BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kejahatan dengan Kekerasan 2.1.1. Pengertian Kejahatan
Sebagaimana halnya dalam menentukan pengertian tentang hukum, para ahli atau para pakar ternyata sering pula terlibat dalam perdebatan-perdebatan dan perbedaan pandangan mengenai pengertian kejahatan atau apa yang dimaksud dengan kejahatan. Untuk memahami pengertian kejahatan, pertama-tama akan diberikan pengertian dari kejahatan menurut hukum pidana positif yaitu terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dengan tegas diatur dalam ketentuan hukum pidana, sebagai suatu perbuatan yang dilarang dengan memberikan ancaman berupa pidana. Pidana mana dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Hal mana merupakan penerapan dari azas legalitas yang mengandung pengertian yaitu perbuatan yang hanya dapat diancam dengan pidana apabila ditentukan demikian oleh perundang-undangan yang berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan. Pengertian ini dapat disimak dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Tindak Pidana dikemukakan oleh yang Van Hamel dapat dilihat unsur-unsur “strafbaar feit” adalah : 1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; 2. melawan hukum 3. dilakukan dengan kesalahan; 4. patut dipidana. Definisi E. Mezger menunjukkan bahwa unsur-unsur “strafbaar feit” (tindak pidana) adalah :
1. perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2. sifat melawan hukum (baik obyektif 25 maupun subyektif); 3. dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang; 4. diancam dengan pidana. Sedangkan Mr. Karni mengatakan, delik itu mengandung : 1. perbuatan yang mengandung perlawanan hak; 2. yang dilakukan dengan salah dosa; 3. oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan. Kejahatan secara yuridis dapat dibedakan dalam delik hukum dan delik undang-undang, sebagaimana dikemukakan oleh B.Simanjuntak25: Suatu perbuatan akan merupakan delik hukum (rechtsdelicten) apabila perbuatan itu dianggap bertentangan dengan hati nurani setiap manusia dan asas-asas hukum pada umumnya, sedangkan perbuatan akan merupakan delik undang-undang (wetsdelicten) bila undang undang dengan tegas melarangnya. Walaupun belum tentu perbuatan itu bertentangan dengan hati nurani setiap manusia dan asas-asas hukum pada umumnya, juga belum tentu perbuatan itu merupakan perbuatan yang tidak sah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa delik hukum mengandung pengertian yang lebih luas dari delik perundang-undangan. Perbuatan merupakan delik hukum cukup apabila perbuatan itu di dalam kesadaran hati manusia telah dianggap melawan hukum (onrecht), sekalipun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Selanjutnya apabila perbuatan dikatakan delik undang undang apabila undang undang secara tegas melarangnya. Pengertian ini sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam asas legalitas. 25
B. Simanuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Penerbit Tarsito : Bandung 1981, hal 76.
Selanjutnya B. Simanjuntak menyatakan, kejahatan merupakan perbuatan yang karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban umum, sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum26. Dengan demikian kejahatan secara yuridis didasarkan pada dapat atau tidaknya sanksi (pidana) dikenakan terhadap orang yang bersangkutan. Pengertian kejahatan juga dikemukakan oleh Prof. Dr. JE Sahetapy, yang melihat kejahatan dari dua segi, yaitu : Dari segi sosial, kejahatan adalah segala macam perbuatan dan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian, mengganggu ketentraman dan keseimbangan dan melanggar norma-norma masyarakat. Sedangkan kalau dilihat dari segi formal, kejahatan adalah perbuatan yang bersifat melanggar hukum atau undang-undang dan kepada pembuatnya dapat dikenakan sanksi hukuman baik berupa hukuman penjara, denda, dan lain-lain27 Jika kita melihat KUHP, maka akan diperoleh suatu gambaran tentang perbuatan mana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan dan pelanggaran. Mengenai pengertian kejahatan itu sendiri tidak akan dijumpai dalam KUHP. Di dalam KUHP hanya terdapat kualifikasi perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Dilihat dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Hal ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-
26
Ibid J.E. Sahetapy, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner, Penerbit : Sinar Wiaya, 1983, hal. 78. 27
undangan. Jadi secara kriminologis setiap perbuatan anti sosial, merugikan serta menjengkelkan masyarakat dikatakan sebagai kejahatan. Kita membicarakan masalah kejahatan, maka perlu diketahui bahwa suatu kejahatan memiliki sifat yang relatif. Dalam kaitan dengan relativitasnya suatu kejahatan, G.Peter Hofnagels menulis sebagai berikut : We have seen that the concept of crime is highly relative in common parlance.The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment (time), from group to group (place) and from context to context (situation)28
Relativitas suatu kejahatan tergantung pada ruang, waktu, dan siapa yang menamakan sesuatu perbuatan itu sebagai kejahatan. “Misdaad is benoeming”, kata Hofnagels, yang berarti tingkah laku didefinisikan sebagai suatu kejahatan oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat 29. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti
tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat kecuali
akibatnya saja.
