perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian atau Kajian Terdahulu Gambaran lengkap tentang batik Banyuwangi cukup sulit di dapatkan melalui literatur-literatur yang telah ditulis oleh beberapa penulis. Batik Banyuwangi sebagai salah satu warisan budaya batik di Indonesia hanya disinggung atau ditulis tidak mendalam oleh beberapa penulis, misalnya : Nian .S. Djoemena (dalam buku: “Ungkapan Sehelai Kain”) , Koko dan Sundari (dalam buku “Batik Pesisir”), Santoso Doellah (dalam buku “ Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan”), Anindito “Batik”, dan Biranul Annas, dkk (dalam buku “Indonesia Indah Buku ke-8 “ Batik”), namun ada pula literatur dari Azhar Prasetyo berjudul “Batik Banyuwangi” yang berisi tentang batik tersebut. “Ungkapan Sehelai Kain” karya Nian .S. Djomena dalam buku tersebut dia membahas tentang batik yang terdapat di wilayah Solo, Yogyakarta, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura, dan Jambi. Nian menjelaskan tentang masing-masing kekhasan karakter ragam hias batiknya yang terbagi menjadi batik vorstenlanden dan pesisiran, dari segala penjelasan tersebut batik Banyuwangi sama sekali tidak disinggung bahkan di peta beberapa pusat perbatikan di Indonesia. oleh karena itu penulis merasa kajian tentang batik Banyuwangi penting diangkat guna melengkapi sumber literatur yang ada. Literatur sejenis yang membahas batik adalah tulisan Biranul Anas,Ratna Panggabean, dan Hassanudin. Dalam literatur tersebut disampaikan wacana tentang commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
batik mulai dari pengertian batik hingga batik dalam mencari identitas baru. Banyuwangi sempat disinggung pada sub bagian warna dan ciri kedaerahan, namun Banyuwangi hanya disebut sebagai salah satu daerah perbatikan yang pada masa lalu secara sosial-budaya berada di bawah pengaruh dua pusat Aristokrasi Jawa. Kurangnya pembahasan tentang batik Banyuwangi tersebut juga merupakan salah satu hal yang menjadi stimulus untuk mengangkat penelitian tentang batik tersebut. Batik Banyuwangi yang menjadi minoritas ulasan dari masing-masing literatur di atas ternyata di ulas oleh Azhar Prasetyo dalam bukunya yang berjudul “ Batik Banyuwangi”. Literatur tersebut berisi tentang uraian secara umum, pengklasifikasian batik hingga mengarah pada batik Banyuwangi sebagai bahasan utama. Pembahasan tersebut meliputi sejarah Banyuwangi yang awalnya bernama Blambangan dan latar belakang adanya perbatikan di Banyuwangi. Poin yang disayangkan dalam sumber pustaka ini adalah hanya motif gajah oling yang disinggung sebagai pola hias khas dari batik Banyuwangi, namun pola hias yang lain tidak dijabarkan. Oleh karena itu peneliti mengisi celah dari kekurangan yang ada melalui pengkajian ini. Bentuk penelitian dan pengkajian sebelumnya tentang batik Banyuwangi juga terdapat pada penelitian yang disusun oleh Ike Ratnawati pada tahun 2010 dengan judul “ Kajian Makna Filosofi Motif Batik Gajah Oling Banyuwangi”. Penelitian tersebut membahas tentang kedudukan pola hias batik gajah oling di dalam masyarakat Banyuwangi, visual pola hias gajah oling, serta makna filosofi dari batik gajah oling. Ike menyatakan dalam penelitiannya bahwa batik gajah oling merupakan batik pesisiran yang mempunyai karakter khusus baik dalam bentuk dan warnanya, serta terdapat makna filosofi simbolik di dalamnya. Dilihat dari permasalahan, Ike commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
hanya membatasi pada pola hias gajah oling dan tidak membahas pola lainnya. Pola hias lainnya hanya disebutkan dalam istilah-istilah nama pola hias. Bentuk kajian yang meliputi pola yang terdiri dari komponen apa saja yang menyusun pola hias , dan repeat pola hias juga tidak disebutkan di dalam penelitian tersebut. Berdasarkan dari hal tersebut maka penelitian yang mengangkat tema “Kajian Pola Hias Batik Banyuwangi” merupakan bentuk pengkajian yang melengkapi dan mengisi kekurangan yang ada pada penelitian dan tulisan sebelumnya, sehingga apa yang belum dibahas sebelumnya akan tersampaikan dalam penelitian ini.
B. Kajian Pustaka 1. Pola Hias a. Pola Hias Batik W. Seriyoga Parta dan Wayan Sudana tenaga pengajar dalam tulisan artikelnya yang dikemukakan pada tanggal 18 Juni 2009 menyatakan bahwa pola hias merupakan suatu hasil susunan atau pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi tertentu juga, dengan kata lain singkatnya pola adalah penyebaran atau penyusunan dari motif-motif. ”Kamus Desain” juga menyatakan bahwa pola hias atau pattern merupakan susunan atau motif yang dibuat secara berulang-ulang atau bagian dari satu komposisi yang lebih besar. Pola hias umumnya dipakai untuk satu desain yang akan menjadi satu kesatuan hiasan, misalnya pola hias pada batik (Agus Sachari, Suranti Trisnawati, 1998:144). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
Sinergi dengan pola hias batik (Susanto, 1980: 212) mengemukakan bahwa pola hias batik terdiri dari dua unsur pembentuk pola hias, yakni: ornamen motif batik danjisen motif batik. 1). Ornamen Motif Batik Ormanen motif batik dibagi lagi menjadi dua, yaitu : - Ornamen utama Ornamen utama merupakan suatu bentuk ragam hias yang menentukan dari pada pola hias tersebut. Umumnya ornamen utama masing-masing mempunyai arti, sehingga susunan ornamen tersebut dalam suatu pola hias membuat jiwa atau arti dari pola hias itu sendiri. `
- Ornamen pengisi bidang atau tambahan Ornamen tambahan tidak mempunyai arti dalam pembentukan pola hias dan berfungsi sebagai pengisi bidang. 2). Isen Motif Batik Bagian isen pada pola hias batik berupa titik-titik, garis-garis, gabungan titik dan garis yang memiliki fungsi mengisi ornamen-ornamen dari motif dan pola hias yang berperan dalam mengisi bidang diantara ornamen-ornamen tersebut. Salah satu contohnya adalah
pola hias batik yang digolongkan dalam pola
“semen”. Pola ini terdiri dari beberapa bagian ornamen motif utama dan ornamen motif tambahan. Ornamen motif utama berupa meru, pohon, burung, ular, dan api, sedangkan untuk ornamen motif tambahan berupa bunga dan daun, untuk isen pola berupa titik atau cecek, garis atau sawut, perpaduan cecek-sawut, dan sebagainya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
Contoh pola batik tersebut jika ditinjau dari segi paham Jawa-Kuno atau paham kesaktian Indonesia, ornamen utama memiliki makna sebagai berikut: a). Meru melambangkan gunung, atau tanah yang disebut bumi b). Api, atau lidah api melambangkan nyala api, yang disebut juga agni atau geni. c). Ular atau naga, melambangkan air atau banyu dan disebut juga
tirta
(uddhaka) d). Burung melambangan angin atau maruta, sedangkan e). Garuda atau lar melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan isinya. Jenis motif di atas termasuk golongan motif batik klasik. Dua kiblat keindahan dalam motif klasik meliputi, keindahan visual dan keindahan jiwa. Keindahan visual didefinisikan sebagai rasa indah yang didapatkan dari perpaduan motif harmonis meliputi warna dan susunan bentuk melalui penglihatan, sedangkan keindahan jiwa/filosofi merupakan rasa indah yang muncul karena adanya susunan arti gambaran ornamen yang didesain sesuai dengan paham (Susanto, 1980:212).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Salah satu contoh ragam hias batik yang terdiri dari ornamen motif batik dan isen motif batik adalah pola hias buketan.
