BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Pendidikan Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno menagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Setiap ahli memberi pandangan yang berbeda tentang batasan manajemen, karena itu tidak mudah memberi arti universal yang dapat diterima semua orang. Namun demikian dari pikiran-pikiran para ahli tentang definisi manajemen dinyatakan sebagai suatu proses mendayagunakan orang dan sumber lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisisen.
Dalam
praktiknya,
melakukan
manajerial
dapat
menggunakan
kemampuan atau keahlian dengan mengikuti suatu alur/prosedur keilmuan secara ilmiah dan ada juga karena berdasarkan pengalaman dengan lebih menonjolkan kekhasan atau gaya manajer dalam mendayagunakan kemampuan orang lain (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010). Ada beberapa definisi manajemen menurut para ahli yaitu: a. Stoner (1992:8) manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasai dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang lebih ditetapkan. b. Robbins dan Coultar (1996:6) mendefinisikan manajemen sebagai
suatu
proses untuk membuat aktivitas terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. c. Sudjana (2000:77) mengatakan bahwa manajemen merupakan rangkaian berbagai kegiatan wajar yang dilakukan seseorang berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan dan dalam pelaksanaanya memiliki hubungan dan saling keterkaitan dengan yang lainnya. Hal tersebut dilaksankaan oleh orang atau beberapa orang yang ada dalam organisasi dan diberi tugas untuk melaksanakan tugas tersebut. Berdasarkan definisi manajemen dari beberapa ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu proses yang kontinu yang 7
8
bermuatan kemampuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu kegiatan baik secara perorangan ataupun bersama orang lain dalam mengkoordinasi dan menggunakan segala sumber untuk mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif, dan efisisen. Pendidikan berasal dari kata Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang tersimpan, untuk dituntut agar tumbuh dan berkembang. Ada beberapa definisi pendidikan menurut para ahli: a. Engkoswara dan Aan Komariah (2010:88), pendidikan adalah usaha yang diciptakan lingkungan secara sengaja dan bertujuan untuk mendidik, melatih dan membimbing seseorang agar dapat mengembangkan kemampuan individu dan sosial. b. Kleis (1974) mendefinisikan pendidikan merupakan sejumlah pengalaman yang dengan pengalaman itu seseorang atau sekelompok orang dapat memahami sesuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami. Pengalaman terjadi karena adanya interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses prubahan (belajar) pada manusia, dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi seseorang atau kelompok di dalam lingkungannya. Berdasarkan definisi pendidikan dari para ahli dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang berlangsung dalam segala lingkungan dan seumur hidup untuk mengembangkan potensi diri. Secara sederhana manajemen pendidikan difungsikan sebagai suatu lapangan dari studi dan praktik yang terkait dengan organisasi pendidikan, (Tony Bush 1986-2003). Manajemen pendidikan merupakan proses manajemen dalam pelaksanaan tugas pendidikan dengan mendayagunakan segala sumber secara efisien untuk mencapai tujuan secara efektif. Namun demikian untuk mendapatkan pengertian yang lebih komprehensif, diperlukan pemahaman tentang pengertian, proses, dan substansi pendidikan.
Menurut Engkoswara dan Aan
(2010:89), manajemen pendidikan merupakan suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian,
9
penyusunan
staf,
pembinaan,
pengkoordinasian,
pengkomunikasian,
pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian, dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas. Selanjutnya Hastrop (1975) mendefinisikan bahwa manajemen pendidikan ialah “upaya seseorang untuk mengarahkan dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk melaksanakan pekerjaan secara efektif, dan menerima pertanggungjawaban pribadi untuk mencapai pengukuran hasil yang ditetapkan “. Dengan demikian, manajemen pendidikan lebih ditekankan pada upaya seorang pemimpin menggerakkan dan mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka manajemen pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu proses manajemen dalam pelaksanaan tugas pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomukasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian, dan pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas, efektif dan efisien. 2.1.1
Tujuan manajemen Pendidikan Tujuan dilakukan manajemen pendidikan adalah agar pelaksanaan suatu usaha terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien, (Umiarso dan Imam Gojali, 2010). Produktivitas adalah perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (output) dengan jumlah sumber yang dipergunakan (input). Produktivitas dapat dinyatakan secara kuantitas maupun kualitas. Kuantitas output berupa jumlah tamatan dan kuantitas input berapa jumlah tenaga kerja dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapa, bahan, dan sebagainya). Produktivitas dalam ukuran kualitas tidak dapat diukur dengan uang, produktivitas ini digambarkan dari ketepatan menggunakan metode atau cara kerja dan alat yang tersedia sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia dan mendapat respon positif dan bahkan pujian dari orang lain atas hasil kerjanya. Kajian terhadap produktivitas secara lebih komprehensif adalah keluaran yang
10
banyak dan bermutu dari tiap-tiap fungsi atau peranan penyelenggaraan pendidikan. Kualitas menunjukan kepada suatu ukuran penelitian atau penghargaan yang diberikan atau dikenakan kepada barang (products) dan atau jasa (service) tertentu berdasarkan pertimbangan objektif atas bobot dan atau kinerjanya (Pleffer and Coote 1991). Jasa atau pelayanan atau produk tersebut harus menyamai atau melebihi kebutuhan atau harapan pelanggannya. Dengan demikian mutu adalah jasa/produk yang menyamai bahkan melebihi harapan pelanggan sehingga pelanggan mendapat kepuasan. Efektivitas adalah ukuran keberhasilan tujuan organisasi. Etzioni (1964:187) mengatakan bahwa “ keefektifan adalah derajat dimana organisasi mencapai tujuannya”, atau menurut Sergiovani (1987:33) yaitu, “ kesesuaian hasil yang dicapai organisasi dengan tujuan”. Efektifitas institusi pendidikan terdiri dari dimensi manajemen dan kepemimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan personil lainnya, siswa, kurikulum, sarana-prasarana, pengelolaan kelas hubungan sekolah dan masyarakatnya pengelolaan bidang khusus lainnya, hasil nyatanya merujuk pada hasil yang diharapkan bahkan menunjukkan kedekatan/kemiripan antara hasil nyata dengan hasil yang diharapkan. Efektivitas dapat juga ditelaah dari : masukan yang merata, keluaran yang banyak dan bermutu tinggi, ilmu dan keluaran yang relevan dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun, pendapatan tamatan yang memadai (Engkoswara, 1987). Efisiensi berkaitan dengan cara yaitu membuat sesuatu dengan betul (doing things right) sementara efektivitas adalah menyangkut tujuan (doing the raight things) atau efektivitas adalah perbandingan antara rencana dengan tujuan yang dicapai, efesiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya dengan output. Suatu kegiatan dikatakan efisien bila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal. Efisiensi Pendidikan adalah bagaimana tujuan itu dicapai dengan memiliki tingkat efisiensi waktu, biaya, tenaga, dan sarana.