2.1.2. Pengertian Kejahatan dengan Kekerasan Menurut Prof. Soedarto, pada umumnya kejahatan kekerasan dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik terhadap barang atau orang sedemikian rupa,
28
Marvin E.Wolfgang et.al, The Sociology of Crime and Delinguency, Second Edition, ohn Willey, New York, 1970, hal. 119 29 J.E Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : Alumni, 1979, hal 67.
sehingga cukup membahayakan benda hukum yang dilindungi oleh ketentuan pidana yang bersangkutan30. Penggunaan kekerasan yang dimaksud terwujud dalam memukul dengan tangan saja, memukul dengan senjata, menyekap, mengikat, menahan, dan sebagainya. Dalam ketentuan Pasal 89 KUHP, dapat dilihat perluasan dari pengertian kejahatan dengan kekerasan, yang mana dalam pasal ini disebutkan : melakukan kekerasan disamakan dengan membuat orang pingsan. Kekerasan itu harus ditujukan kepada seseorang. Seseorang di sini tidak perlu para pemilik barang, tetapi juga orang lain yang diberikan tugas/kepercayaan untuk menjaganya. Menurut H.A.K. Moch. Anwar
“kejahatan dengan kekerasan merupakan
bentuk gequalificerde, berhubung hanya disebut nama kejahatannya dalam bentuk pokoknya”31. Ancaman kekerasan diartikan sebagai: ”setiap perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut atau cemas pada orang yang diancamnya”32. Adapun unsur-unsur kejahatan dengan kekerasan seperti yang sering dikemukan dalam setiap perumusan kejahatan dengan kekerasan dalam KUHP terdiri dari : “Didahului dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” mengandung pengertian
30
bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan ini dipergunakan sebelum
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, bandung : Alumni, Tahun 1981, hal 112. HAK Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), BAndung : Alumni, 1982, hal.25 31
32
Ibid
dilakukan kejahatan pokok yang dimaksudkan untuk mempersiapkan diri bagi si pelaku. “Disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” maksudnya penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan dilakukan bersamaan dengan dilakukannya kejahatan pokoknya. Penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan di sini dimaksudkan untuk mempermudah dilaksanakan kejahatan pokoknya. “Diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” mengandung maksud penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan setelah kejahatan pokoknya dilakukan. Tujuannya memberikan kesempatan kepada diri sendiri atau peserta lain untuk melarikan diri, serta dapat menjamin kepemilikan hasil kejahatan tersebut jika tertangkap tangan. Secara sederhana dapat dijawab bahwa kejahatan dengan kekerasan mengakibatkan korban menderita luka berat, secara fisik maupun secara mental, meninggal dunia, harta miliknya berpindah tangan karena paksaan, kehormatannya dirusak33. Stephen Schafer, dalam suatu studinya mengenai kejahatan-kejahatan dengan kekerasan di Florida, mendasarkan rumusannya pada batasan Kelompok Internasional Para Ahli PBB yang beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan kekerasan yang utama
33
Mulyana W. Kusumah, dalam Kriminalitas Dalam Surat Kabar, Jakarta : Penerbit Antar Kota 1991, hal 57
adalah pembunuhan, penganiayaan berat, serta perampokan, dan pencurian berat34. Sedangkan pelaku kejahatan dengan kekerasan adalah mereka-mereka yang melakukan kejahatan yang berakibat kematian maupun luka bagi sesama manusia. Pengertian kejahatan dengan kekerasan menurut Kepolisian Republik Indonesia meliputi sembilan jenis kejahatan, yaitu : penjambretan, penodongan, pembajakan, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, pemerasan, pembunuhan, penganiayaan berat, dan perkosaan35. Tidak ada penjelasan atau keterangan dari pembagian katagori-katagori