BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori
2.1.1
Pembelajaran Matematika di SD Pembelajaran matematika SD adalah suatu proses membelajarkan peserta
didik SD untuk menguraikan apa sebenarnya matematika itu, baik ditinjau kata matematika, karakteristik matematika sebagai ilmu, maupun peran dan kedudukan matematika diantara cabang ilmu pengetahuan dan manfaatnya. Matematika adalah ilmu logika tentang bentuk susunan besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya, matematika dapat dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri ( James and James, 1976). Menurut Johnson
dan
Myklebust
di dalam
Mulyono
Abdurrahman
(2003:252)
menyebutkan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya memudahkan berfikir. Lerner dalam buku Learning Disabilities (1988) yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa matematika di samping sebagai bahasa simbolik juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkondisikan ide mengenai elemen dan kuantitas. Mulyono Abdurrahman (2003: 252) menyatakan bahwa: Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara yang menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah pemikiran dalam diri manusia sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Kline
(2000:
172)
dalam
Mulyono
Abdurrahman
(2003:
252)
mengemukakan bahwa matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah menggunakan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak merupakan cara bernalar induktif.
8
9
Belajar Matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika. Lain dari itu peserta didik lebih mudah mengingat materi yang mempunyai pola yang berstruktur. (Hudoyo, 1990: 56). Menurut Elea Tinggih yang dikutip oleh Erman Suherman (2001: 16) kata matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperleh dengan bernalar. Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia (Standar isi KTSP). Dari pengertian matematika yang telah dikemukakan di atas, berarti matematika adalah ilmu logika dengan bahasa simbolik yang mempelajari tentang cara pemecahan masalah mengenai bentuk dan ukuran serta menghitung dan menghubungkan baik deduktif maupun induktif. Pembelajaran matematika di SD dalam upaya mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, guru hendaknya menyajikan pembelajaran secara efektif dan efisien sesuai kurikulum dan pola pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika guru harus memahami bahwa
setiap peserta didik memiliki
kemampuan yang berbeda-beda serta tidak semua siswa menyenangi mata pelajaran matematika. Pembelajaran matematika di SD bertujuan agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Heruman (2007:2) Konsep-konsep pembelajaran matematika di SD sesuai kurikulum matematika dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1.
Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar, guru dapat mengunakan media tau alat peraga untuk membantu pola pikir siswa.
10
2.
Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep memiliki dua pengertian yaitu pertama, merupakan lanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan yang kedua pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan yang berbeda tetapi masih pada lanjutan dari pemahaman konsep seperti pada pertemuan sebelumnya, di semester atau di kelas sebelumnya.
3.
Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Anak usia SD adalah anak yang berada pada usia sekitar 7 sampai 12 tahun.
Menurut Piaget anak usia sekitar ini masih berfikir kogkrit artinya siswa-siswa SD belum mampu untuk berfikir formal (abstrak). Adapun ciri-ciri anak pada tahap ini yaitu dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda kongkrit, belum dapat berfikir deduktif, dan berfikir secara transitif. Pada saat ini, masih banyak guru yang memberikan konsep-konsep matematika sesuai jalan pikirannya, tanpa memperhatikan bahwa jalan pikiran siswa berbeda dengan jalan pikiran orang dewasa yang memahami matematika secara abstrak. Sesuatu yang dianggap mudah secara logika dapat dianggap sulit oleh seorang anak. Matematika yang dipelajari oleh siswa SD dapat digunakan untuk kepentingan hidupnya sehari-hari dalam kepentingan hidupnya, untuk membentuk pola berfikir yang logis, sistematis, kritis, cermat dan dapat mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan pembelajaran bagi siswa. Sesuai dengan KTSP SD dan MI, bahwa mata pelajaran matematika memiliki beberapa tujuan. Tujuan tersebut antara lain sebagai berikut : (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Melakukan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelakan gagasan dan pernyataan matematika (3) Memecahkan masalah
11
yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model
dan
menafsir
solusi
yang
diperoleh.
