BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Pembelajaran Matematika SD Pendidikan matematika merupakan mata pelajaran yang ada di berbagai Negara, terutama Negara-negara maju telah berkembang dengan cepat, disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan serta perkembangan teknologi. Pembelajaran matematika diberikan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Tetapi, matematika juga terdapat pada kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga semua orang dapat melakukan pembelajaran matematika. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari misalnya, jam, hari, jual-beli di pasar, dan lain-lain. Corey (2003) dalam Ahmad Susanto (2013: 186) mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah proses menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang kondusif sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku siswa”. Sedangkan Dimyati (2006) dalam Ahmad Susanto (2013: 186) mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah kegiatan guru dalam merancang bahan pengajaran agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara baik, yakni siswa dapat belajar secara aktif dan bermakna”. Depdiknas (2004) dalam Ahmad Susanto (2013: 184) menyebutkan : Siswa yang telah mengikuti kegiatan pembelajaran, tidak hanya dapat memahami standar kompetensi atau penguasaan matematika saja, tetapi juga dapat memahami dunia sekitar, mampu bersaing, dan berhasil dalam kehidupan sehari-hari. Susanto (2013:195) mengemukakan : Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan hitung menghitung atau angkaangka dalam berbagai macam masalah, yang memerlukan suatu keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya.
8
9
Soedjadi (1999) dalam Gatot Muhsetyo (2008: 1.2) menyatakan bahwa : Keabsahan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta, konsep, operasi, dan prinsip. Ciri keabsahan matematika yang tidak sederhana menyebabkan matematika tidak mudah untuk dipahami dan akhirnya banyak siswa yang kurang tertarik. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang menarik, mudah dipahami siswa, membangkitkan semangat, dan menantang terlibat langsung dalam pembelajaran sehingga siswa menjadi cerdas matematika. Muhsetyo (2008:1.26) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui kegiatan yang terencana. Susanto (2013:186) mengemukakan : Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru untuk menungkatkan siswa dalam menguasai materi matematika.
2.1.2 Tujuan Pembelajaran Matematika Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yaitu supaya siswa mampu dan terampil menggunakan matematika, memberikan tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika. Secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yang disajikan oleh Depdiknas dalam Ahmad Susanto (2013: 190) yaitu sebagai berikut : a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikannya konsep atau algoritme. b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
10
e. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan seharihari. Untuk mencapai tujuan pembelajaran mata pelajaran matematika, seorang guru diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang membuat siswa aktif, tekun, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan menemukan sendiri, siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna dengan menemukan sendiri, sehingga mudah diingat. Hal ini sebagaiman dijelaskan oleh Jean Piaget dalam Ahmad Susanto (2013: 191) mengemukakan bahwa pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa sendiri. Kemudian Ausubel dalam Ibrahim, dkk (2012: 67) juga menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna bila informasi yang diterima siswa itu disusun sendiri sesuai dengan pemikiran siswa. Ruang lingkup mata pelajaran matematika meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian. Selain itu juga berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, misalnya menghitung uang, jam, kecepatan, jual-beli di pasar. Bangun datar meliputi persegi, persegi panjang, segitiga, belah ketupat, lingkaran, jajar genjang, trapesium, layang-layang, dan segi banyak. Bangun ruang meliputi, kubus, balok, tabung, kerucut, prisma. Selain itu, pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, grafik, dan gambar, mengurutkan data, rata-rata data, dan modus. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika yaitu untuk menumbuhkan atau mengembangkan keterampilan berhitung, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, untuk membentuk sikap cermat, teliti, jujur, dan percaya diri. Belajar matematika pada jenjang Sekolah Dasar sangat penting, karena pada pendidikan yang selanjutnya juga akan diberikan mata pelajaran matematika. Banyak siswa yang bilang bahwa matematika sulit, tetapi pada jenjang yang selanjutnya juga akan lebih sulit. Oleh karena itu, pada jenjang Sekolah Dasar belajar matematika harus mengerti supaya pada jenjang selanjutnya juga akan lebih mengerti.
11
Oleh karena itu dalam proses pembelajaran matematika dibutuhkan strategi/model
pembelajaran
supaya
siswa
memiliki
keterampilan
atau
kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah. Terdapat berbagai model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL), Think Pairs Share (TPS), Problem Solving, Direct Learning (DL), Problem Based Learning (PBL), Problem Terbuka. Model yang dianggap lebih cocok dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS). Kedua model tersebut mengandung atau berkaitan dengan pemecahan masalah. Oleh karena itu, akan dibahas secara berurutan tentang 2 model pembelajaran tersebut.