ini, walau untuk beberapa jenis kejahatan arti katanya memang jelas. Misal, untuk “pembajakan”, dapat timbul pertanyaan apakah yang dimaksud di sini bentuk kejahatan “penodongan dalam kendaraan umum (bus)” ataukah bentuk “pembajakan pesawat terbang” dan bentuk yang menyerupainya. Perbedaan antara ”penodongan” dengan “perampokan” juga tidak jelas karena kesan pertama yang diperoleh adalah bahwa “penodongan” dilakukan di tempat umum (jalan, pasar), sedangkan “perampokan” di tempat pemukiman (rumah). Namun, istilah umum tentang “perampokan” bisa juga dikaitkan dengan tempat terjadi kejahatan seperti bank, toko, atau perusahaan lainnya. Perumusan kejahatan dengan kekerasan dapat dilihat dari beberapa aspek (mempunyai beberapa elemen atau unsur-unsur yaitu) : (1). The degree and type of injury (tingkat dan jenis kerusakan); 34
Stephen Schafer, The Beginning of Victimology, dalam Israel Drapkin dan Emilio Viano, eds Victimology (Lexington, Mass : Lexington Books, 1974), hal. 17-41. Lihat Mulyana W. Kusumah, Analisa Krimonologi tentang Kejahatan Kejahatan Kekerasan, Ghalia Indonesia, hal 24. 35 Lihat Buku : Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Dinas Penelitian dan Pengembangan, Kriminalitas dengan kekerasan di Indonesia dan Konsepsi Penanggulangannya (Makalah Polri dalam Seminar Kriminalitas dengan Kekerasan di Jakarta, 1983)
(2). The intent of the participant(s) to apply or to threaten to apply force (kesungguhan
peserta
untuk
menggunakan
atau
mengancam
mempergunakan kekerasan); (3). The object of the attack (i.e., a person, property, or an animal) (objek serangan (misalnya orang, properti, atau binatang); (4). The causes of and motivations and justifications for the behavior (penyebab dan motivasi serta pembenaran atas perilaku tersebut) (5). The numbers of persons involved in the incident; and (jumlah orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut); (6). Whether the harm is the result of behavior that is committed or omitted36. (apakah kerusakan tersebut merupakan akibat dari perilaku yang dilakukan ataukah bukan).
Jika dibandingkan dengan jenis-jenis kejahatan dengan kekerasan yang telah diformulasikan Polri, maka jenis kejahatan dengan kekerasan menurut The Federal Bureau of Investigation di bawah Uniform Crime Reporting Program terdiri dari : 1. criminal homicide (comprising murder and nonnegliegent manslaughter): “the willfull (nonnegligent) killing of one human being by another)
36
Neil Allan Weiner, Margaret A Zhan, Rita J.Sagi : Violence : Patterns, Causes, Public Policy, Harcourt Brace Jovanovich (HBJ), Publisher, 1990. hal xiii.
(kejahatan pembunuhan, meliputi pembunuhan dan pembantaian manusia yang bukan merupakan kelalaian : pembunuhan dengan sengaja (bukan kelalaian) seorang atau lebih manusia oleh orang lain). 2. forcible rape: “the carnal knowledge of a female forcibly and against her willl”. (perkosaan dengan paksaan : mengetahui jasmani dari seorang wanita yang diancam dengan kekerasan dan melawan keinginannya). 3. robbery : the taking or attempting to take something of value from the care, custody, or control of a person or persons by force or threat of force or violence and/or by putting the victim in fear” (perampokan : pengambilan atau berusaha mengambil sesuatu yang berharga dari perawatan, penjagaan, atau pengawasan seseorang atau banyak orang dengan memakai kekerasan atau ancaman kekuatan atau kekerasan dan/atau menyebabkan korban ketakutan). 4. aggravated assault : “an unlawful attack by one person upon another for the purpose of inflicting severe or aggaravated bodily injury”. (serangan dengan kekerasan : serangan yang melawan hukum dilakukan oleh satu orang terhadap orang lain dengan tujuan mengakibatkan luka parah atau berat).