Motif Utama
Motif Tambahan
Isen
Gambar 1. Pola Hias Buketan (Sumber : www.google.com, 2012)
Tidak semua pola hias batik yang terdiri dari motif utama dan pendukung, ada kalanya pola hias batik tersebut hanya terdiri dari motif utama dan isen. beberapa pola hias tersebut antara lain : kawung, truntum, dan parang. Alasan tersebut didasari jenis pola hiasnya yang memang merupakan satu kesatuan utuh dan tidak dapat dipisahkan kombinasi pola hiasnya.
b. Penggolongan Pola Hias Batik Pola batik digolongkan menjadi dua
bagian, dimana penggolongan tersebut
berdasarkan susunan dan bentuk –bentuk ornamen di dalam batik itu sendiri. Dua golongan tersebut adalah; 1). Pola hias geometrik. Pola hias ini terdiri dari susunan motif yang berupa unsur-unsur bentuk geometris, Seperti : Lingkaran, segi empat, segi tiga, dan lain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
sebagainya. Ciri dari pola hias geometrik adalah polanya mudah dibagi menjadi dalam bentuk raport. Pola hias yang tergolong geometrik antara lain: banji, ganggong, ceplok, kawung, lereng, anyaman.
Gambar 2. Pola Hias Banji (kiri atas) dan Pola Hias Ganggong (kanan atas), Pola Hias Ceplok (Ceplok Sari Remboko) (kiri bawah), dan Pola HIas Kawung (kanan bawah) (Sumber: Nian. S. Djomena dan Sewan Susanto, 1986, 1980)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Gambar 3. Pola hias Anyaman (kiri) dan Pola Hias Lereng (Lereng Camat)(kanan) (Sumber : www. google.com , Nian S. Djomena, 2012, 1986)
2). Pola hias dengan susunan non geometrik,merupakan pola hias yang susunannya tidak teratur menurut bidang geometri. Pola hias ini terbagi menjadi 4 macam, antara lain: a). Semen, merupakan pola hias batik yang tersusun secara bebas terbata ornamen-ornamennya. Bebas terbatas di sini menyatakan bahwa suatu pola hias yang telah tersusun dari beberapa motif tertentu akan kembali diulang untuk mengharmonisasikan pola hiasnya (Susanto, 1980: 231).
Gambar 4. Pola Hias Semen Rama (Sumber: www. google.com , 2012)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
b). Buketan dan terangbulan
Gambar 5. Pola Hias Buketan (Sumber: www.google.com, 2012)
c). Dinamis, pola hias yang tergolong dinamis merupakan pola hias yang terdiri dari motif-motif yang dapat dibedakan unsur-unsurnya, namun di dalamnya tidak lagi berupa ornamen-ornamen tradisional, melainkan berupa ornamenornamen bergaya dinamis yang mendekati abstrak. Pola hias ini sebenarnya pemilihan antara batik dengan pola hias klasik dan batik dengan pola hias modern (Susanto, 1980: 249).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Gambar 6 . Pola Hias Dinamis (Sumber: Sewan Susanto, Foto Fenty Pratiwi, 1980)
d). Pinggiran, Golongan pola hias ini adalah pola hias khusus yang digunakan sebagai hiasan pinggiran kain atau sebagai pembatas antara bidang yang berpola dan bidang kosong yang tak berpola. Pola ini pada dasarnya memang khusus terdapat pada ujung atau tepi dari kain panjng, selendang, ikat kepala, taplak, dan seterusnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Tumbakan
Pengada dan poncot
Pengada dan poncot slendang
Untu Walang
Gambar 7. Pola Hias Pinggiran (Sumber: Fenty Pratiwi, Susanto, 1980)
c. Faktor-faktor yang Memperngaruhi Pembentukan Pola Hias Batik Seni batik termasuk dalam seni lukis dengan media berupa kain. Hasil lukisan tersebut kemudian disebut dengan nama ragam hias. Ragam hias dalam batik umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor; 1) Letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan 2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan 3) Kepercayaan dan adat-istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan 4) Keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna 5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Djoemena, 1986:1). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
(Djoemena, 1986:2) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak geografis kepulauan Indonesia di jalur perdagangan dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur terutama pesisir pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi kapal-kapal asing. Terkenalnya rempah-rempah Indonesia dan hasil bumi lainnya merupakan daya tarik tersendiri untuk dikunjungi. Datangnya orang-orang asing tersebut yang memicu kegiatan tukar-menukar berbagai barang dari luar dengan hasil bumi Indonesia. Masuknya barang-barang dari luar negeri sperti: keramik, sutera Cina, dan kain cinde dari India Selatan (Gujarat), sedikit banyak telah mempengaruhi kesenian dan kebudayaan setempat, terutama daerah pesisir. Kebudayaan dan kesenian dari luar kemudian diserap dan disaring oleh masyarakat bumi Indonesia, kemudian dipadukan dengan kebudayaan yang ada sehingga melahirkan karya-karya baru dengan keunikan, keindahan, dan kepribadian tersendiri. Indonesia yang kaya akan rempah-rempah dan hasil bumi menarik bangsa asing untuk berlomba-lomba mendatangi kepulauan Indonesia, silih berganti bangsa Cina, India, portugis, Arab, Belanda, Inggris datang ke Indonesia. Negara pendatang ada yang menetap dan bahkan menjajah hingga ratusan tahun, seperti bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun. Penduduk dari bangsa pendatang sedikit banyak menyesuaikan diri dengan penduduk setempat, sehingga perpaduan antar kebudayaan tidak dapat dihindarkan. Pendatang asing banyak yang memakai kain batik atau membuat barang-barang khas dari batik untuk kebutuhan mereka. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Faktor berikutnya yang mempengaruhi terbentuknya ragam hias batik adalah sifat tata kehidupan daerah perbatikan dan kepercayaan serta adat-istiadat dari wilayah perbatikan. (Biranul Anas, Ratna Panggaben, dan Hasanudian, 1997: 31) menyatakan bahwa seni kerajinan batik di Indonesia berkaita erat dengan seni tradisi sosial yang berlaku di dalam suatu lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari penyajian coraknya. Oleh karena itulah perkembangan batik senantiasa sejalan dengan nilainilai ketradisian dan dinamika masyarakat pendukungnya. Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari kehidupan keagamaan dan kebudayaan bangsa, sehingga hingga saat ini batik dirasakan sebagai kebanggaan bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung. Kerajinan batik tradisional mempunyai unsur-unsur dalam bentuk prosporsi, warna serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang penuh dengan makna simbolis, magis, dan perlambangan selain halus dan teliti penggarapannya, hal itulah yang membentuk keindahan dalam keanekaragaman pola hias, salah satu contohnya adalah pola hias Sawat atau Lar yang berlatar belakang kebudayaan Hindu-Jawa, meskipun di daerah pesisir ragam hias ini hanya merupakan hiasan semata tanpa memberikan arti simbolis. Masyarakat lingkungan keraton misalnya, bagi mereka membatik ibarat ibadah dan suatu seni tinggi yang patuh terhadap berbagai aturan serta filosofi aristokrasi Jawa, sedangkan masyarakat di luar keraton merupakan medium berungkap yang bebas, tidak terungkap pada fikiran religio-magis atau ketertiban teknis dan jadwal. Oleh karena itu, ragam hias luar keraton cenderung lebih spontan, kasar, dan bebas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
jika dibandingkan dengan karya-karya batik dari keraton (Biranul Anas, Ratna Panggabean, Hassanudin, 1997: 5-6). Faktor ketiga dan keempat yang mempengaruhi pembentukan ragam hias batik adalah keadaan alam sekitar termasuk flora dan fauna. Keadaan alam di sini mencakup kondisi yang ada disekitar wilayah perbatikan seperti kondisi alam yang mendukung mata pencaharian masyarakat, ataupun fauna yang menjadi ciri khas dari setiap wilayah perbatikan. Kekhasan tersebut dapat menjadi inspirasi bagi para pembatik untuk menuangkannya ke dalam desain ragam hias. Bagian yang terakhir adalah faktor adanya kontak atau hubungan daerah sekitar, salah satu contoh adanya kontak tersebut misalnya di daerah pesisir Madura yang masyarakatnya terkenal sebagai pelaut menyinggahi pelabuhan Lasem, Indramayu, dan sebagainya. Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab seringkali dijumpai persamaan dalam ragam hias atau warna pada batik antar daerah (Djomena, 1986:40). Faktor-faktor tersebut menyebabkan setiap wilayah di Indonesia tampil dengan ciri khasnya yang masing-masing, walaupun tidak seluruhnya berbeda (Biranul Anas,Hasanudin, Ratna Panggabean, 1997 : 42).