2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif Joyce dan Weil (1980:1) dalam Miftahul Huda (2015: 73) berpendapat : Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Eggen dan Kauchak dalam Hosnan (2014: 234) mengemukakan : Model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Jadi dari pendapat Eggen & Kauchak dan Joyce & Weil dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pedoman yang dibuat sebelum proses pembelajaran berlangsung. Model pembelajaran digunakan supaya dapat mempermudah pembelajaran, sehingga siswa menjadi mudah mengerti saat mengikuti pembelajaran. Banyak model pembelajaran yang bisa digunakan, tetapi guru juga harus bisa memilih model pembelajaran yang cocok sesuai dengan tingkat berpikirnya siswa.
12
Siswa SD tahap pemikirannya masih dalam tahap konkrit, belum bisa untuk berfikir yang abstrak. Selain itu, mereka masih suka bermain dan berkumpul atau berkelompok. Jadi, siswa dalam memecahkan masalah sehari-hari dalam proses pembelajaran digunakan pembelajaran yang kooperatif. Slavin dalam Hosnan (2014: 235) mengemukakan : Cooperative learning adalah suatu metode pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari atas 4 sampai 8 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Pendapat lain yaitu Suprijono (2009: 54) dalam Hosnan (2014: 235) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas, meliputi semua jenis kerja kelompok, baik yang dipimpin oleh guru maupun siswa. Selanjutnya Hasan dalam Hosnan (2014: 235) berpendapat bahwa cooperative learning artinya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Jadi menurut ahli Slavin, Suprijono, dan Hasan, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu rancangan atau rencana pembelajaran yang menekankan aspek kerja sama dengan kelompok untuk mengerjakan atau menyelesaikan masalah untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. Dalam pembagian kelompok juga harus adil, sehingga siswa dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda, bisa rendah, sedang, dan tinggi. Tetapi, dalam pembagian kelompok tidak membeda-bedakan agama atau asal siswa. Terdapat berbagai model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL), Think Pairs Share (TPS), Problem Solving, Problem Based Learning (PBL), Problem Posing, Problem Terbuka. Model yang dianggap lebih cocok dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS). Kedua model tersebut mengandung atau berkaitan dengan pemecahan masalah, sehingga sesuai dengan materi matematika yang diambil yaitu tentang pemecahan masalah yang berkaitan dengan pecahan.
13
Penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) perlu dilakukan terlebih dahulu memahami hakekat model CTL dan TPS, karakteristik, langkah-langkah, kelebihan, dan kelemahannya. Berikut secara berurutan akan dipaparkan mengenai model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS).
2.1.4 Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Johnson (2008) dalam Rusman (2014: 187) mengemukakan bahwa pembelajaran konstektual adalah sebuah pembelajaran yang merangsang otak untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna. Menurut Rusman (2014:187) berpendapat bahwa pembelajaran konstektual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam pembelajaran, mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Taniredja (2011: 49) mengemukakan : Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi dari pendapat Johnson, Rusman, dan Nurhadi dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran CTL adalah suatu
rancangan pembelajaran yang
menghadirkan atau menekankan aspek kehidupan nyata ke dalam kelas. Model pembelajaran ini diharapkan dapat mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya dengan kehidupan sehari-hari. Landasan filosofis CTL adalah Konstruktivisme, yaitu filosofis belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi merekonstruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat faktafakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
14
2.1.5 Komponen Model Pembelajaran CTL Model pembelajaran CTL mempunyai 7 komponen yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran yang berlangsung. Hosnan (2014: 270) menyebutkan 7 komponen pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL, yaitu sebagai berikut : a. Konstruktivisme (Contructivism) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Jean Piaget (2005) menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya. Dalam konstruktivisme terdapat hal-hal yaitu belajar. Belajar artinya menyediakan kondisi siswa membangun pengetahuannya sendiri, menemukan ide, kemudian mencari strategi belajar yang efektif sesuai dengan kerangka berpikir siswa, sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih bermakna.
b. Menemukan (Inquiry) Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Jadi, inquiry adalah proses kegiatan inti dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CTL yang menekankan siswa untuk menemukan sendiri sehingga hasil yang didapat bukan sekedar menghafal dan mudah diingat. Langkah-langkah dalam inquiry yaitu merumuskan masalah, mengamati atau melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya. Kemudian mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audiensi yang lain.