5.
other assaults (simple) : “assaults and attempted assaults where no weapon was used and which did not result in serious or aggravated injury to the victim37”. (serangan lainnya (sederhana) : serangan yang disengaja di mana tidak mempergunakan senjata serta tidak mengakibatkan luka-luka yang serius atau parah pada korban).
2.1.3. Bentuk-Bentuk Kejahatan Kekerasan Di bawah ini akan dikemukakan pula tentang bentuk-bentuk atau model dilakukannya kejahatan dengan kekerasan. Menurut Sanford Kadish, bentuk-bentuk kejahatan dengan kekerasan dapat diklasifikasikan ke dalam : 1. Emotional and Instrumental Violence; 2. Random or Individual Violence; 3. Collective Violence. Pendapat tentang bentuk kejahatan tidak saja dikemukakan oleh Sanford Kadish, akan tetapi juga Martin R. Haskell dan Lewis Yablonsky38, yang mengemukakan adanya empat katagori yang mencakup hampir semua pola-pola kejahatan dengan kekerasan, yakni :
37
Ibid, hal. xvii Martin R.Haskell dan Lewis Yablonsky, Crimonolgy : Crime and Criminality (Chicago : Rand Mac Nally College Publishing Company, 1974) hal. 425 dst. 38
1. Kekerasan legal Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya: tindakan agresif tertentu serta tindakantindakan untuk mempertahankan diri.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi Suatu faktor penting dalam menganalisis kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya : tindakan kekerasan seorang suami atau penzina akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional Yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan adalah beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya. Contohnya : pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi. Mengenai kekerasan rasional ini Gilbert Geis39, mengatakan bahwa orangorang yang terlibat dalam perkerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran, serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih daripada orang-orang yang ada di lingkungan tersebut.
39
Ibid, dengan menunuk pada catatan kaki : Gilbert Geis, Violence and Organized Crime, Annal of The American Academy of Political and Social Science, 364, Maret 1966, hal.87.
4. Kekerasan yang tidak rasional, “Irrational violence”, yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah apa yang dinamakan “raw violence” yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya, misalnya membunuh untuk kesenangan atau iseng.
2.2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan dengan Kekerasan. Istilah “kekerasan” atau la violencia di Columbia, the vendetta barbaricina di Sardinia, Italia, atau la vida vale nada (life is worth nothing) di El Salvador40, yang ditempatkan di belakang kata “kejahatan” sering menyesatkan masyarakat. Oleh karena masyarakat sering menafsirkan seolah-olah sesuatu yang dilakukan dengan “kekerasan” dengan sendirinya merupakan kejahatan. Menurut para ahli (hukum) “kekerasan” yang dipergunakan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun psikis adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum, dan
oleh karena itu merupakan
kejahatan. Dengan pola pikir tersebut maka pengertian istilah “kekerasan” atau violence semakin jelas, terutama jika kita menyimak definisi di bawah ini :
40
John Hagan, Modern Criminology, Crime, Criminal Behaviour and its Control, Singapore McGraw Hill Book Com, 1987, hal 181
“all types of illegal behavior, either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of an individual” 41 Bertitik tolak pada definisi di atas, nampak bahwa : kekerasan atau violence menunjuk kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan
kerusakan terhadap harta benda, fisik atau mengakibatkan
kematian pada seseorang. Definisi ini sangat luas sekali, karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” di samping suatu tindakan nyata. Gambaran situasi sosial-psikologis sebagai akibat modernisasi kiranya mempermudah pemahaman tentang genesis kekerasan dan kejahatan yang frekuensi dan intensitasnya makin meningkat dewasa ini. Situasi tertekan atau depresi, frustasi, dan agresi ini membawa seseorang menjadi sangat sensitif dan eksplosif sehingga hal dan alasan sepele (kecil) sudah berpeluang mendorong orang untuk melakukan tindakan destruktif.