11
2.1.2
Fungsi manajemen pendidikan Manjemen pendidikan merupakan suatu proses. Pengertian proses mengacu kepada serangkaian kegiatan yang dimulai dari penentuan sasaran sampai akhirnya tercapainya tujuan. Fungsi, artinya kegiatan atau tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam usaha mencapai tujuan. Fungsi manajemen menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: a. William H. Nerman dengan mengklasifikasikan fungsi manjemen atas lima kegiatan dengan akronim POASCO, yaitu: 1) Planning (perencanaan) 2) Organzing (pengorganisasian) 3) Assembling resource (pengumpulan sumber) 4) Survesing (pengendalian) 5) Controlling (pengawasan) b. Dalton E. Mc. Farland, membaginya atas tiga fungsi dengan akronim POCO yaitu: 1) Planning 2) Organizing 3) Controlling c. H. Koontz & Donnell, mengklasifikasikannya atas lima p[roses dengan akronim PODICO, yaitu: 1) Planning 2) Organizing 3) Staffing 4) Directing 5) Controling d. Luther gulick membaginya atas tujuh fungsi dengan akronim POSDCORB, yaitu: 1) Planning 2) Organizing 3) Staffing 4) Directing
12
5) Coordinating 6) Reporting 7) Budgeting e. George R. Teery, mengklasifikasikannya atas empat fungsi dengan akronim POAC, yaitu: 1) Planning 2) Organizing 3) Actuating 4) Controling f. Robbins dan Coulter, mengklasifikasikannya atas empat fungsi dengan akronim POCL, yaitu: 1) Planning 2) Organizing 3) Leading 4) Controling Sumber : (dalam Sudarwan Danim dan Yunan Danim, 2011) Dari klasifikasi fungsi-fungsi manajemen di atas, tampak bahwa di antara para ahli ada kesamaan pandangan tentang fungsi manajemen. Seluruh ahli sependapat bahwa fungsi pertama dari manajemen adalah perencanaan, kemudian ditindak
lanjuti
dengan
pengorganisasian,
dan
pengawasan.
Para
ahli
menambahkan beberapa fungsi lain yaitu: William H Nerman menambahkan assembling resource dan survesing, H. Koontz & Donnel menambahkan staffing dan directing, George R. Terry menambahkan actuating, Luther Gulick menambahkan stafing, directing, coordinating, reporting, dan budgeting, sedangkan Robins & Coulter menambahkan Leading. Masing-masing fungsi manjemen yang dikemukakan di atas, akan dipaparkan pada bagian berikut dengan mengacu pada pengklasifikasian dari Luther Gulick (POSDCORB).
13
1) Perencanaan Perencanaan yang kata dasarnya “rencana” pada dasarnya merupakan tindakan memilih dan menetapkan segala aktifitas dan sumberdaya yang akan dilaksanakan dan digunakan di masa yang akan datang untuk mencapai tujuan tertentu. Perencanaan mengacu pada pemikiran dan penentuan apa yang akan dilakukan di masa depan, bagaimana melakukannya, dan apa yang harus disediakan untuk melaksanakan aktivitas tersebut untuk mencapai tujuan secara maksimal. Tahap-tahap perencanaan : a. Perumusan tujuan, pada tahap ini penyususn perencanaan harus merumuskan tujuan yang hendak di capai di masa yang akan datang. b. Perumusan kebijaksanaan, yakni merumuskan bagaiaman usaha untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam bentuk tindakan-tindakan yang terkoordinir terarah dan terkontrol. c. Perumusan prosedur, yakni menentukan batas-batas dari masing-masing komponen (sumberdaya). d. Perencanaan skala kemajuan, merumuskan standar hasil yang yang akan diperoleh melalui pelaksanaan aktivitas pada waktu tertentu. e. Perencanaan bersifat menyeluruh, maksudnya setelah tahap a s/d d dirumuskan dengan baik. Persyaratan yang dimaksud terdiri dari : a. Harus didasarkan pada tujuan yang jelas, maksudnya semua komponen perencanaan dikembangkan dengan berorientasi pada tujuan yang jelas. b. Bersifat sederhana, realistis, dan praktis, maksudnya perencanaan yang dibuat tidak bersifat muluk-muluk. c. Terperinci, maksudnya harus memuat segala uraian dan klasifikasi rangkaian tindakan yang akan dilaksanakan. d. Memiliki fleksibilitas artinya perencanaan yang dibuat tidak bersifat kaku. e. Terdapat perimbangan antara unsur atau komponen yang terlibat dalam pencapaian tujuan
14
f. Diupayakan
adanya
penghematan
diadakannya
sumber
daya
sumber
tersebut
di
daya
serta
masa-masa
kemungkinan
aktivitas
sedang
berlangsung. g. Diusahakan agar tidak terduplikasi dalam pelaksanaan. 2) Pengorganisasian Pengoganisasian diartikan sebagai kegiatan pembagi tugas-tugas pada orang yang terlibat dalam kerja sama di sekolah. Kegiatan pengorganisasian menentukan siapa yang akan melaksanakan tugas sesuai prinsip pengorganisasian. Sehingga pengorganisasian dapat disebut sebagai keseluruhan proses memilih orang-orang serta mengalokasikannya sarana dan prasarana untuk menunjang tugas orang-orang itu dalam organisasi dan mengatur mekanisme kerjanya sehingga dapat menjamin pencapaian tujuan. Efesiensi dalam pengorganisasian adalah pengakuan terahadap sekolahsekolah pada penggunaan waktu dan uang dan sumber daya yang terbatas dalam mencapai tujuan, yaitu alat yang diperlukan, pengalokasian waktu, dana dan sumber daya sekolah. 3) Penyusunan pegawai (staffing) Seperti fungsi-fungsi manajemen lainnya, staffing juga merupakan fungsi yang tidak kalah pentingnya. Tetapi agak berbeda dengan fungsi lainnya, penekanan dari fungsi ini lebih difokuskan pada sumber daya yang akan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah direncakan dan diorganisasikan secara jelas pada fungsi perencanaan dan pengorganisasian. Aktifitas yang dilakukan dalam fungsi ini, antara lain menentukan, memilih, mengangkat, membina, membimbing sumber daya manusia dengan menggunakan berbagai pendekatan dan atau seni pembinaan sumber daya manusia. 4) Pengarahan (directing) Pengarahan adalah penjelasan, petunjuk, serta pertimbangan dan bimbingan terdapat para petugas yang terlibat, baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar, dengan pengarahan staff yantg telah diangkat dan dipercayakan melaksanakan tugas di
15
bidangnya masing-masing tidak menyimpang dari garis program yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya pengarahan ini seringkali dilakukan bersamaan dengan controlling sambil mengawasi, manajer sering kali memberi petunjuk atau bimbingan bagaimana seharusnya pekerjaan dikerjakan. Jika pengarahan yang disampaikan manajer sesuai dengan kemauan dan kemampuan dari staf, maka staf pun akan termotivasi untuk memberdayakan potensinya dalam melaksanakan kegiatannya. 5) Koordinasi (coordinating) Pengkoordinating merupakan suatu aktivitas manajer membawa orangorang yang terlibat organisasi ke dalam suasana kerjasama yang harmonis. Dengan adanya pengoordinasian dapat dihindari kemungkinan terjadinya persaingan yang tidak sehat dan kesimpangsiuran di dalam bertindak antara orang-orang yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi ini mengajak semua sumber daya manusia yang tersedia untuk bekerjasama menuju ke satu arah yang telah ditentukan. Koordinasi diperlukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya duplikasi dalam tugas, perebutan hak dan wewenang atau saling merasa lebih penting di antara bagian dengan bagian yang ada dalam organisasi. Pengorganisasian dalam suatu organisasi , termasuk organisasi pendidikan, dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti : 1)
Melaksanakan penjelasan singkat
2)
Mengadapat rapat kerja
3)
Memberikan balikan tentang hasil suatu kegiatan.