c. Bertanya (Questioning) Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Pembelajaran dengan melakukan tanya jawab akan banyak menemukan informasi yang sebelumnya tidak terpikirkan baik guru maupun siswa dan pembelajaran yang dilakukan juga akan lebih hidup. Kegiatan bertanya berfungsi yaitu untuk
15
menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community) Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga manusia tidak hanya diciptakan sebagai makhluk individu tetapi juga sosial. Masyarakat belajar yaitu belajar yang dilakukan melalui kerja sama atau berdiskusi dengan teman, sehingga bisa dekat dengan teman dan informasi yang didapat lebih banyak.
e. Pemodelan (Modeling) Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya atau mempertontonkan suatu penampilan.
f. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah proses mengingatkan kembali apa yang telah dipelajari siswa. Kegiatan refleksi dilakukan di akhir pembelajaran yaitu dengan guru memberi pertanyaan.
g. Penilaian Autentik (Authentic Assesment) Penilaian adalah proses yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui apakah siswa belajar dengan sungguh-sungguh atau tidak. Penilaian dilakukan dengan terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2.1.6 Karakteristik Model Pembelajaran CTL Model pembelajaran CTL juga mempunyai beberapa karakteristik. Aqib (201: 8) mengemukakan 11 karakteristik pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL, yaitu sebagai berikut : a. Kerja sama. b. Saling menunjang.
16
c. Menyenangkan, tidak membosankan. d. Belajar dengan semangat. e. Menggunakan berbagai sumber. f. Siswa aktif. g. Sharing dengan teman. h. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain. i. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.
2.1.7 Langkah-langkah Model Pembelajaran CTL Rusman
(2014:
192)
mengemukakan
langkah-langkah
model
pembelajaran CTL yaitu sebagai berikut : a. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri. b. Melaksanakan kegiatan inquiry. c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan pertanyaa. d. Menciptakan masyarakat belajar, seperti kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya jawab, dan sebagainya. e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model bahkan media yang sebenarnya. f. Membiasakan
anak
untuk
melakukan
refleksi
dari
setiap
kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan. g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.
Prosedur pelaksanaan pembelajaran atau langkah-langkah dibuat atau dirancang sebelum pembelajaran dilaksanakan. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL adalah sebagai berikut :
17
Tabel 2.1 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Menggunakan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Kegiatan Guru
Tahapan Pelaksanaan Guru mengarahkan siswa untuk 1. Mengembangkan sedemikian rupa dapat Pikiran mengembangkan pemikirannya dan memfasilitasi siswa untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan yang baru saja ditemui.
Kegiatan Siswa Siswa menemukan maslah dan mencari serta menemukan sendiri jawabannya.
Guru membimbing siswa untuk 2. Menemukan menemukan suatu masalah yang Suatu Fakta diberikan oleh guru.
Siswa menemukan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan oleh guru / dari materi yang diberikan oleh guru.
Guru memancing siswa untuk 3. Mengembangkan melakukan pertanyaan-pertanyaan Rasa Ingin Tahu dengan tujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu.
Siswa melakukan kegiatan bertanya.
Guru membentuk siswa menjadi 4. Melakukan beberapa kelompok untuk Diskusi melakukan diskusi dan tanya jawab.
Siswa diskusi jawab.
Guru mendemonstrasikan ilustrasi 5. Kegiatan / gambaran materi dengan model Demonstrasi atau media yang sebenarnya.
Siswa mendengarkan guru saat menjelaskan.
Guru melakukan refleksi atas 6. Kegiatan Refleksi kegiatan yang telah dilakukan dengan memberikan pertanyaan kepada siswa.
melakukan dan tanya
Siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan dengan menjawab pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Guru melakukan evaluasi, yaitu 7. Kegiatan Evaluasi Siswa mengerjakan menilai kemampuan siswa yang soal evaluasi. sebenarnya.
18
2.1.8 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran CTL Hosnan
(2014:
279)
mengemukakan
bahwa
dalam
pembelajaran
menggunakan model pembelajaran CTL terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL, yaitu sebagai berikut : a. Pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan nyata. b. Pembelajaran konstektual dapat menjadikan siswa belajar bukan menghafal, melainkan proses berpengalaman dalam kehidupan nyata. c. Pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan. d. Terbentuk sikap kerja sama yang baik antarindividu maupun kelompok.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL juga terdapat kelemahan-kelemahan, yaitu sebagai berikut : a. Penerapan pembelajaran konstektual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan dalam konteks pembelajaran, selain itu juga membutuhkan waktu yang lama. b. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi, tetapi mengelola kelas dan
membimbing
siswa
agar
dapat
belajar
sesuai
dengan
tahap
perkembangannya. c. Guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan cara mereka sendiri. Dalam hal ini guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan.