d. Penyusunan Pola Hias Batik
Penciptaan pola hias batik tidak hanya terpancang pada keindahan visual saja namun, perlu mengedepankan jiwa dari pola yang diciptakan. Jiwa dari pola hias adalah arti-makna dari pola tersebut secara keseluruhan. Jiwa atau simbol yang terkandung dalam suatu pola sesuai dengan motif, sesuai dengan sifat visualnya dan to userluhur (Susanto, 1980: 283). harus menggambarkan keindahancommit serta bersifat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Menyusun atau menciptakan pola dapat dilakukan secara tunggal maupun secara ganda. Istilah tunggal artinya pencipta ide desain motif juga pelaksana, sedangkan untuk istilah ganda pencipta ide juga dibantu oleh pelaksana yang berpengalaman. e. Susunan Rapor Pola Hias Batik Penggambaran dalam penciptaan ragam hias batik perlu suatu panduan dasar dalam mendesain pola hias sehingga dapat meminimalisasi keraguan dan kekeliruan dalam menyusun pola hias batik. Panduan dasar tersebut adalah susunan rapor motif. Definisi rapor bedasarkan kamus besar Bahasa Indonesia adalah laporan resmi . jadi dapat dinyatakan bahwa rapor motif merupakan bentuk laporan yang menginformasikan tentang pembagian susunan motif dalam sebuah pola hias,dimana penyusunan rapor motif dibagi menjadi lima, yaitu:
1. ABCD = Repeat satu langkah ke semua arah,
Gambar 8. Pola Hias dengan Sistem Rapor ABCD atau 1 Langkah ke semua Arah
Repeat satu langkah ke semu arah artinya bahwa pola hias dengan rapor ABCD harus di susun kea rah horizontal dan vertikal dengan sistem perulangan satu arah ( gambar 8). 2. KLMN = Repeat ½ langkah kiri-kanan, 1 langkah ke depan- ke belakang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
Gambar 9 . Pola Hias dengan Sistem Rapor KLMN atau ½ Langkah
Repeat pola hias dengan sistem ½ langkah kiri-kanan, 1 langkah ke depan dan ke belakang, artinya rapor dengan pola KLMN harus disusun ke arah horizontal (ke kiri – ke kanan) dan bergeser satu langkah kea rah vertikal ( ke depan- ke belakang). Sistem ini juga disebut “onda-ende” (gambar 9).
3. OPQR = Repeat satu langkah miring.
Gambar 10. Pola Hias dengan Sistem Rapor OPQR (miring) 1 Langkah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Repeat pola hias dengan sistem rapor OPQR harus disusun kea rah garis miring ke kanan saja atau ke kiri saja dengan sistem geser 1 langkah. Sistem ini disebut juga “lereng” atau sistem “miring” (gambar 10). 4. WXYZ = Repeat satu langkah. Sistem ini disebut sistem “tubruk” miring, artinya rapor WXYZ harus disusun ke arah garis miring ke kanan maupun ke arah kiri bergeser satu langkah (Susanto, 1980 : 217).
Gambar 11. Pola Hias dengan Sistem Rapor WXYZ Perulangan Miring 1 Langkah
Repeat pola hias dengan sistem rapor WXYZ atau sisten tubruk, artinya rapor ini harus disusun kearah garis miring ke kanan maupun ke kiri bergeser satu langkah, (gambar 11). 5.
Pola Hias Bebas, susunan pola hias ini tidak teratur menurut bidang
geometris, meskipun dalam bidang luas akan terjadi berulang kembali susunan pola tersebut. Pola hias batik yang tergolong dalam pola hias bebas adalah polapola semen, buiketan, dan pola hias lainnya yang biasanya tediri dari ornamenornamen flora dan fauna yang tersusun secara bebas (Susanto, 1980:215). Berdasarkan beberapa sumber literatur yang menyatakan tentang pola hias batik dapat dinyatakan pola hias berbeda dengan commit to usermotif dimana pola hias adalah bentuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
motif yang direpetisi (diulang) dengan dengan pembagian raport atau jenis-jenisnya yang beragam sesuai dengan porsi atau pengelompokkannya.
2. Pengelompokkan Batik Berdasarkan Wilayah yang dapat Mempengaruhi Terbentuknya Pola Hias Atas dasar lingkup sejarahnya seni kerajinan batik di Indonesia dibedakan menjadi dua. Pembedaan tersebut berdasarkan atas dasar sifat ragam hias dan corak warna ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatan seni kerajinan ini (Koko Sundari, Yusmawati, 1999/2000:1). Ragam hias umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor letak geografis daerah pembuatan batik yang bersangkutan, sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan, kepercayaan dan adat – istiadat yang ada di daerah bersangkutan, keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna, dan adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Djoemena, 1986:1). Dua pembedaan kerajinan batik berdasarkan sifat ragam hias dan warna, terdiri dari Batik Keraton, Batik Vorstenlanden, dan Batik Pesisir. a.
Batik Keraton, adalah wastra batik dengan pola tradisional, terutama yang
semula tumbuh dan berkembang di keraton-keraton Jawa. Tata susun ragam hias dan pewarnaannya adalah perpaduan mengagumkan antara mantra seni, adat, pandangan hidup, dan kepribadian lingkungannya. Kerya seni para putri dan seniman keraton tercipta melalui proses kreatif yang selalu terkait dengan pandangan hidup dan tradisi yang ada di lingkup kraton (Doellah, 2002: 54). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Awal pekembangannya pembuatan batik keraton secara keseluruhan mulai dari penciptaan, pembentukan ragam hias, hingga pencelupan akhir dilakukan di dalam keraton dan dibuat khusus untuk keluarga raja. Pola-pola dan pembatikannya dikerjakan oleh putri istana, sedangkan pengerjaan lanjutan dilakukan olah abdi dalem. Pengerjaan batik yang terbatas di lingkup keraton mengakibatkan jumlah wastra yang dihasilkan juga terbatas. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan akan batik di lingkup keraton terus meningkat, hal tersebut membuat wastra batik tidak lagi hanya bergantung pada putri dan abdi dalem keraton. Peristiwa inilah yang mengakibatkan munculnya kegiatan membatik di luar tembok istana (Doellah, 2002: 55). Batik dalam lingkungan keraton diakui sebagai salah satu bentuk seni yang tinggi nilainya (adiluhung), disamping menari, mendalang, membuat keris, dan menatah wayang. Sinergi dengan hal tersebut, maka batik keraton adalah produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh bangsawan keraton berikut segenap tata budayanya (Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean, 1997: 50). Batik keraton dalam kehidupan orang jawa tidak hanya sekedar kegiatan produksi saja, namun membatik juga mempunyai kandungan rohaniah melalui oleh batin karena dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka menganggap bahwa kegiatan pembatikan merupakan suatu proses untuk mencapai kemurnian serta kemuliaan dalam mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, praktek membatik dalam paradigma keraton juga tertuang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
melalui praktek religius mistis yang diwujudkan dalam ungkapan warna dan ragam hias yang terhalus. Batik keraton secara keseluruhan mencakup karya batik yang terdapat di wilayah keraton Surakarta, keraton Yogyakarta, para Mangkunegaran, para Pakualaman, Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon, serta keraton Sumenep di Madura. Perjalanan sejarah mencatat bahwa batik yang berkembang di keraton tersebut mempunyai ciri masing-masing. Pola hias batik di keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan penerus Mataram terdiri dari pola geometri dan non-geoetri, memiliki warna khas, serta selalu mengikuti aturan tertentu dalam tata polanya (Doellah, 2002: 56). Pembuatan ragam hias atau motif batik dalam lingkup keraton ditertibkan melalui peraturan yang berkaitan dengan hak penggunaan motif berdasarkan atas strata. Strata atas yang ditujukan pada raja beserta keluarga dekatnya memiliki wewenang untuk mengenakan sekelompok corak larangan yang tidak boleh dikenakan oleh masyarakat umum yang bukan ningrat. Corak larangan diberlakukan pada tahun 1769, 1784, dan 1790 melalui maklumat Sunan Solo. Corak tersebut antara lain: Parang Rusak, Cemukiran, dan Udan Liris. (Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean, 1997:60). Ragam hias kelompok batik keraton dibuat atas dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri. Paham ini juga memandang manusia dalam konteks keselarasan dalam semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang. Tata krama Jawa khususnya di lingkungan Keraton sangat berpengaruh dalam pembuatan batik. Berbagai ketentuan tentang perilaku turut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
mengatur keluarga raja beserta kerabat keraton, baik dalam bertindak, berbicara, maupun berbusana (Azhar, 2008:4). Faktor penting dalam suatu pembentukan motif pada batik Keraton adalah keharmonisan antara corak utama dan corak latar. Oleh sebab itu, tatanan corak dalam batik keraton cenderung bernuansa tertib, namun sarat dengan nilai dan makna spiritual, dan perlambangan alam semesta (Azhar, 2008: 5). b. Batik Vorstenlanden, merupakan seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan pada zaman penjajahan Belanda. Belanda menyebut Vorstenlanden yang menunjuk pada dua arah keraton-sentris atau pusat, yakni Solo dan Jogya ( Koko Sundari,Yusmawati, 1999/2000 : 1). Wilayah ini merupakan daerah kerajaan yang kental dengan segala tradisi dan adat-istiadat keratonnya, disamping itu juga merupakan pusat Kebudayaan HinduJawa. Keraton bukan hanya sekedar kediaman raja-raja, melainkan juga merupakan pusat pemerintahan, agama, dan kebudayaan. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap seni batik di wilayah ini. pengaruh tersebut baik dalam pola maupun warna serta aturan (tatacara) pemakaiannya (Djoemena, 1986:10). Penciptaan pola hias batik pada zaman dahulu tidak hanya menciptakan sesuatu yang indah dipandang mata saja, namun mereka jua member makna atau arti yang serta hubungannya dengan falsafah hidup yang mereka hayati. Mereka menciptakan pola hias dengan pesan dan harapan yang tulus, dengan tujuan membawa kebaikkan serta kebahagiaan bagi si pemakai ( Djoemena, 1986: 10). c.