4)
Pencatatan dan Pelajaran (recording and reporting)
Segala kegiatan organisasi pendidikan
mulai dari perencanaan hingga
pengawasan, bahkan pemberian umpan balik tidak memiliki arti jika tidak direkam secara baik melalui pencatatan-pencatatan yang benar dan tepat. Semua proses dan atau kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dalam organisasi formal, sperti lembaga pendidikan, pada umumnya selalu dipertanggung jawabkan. Pertanggung jawaban ini tidak dapat dilakukan jika tidak didukung dengan data-data tentang apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan dalam
16
organsasi tersebut, data-data tersebut dapat diperoleh bila dilakukan pencatatan dan pengdokumentasian yang baik. Fungsi ini memgang peranan penting dalam memberhasilkan kegiatan manjemen pendidikan., fungsi ini umumnya lebih banyak ditangani oleh bagian ketatausahaan. Hasil catatan ini akan digunakan manajer untuk membuat laporan tentang apa telah, sedang dan akan dilakukan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan. Fungsi recording and reporting ini akan berhasil jika tata kearsipan dapat dikelola secara efektif dan efesien. 6) Pengawasan (controlling). Proses pengawasan mencatat perkembangan ke arah tujuan dan memungkinkan manajer mendeteksi penyimpangan dari perencanaan tepat pada waktunya untuk mengambil tindakan korektif sebelum terlambat. Melalui pengawasan yang efektif, roda organisasi, implementasi rencana, kebijakan, dan upaya pengendalian mutu dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Penampilan mengindikasikan bahwa secara langsung berhubungan dengan strategi sekolah (seperti input siswa, mutu pengelola, mutu lulusan, respon masyarakat, dan seterusnya. Mungkin biasa menyediakan sinyal peringatan awal dari perjalanan panjang yang efektif. Pengawasan strategi sekolah sering disebut “pengawasan strategi”. Sebab fokusnya pada kegiatan yang dilakukan sekolah untuk mencapai tujuan strategi, sehingga menjadi sekolah lebih bermutu. Pengawasan diartikan sebagai salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah tingkat pencapaian tujuan sesuai yang dikehendaki, dan dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan. Kenyataan menunjukkan, pengawasan dalam institusi pendidikan dilihat dari praktek menunjukkan tidak dikembangkan untuk mencapai efektivitas, efesiensi, dan produktifitas, tetapi lebih dititik beratkan pada kegiatan pendukung yang bersifat progress checking, tentu saja hal yang demikian bukanlah jawaban yang tepat untuk mencapai visi dan misi pendidikan. Yang ujung-ujungnya perolehan mutu yang kompetitif menjadi tidak terwujud. Prinsip-prinsip pengawasan yang perlu diperhatikan menurut Massie (1973:89) adalah:
17
1) tertuju kepada strategi sebagai kunci sasaran yang menentukan keberhasilan. 2) pengawasan harus menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan 3) harus fleksibel dan responsive terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan 4) cocok dengan organisasi pendidikan misalnya organisasi sebagai system terbuka merupakan control diri sendiri 5) bersifat langsung yaitu pelaksanaan control di tempat pekerja dan 6) memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personl pendidikan. Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut Oteng Sutisna (1983 : 203) menegaskan bahwa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal yaitu: 1) mengukur perbuatan atau kinerja 2) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada dan, 3) memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan. Pengawasan manajemen sekolah adalah usaha sistematis menetapkan standar prestasi (performance standard) dengan perencanaan sasarannya guna mendesain system informasi umpan balik. Membandingkan prestasi kerja dengan standar yang telah ditetapkan lebih dahulu adalah penting, untuk menentukan apakah ada penyimpangan (deviation) dan mencatat besar kecilnya penyimpangan, kemudian mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan, bahwa semua sumber sekolah dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Pengawasan dan pengendalian sekolah dilakukan oleh kepala sekolah, pengawasan layanan belajar harus dilakukan oleh supervisor, dan pengawasan layanan teknis kependidikan dilakukan oleh tenaga kependidikan yang diberi wewenang untuk itu. Pengendalian dan pengawasan penggunaan anggaran dalam penyelenggaraan sekolah yang dapat dipergunakan untuk menjalankan operasi sekolah dan banyak metode pengendalian yang mencakup anggaran belanja (budget), perhitungan rugi laba, dan sarana-sarana keuangan lainnya agar pelaksanaan operasi sekolah dapat berhasil dengan baik. Kualitas layanan belajar
18
akan diawasi melalui metode pengawasan kualitas menurut ilmu statistic dan ilmu pendidikan dalam pengukuran kemajuan belajar dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Kegiatan monitoring dan pengawasan adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang penyelenggaraan suatu kerja sama antara guru, kepala sekolah, konselor, supervisor dan petugas sekolah lainnya dalam instituasi sekolah.
2.2
MBS Sebagai Alternatif Peningkatan Kualitas Sekolah
2.2.1 Pengertian MBS Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja). (Wikipedia Indonesia, 2009) Manajemen Berbasis Sekolah adalah ilmu yang dikatakan baru, namun perannya/pengaruhnya sangat besar untuk mempengaruhi kualitas suatu produk. Dunia
pendidikan
seharusnya
lebih
memperhatikan
perbaikan
kualitas
berkelanjutan dari sisi manajemen berbasis sekolah, karena lembaga pendidikan, utamanya sekolah, “bersentuhan” langsung dengan dunia anak. Pendidikan anak merupakan investasi termahal dan terbesar, yaitu investasi manusia. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang ditetapkan sebagai standar dalam mengembangkan keunggulan pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
19
MBS
merupakan
mengintegrasikan
model
aplikasi
seluruh sumber
manajemen
institusional
internal dan eksternal
yang
dengan lebih
menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui perluasan otonomi sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan (Wikipedia, 2009). MBS juga merupakan salah satu model manajemen strategik. Hal ini berarti meningkatkan pencapaian tujuan melalui pengerahan sumber daya internal dan eksternal. 1) Menurut Thomas Wheelen dan J. David Hunger (1995), empat langkah utama dalam menerapkan perencanaan strategik yaitu 2) memindai lingkungan internal dan eksternal 3) merumuskan strategi yang meliputi perumusan visi-misi, tujuan organisasi, strategi, dan kebijakan 4) implementasi strategi meliputi penyusunan progaram, penyusunan anggaran, dan penetapan prosedur 5) mengontrol dan mengevaluasi kinerja. MBS merupakan salah satu strategi meningkatkan keunggulan sekolah dalam mencapai tujuan melalui usaha mengintegrasikan seluruh kekuatan internal dan eksternal. Pengintegrasian sumber daya dilakukan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi atau kontrol. Strategi penerapannya dikembangkan dengan didasari asas keterbukaan informasi atau transparansi, meningkatkan partisipasi, kolaborasi, dan akuntabilitas. Tantangan praktisnya adalah bagaimana sekolah meningkatkan efektivitas kinerja secara kolaboratif melalui pembagian tugas yang jelas antara sekolah dan orang tua siswa yang didukung dengan sistem distribusi informasi, menghimpun informasi dan memilih banyak alternatif gagasan dari banyak pihak untuk mengembangkan mutu kebijakan melalui keputusan bersama. Pelaksanaannya selalu berlandaskan
usaha meningkatkan partisipasi dan kolaborasi pada
20
perencanaan, pelaksanaan kegiatan sehari-hari, meningkatkan penjaminan mutu sehingga pelayanan sekolah dapat memenuhi kepuasan konsumen. Dalam menunjang keberhasilannya, MBS memerlukan banyak waktu dan tenaga yang diperlukan pihak eksternal untuk terlibat dalam banyak aktivitas sekolah. Hal ini menjadi salah satu kendala. Tingkat pemahaman orang tua tentang bagaimana seharusnya berperan juga menjadi kendala lain sehingga partisipasi dan kolaborasi orang tua sulit diwujudkan. Karena itu, pada tahap awal penerapan MBS di Indonesia lebih berkonsentrasi pada bagaimana orang tua berpartisipasi secara finansial dibandingkan pada aspek edukatif. Bafadal ( 2003 ) mengatakan bahwa ia setuju dengan pendapat teoretisi pendidikan Stoops dan Johnson yang menyebutkan bahwa pendidikan di SD merupakan dasar dari semua pendidikan. Keberhasilan seorang anak didik mengikuti pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di SD. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Fuad Hasan dan Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Pendidikan dan kebudayaan serta Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1988-1993. Dalam rapat kerja nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tanggal 29 Juli 1991 ditegaskan bahwa optimalisasi pendidikan di SD sangat diperlukan. Optimalisasi pendidikan di SD menunjukan adanya upaya peningkatan kualitas pendidikan di SD tersebut. Sebagai satuan pendidikan, SD tidak akan berkualitas baik dengan sendirinya. Perlu ada berbagai upaya konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Goetsch dan Davis, (2005) menyebutkan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamik yang berhubungan dengan produk, Jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan; merupakan kondisi yang selalu berubah. MBS merupakan salah satu alternative peningkatan kualitas pendidikan. Tjiptono dan Diana (2003) mengatakan bahwa MBS merupakan suatu konsep yang berupaya melasanakan
sistem manajemen kualitas kelas dunia. Yang
21
dimaksud dengan manajemen kualitas adalah perbaikan sistem kualitas, bukan sekedar perbaikan kualitas barang dan atau jasa (Gaspersz, 2002).