2.1.9 Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS) Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) pertama kali diperkenalkan oleh Frang Lyman. Arends (1997) dalam Jumanta Hamdayana (2014: 201) menyatakan bahwa Think Pair Share (TPS) adalah suatu cara efektif yang digunakan dalam pembelajaran diskusi kelas sehingga diskusi dalam kelas menjadi bervariasi. Huda (2013: 206) mengemukakan bahwa Think Pair Share
19
(TPS) memperkenalkan gagasan tentang waktu “tunggu atau berpikir” pada proses pembelajaran kooperatif yang ampuh dalam meningkatkan respon siswa terhadap pertanyaan yang diberikan oleh guru. Shoimin (2014: 208) menyatakan bahwa Think Pair Share (TPS) adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan bekerja sama atau diskusi dengan teman yang lain. Menurut Hamdayana (2014: 201) mengemukakan bahwa Think Pair Share (TPS) merupakan suatu teknik sederhana untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengingat suatu informasi atau materi dan didiskusikan dengan temannya sehingga memperoleh pengalaman belajar dari teman lainnya. Jadi menurut ahli Arends, Huda, Shoimin, Hamdayana dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yaitu suatu teknik atau cara yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menuntut siswa untuk memecahkan masalah kemudian didiskusikan dengan teman sebangku, setelah itu dipresentasikan di depan teman-temannya. Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini dilakukan supaya siswa dapat berpikir atau mengingat pembelajaran yang dilakukan dan memperoleh pengalaman belajar dari teman lainnya.
2.1.10 Komponen Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS) Komponen dalam pembelajaran menggunakan model Think Pairs Share (TPS) menurut Aqib (2013: 25) yaitu sebagai berikut : a. Think (berpikir) Pembelajaran TPS diawali dengan pemberian masalah dari guru, kemudian siswa diminta untuk berpikir dalam memecahkan masalah yang telah diberikan oleh guru. Dalam memecahkan masalah siswa dituntut untuk tekun belajar dan aktif mencari referensi supaya dalam memecahkan masalah tersebut lebih mudah.
b. Pair (berpasangan) Setelah siswa berpikir atau memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, kemudian siswa diminta untuk berkelompok dengan teman satu bangku. Dengan berkelompok ini, siswa diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya atau
20
bertukar pendapat tentang pemecahan masalah tersebut, sehingga siswa dapat memperoleh pengetahuan yang lebih banyak, salng menghargai pendapat orang ain, dan dapat bekerja sama dengan temannya.
c.
Share (berbagi) Pada tahap share (berbagi) ini merupakan tahap dimana siswa membagikan
hasil pemikirannya atau pekerjaannya. Setelah selesai berdiskusi dengan teman sebangku, kemudian salah satu siswa membagikan atau mempresentasikan hasil pekerjaannya ke semua teman satu kelas. Pada tahap terakhir ini, semua siswa akan memperoleh keuntungan mendapatkan pengalaman atau berbagai cara untuk menyelesaikan suatu masalah dari berbagai kelompok dengan cara mendengarkan teman lain saat presentasi di depan.
2.1.11 Langkah-langkah Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS) Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) mempunyai beberapa langkah. Hamdayana (2014: 202) mengemukakan langkah yang harus dilakukan dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran TPS yaitu sebagai berikut: a. Tahap Pendahuluan Pembelajaran dimulai dengan apersepsi dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran. Pada tahap ini, guru menjelaskan aturan main atau memberi masalah kepada siswa pada proses pembelajaran.
b. Tahap Think (berpikir secara individual) Setelah siswa diberi masalah dari guru, kemudian siswa diminta untuk berpikir atau memecahkan masalah tersebut secara individu. Selain itu, guru juga memberi waktu atau kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah tersebut.
21
c. Tahap Pairs (berpasangan dengan teman sebangku) Pada tahap ini, guru mengelompokkan siswa secara berpasangan. Penentuan kelompok berpasangan ditentukan oleh guru yaitu dari teman sebangku masingmasing siswa, sehingga siswa tidak memilih kelompok sendiri dengan teman yang pintar dan tidak meninggalkan teman sebangkunya. Setelah berkelompok secara berpasangan, kemudian siswa diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya atau pemecahannya dengan teman sebangkunya. Dengan berdiskusi, siswa diharapkan dapat bertukar pendapat sehingga dapat memecahkan masalah dengan teman sebangku.
d. Tahap Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas) Setelah berdiskusi dengan teman sebangku, kemudian perwakilan kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan teman-teman satu kelas. Pada tahap ini, siswa memperoleh banyak cara yang berbeda atau pengalaman dalam memecahkan masalah dari teman-temannya yang presentasi di depan.
e. Tahap Penghargaan Tahap penghargaan yaitu tahap pemberian nilai baik secara individu maupun kelompok.