Batik Pesisir, seni kerajinan batik ini berada di luar wilayah Solo dan
Yogyakarta atau diluar wilayah Vorstenlanden. Ciri khas dari batik pesisir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
terdapat pada ragam hiasnya yang bersifat naturalis, banyak menunjukkan pengaruh kebudayaan asing, dan memiliki corak serta warna yang lebih beragam. Wilayah batik pesisir antara lain: Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Madura, Tuban, dan Banyuwangi. Pertumbuhan batik pesisir terjadi berdasarkan faktor masyarakat sebagai pelaku produksinya. Sebagai mata pencaharian batik pesisir banyak mengalami perkembangan dikalangan pengusaha Cina, Muslim, dan diikuti oleh kelompok keturunan Belanda (Indo) ( Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean, 1997: 82). Perkembangan batik pesisir tidak dapat terlepas dari tangan pengrajin dan pengusaha batik yang terkait dengan pendidikan pesantren. Islam dalam dunia dunia pesantren mengajarkan keselarasan kebutuhan lahir dan batin manusia, dimana kebutuhan lahir menyangkut kebendaan dan kebutuhan batin menyangkut perasaan, jiwa, serta intuisi. Hal itu tertuang dalam seni membatik pada kain yang memiliki dua sisi fungsi, yakni fungsi fisis sebagai penutup tubuh dan fungsi psikis yang mengungkap nilai artistik pemberi kepuasan batin (Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean 1997: 83). Pendidikan pesatren yang berpedoman pada ajaran Islam memberikan suntikan yang positif
terhadap para santrinya dalam mengajarkan nilai-nilai
pendukung dalam mengembangkan wira-usaha. Dengan adanya hal tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan batik pesisir cukup kuat dipengaruhi oleh Islam (Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean,1997:83). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Etos dagang santri dalam Islam yang meliputi irada, amanah, ikhtiar, ilmu, amal, dan tawakal kesemuanya saling berkaitan, dalam membentuk ragam hias pesisir. Islam membagi ragam hias yang tidak menimbulkan syirik seperti, Kaligrafi Arab yang dapat berupa ayat Al-Qur’an , kalimat dzikir, tasbih, tahmid, takbir, asmaul husna, atau kalimat thayibah lainnya ( Hasannudin, 2001:249). Unsur Islam juga mempengaruhi ragam hias pesisir dalam bentuk geometris, flora dan fauna, pola diagonal, alam benda, mitologi, tambal, sekar jagad, dan pola hias pinggiran (Hasanudin, 2001:249). Unsur lain yang mempengaruhi ragam hias dalam baik pesisir adalah budaya Cina, dimana kegiatan perdagangan mereka di kawasan Nusantara memuncak sejak abad ke XIII. Cina membangun pemukiman tetap di berbagai lokasi strategis pada pesisir utara pulau Jawa. Lokasi tersebut antara lain: Tuban, Batam, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, dan Surabaya. Abad ke XIV jumlah penduduk Cina yang terus meningkat di Jawa terpatri dalam satu adat kebiasaan serta kebudayaan rohani yang dibawa tanah leluhurnya. Hal itulah berdampak pada berbagai corak batik pesisiran tertama pesisir utara Jawa. Corak atau ragam hias tersebut seperti: swastika (banji), burung hong, dan bunga lotus/teratai. (Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean 1997:137) Sifat lain wilayah batik dalam golongan pesisir disebutkan oleh Azhar Prasetyo dalam bukunya “Batik Banyuwangi” (2008:5) adalah bahwa masyarakat pembuat batik pesisiran berasal dari kalangan yang tidak berinduk kepada alam pikiran kraton. Sifat, iklim dan kondisi masyarakatnya berbeda dengan penghuni keraton. Aktifitas membatikcommit bagi to mereka user bukan yang utama, karena pada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
dasarnya mata pencaharian penduduk pesisir adalah bertani, berternak, dan menangkap ikan. Bagi mereka membatik digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan ekspresi yang bebas dan tidak terikat pada aturan-aturan khusus. Hal lain yang membedakan batik pesisir dengan keraton atau Vorstenlanden adalah fungsi batiknya. Bagi mereka batik lebih berfungsi sebagai barang dagangan. Atas dasar kajian dari beberapa literatur yang menyangkut pembagian wilayah pembatikan diIndonesia penulis mempunyai simpulan pendapat bahwa batik yang terklasifikasikan menjadi batik keraton dan batik pesisir sangat dipengaruhi oleh keadaan wilayah dan masyarakat daerah pembatikan itu sendiri. Batik keraton misalnya, mereka cenderung lebih terikat dengan pakem-pakem yang telah ditentukan oleh keraton, dimana hal tersebut berpengaruh pada rangkaian makna filosofis yang berhubungan dalam motif yang tersusun menjadi pola serta warna batiknya. Sedangkan untuk batik pesisir, batik ini lebih dipengaruhi oleh pola hidup masyarakatnya yang lebih beragam. Keberagaman tersebut terpengaruh oleh kondisi pesisir yang menjadi akses perkembangan kegiatan dagang, sehingga hal tersebut dapat menjadi pemicu tumbuh kembang pola pikir masyarakat pesisir yang lebih condong pada bagaimana mereka membatik tidak hanya untuk kesenangan sendiri, namun, bagaimana membatik dapat menjadi salah satu bentuk kegiatan dagang yang menunjang kehidupan mereka. Latar belakang sosial, ekonomi, kondisi alam yang menyangkut flora dan fauna
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
pesisir, serta kebudayaan masyarakatnya
juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap pembentukan ragam hias pesisir. 3. Perjalanan Batik ke Jawa Timur Batik di wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua jenis yang tertuang dalam batik pesisir yang sebenarnya, dan pada jenis yang kedua terlihat gaya serta pengaruh kain batik Solo-Yogya (Djoemena, 1990: 3). Perjalanan batik ke wilayah Jawa Timur tidak luput dari proses kegiatan perdagangan yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Pada abad ke XIII Cina masuk wilayah Jawa Timur melalui kota Tuban. Mereka telah mengenal Tuban sebagai kota dagang sejak abad ke-XI dan pada abad ke- XV kota ini telah menjadi pusat perniagaan terbesar di Jawa dengan banyak penduduk yang berasal dari Cina Selatan ( Biranul Anas, Hasanudin, Ratna Panggabean, 1997: 136). Sejarah batik di Jawa Timur sangat erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan sesudahnya. Batik dikenal di Majapahit sejak abad ke XVII. Perkembangan batik di wilayah Jawa Timur pada saat itu dimulai dari kegiatan membatik di lingkungan kerajaan. Hasil kain yang telah dibatik akan digunakan sebagai pakaian raja beserta keluarga dan pengikutnya. Para pengikut raja yang kebanyakan tinggal di luar wilayah keraton membuat mereka harus mengerjakan kegiatan membatiknya di kediaman masing-masing. Adanya keterbukaan tentang kebebasan dalam melakukan pembatikan membuat seni batik banyak ditiru dan dikembangkan oleh masyarakat setempat serta meluas menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu luang (Artikel Portal Nasional, 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Kaitan pertumbuhan batik di Jawa Timur dengan Kerajaan Majapahit dapat ditelusuri di wilayah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang mempunyai hubungan erat dengan Majapahit, bahkan nama Mojokerto saling terkait dengan Majapahit. Sedangkan Tulung Agung memiliki riwayat perbatikan dengan Majapahit ditelusuri dari peninggalan kerajaan tersebut. Wilayah Tulung Agung yang awalnya berupa rawa dengan nama daerah Bonorowo dikuasai oleh Adipati Kalang. Adipati tersebut gigih dengan prinsipnya untuk tidak tunduk terhadap kekuasaan Majapahit. Namun, pada pertempuran melawan Majapahit di daerah Kalangbret Kalang Tewas. Maka dengan didudukinya Bonorowo oleh Majapahit banyak tentara dan keluarga kerajaan yang menetap di daerah tersebut. Penduduk Majapahit yang menetap di Bonorowo tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan adat dan budaya mereka, termasuk seni membatik (Anindito, 2010:15). Perkembangan selanjutnya menyatakan bahwa batik mulai dikenal di Jawa Timur khususnya wilayah Ponorogo, karena adanya peristiwa pembantaian etnis Cina oleh Belanda di Batavia. Hal tersebut mengakibatkan kekacauan dibeberapa kota besar pada zamannya, termasuk Kartasura. Pada tahun 1743 demi mengamankan keluarga kerajaan Pakubuwono beserta pengikutnya untuk sementara mengungsi di wilayah Ponorogo (Djoemena, 1990:12). Perjalanan batik ke wilayah Jawa Timur tidak luput dari peran Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokro Kusumo (1613 – 1645). Pada awalnya Sultan menyusun strategi untuk menyerang dan menghancurkan kekuatan VOC di Batavia, namun karena kegagalan serangan tersebut Mataram commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
