi karena guru kurang profesional dalam memilih metode pembelajaran yang menarik dan mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Akibatnya, pemahaman siswa terhadap mata pelajaran matematika yang diajarkan masih sangat rendah karena siswa kurang kreatif, kurang mendapatkan pengalaman belajar, dan tidak aktif serta kurang antusias dalam pembelajaran. Pembelajaran matematika juga terasa membosankan karena guru tidak menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitif anak usia SD. Upaya yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut yaitu dengan menggunakan metode penemuan terbimbing atau guided discovery learning pada pembelajaran
matematika.
Metode
penemuan
terbimbing
yaitu
metode
pembelajaran yang melibatkan siswa aktif melakukan kegiatan penemuan melalui langkah-langkah
yang sistematis dengan bimbingan guru. Pembelajaran
menggunakan metode penemuan terbimbing dilaksanakan melalui lima tahap kegiatan yaitu: (1) mengarahkan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa dalam belajar, (3) membimbing penyelidikan individual atau kelompok, (4) menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan, (5) mengevaluasi kegiatan. Metode penemuan terbimbing tepat diterapkan pada anak masa usia operasional konkret karena metode ini menekankan pada pengalaman konkret siswa dalam menemukan suatu konsep pembelajaran. Siswa diajak berpartisipasi
21
aktif dalam menemukan konsep pembelajaran melalui kegiatan penemuan. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik anak kelas 5 SD yang aktif
bergerak dan
mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi sehingga dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika. 2.4
Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka pikir yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: 1) Metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 5 SDN Langensari 03 Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang semester 2 tahun pelajaran 2012/2013. 2) Penerapan metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 5 SDN Langensari 03 Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang semester 2 tahun pelajaran 2012/2013 melalui lima tahap
kegiatan
yaitu:
(1)
mengarahkan
siswa
pada
masalah,
(2)
mengorganisasikan siswa dalam belajar, (3) membimbing penyelidikan individual atau kelompok, (4) menyajikan atau mempresentasikan hasil kegiatan, (5) mengevaluasi kegiatan.