Berbagai kalangan melihat situasi emosional masyarakat
Indonesia yang mengalami dampak budaya global itulah yang mudah meledak menjadi tindak kekerasan. Dari sudut kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan dan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Setiap perbuatan yang merugikan atau menjengkelkan 41
Kadish Sanford, opcit, hal. 1618
masyarakat atau setiap perbuatan antisosial secara kriminologis dapat disebut sebagai kejahatan. Menurut Sanford Kadish, kejahatan kekerasan sesungguhnya merupakan salah satu species dari violence, di mana dapat dibedakan dalam klasifikasi kejahatan kekerasan sebagai berikut : 4.
Emotional and Instrumental Violence;
5.
Random or Individual Violence;
6.
Collective Violence42
Model/bentuk kejahatan di atas dapat dijelaskan sebagai emotional violence menunjuk kepada tingkah laku yang bersifat agresif disebabkan karena amarah atau perasaan takut yang meningkat.
Instrumental violence menunjuk kepada tingkah
laku agresif karena memang dipelajari dari lingkungannya. Random atau Individual violence menunjuk kepada tingkah laku perorangan yang bersifat kekerasan dengan tujuan tertentu. Collective violence menunjuk kepada tingkah laku yang melibatkan kelompok tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu. Di bawah ini akan diklasifikasikan mengenai kejahatan kekerasan dengan schema yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita 43 sebagai berikut :
42 43
Kadish Sandford, opcit, hal.1619 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung:Eresco,1992 hal. 56
Emotional +
Random Individual
Collective
a. the culturally violent
a. primitive collective violence
b. the criminally violent
b. reactionary collective
Instrumental violence c. the pathologically
c. modern violence
violent d. the situationally violent e. the accidentally violent
Mengkaji kejahatan kekerasan sangat berkaitan dengan sifat agresivitas manusia. Konrad Lorenz dan Piere van den Berghe menyatakan bahwa manusia mempunyai kecendrungan bawaan – yang tidak berbeda dengan hewan – yang bersifat agresif. Menurut mereka, antara manusia dan hewan mempunyai dasar biologis yang sama. Apa yang dikemukan oleh Lorenz dan van den Berghe, tentunya bukanlah satu-satunya teori yang menjelaskan tentang sifat agresif yang dimiliki manusia, Albert Bandura, misalnya, mengkaji kejahatan dari aspek proses. Menurut Bandura, kejahatan kekerasan adalah hasil dari proses belajar yang mengarah pada imitation. Dengan demikian, peniruan biasa dilakukan/terjadi karena seringnya
melihat kejahatan kekerasan. Dalam hal ini media massa/ film dituduh turut ambil bagian dalam penimbulan proses kejahatan kekerasan ini44.
2.3. Upaya Penanggulangan Kejahatan dengan Kekerasan Walaupun tidak ada teori atau konsep yang mutakhir dalam upaya pencegahan kejahatan namun pemerhati masalah kejahatan selalu berusaha untuk menghadirkan ide-ide atau gagasan dalam mencegah kejahatan dan telah lama dianggap sebagai salah satu objek utama dari politik kriminal, ia tetap sebagai suatu batasan konsep yang tidak jelas dan buruk. Akan lebih tepat untuk mendiskusikan pencegahan kejahatan sebagai suatu pendekatan atau model yang mungkin dapat diterapkan daripada menganjurkan sebuah teori tentang pencegahan kejahatan itu sendiri. Sifat dan tujuan tradisional dari sistem peradilan pidana dan unsur-unsurnya – penjeraan individual dan penjeraan umum, pengamanan dan rehabilitasi – adalah tindak represif primer dan sangat terkait dengan pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran setelah pelanggaran tersebut timbul. Kaiser (John Graham, 1990) memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai sesuatu usaha yang meliputi : segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil luas lingkup dan kekerasan sesuatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan ataupun usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orangorang yang secara potensial dapat menjadi pelanggaran kepada masyarakat umum. Mengikuti pendapat Brantingham dan Fraust, Kaiser kemudian menganjurkan pembagian strategi pencegahan yang utama ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada kode pencegahan kesehatan umum : (a) pencegahan primer, (b) pencegahan sekunder, dan (c) pencegahan tertier45.