mengalihkan perhatiannya ke wilayah timur, seperti Pasuruan tahun 1617, Tuban tahun 1620, Madura 1624, Surabaya tahun 1625, dan Banyuwangi (1636 – 1639). Penetralan kekuasaan merupakan tujuan utama penyerangan besar-besaran terhadap pelabuhan di wilayah pesisir timur (Azhar, 2008:40). Mataram yang mengambil alih kekuasaan pemerintah timur secara signifikan tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan pola hidup mereka di wilayah jajahan termasuk dalam seni, adat-istiadat, dan budaya. Salah satu unsur seni serta budaya yang dikembangkan adalah batik. Hal itu terbukti dari ciri khas masingmasing ragam hias batik di wilayah Jawa Timur yang dipengaruhi oleh unsur Mataram didalamnya. Menurut beberapa kajian literatur tentang perjalanan batik ke wilayah Jawa Timur penulis berpendapat bahwa perjalanan batik ini dipengaruhi oleh daya tarik dagang, pengaruh sosial, budaya, dan ekonomi,pengaruh kerajaan besar pada masanya, dan pengaruh kondisi wilayah akibat adanya jajahan yang menyebabkan masyarakat sedikit demi sedikit terakulturasi oleh budaya termasuk adat –istiadat bangsa atau kerajaan yang menjajah wilayah mereka. 4. Teori Estetika Estetika adalah filsafat keindahan baik yang terdapat di alam maupun aneka seni buatan manusia yang muncul di lingkungan kebudayaan barat, di mulai sejak zaman Yunani Kuno, yakni: Plato, Aristolteles, dan Sokrates. Pada mulanya estetika merupakan bagian dari pemikiran filosofis tentang filsuf, karena filsafat berupaya memberikan jawaban yang mendasar tentang segala hal secara logis, maka persoalan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
seni dan keindahan juga menjadi persoalan yang harus di jawab. Setelah memasuki abad ke-17 dan ke-18 lah persoalan keindahan mulai ditujukan hanya untuk karya seni, meskipun permasalahan ini tetap menjadi bagian dari pandangan seorang filsuf. Menginjak abad ke-19 estetika mulai memasuki babak baru dengan masuknya disiplin ilmu ke- dalamnya. Estetika tidak lagi murni pemikiran yang bersifat spekulatif , tetapi mulai dijawab berdasarkan data empirik. Dengan demikian lahirnya “estetika ilmiah” yang merupakan bagian dari kajian filsafat seni, tetapi dengan mempergunakan berbagai disiplin ilmu untuk mencari jawabannya (Sumargo, 2000: 33-34). “Sejarah estetika adalah sejarah pemikiran filsafati tentang keindahan dan seni. Penekanan ilmu ini adalah perkembangan pemikiran spekulatif-logik terhadap gejala seni dan keindahan. Sebagian besar pemikirannya bersifat logis- murni dan spekulatif. Pembahasannya selalu menunjukkan apa yang semestinya terdapat dalam sebuah karya seni, atau apa sebenarnya hakikat seni itu. Apa pula akibat keindahan itu. Ilmu ini berbeda dengan sejarah seni. Dalam sejarah seni dibahas nilai-nilai seni aktual yang memang ada, yakni pada karya seninya. Sejarah seni adalah sejarah faktual estetik. Meskipun dalam karya sejarah seni memang terdapat pula pemikiran estetika, pemikiran itu tertuang dalam karya seni itu sendiri. Di lain pihak, filsafat seni merupakan pemikiran seni yang bersifat verbal-tertulis (Sutrisno dkk, 2005: 271).” Benedetto Croce dalam (Sutrisno, dkk. 2005 :118-119) mengembangkan sistematika filsafatnya dengan mengacu pada filsafat idealisme terutama pada Hegel dan Immanuel Kant. Dasar teori Crocetomengacu pada pentingnya peranan intuisi, commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
hanya melalui intuisi-lah karya seni itu tercipta dan mendapatkan sebuah penilaian. Croce menegaskan bahwa apa yang disebut penilaian estetis itu sebenarnya adalah upaya untuk menghasilkan kembali karya seni yang ada di dalam diri kita , selain itu dia berasumsi bahwa penilaian estetis tidak hanya dapat diputuskan dengan mengacu pada satu hal saja.hal tersebut terjadi karena kita tidaklah dapat sepenuhnya menyadari apa yang terjadi dalam jiwa (soul) baik ketika kita sedang membuat ataupun menilai karya seni. Manusia sering kali terburu-buru dan terkurung dalam penilaian estetis terhadap sebuah karya seni, yang pada akhirnya justru memosisikan diri untuk menyatakan yang tidak indah menjadi indah dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itulah, Croce menegaskan bahwa hal yang terpenting dalam penilaian seni adalah peranan refleksi atau konteplasi yang ada pada diri kita. “Ilmu estetika berkembang lebih maju setelah perkembangan pesat di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Berdasarkan definisinya istilah estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan (Djelantik, 1999:7).” (Djelantik, 1999: 5) mengemukakan bahwa secara epistemology istilah estetika adalah “ Aesthetika”. Istilah tersebut diciptakan oleh seorang filsuf Alexander Baungarten yang awalnya tidak mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan dan budayawan, namun setelah kata aesthetika
diambil oleh filsuf Jerman yakni
Immanuel Kant (1724 – 1804) istilah tersebut baru diterima oleh kalangan luas dan menyebar ke seluruh pelosok dunia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
Aesthetika yang berarti segala sesuatu yang dapat dicerna oleh panca indra dimana (Djelantik , 1999: 3) mengemukakan bahwa rasa nikmat indah yang terjadi pada kita timbul karena adanya peran panca indera yang memiliki kemampuan untuk menangkap rangsangan dari luar dan meneruskannya ke dalam. Dalam literatur tersebut dijelaskan bahwa rangsangan yang diolah menjadi kesan yang kemudian dilanjutkan lebih jauh ke tempat tertentu dimana perasaan kita bisa menikmatinya. Penangkapan kesan dari luar yang menimbulkan nikmat indah terjadi melalui dua dari panca indra kita, yakni melalui mata dan telinga. Mata menerima keindahan secara visual dan telinga melalui kesan akustis dan auditif (suara). Kesan visual dapat diperoleh dengan melihat keindahan bunga, warna-warni, dan pemandangan, sedangkan untuk kesan auditif dan akustis dapat diperolah dari bunyi alam, seperti ombak, bunyi angin yang menyentuh daun-daun, bunyi air yang mengalir di parit atau air mancur, keindahan yang timbul dari perbuatan manusia yang terbagi atas suara manusia dan suara dari benda atau alat musik. Suara manusia sendiri berupa perkataan dan nyanyian atau dapat disebut juga dengan vokal, sedangkan suara dari benda atau alat musik yang dimainkan atau disebut instrumental. Kesemua hal tersebut dapat dinikmati sebagai salah satu bentuk keindahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
C. Teori dan Kerangka Pikir 1. Teori Teori yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang membahas tentang Pola Hias Batik Banyuwangi adalah pendekatan berdasarkan dari teori estetika A.A.M. Djelantik. Djelantik memandang estetika berdasarkan paradigma estetika klasik yang memandang estetika menjadi dua kelompok besar,yakni: a. Keindahan alami seperti gunung, laut, pepohonan, binatang, bunga, dan pemandangan alam lainnya b. Keindahan yang dibuat oleh manusia, berupa barang-barang untuk keperluan sehari-hari, khususnya kerajinan tangan. Bentuk keindahan yang dibuat oleh manusia akan memunculkan suatu bentuk pencapaian pengalaman estetis. Pengalaman tersebut dapat serupa rasa puas, rasa senang, rasa aman, nyaman, dan bahagia. Bentuk pengkajian penulis yang membahas tentang pola hias batik Banyuwangi jika dikaitkan dengan unsur estetika Djelantik adalah salah satu bentuk apresiasi keindahan karya seni yang dibuat oleh manusia yang termasuk dalam tujuh proses apresiasi karya estetis, yang terdiri dari: sensasi berupa rangsangan yang ditangkap oleh mata dan telinga menghasilkan rasa enak dan tidak enak: persepsi berupa kesan terjadinya proses asosiasi, komparasi, diferensial, analogi dan sintesa: impresi berupa kesan yang berkembang menjadi keyakinan yang tertanam di kesadaran manusi: emosi berupa ketergugahan perasaan akibat menyerap objek estetik: interpretasi berupa penafsiran-penafsiran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