Prosedur pelaksanaan pembelajaran atau langkah-langkah dibuat atau dirancang sebelum pembelajaran dilaksanakan, sehingga setelah membuat langkah pembelajaran tersebut guru mempunyai kesempatan untuk mempelajari atau memahami dahulu langkah-langkah yang akan dilakukan dalam proses pembelajaran. Mempelajari atau memahami dahulu langkah-langkah yang telah dibuat bertujuan supaya dalam mengimplementasikan dapat berjalan dengan lancar dan tidak lupa urutan langkah pembelajaran yang akan dilakukan. Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yaitu teknik pembelajaran dengan meminta siswa untuk memecahkan masalah, kemudian mendiskusikan dengan teman sebangku, dan mempresentasikannya di depan teman sekelas.
22
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran menggunakan model Think Pairs Share (TPS) yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.2 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Menggunakan Model Think Pairs Share (TPS) Kegiatan Guru Guru menjelaskan materi 1. yang akan dipelajari kepada siswa Guru memberikan 2. masalah setelah menjelaskan materi, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan atau memecahkan masalah tersebut secara individual Guru meminta siswa 3. untuk berkelompok dengan teman sebangku, kemudian mendiskusikan hasil pemikiran siswa masing-masing Guru meminta siswa 4. perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasilnya Guru menilai siswa secara 5. individu maupun kelompok
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Siswa Tahap Pendahuluan Siswa menerima meteri dari penjelasan guru Tahap Think (berpikir Siswa menerima masalah secara individual) yang diberikan oleh guru kemudian mengerjakan atau memecahkan masalah tersebut dengan caranya sendiri Tahap Pairs Siswa berkelompok (berpasangan dengan dengan teman sebangku teman sebangku) kemudian berdiskusi mengenai hasil pemikiran masing-masing Tahap Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas) Tahap Penghargaan
Siswa perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelomponya Siswa menerima nilai yang diberikan oleh guru
2.1.12 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Think Pairs Share Hamdayana (2014: 203) mengemukakan model pembelajaran TPS mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sebagai berikut : a. TPS mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan dalam setiap kesempatan. b. Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respons siswa.
23
c. Siswa menjadi lebih aktif dalam berpikir mengenai konsep dalam mata pelajaran. d. Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama diskusi. e. Siswa dapat belajar dari siswa lain. f. Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagi atau menyampaikan ide.
Selain kelebihan, TPS juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Hamdayana (2014: 204) mengemukakan kelemahan TPS yaitu sebagai berikut : a. Tidak selamanya mudah bagi siswa untuk mengatur cara berpikir sistematik. b. Lebih sedikit ide yang masuk. c. Jika ada perselisihan, tidak ada penengah dari siswa dalam kelompok yang bersangkutan sehingga banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor. d. Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok, karena ada salah satu murid tidak mempunyai pasangan. e. Banyak kelompok yang terbentuk. f. Menggantungkan pada pasangan. 2.1.13 Hasil Belajar Nawawi (2007) dalam Ahmad Susanto (2013: 5) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari tes mengenai materi yang dipelajari. Nana Sudjana (2011: 22) mengemukakan hasil belajar yaitu kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Menurut Susanto (2013: 5) menyimpulkan bahwa hasil belajar yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Jadi dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku dan kemampuan dari yang tidak bisa menjadi bisa setelah menerima pengalaman belajar.
24
2.1.14 Penilaian Hasil Belajar Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Proses belajar dan mengajar adalah proses yang bertujuan. Tujuan tersebut dinyatakan dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Dalam Ahmad Susanto (2013: 5), Sunal (1993) mengemukakan bahwa penilaian adalah proses penggunaan informasi untuk membuat pertimbangan secara efektif dari suatu proses pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa. Menurut Nana Sudjana (1988: 111) menyimpulkan bahwa penilaian adalah memberikan pertimbangan atau harga terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu. Hosnan (2014: 387) mengemukakan : Penilaian atau asesmen hasil belajar siswa artinya untuk mengukur kompetensi atau kemampuan tertentu terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan penilaian untuk mengetahui sikap yang digunakan dalam teknik nontes. Dalam proses belajar mengajar penilaian berfungsi untuk mengetahui tercapai tidaknya suatu tujuan pengajaran/instruksional dan sebagai bahan dalam memperbaiki proses belajar mengajar. Sedangkan penilaian yang lebih banyak ditujukan untuk mengetahui hasil belajar siswa disebut penilaian sumatif yang pelaksanaannya oleh guru dilakukan pada akhir program seperti akhir semester, tengah semester dan lain-lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah pedoman yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar siswa terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran dengan kriteria tertentu. Penilaian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tes dan non tes.