(4)
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam meperlajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Ruang lingkup matematika menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 KTSP meliputi aspek-aspek sebagai berikut : (1) bilangan (2) geometri dan pengukuran (3) pengolahan data. Memperkuat tujuan pembelajaran matematika di atas, maka perlu adanya Standar kompetensi dan Kompetensi Dasar yang disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan pembelajaran matematika. Adapun SK dan KD mata pelajaran Matematika kelas VI tentang Luas Segi Banyak sebagai berikut : Tabel 2 STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR MATEMATIKA KELAS VI, SEMESTER 1 Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Bangun Datar
3.1
3. Menghitung banyak lingkaran,
luas
sederhana, dan
Menghitung luas segi banyak yang
segi
merupakan
luas
bangun datar sederhana
volume
3.2
gabungan
dari
dua
Menghitung luas lingkaran
prisma segitiga
2.1.2 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah mengalami proses belajar yang berlangsung yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik pengetahuan, sikap, keterampilan sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses
12
belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa. Menurut Anni (2004:4) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:65), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru , hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Oemar Hamalik mengatakan bahwa hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. (http://indramunawar.blogspot.com/2009/06/hasil-belajar-pengertian-dandefinisi.html). Berdasarkan teori Taksonomi Bloom (Nana Sudjana, 2012: 22-23), hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain: 1.
Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan penilaian.
2.
Ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
3.
Ranah psikomotor, meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor
karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran. Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil pengukuran bidanh/materi dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes. Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat pencapaian kompetensi hasil belajar seperti yang dikehendaki dalam standar proses dan dinyatakan dalam
13
aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut dinamakan dengan taksonomi tujuan belajar kognitif. Taksonomi tujuan belajar domain kognitif menurut Benyamin S. Bloom yang telah disempurnakan David Krathwohl serta Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay ds (Wardani, Nanik Sulistya, dkk, 2010:3-21) adalah menghafal (remember), memahami (understand), mengaplikasikan (aply), menganalisis (analize), mengevaluasi (evaluate), dan membuat (create). Menurut Sudjana (2012: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan-kemampuan yang dimilki tiap siswa tentu berbeda karena pengalaman belajar yang dialami antara siswa satu dengan siswa lain juga berbeda. Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow yang mencakup tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel dalam Purwanto, 2008:45). Menurut Arikunto (2003:4) menyebutkan beberapa karakter siswa dalam pembelajaran tersebut sebagai berikut: (1) semangat belajar rendah, ((2) mencari jalan pintar, (3) tidak tahu belajar untuk apa, dan (4) pasif dan acuh. Untuk mengantisipasi terjadinya karakteristik siswa yang demikian disarankan pula bagi seorang guru untuk menerapkan suatu strategi pembelajaran yang: (1) memiliki variasi, (2) memberikan kesibukan yang menarik, (3) menggunakan model reward dan punishment, (4) bersifat terbuka, dan (5) member layanan yang simpatik. Sedangkan Menurut Winkel (2004: 162) mengatakan hasil adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai. Belajar adalah suatu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan skill, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif. Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan secara berulang-ulang sehingga akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang serta dapat merubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku yang lebih baik
14
Dari pengertian hasil belajar telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakan alat penilaian hasil belajar. Teknik yang dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar ada 2 yaitu tes dan non tes. 1.
Tes Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab perntaan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi. Tes berasal dari Bahasa perancis yaitu “testum” yang berarti piring untuk menyisihkan logam mulia dari material lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya. Kemudian diadopsi dalam psikologi dan pendidikan untuk menjelaskan sebuah instrumenyang dikembangkan untuk dapat melihat dan mengukur dan menemukan peserta tes yang memenuhi kriteria tertentu. Menurut Ebster’s Collegiate (dalam Arikunto, 1995), tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008: 1-5), tes adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penugasannya terhadap cakupan materi yang dipersyaratkan dan sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu. Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan, tes adalah sejumlah pertanyaan atau soal-soal yang dijawab dan dilakukan dalam waktu tertentu guna mengukur kemampuan seseorang. Tes sangat bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Menurut Endang Poerwanti, dkk (2008: 4-5) terdapat lima jenis-jenis tes, salah satunya adalah jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya, yaitu: a.