yang dilakukan melalui olah pikir tatkala menyadari adanya objek estetik: apresiasi berupa perenungan terhadap segala sesuatu yang telah diapresiasi: penilaian (evaluasi) berupa hasil apresiasi yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis (Sachari, 2002:59). Wujud, bobot, dan penampilan yang menjadi tiga konsep pemikiran pokok dalam teori estetika Djelantik juga merupakan landasan pikir dalam mengkaji pola hias Batik Banyuwangi. 1). Wujud Wujud disini berkaitan dengan tampak visual atau objek yang dapat ditangkap oleh indra baik penglihatan mupun pendengaran. Pengertian wujud mengacu pada kenyataan yang nampak secara konkret (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak Nampak secara konkret, yang abstrak, yang hanya bisa dibayangkan, seperti sesuatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku (Djelantik, 1999: 17). Wujud yang ditampilkan dan dapat dinikmati mengandung dua unsur yang mendasar, yakni a). Bentuk (form ) . Bentuk terdiri dari titik, garis, dan bidang. (1). Titik Titik yang digerakkan bisa memberi kesan garis yang beraneka rupa dan berliku-liku. Gerak-gerak ini dapat dilengkapi dengan sinar atau warna (Djelantik, 1999:19). Bila kita menyentuhkan alat gambar atau alat tulis pada tafril atau bidang gambar, akan menghasilkan bekas. Bekas tersebut dinamakan titik, tidak peduli alat yang digunakan, apakah commitruncing to user seperti ujung pensil atau ujung benda
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
seperti sapu ijuk yang dicelup cat sebagai alat penyentuhnya. Titik-titik dalam penciptaan karya seni ditujukan untuk menciptakan efek dari percampuran titiktitik tersebut yang akan menghasilkan warna tertentu. Dalam seni melukis dan menggambar teknik titik-titik disebut Pointilisme (Sanyoto, 2005:69). (2). Garis Garis sebagai bentuk mengandung arti lebih daripada titik karena dengan bentuknya sendiri garis menimbulkan kesan tertentu pada pangamat. Garis yang kencang memberikan perasaan yang berbeda dari yang membelok atau melengkung. Yang satu memberikan kesan yang kaku, keras, dan yang lain memberikan kesan yang luwes dan lemah lembut. Kesan yang diciptakan juga tergantung dari ukuran, tebal-tipisnya, dan dari letaknya terhadap garis-garis yang lain, sedang warnanya selaku penunjang, menambahkan kualitas tersendiri (Djelantik, 1999:19). (Sanyoto, 2005:71) mengemukakan bahwa garis dapat lancar, terputus-putus, dan beruas-ruas. Garis lurus bagi kebanyakan orang mendorong rasa kaku, ketegasan, kebenaran, dan ketelitian, selain itu garis lurus adalah positif, langsung, kuat, keras, tegar, teguh hati, dan tidak kebal kompromi. Berbeda dengan garis lengkung ramping-ringan (slightly curved) yang bersifat fleksibel, harmonis, kalem, feminin, terang, sopan, budiman, tetapi terasa malas, kabur, dan tak bertujuan.
Definisi garis dikategorikan ke dalam dua pemahaman.
Pemahaman pertama garis adalah hasil goresan, disebut garis nyata atau kaligrafi, sedangkan pemahaman yang kedua garis merupakan batas limit suatu benda, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
batas ruang, batas warna, bentuk massa, rangkaian massa, dan lain-lain disebut dengan garis semu atau maya. Unsur garis mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dan bahasa garis sangat penting dalam penciptaan karya seni atau desain untuk menciptakan karakter yang diinginkan. Berikut ini adalah beberapa karakter dari garis. (a). Garis Horizontal Garis horizontal disebut juga dengan garis mendatar yang mengasosiasikan cakrawala laut laut mendatar, pohon tumbang, manusia yang tidur atau mati, dan lain-lain. Garis ini member karakter tenang (calm), damai, pasif, dan kaku yang melambangkan kedamaian, ketenangan, dan kemantaban. (b). Garis Vertikal Garis vertikal atau tegak lurus mengasosiasikan benda-benda yang berdiri seperti: batang pohon, manusia berdiri, tugu, dan lain sebagianya. Karakter keseimbangan ( stability), megah, kuat, tetapi statis dan kaku. (c). Garis Diagonal Garis diagonal atau garis miring baik ke arah kanan maupun ke arah kiri diasosiasikan dengan manusia yang berlari, kuda meloncat, pohon miring, dan lain sebagainya. Objek dengan garis diagonal mengesankan keadaan yang tidak seimbang dan menimbulkan gerakan akan terjatuh. Unsur garis diagonal memberikan karakter gerakan (movement), gerak lari atau meluncur, dinamik, tidak seimbang, gerak gesit, lincah, kenes, dan menggetarkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
(d). Garis Zig-Zag Garis zig-zag merupakan garis lurus patah-patah dengan sudut yang dibuat meruncing dengan gerakan naik turun secara cepat dan spontan, secara visual adalah gabungan dari garis-garis vertikal dan diagonal yang memberi kesan semangat. Garis zig-zag sering diasosiasikan sebagai petir atau kilat, letusan, retak-retak tembok, dan semacamnya sehingga mengesankan bahaya, serta memiliki karakter excited, semangat, bahaya, dan mengerikan (e). Garis Lengkung Garis ini meliputi lengkung mengapung, lengkung kubah, dan lengkung busur yang diasosiasikan sebagai gumpalan asap, buih sabun, sabun, dan semacamnya, mengesankan gaya mengapung (buoyancy), ringan, dan dinamik serta melmbankan kemegahan, kekuatan, dan kedinamikan. (f). Garis Lengkung S Garis lengkung S atau garis lemah lembut (grace) merupakan garis lengkung majemuk atau lengkung ganda. Garis ini dibuat dengan gerakan melengkung ke atas bersambung melengkung ke bawah atau melengkung ke kanan bersambung ke kiri, yang merupakan gerakan indah sehingga garis ini disebut dengan “line of beauty”. Garis lengkung S memberikan asosiasi
gerakan ombak, padi atau
rumput yang tertiup angin, pohon yang tertiup angin, gerakan lincah dari seorang anak manusia atau hewan. Karakter garis lengkung S menggambarkan keindahan, kedinamisan, dan keluwesan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
3). Bidang Bidang merupakan sebuah komponen garis yang diteruskan melalui belokan atau paling sedikit dua buah siku sampai kembali lagi pada titik tolaknya. Ukuran bidang terdiri dari panjang dan lebar, yang disebut dua dimensi (Djelantik, 1999: 20). Bidang yang berukuran dua dimensi tidak selalu mendatar, namun dapat juga melengkung atau tidak merata dan bergelombang. Wujud bidang masing-masing dapat memberi kesan estetik yang berbeda-beda., misalnya kolam renang persegi dengan pinggiran yang kencang memberi kesan berlainan dari kolam yang melengkung. Kolam renang persegi memberi kesan yang kaku dan statis seperti dibuat-buat, sedangkan untuk kolam yang melengkung member kesan alami, luwes, dan dinamis. (Sanyoto, 2005: 83) bidang adalah suatu bentuk raut pipih atau gepeng, datar sejajar, memiliki dimensi panjang dan lebar serta menutup permukaan. bentukbentuk pipih atau gepeng seperti triplek, kertas, karton, dan seng, papan tulis, dan semacamnya. Bidang dapat diartikan sebagai bentuk yang menempati ruang dan bentuk bidang sebagai ruangannya sendiri yang disebut ruangan dwimatra. Bidang mempunyai ciri khas bentuk yang dibedakan berdasarkan rautnya. Raut bidang dibagi menjadi dua, yakni : bidang geometri dan bidang non geometri. Bidang geometri merupakan bidang teratur dibuat secara matematis yang meliputi: bidang segi tiga, persegi, segi empat, segi enam, segi depalan, lingkaran, dan lain sebagainya, sedangkan bidang non geometri adalah bidang yang dibuat secara bebas biasanya dapat berbentuk bidang organik, bidang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