2.2.2 Tujuan MBS MBS
bertujuan
untuk
meningkatkan
keunggulan
sekolah
melalui
pengambilan keputusan bersama. Fokus kajiannya adalah bagaimana memberikan pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa, memenuhi kriteria yang sesuai dengan harapan orang tua siswa serta harapan sekolah dalam membangun keunggulan kompetitif dengan sekolah sejenis. Kejelasan tujuan merupakan prasyarat efektifnya sekolah. Kriteria mutu yang digambarkan dengan sejumlah kriteria pencapaian tujuan dengan indikator yang jelas menjadi bagian penting yang perlu sekolah rumuskan. Menurut Kustini Hardi, (dalam Umiarso dan Imam Gojali, 2010) ada tiga tujuan
diterapkannya
Manajemen
Berbasis
Sekolah
(MBS).
Pertama,
mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam aspek MBS untuk meningkatkan mutu sekolah. Kedua, mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah dalam pelaksanan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat setempat. Ketiga, mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif dalam masalah umum persekolahan dari unsur komite sekolah untuk membantu peningkatan mutu sekolah. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2003) adalah untuk: a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. b. Meningkatkan
kepedulian
penyelenggaraan
warga
pendidikan
sekolah melalui
dan
masyarakat
pengambilan
dalam
keputusan
bersama/partisipatif. c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua masyarakat dan pemerintah tentang sekolahnya. d. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
22
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan, yakni dengan memandirikan sekolah untuk mengelola lembaga bersama pihak-pihak terkait (guru, peserta didik, masyarakat, wali murid, dan instansi lain). Dengan demikian sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu instruksi dari atas dalam mengambil langkah-langkah untuk memajukan pendidikan. Mereka dapat mengembangkan sutau visi pendidikan sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri. Selama ini peningkatan kualitas pendidikan cenderung melalui manajemen yang sentralistik. Banyak program peningkatan kualitas pandidikan SD ditetapkan dan diupayakan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Begitu pula program pelatihan guru, dropping buku-buku perpustakaan dan buku-buku pelajaran, semua dialokasikan oleh pemerintah pusat, terlepas dari apakah barang itu dibutuhkan atau tidak. Pembenahan itu harus dilakukan secara total. Itu sebabnya mengapa MBS menjadi sangat penting karena dengan MBS sekolah akan terus menerus melakukan perbaikan secara total dan berkesinambungan. MBS memberi harapan untuk adanya suatu perbaikan. Tetapi sangat tidak tepat jika MBS dianggap sebagai obat ajaib atau alat penyembuh yang cepat. MBS merupakan pendekatan baru dan menyeluruh yang membutuhkan perubahan total atas paradigma manajemen tradisional, komitmen jangka panjang, kesatuan tujuan, dan pelatihan-pelatihan khusus ( Tjiptono dan Diana 2003 ). Kalau SD hendak melaksanakan MBS dalam pendidikan, sebenarnya keputusan ini diambil bukan sekedar cara untuk mengatasi persaingan antar sekolah yang semakin ketat. Keputusan ini diambil lebih karena tanggung jawab untuk menyiapkan generasi penerus yang baik. Sebelum menentukan strategi penerapan MBS dalam pendidikan, perlu diperhatikan terlebih dahulu dimensi kualitas, prinsip utama MBS dan faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan MBS dalam pendidikan. 2.2.3 Kelemahan dan Kelebihan MBS 2.2.3.1 Kelemahan MBS Tjiptono dan Diana (2003) menyebutkan bahwa kegagalan MBS disebabkan oleh usaha pelaksanaan yang setengah hati dan harapan-harapan
23
yang tidak realistis. Selain itu ada beberapa kesalahan umum yang dilakukan pada saat organisasi memutuskan melakukan perbaikan kualitas. Beberapa kesalahan itu antara lain : a. Delegasi dan Kepemimpinan yang Tidak Baik dari Manajemen Senior Inisiatif upaya perbaikan kualitas secara berkesinambungan mestinya dimulai dari pihak manajemen, dan mestinya mereka terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Bila tanggung jawab tersebut didelegasikan kepada pihak lain maka peluang terjadinya kegagalan sangat besar. b. Kerjasama Tim yang Tidak Efektif Kerjasama tim yang tidak efektif akan menyebabkan kegagalan dalam melaksanakan MBS. Oleh karena itu organisasi perlu membentuk beberapa tim yang melibatkan karyawan. Untuk menunjang dan menumbuhkan kerjasama tim, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, baik penyelenggara maupun karyawan harus memiliki pemahaman yang baik terhadap perannya masingmasing. Penyelenggara perlu mempelajari cara menjadi pelatih yang efektif, sedangkan karyawan perlu mempelajari cara menjadi anggota tim yang baik. Kedua, organisasi harus melakukan perubahan budaya supaya kerja sama tim dapat berhasil. c. Proses Penyebarluasan (Deployment) Perbaikan yang Berdiri Sendiri-sendiri Tanpa Mengaitkan Keselurahan Sistem Pengembangan inisiatif kualitas harus melibatkan orang-orang yang terkait dalam usaha itu karena usaha itu meliputi pemikiran mengenai struktur, penghargaan, pengembangan ketrampilan, pendidikan, dan kesadaran. d. Menggunakan Pendekatan yang Terbatas dan Dogmatis Ada
organisasi
yang
hanya
menggunakan
pendekatan
Deming,
pendekatan, Juran, atau pendekatan Crosby, dan hanya menerapkan prinsipprinsip yang ditentukan di situ. Padahal tidak ada satupun pendekatan yang disarankan oleh pakar-pakar kualitas yang merupakan suatu pendekatan yang cocok untuk segala situasi. Bahkan para pakar kualitas mendorong organisasi (dalam hal ini adalah orang yang ada dalam organisasi tersebut) untuk
24
menyesuaikan program-program kualitas dengan kebutuhan mereka masingmasing. e. Harapan yang Terlalu Berlebihan dan Tidak Realistis Perlu diingat bahwa ketika mengirim karyawan untuk mengikuti suatu pelatihan ,bukan berarti selesai mengikuti pelatihan tersebut mereka otomatis menjadi terampil. Butuh waktu untuk mendidik, mengilhami, dan membuat karyawan sadar akan pentingnya kualitas. f. Empowerment yang Bersifat Prematur Banyak perusahaan / sekolah yang kurang memahami makna pemberian empowerment kepada karyawan. Bagi perusahaan / sekolah, bila karyawan telah dilatih dan diberi wewenang baru dalam mengambil suatu tindakan maka karyawan tersebut akan menjadi self-directed dan memberikan hasil-hasil positif. Kenyataannya, seringkali dalam praktik karyawan tidak tahu apa yang harus
dikerjakan
setelaah
suatu
pekerjaan
diselesaiakan.