Tes esei (Essay-type test)
15
Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan gagasan-gagasan
tentang
apa
yang
telah
dipelajarinya
dengan
cara
mengemukakannya dalam bentuk tulisan. b.
Tes jawaban pendek Tes bisa digolongkan ke dalam tes jawaban pendek jika peserta tes diminta
menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi memberikan jawabanjawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata pendek, kata-kata lepas, maupun angka-angka. c.
Tes objektif Tes objektif adalah tes yang keseluruhan infomasi yang diperlukan untuk
menjawab tes telah tersedia. 2.
Non Tes Teknik nontes sangat penting dalam mengases peserta didik pada ranah
afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes menurut Endang Poerwanti (2008:3-19-3-31) yaitu: 1.
Observasi Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen.
2.
Wawancara Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik.
3.
Angket Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap (Attitude Questionnaires)
4.
Work sample Analysis (Analisa Sampel Kerja)
16
Digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi mengenai kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa berdasarkan jumlah, tipe, pola, dan lain sebagainya. 5.
Task Analysis (Analisis Tugas) Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan.
6.
Chekcklist dan Rating scales Dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang dipergunakan.
7.
Portofolio Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa.
8.
Komposisi dan Presentasi Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya.
9.
Proyek Individu dan Kelompok Mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan serta dapat digunakan untuk individu maupun kelompok. Alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Ada instrumen butir-butir soal apabila cara pengukurannya dengan cara mengamati atau mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan cara/teknik skala sikap akan menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Besarnya hasil belajar dalam penelitian ini akan diukur melalui teknik tes (tes esay) dan non tes (lembar observasi keaktifan). Dalam penilaian non tes digunakan untuk mengetahui keaktifan siswa yang diperoleh dari penskoran lembar observasi keaktifan. Keaktifan belajar terdiri dari kata keaktifan dan kata belajar. ’’ Keaktifan memiliki kata dasar yang berarti giat dalam belajar atau
17
berusaha” (Ratmi , 2004). Keaktifan belajar berati suatu usaha atau kerja yang dilakukuan dengan giat dalam belajar. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, keaktifan adalah kegiatan (Poerwodarminto, 1992: 17), sedang belajar merupakan proses perubahan pada diri individu ke arah yang lebih baik yang bersifat tetap berkat adanya interaksi dan latihan. Jadi keaktifan belajar adalah suatu kegiatan individu yang dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik pada diri individu karena adanya interaksi antara individu dengan individu dan indivisu dengan lingkungan. Keaktifan belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental (Sardiman: 2001: 99). Selama kegiatan belajar kedua aktifitas tersebut harus terkait, sehingga akan menghasilkan aktifitas belajar yang optimal. Menurut Anton M. Mulyono (2001: 26) keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non fisik. Menurut Sanjaya (2007: 101-106) aktivitas tidak hanya ditentukan oleh aktivitas fisik semata, tetapi juga ditentukan oleh aktivitas non fisik seperti mental, intelektual dan emosional. Keaktifan yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan tercipta situasi belajar aktif. Rochman Natawijaya (dalam Depdiknas 2005: 31) belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Ketika siswa pasif atau hanya menerima informasi dari guru saja, akan timbul kecenderungan untuk cepat melupakan apa yang telah diberikan oleh guru, oleh karena itu diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengingatkan yang baru saja diterima dari guru. Proses pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas merupakan aktivitas mentransformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dalam kegiatan pembelajaran ini sangat dituntut keaktifan siswa, dimana siswa adalah subjek yang banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan. Menurut Raka Joni (1992: 19-20) dan Martinis Yamin (2007: 80-81)
18
menjelaskan bahwa keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan manakala: (1) pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, (2) guru berperan sebagai pembimbing supaya terjadi pengalaman dalam belajar, (3) tujuan kegiatan pembelajaran tercapai kemampuan minimalnya, dan mencapai siswa kreatif serta mampu menguasai konsep-konsep, dan (5) melakukan pengukuran secara kontinu dalam berbagai aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Ada 4 ciri keaktifan belajar siswa, yaitu 1) Keinginan dan keberanian menampilkan perasaan, 2) Keinginan dan keberanian serta kesempatan berprestasi dalam kegiatan baik persiapan, proses dan kelanjutan belajar, 3) Penampilan berbagai uasaha dan kreatifitas belajar keberhasilannya, 4) Kebebasan dan keleluasaan melakukan hal tersebut diatas tanpa tekanan guru atau pihak lain. Mengenai faktor- faktor yang berkontribusi dalam hasil belajar, Nana Sudjana (dalam Ratmi, 2004), menyatakan bahwa ”Ada lima hal yang mempengaruhi keaktifan belajar, yakni: 1) Stimulus belajar, 2) Perhatian dan motivasi, 3) Respon yang dipelajarinya, 4) Penguatan, 5) Pemakaian dan pemindahan”. Menurut Paul D. Dierich (dalam Oemar Hamalik 2001: 172) keaktifan belajar dapat diklasifikasikan dalam delapan kelompok, yaitu: a.