besudut bebas, bidang gabungan, dan bidang maya. Bidang organik terdiri dari bidang-bidang yang dibatasi garis lengkung-lengkung bebas, bidang bersudut bebas terdiri dari bidang-bidang yang dibatasi dengan garis patah-patah bebas , bidang gabungan terdiri dari bidang lengkung dan bersudut, sedangkan bidang yang bersifat maya merupakan bidang yang seolah-olah meliuk, miring, bersudut, membentuk spiral. Visualisasi bentuk-bentuk raut bidang. a). Raut Bidang Geometri
b). Raut Bidang Non Geometri Raut bidang non geometri terbagi menjadi 4, yakni : raut bidang organik, raut bidang bersudut bebas, raut bidang gabungan, dan raut bidang maya. (1). Bidang Organik
(2). Bidang Bersudut Bebas
(3). Bidang Gabungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
(4). Bidang Maya
a. Struktur, atau tatanan (structure) Struktur atau susunan mengacu pada bagaimana cara unsur-unsur dasar masing-masing karya seni dapat terwujud, contohnya seperti batu kali, batu bata, batu karang, dan batako yang disusun menjasi tembok. Teknik penyusunan material tersebut memiliki cara yang berbeda-beda. Penyusunan meliputi pengaturan yang khas, sehingga terjalin suatu formasi yang berarti diantara bagian dari keselutuhan perwujudan itu. (Djelantik, 1999: 37) kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya seni itu terdapat pengorganisasin, penataan; ada hubungan tertentu antara bagianbagian yang tersusun itu. Akan tetapi dengan adanya suatu penyusunan atau hiubungan yang teratur antara bagian-bagian, berjumlah terjamin bahwa apa yang terwujud sebagai keseluruhan itu merupakan sesuatu yang indah, yang seni. Tiga komponen estetika mendasar yang terdapat dalam struktur setiap karya seni adalah: 1) keutuhan atau kebersatuan (unity), 2) penonjolan atau penekanan (dominance), dan 3) keseimbangan (balance). 1). Keutuhan atau kebersatuan (unity) Keutuhan dari suatu karya seni , dimaksudkan bahwa secara keseluruhan sifatnya utuh, tidak terdapat cacat yang berarti tidak ada yang kurang dan berlebihan, terdapat hubungan yang bermakna (relevan) antar bagian tanpa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
ada bagian yang sama sekali tidak berguna, atau tidak ada hubungannya dengan bagian bidang yang lain. Hubungan yang relevan antar bagian karya seni bukan berarti gabungan yang semata-mata ada begitu saja, namun bagian yang satu memerlukan kehadiran bidang yang lain serta saling mengisi. Keutuhan terbagi menjadi tiga segi, dimana semuanya mempunyai sisi pemahaman masing-masing : a). Keutuhan dalam keanekaragaman (unity in diversi) Keutuhan dalam keanekaragaman mengacu pada komponen dari suatu komposisi dalam karya seni. Apabila komposisi dari suatu karya sama wujudnya, maka keutuhannya Nampak secara jelas, namun jika komposisi bagian yang satu dengan yang lain berbeda maka keutuhan dari keseluruhannya dapat di capai dengan menjamin agar terdapat hubungan yang kuat antara masing-masing bagian, baik mengenai kedudukannya atau fungsinya masing-masing Tiga macam kondisi atau keadaan
yang berpotensi
atau bersifat
memperkuat keutuhan adalah: (1). Simetri (symmetry) Simetri atau kesetakupan merupakan ciri atau kondisi dari suatu kesatuan, dimana kesatuan bila dibagi-bagi dengan suatu tengah garis vertikal (tegak lurus), menjdi dua bagian yang sam besar, bentuk dan wujudnya. Belahan satu merupakan pencerminan dari belahan yang lain. Unsur-unsur simetri yang banyak kita jumpai di alam adalah : daun-daun. kupu-kupu, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
tumbuh-tumbuhan, bunga, tubuh binatang, tubuh manusia, dan semua hal yang menunjukkan keadaan simetri ( Djelantik, 1999:39). (2). Ritme (Irama) Ritme atau irama adalah kondisi yang menunjukkan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Keterturan dapat berupa jarak yang sama, seperti dalam seni rupa, atau dalam janga waktu yang sama, s. seperti: seni karawitan. Alam juga memberikan contoh nyata yang bersifat ritmis, seperti: terbitnya matahari setiap 24 jam, munculnya bulan purnama, pasang surut air laut dan sebagainya. Ritme memiliki sifat memperkuat kesatuan dan keutuhan. Ritme yang konstan atau sama secara terus-menerus akan memberikan kesan jenuh dan dapat mengurangi mutu estetikanya. Daya tarik dalam ritme sebuah karya seni dapat dicapai dengan menambah variasi dengan melakukan perubahan dan penggantian ritme yang dilakukan secara teratur, serta tidak berlebihan (Djelantik, 1999:40). (3). Harmoni atau Keselarasan Harmoni atau keselarasan di sini dimaksudkan bahwa komponen yang disusun menjadi satu kesatuan tidak ada yang saling bertentangan, semua cocok dan terpadu, baik dlam segi bentuk, jarak, ukuran, dan warnawarninya. Harmoni memperkuat keutuhan karena memberi rasa tenang, nyaman, dan tidak mengganggu penangkapan oleh indra. Sejenis dengan ritme dan simetri harmoni juga mempunyai sifat yang memperkuat keutuhan karya seni (Djelantiki, 199: 41). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
b). Keutuhan dalam Tujuan (unity of purpose) Keutuhan dalam tujuan suatu karya seni mengacu pada kawasan bobot, isi, dan makna karya itu. Hal tersebut dibutuhkan agar perhatian dari mereka yang menyaksikan benar-benar dipusatkan pada maksud yang sama dengan karya itu dan tidk terpencar kebeberapa arah yang tidak karuan. Terkait
keutuhan dalam tujuan, di dalam suatu karya seni muncul
permasalahan lain mengenai “tujuan “ yang muncul pada apa yang disebut “kesenian tanpa bobot”. Kesenian ini sering menampilkan keindahan semata, keindahan garis, dan warna belaka untuk dinikmati hanya dalam bentuk susunannya (Djelantik, 1999:43). c). Keutuhan dalam perpaduan Keutuhan dalam perpaduan adalah prinsip dalam estetika jika ditinjau dari segi filsafati yang pada dasarnya memandang segala sesuatu secara utuh di dalam keseimbangan antara unsur-unsur yang berlawanan. Dalm estetik perlawanan antara unsur-unsur tersebut disebut kontras. Kontras dalam suatu karya seni baik: seni lukis, seni patung, seni drama, seni sastra, seni musik, karawitan, seni tari, dan sebagainya akan memberi penjelasan dan membuat karya seni lebih menarik, karena kontras seolaholah memberikan kejutan, menambah nilai estetis, membuat karya seni lebih kompleks, rumit, berarti menambah complexity dari karya tersebut. Namun, penerapan kontras dalam suatu karya seni harus di jaga agar tidak berlebihan. Hal terebut karena penciptaaan unsur yang berlebihan dalam karya seni akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
membuat kemajemukkan dan mengurangi daya tarik dan mutu estetiknya (Djelantik, 1999:44). -
Penonjolan atau Penekanan
Penonjolan mempunyai maksud mengarahkan perhatian orang yang menikmati karya seni. Penonjolan karya seni dapat di capai dengan menggunakan a-simetri, a- ritmis, dan melalui perubahan warna atau bentuk yang mencolok (kontras). Penggunaan unsur-unsur penonjolan dalam karya seni harus dapat memadukan estetika yang berlawanan atau memainkan adukuatnya. Adu kuat di sini adalah yang terarah, disiplin, dan menghasilkan daya tarik atau kekuatana karya seni yang membuat orang terpaku. Kekuatan ini disebut dengan intensitas. Selain identitas, penonjolan dapat dicapai dengan membuat ciri khas pada karya seni itu atau disebut dengan “karakter” (Djelantik, 1999:45). -
Keseimbangan (balance)
Keseimbangan dalam karya seni paling mudah di capai dengan simetri. Unsur – unsur simetri dalam krya seni dapat menciptakan ketenangan bagi penikmatnya,
hal
itu
karena
adanya
keseimbangan
di
dalamnya.