Karyawan
membutuhkan sasaran dan tujuan yang jelas sehingga tidak akan salah dalam melakukan sesuatu. 2.2.3.2 Kelebihan MBS Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah. Berikut disampaikan penjelasan terhadap pergeseran pendekatan manajemen berbasis pusat menuju MBS. a.
Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi Pada manajemen berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga sifat ketergantungannya sangat tinggi. Sekolah tidak berdaya dan tidak memiliki kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan beku. Pada MBS, sekolah memiliki otonomi
25
(kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah harus dewasa dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika sekolahnya sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b.
Dari Pengambilan Keputusan Terpusat Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif Berbeda dengan pengambilan keputusan pada manajemen berbasis pusat yang ditandai oleh one man show, lamban hasilnya, dan sering tidak pas hasilnya dengan kebutuhan sekolah, maka pengambilan keputusan pada MBS melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya
dengan
kebutuhan
sekolah.
Pelibatan
partisipan
dalam
pengambilan keputusan tentu saja disesuaikan dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan. c.
Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang Gerak Luwes Akibat banyaknya tugas dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah yang ditangani oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku untuk menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi maupun untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan manajemen yang baru, ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah.
d.
Dari Pendekatan Birokrasi Menuju Pendekatan Profesionalisme Pada pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang dianggap benar dan baik oleh pimpinannya. Pada pendekatan profesionalisme, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme. Karena itu, peranan keahlian sangat penting dalam membimbing tingkah laku warga sekolah, bukan kekuasaan.
26
e.
Dari Manajemen Sentralistik Menuju Manajemen Desentralistik Pada model lama, pusat memiliki kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah pemusatan kekuasaan di pusat. Pemusatan kekuasaan ini telah menimbulkan dampak negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak keputusan-keputusan yang tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh sekolah, maka tidak jarang sekolah acuh tak acuh terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Sedang pada manajemen desentralistik, banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Kandep yang diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan lebih berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
f.
Dari Kebiasaan Diatur Menuju Kebiasaan Motivasi Diri Pola perilaku lama yang sering menunggu perintah dan kebiasaan diatur (dorongan eksternal) akan berubah menjadi pola perilaku baru yang bercirikan motivasi diri (dorongan internal). Perubahan ini tentu saja akibat dari otonomi (kemandirian) sekolah yang diberikan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep. Struktur organisasi yang berjiwa otonomi akan mendorong sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi dari dalam diri sekolah, bukan dari tekanan luar.
g.
Dari Over regulasi Menuju Deregulasi Terlalu banyaknya regulasi pendidikan (overregulasi) termasuk juklak dan juknis telah membuat sekolah seperti robot yang hanya menunggu perintah, tumpul, telah membunuh kreativitas sekolah, terutama gurunya. Deregulasi pendidikan akan mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya.
h.
Dari Mengontrol Menuju Mempengaruhi Jika manajemen pola lama lebih cenderung menekankan pada "mengkomando" dan "mengontrol" , maka manajemen berbasis sekolah lebih menekankan pada "mempengaruhi". "Mengontrol" lebih cenderung
27
pada output, sehingga jika terjadi kesalahan, menjadi terlanjur. Sedang "mempengaruhi" lebih cenderung menekankan pada input dan poses, sehingga terhindar dari kemungkinan terlanjur salah. i.
Dari Mengarahkan Menuju Memfasilitasi Pada manajemen berbasis pusat lebih menekankan pada pemberian "pengarahan", yang sering diwujudkan dengan kata-kata "kita harus kesana", "kita harus mengerjakan itu", dengan maksud agar pekerjaan cepat selesai. Sedang pada MBS lebih menekankan pada pemberian fasilitasi.
j.
Dari Menghindari Resiko Menuju Mengolah Resiko Jika pada pola manajemen tradisional lebih menekankan untuk "menghindari resiko", maka pada pola manajemen baru lebih menganjurkan "mengambil resiko". Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berani mengambil resiko cenderung lebih maju dari pada orang yang suka menghindari resiko.
k.
Dari Menggunakan Uang Semuanya Menuju Menggunakan Uang Seefisien Mungkin Pola anggaran lama yang menekankan pada "uang harus dihabiskan semua", akan bergeser menjadi "gunakan uang secukupnya", akan meningkatkan efisiensi sekolah. Tentu saja hal ini akan menuntur "restrukturisasi" anggaran pola lama.
l.
Dari Individu yang Cerdas Menuju "Teamwork" yang Kompak dan Cerdas Tidak jarang sekolah memiliki individu-individu yang cerdas. Pada MBS, individu-individu yang cerdas ini harus diajak memperhatikan kinerja sekolah secara keseluruhan, dan disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
m. Dari Informasi Terpribadi Menuju Informasi Terbagi Informasi sering hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah, khususnya kepala sekolah, wakil-wakilnya, dan beberapa guru. Informasi ini umumnya juga tidak disebarluaskan kesemua warga sekolah (terpribadi). Di masa mendatang, informasi harus tersebar/terbagi secara merata keseluruh
28
warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan setiap ada informasi baru harus disampaikan kesemua warga sekolah, namun informasi diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya. n.
Dari Pendelegasian Menuju Pemberdayaan Manajemen pendidikan kita sampai saat ini masih diwarnai oleh praktek-praktek pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggungjawab semata, tanpa diikuti penyerahan kewenangan, sehingga sekolah tidak berdaya.
Mulai
sekarang,
Pusat,
Wilayah,
dan
Kandep
harus
memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan. Karena, hanya sekolahlah yang merupakan "pusat perubahan" yang sebenarnya, terutama sumberdaya manusianya. Sebagus apapun kebijakan dari Pusat, Wilayah, dan Kandep, namun jika sekolah tidak berubah, maka tidak akan pernah ada perubahan. o.