44
Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Little Brown and Company, Canada, 1984, hal. 147-151 45 (Kemal Dermawan, 1994:12)
a). Pencegahan Primer Pencegahan primer ditetapkan sebagai strategi pencegahan kejahatan melalui bidang sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lain dari kebijakan umum, khususnya sebagai usaha untuk mempengaruhi situasi-situasi kriminogenik dan sebab-sebab dasar dari kejahatan. Tujuan utama dari pencegahan primer ini adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang sangat memberikan harapan bagi keberhasilan sosialisasi untuk setiap anggota masyarakat. b). Pencegahan sekunder Hal yang mendasar dari pencegahan sekunder dapat ditemui dalam kebijakan peradilan pidana dan pelaksanaannya. Dapat ditambahkan bahwa pencegahan umum dan pencegahan khusus meliputi identifikasi dini dari kondisi-kondisi kriminogenik dan pemberian pengaruh pada kondisi-kondisi tersebut. Peran preventif dari polisi diletakkan dalam pencegahan sekunder, begitu pula pengawasan dari mass media, perencanaan perkotaan, serta disain dan konstruksi bangunan. Asuransi pribadi terhadap pembongkaran, pencurian, dan sebagainya juga diletakkan dalam katagori pencegahan sekunder. c). Pencegahan tertier Pencegahan tertier sangat memberikan perhatian pada pencegahan residivisme melalui peran polisi dan agen-agen lain dalam sistem peradilan pidana. Segala tindakan dari pencegahan tertier ini dengan demikian berkisar dari sanksi-sanksi peradilan informal dan kondisi ganti rugi terhadap korban atau sebagai perbaikan pelanggar serta hukuman penjara. Oleh karena batasan-batasan dari sanksi yang dalam periode terakhir ini berorientasi pada pembinaan, maka tertier juga sering kali mengurangi tindakan-tindakan yang represif. Dari uraian di atas tampaklah bahwa target utama dari pencegahan primer adalah masyarakat umum secara keseluruhan. Target dari pencegahan sekunder adalah orang-orang yang sangat mungkin untuk melakukan pelanggaran. Sedangkan target utama dari pencegahan tertier adalah orang-orang yang telah melanggar hukum. Bagi Polisi juga mengembangkan program-program untuk mengimplementasikan strategi pencegahan dan penanggulangan kejahatan dalam tiga tahap, yaitu: 1.
Crime reduction programs, yaitu bertujuan untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran hukum yang meliputi perbaikan-perbaikan dalam perundang-
undangan pidana sendiri maupun tindakan-tindakan sedini mungkin untuk mengurangi kondisi-kondisi pencetus kejahatan; 2.
Crime control program, yang dirancang untuk mengendalikan kejahatan, meningkatkan kemungkinan pengungkapan kejahatan serta memperluas efektivitas penjeraan (deterence) terhadap kejahatan;
3.
Criminal justice program, bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan unsur-unsur sistem peradilan pidana. Model pencegahan dan penanggulangan yang sering diterapkan dalam upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan adalah: 1. Upaya Pre-emtif Pre-emtif adalah pencegahan yang dilakukan secara dini berupa kegiatankegiatan edukatif dengan sasaran mempengaruhi faktor-faktor penyebab pendorong dan faktor peluang yang biasa disebut faktor korelatif kriminogen (FKK) dari terjadinya pengunaan untuk menciptakan suatu kesadaran kewaspadaan serta daya tangkal guna terbinanya kondisi perilaku dan norma hidup yang wajar. 2. Upaya Preventif a). Cara Moralistik, yaitu mencegah melalui cara memperkuat mental dan moral nmasyarakat untuk menjadi kebal terhadap tindakan-tindakan perilaku menyimpang b). Cara Abolisionistik, cara menanggulangi kejahatan gejala tertentu melalui usaha-usaha menghilangkan/memperkecil faktor-faktor kausalitet (penyebab)-nya. 3. Upaya Represif Upaya penindakan pada penegakan hukum terhadap para pelaku/pelanggar hukum, dengan cara melakukan razia-razia dan penangkapan terhadap terhadap pelaku tindak kriminal serta menjatuhkan pidana (hukuman) setimpal dengan perbuatannya. 4. Upaya Rehabilitatif Upaya penyembuhan dan pemulihan kondisi para pelanggar hukum (pelaku narkotika dan psikotropika).