Keseimbangan simetri yang menciptakan ketenangan disebut symeythic balance. Keseimbangan lain dapat juga dicapai tanpa simetri, keseimbangan tersebut disebut a-symmethic balance. Pengalaman rasa seimbang yang biasanya memberikan ketenangan, keseimbangan yang simetris memberik kesan berdiam, yang statis, yang tidak kan berubah, sedangkan untuk keseimbangan asimetris memberikan kesan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
mau bergerak, yang dinamis, kesan bahwa sesaat akan ada perubahan. Berkat kedinamisan dari keseimbangan yang bersifat asimetris mempunyai daya tarik yang lebih besar dibandingkan dengan keseimbangan simetri. Hal tersebut karena dalam keseimbangan asimetris dirasakan lebih ”hidup” dibandingkan dengan keseimbangan simetri yang sifatnya statis (Djelantik, 1999: 46 - 48). 2). Bobot Bobot dari karya seni dapat dimaksudkan sebagai bentuk dari isi atau makna yang disajikan oleh sang pengamat, dalam hal ini bobot karya seni dapat ditangkap secara langsung dengan panca indra, misalnya kita melihat lukisan yang menggambarkan orang-orang yang berbelanja di pasar dibandingkan dengan kita melihat lukisan abstrak. Perbandingan yang terjadi pada saat kita menungkan pendapat setelah melihat kedua lukisan tersebut. Lukisan orang-orang dipasar jelas dapat ditangkap secara visual bobotnya, namun lukisan abstrak kita tidak dapat langsung mengetahui bobotnya tanpa mendapat penjelasan, paling sedikit dengan membaca judul lukisannya.Bobot atau isi berupa suasana, gagasan, dan ibarat atau pesan (Djelantik, 1998:51). Suasana meliputi hal yang dapat ditonjolkan dari karya seni tersebut, sedangkan gagasan atau ide adalah hasil pemikiran atau konsep, pendapat, atau pandangan tentang sesuatu. Dalam bobot
pasti terdapat apa yang dinamakan
persepsi atau
penerimaan bobot karya seni. Setiap karya seni memiliki makna dan kekuatan yang berbeda - beda. Bobot karya seni menentukan bagaimana sebuah karya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
seni berkesan dalam diri masyarakat, memang hal tersebut banyak tergantung dari wujud, tetapi bobot juga tidak kalah pentingnya dalam suatu karya seni. Kesan penerimaan masyarakat yang berbeda-beda tentunya ada yang buruk dan ada yang baik. Demi mewujudkan komunikasi atau maksud yang positif dalam suatu karya seni dapat memanfaatkan suatu proses atau cara yang sifatnya merobah sikap menolak menjadi menerima. Proses tersebut dinamakan sublimasi. Kata sublime berarti luhur, sehingga sublimasi dapat diartikan “pengluhuran” (membuat luhur sesuatu) menyangkut beberapa macam cara pengolahan materi kesenian tersebut, yang bertujuan untuk menghindari penolakan karya seni oleh masyarakat dan pihak tertantu 1. Selain sublimasi dalam karya seni juga mengandung unsur komunikasi, dimana terdapat penyampaian yang efektif dari maksud dan makna yang ada dalam karya seni, sehingga karya tersebut menjadi lebih mantap. Komunikasi ada yang bersifat instrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti komunikasi yang berperan di dalam karya seni itu sendiri dan ekstrinsik adalah komunikasi yang tidak berasal dari dalam karya seni, namun hanya merupakan unsur penunjang 2. Sinergi dengan hal di atas maka asumsi pendapat tersebut juga terkait dalam menciptakan pola hias batik Banyuwangi, dalam penciptaannya pasti terdapat suasana, gagasan, dan ibarat atau pesan, sehingga pola hias tersebut tidak semata-mata hanya diciptakan secara kebetulan tetapi terdapat hal yang menyangkut menjadi latar belakangnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
3). Penampilan Setelah aspek wujud dan bobot ada unsur penampilan. A.A.M. Djelantik mengemukakan bahwa penampilan merupakan salah satu bagian mendasar yang dimiliki semua benda seni atau peristiwa kesenian, adanya penampilan dimaksudkan sebagai cara penyajian, bagaimana kesenian itu disuguhkan kepada yang menyaksikannya, seperti : penonton, para pengamat, pembaca, pengajar, khalayak ramai pada umumnya. Penampilan menyangkut wujud dari sesuatu, entah wujud itu bersifat konkrit dan abstrak, yang bisa tampil adalah yang bisa terwujud.
1
1
Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia (MSPI) bekerja sama dengan ARTI, hlaman 53. 2
ibid, halaman 56.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
2. Kerangka Pikir
Ekspansi Kerajaan Mataram
Budaya Masyarakat dan Letak Geografis
Batik sebagai Mata Dagang
Batik Banyuwangi
Pola Hias Batik Banyuwangi
Wujud
Bobot
Penampilan
\
Ciri Khas
Gambar 12 . Skema Kerangka Pikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Uraian dari kerangka pikir menyangkut penelitian tentang batik Banyuwangi pertama-tama batik Banyuwangi yang muncul berdasarkan tiga peristiwa pokok, yakni : 1) ekspansi kerajaan Mataram, 2) budaya masyarakat dan letak geografis, 3) batik sebagai mata dagang. mendapatkan pengaruh dari dua wilayah perbatikan yakni : keraton dan pesisir. Peristiwa ekspansi kerajaan Mataram berkaitan dengan peristiwa
perluasan
(Banyuwangi).
wilayah
Dalam
kekuasaan
ekspansi
Mataram
tersebut
Mataram
hingga
ke
Blambangan
mendeportasi
penduduk
Blambangan ke Jawa Tengah dan hal itulah yang membuat mereka mengenal batik. Terbentuknya pola hias dari batik Banyuwangi sendiri tidak luput dari faktor budaya masyarakat dan letak geografis wilayah. Kegiatan perdagangan juga berperan dalam perkembangan proses pembatikan di Banyuwangi. Jika dijabarkan proses dagang tersebut merupakan salah satu pemicu untuk meningkatkan kreatifitas masyarakat Banyuwangi dalam menciptakan karya seni terutama batik yang dapat diterima dan menarik bagi masyarakat. Pola hias batik Banyuwangi kemudian dikaji berdasarkan komponen penyusun motif dan bagaimana repeat pola hiasnya, setelah penjabaran tersebut barulah pola hias batik Banyuwangi tadi dikaji berdasarkan teori estetika dari A.A.M Djelantik. Teori estetika dari Djelantik yang diambil sebagai landasan pendekatan akan menjabarkan pola hias batik Banyuwangi berdasarkan tiga komponen yakni : wujud, bobot, dan penampilan. Wujud terdiri dari bentuk dan struktur, bobot terdiri dari suasana, gagasan, dan pesan, serta penampilan yang terdiri dari bakat, sarana, dan keterampilan yang ada. Dari penjabaran tersebut maka didapatkan ciri khas dari pola hias batik Banyuwangi.
commit to user