Dari Organisasi Hirarkis Menuju Organisasi Datar Sampai saat ini organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan lapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban adaptasi dan antisipasinya terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap terhadap isu-isu kritis/strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Mulai saat ini, organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, bahkan terhadap perubahan-perubahan sosial. (Sumber: Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
2.2.4 Strategi Penerapan MBS SD merupakan suatu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun. SD merupakan bagian dari pendidikan dasar. Sebagai bentuk satuan pendidikan, SD merupakan satuan pendidikan yang paling penting keberadaanya karena tanpa menyelesaikan SD atau yang sederajat, secara formal tidak mungkin seseorang melanjutkan pendidikan di SMP. Mengingat perannya yang begitu besar, SD harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, baik secara fungsional
29
akademik. SD perlu mendapat perhatian serius dalam pembenahan karena SD adalah lembaga pendidikan formal atau sekolah pertama yang meletakkan landasan ini kokoh, akan kokoh pula “ bangunan manusia “ diatasnya. Dengan kata lain SD harus dikelolala sebaik-baiknya sehingga menjadi SD yang berkualitas ( Bafadal 2003 ). Sebenarnya Indonesia sudah mencoba melakukan strategi penerapan MBS dalam pendidikan dengan memberi penilaian melalui akreditasi. Kegiatan akreditasi adalah program pembinaan sekolah yang dilakukan pemerintah secara nasional di aarea otonomi dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Akreditasi sekolah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu sekolah berdasarkan criteria dari Badan Akreditasi Sekolah (BAS) yang dilakukan lima tahun sekali. Hasil akreditasi ini diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan (Depdiknas, 2002 ). Sayang implementasinya seringkali masih belum sebagaimana seharusnya. Upaya akreditasi sering masih berupa penilaian semata untuk mencapai sebuah sekolah di mata masyarakat. Karena pemahaman kegiatan akreditasi belum dilakukan dalam kerangka perbaikan berkesinambungan sebagaimana seharusnya dilakukan dalam MBS. Berdasarkan pengamatan dan pantauan terhadap pelaksanaan akreditasi, harus diakui bahwa seringkali sekolah baru melengkapi semua administrasi sekolah dan hal-hal standar bagi suatu sekolah setelah mengetahui bahwa sekolah tersebut akan diakreditasi. Sekolah mengikuti akreditasi semata-mata hanya untuk mengejar peringkat. Dengan demikian tentu hasil akreditasi tidak mencerminkan kualitas sesungguhnya dari sekolah tersebut. Mengingat sekolah adalah “ kegiatan investasi manusia “, yang akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak-anak, sekolah perlu dikerjakan secara serius, professional, dan total. Ini bukan pilihan karena di tangan sekolah (baca guru) masa depan bangsa dipertaruhkan. Kalaupun suatu sekolah mengikuti kegiatan akreditasi mestinya bukan semata-mata mengejar peringkat kelayakan dan standar dimasyarakat, tetapi ada suatu panduan bagi kualitas internal, yang bukan sekedar untuk sertifikasi semata (Gaspersz 2002 ).
30
Untuk meningkatkan kualitas perlu ada strategi penerapan MBS yang pas dalam bidang pendidikan. Termasuk di dalam strategi ini adalah adanya evaluasi secara berkesinambungan dalam jangka waktu antara enam bulan sampai satu tahun. Jika hal ini dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka kegitan mengevaluasi sekolah tidak lagi semata-mata tergantung pada akreditasi pemerintah yang dilakukan lima tahun sekali. Perbaikan kualitas MBS tidak bisa otomatis berlangsung dengan baik dan akhirnya menghasilkan sesuatu yang baik tanpa strategi. Menurut Schargel (1994) ada tujuh langkah penting yang perlu dilakukan untuk menerapkan MBS dalam pendidikan, yaitu membuat komitmen administrative, memilih koordinator kualitas, menulis pernyataan misi (mission statement), mengidentifikasi pelanggan, melibatkan pelanggan internal dan pelanggan eksternal, melibatkan pelanggan internal dan pelanggan eksternal, menemukan lebih tentang proses tersebut, melembagakan proses yang berlangsung. Dengan memperhatikan strategi penerapan MBS dalam pendidikan, sekolah dapat secara efektif melakukan perbaikan secara berkesinambungan. Penerapan manajemen ini pada akhirnya akan menghasilkan sekolah yang berkualitas. Itulah tanggung jawab yang harus dilakukan sekolah dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas.
2.2.5
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dari waktu ke waktu kesadaran masyarakat terhadap urgensi pendidikan semakin meningkat dan mulai tampak dipermukaan. Hal ini dapat diindikasikan dengan animo masyarakat yang banyak menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang credible. Mereka sadar bahwa untuk mengahdapi tantangan yang semakin berat yang disebabkan oleh perubahan dan tantangan zaman adalah kesiapan pada penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang maju dan yang mampu memberikan layanan yang maksimal kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi “idola” untuk menyekolahkan anak-anaknya, (Umiarso dan Imam Gojali, 2010).
31
Dalam hal ini, bukan hanya instansi bersifat komersial saja yang dituntut untuk berkompetisi, akan tetapi lembaga lembaga pendidikan juga dituntut bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain guna menawarkan jasa yang mempunyai kesesuian dan keserasian dengan kebutuhan masyarakat sebagai user education. Oleh sebab itu, lembaga pedidikan harus mempunyai sistem manajemen pendidikan yang baik dan mapan untuk menyongsosng era kompetisi. Artinya, jika pendidikan ingin dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen yang terlibat daalm kegiatan perlu dikenali. Untuk itu, diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem. Sistem disini merupakan suatu mekanik dalam suatu anatomi pendidikan. Sejalan dengan tuntutan tersebut, pendidikan sudah mulai berbenah diri dan mengalami reformasi sebagai bentuk konsekuensi dari tuntutan itu. Pemerintah, dalam hal ini sudah menyiapkan konsep pengelolaan pendidikan, yaitu konsep manajemmen berbasis sekolah untuk diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan sebagai jawaban atas tuntutan zaman. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah pada hakikatnya adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan akhir meningkatkan
mutu
hasil
penyelenggaraan
pendidikan,
sehingga
bisa
menghasilkan prestasi yang sebenarnya melalui proses maanjerial yang mapan. Melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakholder-nya, maka sekolah pada semua jenjang dan jenis pendidikan dengan sifat otomatisnya akan menjadi suatu instansi pendidikan yang organik, demokratis, kreatif dan inovatif, serta unik dengan ciri khasnya sendiri untuk melakukan pembaharuan sendiri (self reform), (Umiarso dan Imam Gojali, 2010). Dalam konteks ini, sekolah memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Menurut Syaiful Sagala, (dalam Umiarso dan Imam Gojali, 2010) kekuasaan yang dimiliki sekolah antara lain mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kurikulum; keputusan berkaitan dengan rekrutmen serta pengelolaaan guru dan pegawai administrasi; serta keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah.
32
Adapun komponen yang disentralisasikan adalah manajemen kurikulum, manajemen
kesiswaan,
manajemen
tenaga
penidikan,
manajemen
pendanaan/keuangan, serta manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat. Secara visualitas, implementasi Manajemen Berbasis Sekolah yang dimaksud tersebut dapat dilihat pada skema di bawah ini, yaitu: Input
Implementasi manajemen Kurikulum, Tenaga Kependidikan, Kesiswaan, Keuangan, Dan hubungan Sekolah Dengan Masyarakat.
Poses
Proses
Out put
Peningkaatan Kualitas Sekolah
Gambar 2.1 Bagan implementasi MBS, Sumber: Umiarso dan Imam Gojali, 2010.