25
A. Teknik Tes Menurut Mardapi (2008) dalam Eko Putro Widoyoko (2014: 2), tes (test) merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan. Mansyur, dkk (2009) dalam Eko Putro Widoyoko (2014: 2) berpendapat : Tes sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah pertanyaan yang harus diberi tanggapan dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes (testee). Widoyoko (2014: 2), tes merupakan alat ukur untuk memperoleh informasi hasil belajar siswa yang memerlukan jawaban atau respons benar atau salah. Tes merupakan bagian tersempit dari evaluasi. Berdasarkan pendapat Djemari Mardapi, Mansyur, Adi Suryanto, dan Eko Putro Widoyoko, tes adalah salah satu cara atau alat untuk mengukur kemampuan siswa terhadap pembelajaran yang sudah dilakukan dengan pemberian pertanyaan yang sudah direncanakan. Berdasarkan alat pelaksanaannya secara garis besar alat penilaian dengan teknik tes dapat dikelompokkan sebagai berikut : i.
Tes Tertulis Tes tertulis adalah suatu teknik penilaian yang menuntun jawaban dari
siswa secara tertulis. Tes tertulis ini dapat berbentuk pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, isian singkat, atau uraian (essay). ii.
Tes Lisan Tes lisan adalah suatu teknik penilaian hasil belajar siswa yang pertanyaan
dan jawabannya disampaikan secara lisan. Dalam penilaian menggunakan tes lisan ini menggunakan pedoman penskoran.
B. Teknik Non Tes Teknik non tes merupakan teknik penilaian untuk memperoleh gambaran terutama mengenai karakteristik, sikap, atau kepribadian. Teknik non tes lebih sesuai digunakan untuk menilai aspek tingkah laku. Dalam proses pembelajaran pada umumnya kegiatan penilaian mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan
26
lebih berperannya aspek pengetahuan dan keterampilan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan guru pada saat menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Seiring dengan berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, maka teknik penilaian harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut : i. Kompetensi yang diukur ii. Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau sikap) iii. Kemampuan siswa yang akan diukur iv. Sarana dan prasarana yang ada
Teknik penilaian nontes dapat dikelompokkan sebagai berikut : i.
Pengamatan atau Observasi Observasi yaitu pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi
tertentu. Observasi bisa dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung dan situasi buatan atau observasi tidak langsung. Kedua jenis observasi ini dapat dilaksanakan secara sistematik, yaitu dengan menggunakan pedoman observasi dan tidak observasi (tanpa pedoman). ii.
Penugasan Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menekankan siswa untuk
mengerjakan atau melakukan suatu tugas di luar kegiatan pembelajaran. Penilaian dengan penugasan diberikan oleh guru, baik secara individual atau kelompok. Penilaian dengan penugasan dapat berupa tugas atau proyek.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan penerapan pembelajaran konstektual terhadap hasil belajar matematika. Penelitian ini dilakukan oleh Lies Setyaningrum yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Konstektual terhadap Hasil Belajar Matematika”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran konstektual terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Negeri Se-Gugus III Kartini menggunakan Pretest Posttest Control Group
27
Design. Pada hasil uji dengan taraf signifikansi 0,05, nilai > 1,992). Jadi,
ditolak dan
>
(2,317
diterima, sehingga ada pengaruh yang positif
dan signifikan penerapan model pembelajaran konstektual terhadap hasil belajar Matematika. Peneliti yang lain yaitu Darhim yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Matematika Konstektual terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah hasil belajar siswa dengan PMK dan PMB menggunakan eksperimen dengan kontrol. Hasil penelitian ini ditinjau dari keseluruhan maupun dari kelompok sekolah (baik dan sedang) pembelajaran matematika konstektual berpengaruh lebih baik terhadap hasil belajar siswa daripada pembelajaran matematika biasa. Peneliti yang lain yaitu Windi Septyani yang berjudul “Pengaruh pembelajaran
Matematika
Berbasis
Konstektual
terhadap
Hasil
Belajar
Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2012/2013. Hasil analisis data diperoleh nilai signifikan 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat pengaruh pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstektual (kelas eksperimen) dengan rata-rata hasil belajar matematikanya sebesar 87,81, sedangkan dengan menggunakan model konvensional (kelas kontrol) dengan ratarata hasil belajar matematikanya sebesar 80,22. Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pendekatan konstektual terhadap hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri 02 Salatiga tahun pelajaran 2012/2013. Selain penelitian tentang model pembelajaran CTL, peneliti lain juga meneliti model pembelajaran yang berbeda. Penelitian tersebut yaitu Pujiono yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Terdahap Hasil Belajar Matematika SMP Negeri 3 Getasan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model pembelajaran kooperatif Think Pairs Share (TPS) materi garis dan sudut bagi siswa kelas VIIB SMP Negeri 3 Getasan. Hasil analisis data yang diperoleh t hitung yaitu sig 0,003 < 0,05 yang berarti
ditolak. Jadi, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujiono
28
yaitu model pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) lebih efektif dengan nilai rata-rata 75,57 daripada menggunakan model pembelajaran konvensional. Peneliti yang lain yaitu Yani Purbaningrum yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Ditinjau dari Minat Belajar Siswa Semester II Tahun Ajaran 2011/2012 di SD Negeri Salatiga 06” dengan menggunakan eksperimen semu (quasi eksperimental research). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Think Pair Share (TPS) berpengaruh terhadap hasl belajar matematika siswa ditinjau dari minat siswa kelas III Tahun Ajaran 2011/2012 di SD Negeri Salatiga 06 dan untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan minat belajar terhadap hasil belajar matematika siswa ditinjau dari minat siswa kelas III Tahun Ajaran 2011/2012 di SD Negeri Salatiga 06. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa dengan hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan tidak signifikan dengan nilai sig. 0,067 > 0,05 maka
diterima.
Peneliti yang lain yaitu Juli Rahayu dengan judul “Efektivitas Model Cooperative Learning Tipe TPS (Think Pair Share) Terhadap Hasil Belajar Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa pada Pelajaran Matematika Bangun Ruang Kelas V SD Gugus Hasanudin Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen, yaitu Pre Test – Post Test Control Group Design. Hasil penelitian yang dilaksanakan menunjukkan nilai signifikan 0,035 < 0,05 dan signifikan ranah afektif 0,011 < 0,0, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran cooperative learning tipe Think Pair Share dengan metode konvensional.
2.3 Kerangka Pikir Matematika merupakan mata pelajaran yang dikenal semua orang, dan diberikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi, bahkan masyarakat. Matematika mata pelajaran yang berhubungan dengan angka atau perhitungan, sehingga banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajaran
29
tersebut, karena bagi mereka perhitungan itu sulit, membingungkan. Proses pembelajaran matematika di lapangan masih didominasi oleh guru, pembelajaran yang dilakukan juga biasa. Oleh karena itu, siswa menjadi tidak semangat belajar atau tidak ada keinginan untuk belajar apalagi pembelajaran matematika bagi mereka membosankan. Masalah yang dihadapi siswa tersebut, memunculkan ide untuk menerapkan model pembelajaran saat proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran dengan teknik atau cara yang berbeda, diharapkan siswa menjadi semangat atau menyukai pembelajaran matematika dan dapat memperoleh pengalaman belajar serta lebih mudah memahami pembelajaran yang dilakukan. Selain itu, dengan penerapan model diharapkan akan berpengaruh baik terhadap hasil belajar mereka, sehingga hasil belajarnya menjadi lebih bagus atau meningkat. Penerapan model pembelajaran yang dianggap cocok dengan masalah yang dihadapi siswa tersebut yaitu, model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS). Jadi, dengan penerapan kedua model ini, diharapkan dapat menjadikan siswa lebih mudah memahami pembelajaran atau masalah matematika. Model pembelajaran CTL menekankan pembelajaran dengan menemukan sendiri (inkuiri) atau memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dengan temannya 4 orang atau berkelompok. Setelah berdiskusi, kemudian perwakilan kelompok mempresentasikannya. Model CTL menggunakan benda nyata atau sebenarnya, sehingga siswa melihat sendiri benda tersebut dan diharapkan dapat lebih mengerti pembelajaran yang dilakukan. Sedangkan TPS menekankan aspek-aspek atau masalah yang diberikan oleh guru, kemudian memecahkannya secara berkelompok dengan teman sebangku dan mempresentasikannya, sehingga pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan mudah untuk diingat. Jadi, dengan menggunakan model pembelajaran CTL dan Think Pairs Share (TPS) diharapkan dapat memberi pengaruh baik pada hasil belajar matematika siswa. Model
pembelajaran
Contextual
Teaching
and
Learning
(CTL)
mempunyai beberapa sintaks yang juga diharapkan dapat berpengaruh terhadap
30