2.2.6
Aspek-aspek MBS Aspek-aspek MBS dalam mengelola sekolah meliputi (Umiarso dan Imam Gojali, 2010):
2.2.6.1 Pengelolaan Kurikulum Salah satu tugas sekolah adalah melaksanakan kurikulum yang berlaku. Perencanaan kurikulum menyangkut penetapan tujuan dan memperkirakan cara pencapaian tujuan tersebut. Perencaan merupakan fungsi sentral dari administrasi pembelajaran dan harus berorientasi ke masa depan. Dalam pengambilan dan pembuatan keputusan tentang proses pembelajaran harus menetukan berbagai pilihan menuju tercapainya tujuan . sebagai manajer guru harus mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang mampu diorganisasi. Pada tahap ini perlu dijabarkan sampai menjadi Rencana Pembelajaran (RPP). Untuk itu, perlu dilakukan tahapan meliputi:
33
1) Menjabarkan GBPP menjadi analisis mata pelajaran. Yang paling pokok dalam tahapan ini adalah mengkaji mana pokok bahasan atau subpokok bahasan yang paling esensial atau yang biasanya pokok bahasan ini menjadi prioritas utama. 2) Menghitung hari kerja efektif dan jam mata pelajaran, termasuk memperhitungkan hari libur, hari untuk ulangan dan hari tidak efektif. 3) Menyusun program tahunan. Dalam mengisi program ini yang terpenting adalah membandingkan jumlah jam efektif dan alokasi waktu tatap muka dalam format analisis mata pelajaran. 4) Menyusun program semester. Penyusunan program ini hampir sama dengan program tahunan, namun lebih spesifik lagi. Pelaksanaan kurikulum adalah proses yang memberikan kepastian bahwa proses belajar mengajar telah memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) dan sarana serta prasarana yang diperlukan, sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Fungsi pelaksanaannya termasuk kegiatan pengorganisasian dan kepemimpinan yang melibatkan penentuan berbagai kegiatan, seperti pembagian pekerjaan ke dalam berbagai tugas khusus yang harus dilakukan oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Berdasarkan landasan itu Dede Rosyada, seperti yang dikutip oleh Muh. Yamin, mengatakan bahwa kurikulum merupakan elemen yang dijual di sekolah kepada pelanggannya. Semakin baik kurikulum dirancang pihak sekolah, akan semakin tinggi pula daya tarik sekolah tersebut. Dalam fungsi manajerial pelaksanaan proses pembelajaran, selain mencakup fungsi pengorganisasian, terdapat pula fungsi kepemimpinan. Artinya, dalam pembelajaran, kepala sekolah bertindak sebagai leader yang mampu memberikan bimbingan pada bahan-bahan acuan operasional pembelajaran. Salah satu acuan operasional yang membantu untuk mencapai tujuan adalah adanya kurikulum. Adapun syarat-syarat kurikulum adalah fokus dan arahnya jelas bagi semua orang, relevan dengan kebutuhan siswa dan masyarakat, efektif (dapat mencapai tujuan yang diinginkan), fleksibel (mudah disesuaikan dengan perubahan peserta didik dan masyarakat), dan efisien (mencapai tujuan dan sumber daya maksimal).
34
Pada tataran ini Kepala Sekolah bertugas untuk melakukan atau mengatur antara lain: 1) Pembagian tugas mengajar dan tugas lain yang perlu dilakukan secara merata sesuai dengan bidang keahlian dan minat guru. 2) Penyusunan jadwal pelajaran dan diupayakan agar guru mengajar maksimal lima hari kerja. 3) Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan dan pengayaan secara normal karena setiap mata pelajaran akan memerlukan kegiatan perbaikan siswa yang belum tuntas atau tidak memenuhi SKBM (Standar Kegiatan Belajar Mengajar). 2.2.6.2 Pengelolaan Kesiswaan Manajemen kesiswaan merupakan salah satu bidang operasional Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen kesiswaan adalah seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara kontinew
terhadap
seluruh
peserta
didik
(dalam
lembaga
pendidikan
bersangkutan) agar dapat mengikuti proses PBM dengan efektif dan efisien. Oleh sebab itu, manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik tersebut dari suatu sekolah, melainkan aspek yang lebih luas yang secara operasional dapat membantu upaya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan di sekolah. Manajemen kesiswaan bertujuan mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan dengan lancar, tertib, dan teratur serta mencapai tujuan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan seditkinya memiliki tiga tugas utama yng harus diperhatikan, yaitu penerimaan siswa baru, kegiatan kemajuan belajar (pengelolaan proses pembelajaran), serta bimbingan dan pembinaan disiplin. 2.2.6.3 Pengelolaan ketenagaan Peranan Sumer Daya Manusia (SDM) dalam suatu organisasi, termasuk sekolah, sangat penting. Namun peran SDM akan optimal jika dikelola dengan baik. Kepala Sekolah memiliki peran serta dalam mengelola SDM di sekolah. Untuk itu ada beberapa hal yang menjadi pegangan yang harus dipenuhi yapitu:
35
Ada 4 prinsip dasar yang harus dipegang oleh kepala sekolah, yaitu: a. Dalam nmengembangkan sekolah, SDM adalah komponen paling berharga b. SDM akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tercapainya tujuan institusional/standar kompetensi. c. Kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial Kepala Sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah d. Manajemen SDM di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga (guru, staf administrasi, siswa, orang tua, dan yang terkait) dapat bekerja sama saling mendukung untuk mencapai tujuan institusional/standar kompetensi 2.2.6.4 Pengelolaan sarana dan prasarana Aktivitas
pengelolaan
sarana
dan
prasarana
dilakukan
dengan
merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana serta cara pemanfaatan dan pemeliharaannnya untuk menjaga agar peralatan dalam keadaan siap pakai atau memperbaiki peralatan sampai kondisi dapat bekerja kembali. Pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan kegiatan pengadaan, pemeliharaan, dan penghapusan alat yang digunakan untuk menunjang pencapaian tujuan yang ditetapkan. Sarana pendidikan merupakan alat yang secara langsung digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat digolongkan menjadi alat pelajaran, alat peraga dan media pengajaran. 2.2.6.5 Pengelolaan keuangan Setiap kegiatan perlu diatur agar kegiatan berjalan tertib, lancar, efektif, dan efisien. Kegiatan di sekolah yang sangat kompleks membutuhkan pengaturan yang baik. Keuangan di sekolah merupakan bagian yang amat penting karena setiap kegiatan membutuhkan dana. Untuk itu, sekolah perlu manajemen keuangan yang baik. Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengoordinasian, dan pengawasan atau pengendalian. Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah merupakan rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari
36
perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan sekolah. Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional penidikan secara teratur dan berkelanjutan. Maka pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Menurut Sayiful Sagala (dalam umiarso dan imam Gojali) jika pembiayaan pendidikan tidak terpenuhi maka secara nasional akan ditemukan dampak berupa terjadinya erosi kualitas sehingga kontribusinya terhadap pembangunan rendah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah sendiri yang paling memahami
akan
kebutuhannya,
sehingga
desentralisasi
pengalokasian
pembiayaan sudah seharusnya dilimpahkan kepada sekolah. Untuk itu, sekolah berkewajiban menghimpun, mengelola, dan mengalokasikan dana untuk mencapai tujuan sekolah. Dalam garis besarnya, satndar pembiayaan sekolah mencakup hal-hal sebagai berikut. Pertama, pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya operasional. Kedua, biaya investasi meliputi biaya pembelian sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Ketiga, biaya operasional meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Keempat, biaya operasi satuan pendidikan meliputi; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji; bahan atau peralatan habis pakai; dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan sebagainya. Kelima, standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan peraturan menteri berdasarkan usulan BNSP. 2.2.6.6 Pengelolaan hubungan dengan masyarakat Banyak orang mengartikan hubungan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat dalam pengertian yang sempit. Artinya hubungan kerja sama itu
37
hanya dimaknai dalam hal mendidik anak belaka, sehingga konteksnya hanya berkisar pada tataran hubungan antara orang tua dan guru-guru di sekolah yang telah bersama-sama mendidik anaknya. Padahal, hubungan masyarakat (humas) merupakan suatu kegiatan untuk menanamkan dan memperoleh pengertian godwill, kepercayaan, serta penghargaan dari publik suatu badan khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan makna yang luas ini, hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan suatu langkah konkret dalam menyebarluaskan informasi dan memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang sebaik-baiknya dikalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan fungsi yang diemban organisasi kerja tersebut.
2.2.7 Analisis SWOT Dasar Strategi Peningkatan Kualitas Sekolah 2.2.7.1 Konsep Strategi Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan. Menurut Hamel dan Prahalad (dalam Rangkuti, 2002) strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus-menerus dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Dengan demikian perencanaan strategi hampir selalu dimulai dari “ apa yang dapat terjadi “bukan dimulai dari “ apa yang terjadi “. Terjadinya kecepatan inovasi pasar baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti (core competencies ). Perubahan atau sekolah perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis / usaha yang dilakukan. Konsep strategi ada dua, yaitu distinctive competence dan competitive advantage. Distinctive competence adalah kemampuan spesifik suatu organisasi. Suatu organisasi yang memiliki kekuatan yang tidak mudah ditiru oleh organisasi lain dipandang sebagai organisasi yang memiliki distinctive competence (Rangkuti, 2002). Day dan Wensley (dalam Rangkuti, 2002) mengatakan bahwa identifikasi distinctive competence dalam suatu organisasi meliputi keahlian tenaga kerja dan kemampuan sumber daya. Dua faktor ini menyebabkan suatu perusahaan atau sekolah dapat lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.
38
Keahlian sumber daya manusia yang tinggi muncul dari kemampuan membentuk fungsi khusus yang lebih efektif dibandingkan dengan pesaing. Competitive advantage adalah kegiatan speaifik yang dikembangkan oleh perusahaan atau sekolah agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya. Keunggulan ini disebabkan oleh pilihan strategi yang dilakukan perusahaan atau sekolah untuk merebut peluang pasar. 2.2.7.2 Analisis SWOT sebagai Alat Formulasi Strategi Salah satu alat analisis yang baik untuk mengetahui hal-hal yang diperlukan dalam membuat strategi adalah analisis SWOT. SWOT adalah singkatan Strenghts dan Weakness dari lingkungan internal serta Opportunities dan Threats dari lingkungan eksternal yang dihadapi oleh sekolah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa analisis SWOT adalah pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal sekolah, serta kesempatan dan ancaman lingkungan eksternalnya. Menurut Bartol (dalam Subroto, ) SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategi dalam berbagai terapan. Sedangkan menurut Rangkuti (2002), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistemmatis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weaknesse) dan ancaman (threats). Proses
pengambilan
keputusan
strategi
selalu
berkaitan
dengan
pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan sekolah. Perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategi sekolah yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, dalam kondisi yang ada pada saat ini di sekolah. Penelitian menunjukan bahwa kinerja seseorang dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal yaitu: peluang dan ancaman dengan faktor internal yaitu:
39
kekuatan dan kelemahan, yang dapat dilihat dalam diagram analisis SWOT dibawah ini: BERBAGAI PELUANG
3. Mendukung strategi turn-around
1. Mendukung strategi agresif
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL
4. Mendukung strategi
2. Mendukung strategi
BERBAGAI ANCAMAN
Gambar 2.2 Gambar Diagram Analisis SWOT, Sumber : Rangkuti, 200 Jika analisis ini digunakan dengan baik maka sekolah akan mendapat gambaran menyeluruh mengenai situasi sekolah dalam hubungannya dengan masyarakat, lingkungan sekitar, lembaga-lembaga pendidikan lain, dan jenjang lanjutan yang akan dimasuki oleh siswa. Pemahaman mengenai faktor internal dan eksternal ini akan membantu pengembangan visi masa depan serta membuat program yang relevan dan inovatif. Analisis SWOT ini dapat dilaksanakan oleh para administrator secara individual atau secara kelompok dalam organisasi. Analisis secara kelompok akan lebih efektif khususnya untuk pembuatan struktur, objektivitas, kejelasan, dan memberi focus untuk diskusi mengenai strategi ( Subroto ).
40
2.3 Penelitan yang Relevan Penelitian Wulanningrum, tahun 2006 dengan judul, “Studi Alternatif Peningkatan Kualitas Manajemen Pendidikan Melalui Pendekatan MBS di SD Kristen Tri Tunggal Semarang, menyimpulkan sebagai berikut: a. SD Kristen Tri Tunggal Semarang meliputi guru,
pimpinan, pengurus
yayasan, staf administrasi dan keuangan, satpam, dan petugas kebersihan telah melakukan perbaikan peningkatan kualitas sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah. b. Penerapan di SD Kristen Tri Tunggal semarang didasarkan pada analisis SWOT , yang menjadi kekuatan di SD Kristen Tri Tunggal Semarang adalah unsur
SDM
ini
siap
melakukan
perubahan
dan
perbaikan
secara
berkesinambungan siap di sini mempunyai arti siap secara pengetahuan, keterarapilan, dan sikap untuk melaksanakan MBS. Faktor kelemahannya adalah fasilitas kurang, sistern analisis data masih manual, kekuataan orang tua terhadap desain pembelajaran di SD Kristen Tri Tunggal Semarang yang beda dengan SD lain. Peluangnya adalah Peluangnya adalah banyak orang tua ingin memasukkan anak di SD Kristen Tri Tunggal Semarang, kepercayaan orang tua terhadap SD Kristen Tri Tunggal Semarang, adanya kebutuhan untuk menyiapkan generasi yang memiliki sikap kepemimpinan Kristiani. Dan yang menjadi ancaman di SD Kristen Tri Tunggal Semarang adalah anak menjadi target narkoba, muncul SD baru dengan taraf intemasional, ambisi orang tua yang tidak realistis terhadap anaknya. c. Berdasarkan analisis SWOT disusun pengembangan strategi dan rencana tindakan dari sisi input-proces-output. Strategi untuk pengembangan input adalah manfaatkan kemajuan teknologi untuk pengembang potensi anak, termasuk juga memikirkan bagaimana mendapatkan input yang baik, menyiapkan guru ikut menggunakan
teknologi inforrnasi dalam PB
Mmelengkapi SDM dengan keterampilan yang dilakukan. Strategi pengembangan proces adalah kembangkan
Creative
Learning
untuk Strategi
yang ada dengan edu-synergi, mengembangkan program acter building, memperhatikan kesehatan fisik anak. Dan untuk pengembangan output adalah
41
mengembangkan klub-klub prestasi, menyiapkan desain pengembangan anak secara holistik, membentuk pusat pengemmbangan potensi anak. d. Melalui penerapan strategi itu peningkatan strategi yang dicapai SD Kristen Tri Tunggal Semarang adalah :berdasarkan berkesinambungan
yang
meliputi
konsep kualitas total dan menanamkan kualitas secara
berkesinambungan, membentuk kepemimpinan puncak yang berkualitas, perbaikan dan proses yang berkelanjutan, serta training/pemberdayaan karyawan
secara
berkesinambungan untuk mencapai visi SD Kristen Tri
Tunggal Semarang.
2.4 Kerangka Berfikir Peningkatan kualitas sekolah melalui penerapan MBS didasarkan pada analisis SWOT
yaitu
kekuatan
(strengths),
peluang
(opportunities),
kelemahan
(weaknesse) dan ancaman (threats) sebagai dasar untuk menyusun strategi dan rencana tindakan. Skema Kerangka Berfikir Penerapan Prinsip MBS untuk peningkatan kualitas sekolah, dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Aanalisis SWOT
Strategi dan Rencana Tindakan
Pelaksanaan atau tindakan
Peningkatan Kualitas Sekolah
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berfikir Penerapan Prinsip MBS untuk Peningkatan kualitas Pengelolaan Sekolah.