hasil belajar matematika siswa. Sintaks dari model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) yaitu tahap pertama, diharapkan siswa dapat melakukan kegiatan belajar yang bermakna. Tahap kedua, siswa diharapkan dapat menemukan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan guru. Tahap ketiga, siswa melakukan pertanyaan-pertanyaan. Tahap keempat, siswa melakukan diskusi dan tanya jawab dengan teman sekelas. Tahap kelima, siswa mendengarkan guru saat menjelaskan menggunakan model atau media sebenarnya. Tahap keenam, siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah dilakukan. Tahap ketujuh, siswa menyimpulkan pembelajaran yang telah dilakukan. Model pembelajaran Think Pairs Share (TPS) juga mempunyai beberapa sintak yang diharapkan dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa. Sintaks tersebut yaitu tahap pendahuluan, siswa dijelaskan materi pembelajaran dan diberi masalah. Tahap think, setelah memperoleh masalah dari guru, kemudian siswa diberi kesempatan berpikir untuk memecahkan masalah tersebut secara individual. Tahap pair, siswa berkelompok dengan teman sebangku dan berdiskusi mengenai hasil pemikiran masing-masing. Tahap share, siswa perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan temantemannya. Tahap penghargaan, siswa dinilai oleh guru baik secara individu maupun kelompok. Berdasarkan sintaks model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) tersebut, diharapkan siswa memiliki semangat untuk menyelesaikan suatu masalah dengan caranya sendiri dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pembelajaran yang dilakukan mudah diingat. Oleh karena itu siswa dapat belajar secara aktif sesuai dengan sintaks dari model pembelajaran yang digunakan, sehingga kedua model tersebut dapat efektif diterapkan dalam pembelajaran matematika. Model efektif yang dimaksudkan adalah hasil belajar yang diperoleh siswa saat pembelajaran menggunakan model lebih bagus atau lebih meningkat daripada hasil belajar yang sebelumnya atau pembelajaran konvensional tidak menggunakan model.
31
Berikut gambar bagan kerangka pikir penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) : Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menyelesaikan Sintak / Langkah-langkah
masalah yang berhubungan dengan
Mengembangkan pikiran
Minat siswa muncul
penjumlahan pecahan berpenyebut sama Menyelesaikan
Kegiatan Inkuiri
Mengembangkan rasa ingin tahu
Melakukan diskusi
Penggunaan model
Kegiatan refleksi
Mandiri
masalah yang
Rasa ingin tahu tinggi
berhubungan dengan pengurangan pecahan berpenyebut sama
Tanggung jawab
Menyelesaikan
Hasil Belajar
masalah yang berhubungan dengan
Kerja sama
penjumlahan pecahan dengan penyebut
Kritis
berbeda Komuni katif
Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
Penilaian
Teliti
pengurangan pecahan dengan penyebut berbeda
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir Model Contextual Teaching and Learning (CTL)
32
Kerangka
pikir
pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) di atas sesuai dengan teori belajar Piaget bahwa pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa sendiri. Sedangkan gambar bagan kerangka pikir penggunaan model pembelajaran Think Pairs Share (TPS) yaitu sebagai berikut : Menyelesaikan masalah
Think Pairs Share (TPS)
yang berhubungan dengan pengurangan pecahan dengan
Sintak / Langkah-langkah
Tahap Pendahuluan
Minat siswa muncul Rasa ingin tahu tinggi
Tahap Think
Mandiri Kritis
penyebut berbeda Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pengurangan pecahan dengan penyebut berbeda Menyelesaikan masalah yang berhubungan
Tahap Pairs
Kerja sama
Hasil Belajar
dengan pengurangan
pecahan dengan Tahap Share
Tanggung jawab Disiplin
penyebut berbeda Menyelesaikan masalah yang berhubungan
Tahap Penghargaan
Komuni katif
dengan pengurangan pecahan dengan
Teliti
penyebut berbeda
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pikir Model Think Pairs Share (TPS)
33
Kerangka pikir pembelajaran menggunakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) di atas sesuai dengan teori belajar Ausubel juga menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna bila informasi yang diterima siswa itu disusun sendiri sesuai dengan pemikiran siswa.
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori, kajian hasil penelitian yang relevan, dan kerangka pikir yang telah dibahas, diduga model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa. Perumusan dari suatu hipotesis adalah sebagai berikut : : Tidak ada perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan dalam penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Think Pairs Share (TPS) pada kelas IV SD Negeri 5 Putatsari Grobogan. : Ada perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan dalam penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Think Pairs Share (TPS) pada kelas IV SD Negeri 5 Putatsari Grobogan.