Kegiatan-kegiatan visual, seperti: membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, domonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.
b.
Kegiatan-kegiatan lisan, seperti: mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu tujuan, mengajukan suatu pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi.
c.
Kegiatan-kegiatan mendengarkan, seperti: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, dan mendengarkan radio.
d.
Kegiatan-kegiatan menulis, seperti: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisi angket.
19
e.
Kegiatan-kegiatan menggambar, seperti: menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta, dan pola.
f.
Kegiatan-kegiatan metrik, seperti: melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, menari dan berkebun.
g.
Kegiatan-kegiatan
mental,
seperti:
merenungkan,
mengingatkan,
memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor, melihat hubunganhubungan, dan membuat keputusan. h.
Kegiatan-kegiatan emosional, seperti: minat, membedakan, berani, tenang, dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini terdapat dalam semua jenis kegiatan overlap satu sama lain. Sedangkan menurut Soemanto (2003: 107), macam-macam kaktifan belajar
yang dapat dilakukan oleh siswa dalam beberapa situasi adalah (1) mendengarkan, (2) memandang, (3) meraba, mencium dan mencicipi, (4) menulis atau mencatat, (5) membaca, (6) membuat ringkasan, (7) mengamati tabel, diagram, dan bagan, (8) menyusun kertas kerja, (9) mengingat, (10) berpikir, dan (11) latihan atau praktek. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat merangsang dan mengembangkan bakat yang dimilikinya, siswa juga dapat berlatih untuk berfikir kritis, dan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu, guru juga dapat merekayasa sistem pembelajaran secara
sistematis,
sehingga
merangsang keaktifan siswa
dalam proses
pembelajaran. Gagne dan Briggs (dalam Martinis, 2007: 84) faktor-faktor yang dapat menumbuhkan timbulnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, yaitu: 1.
Memberikan motivasi atau menarik perhatian siswa, sehingga mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2.
Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada siswa).
3.
Mengingatkan kompetensi belajar kepada siswa.
4.
Memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari).
5.
Memberi petunjuk kepada siswa cara mempelajarinya.
6.
Memunculkan aktivitas, partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran.
7.
Memberi umpan balik (feedback).
20
8.
Melakukan tagihan-tagihan terhadap siswa berupa tes, sehingga kemampuan siswa selalu terpantau dan terukur.
9.
Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan di akhir pembelajaran. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 62) dalam menimbulkan keaktifan
belajar pada diri siswa, maka guru dapat melakukan perilaku-perilaku sebagai berikut: (1) menggunakan multimetode dan multimedia, (2) memberikan tugas secara individual dan kelompok, (3) memberikan kesempatan pada siswa melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil (beranggota tidak lebih dari 3 orang), (4) memberikan tugas untuk membaca bahan belajar, mencatat hal-hal yang kurang jelas, serta (5) mengadakan tanya jawab dan diskusi. Indikator keberhasilan keaktifan siswa dapat dilihat dari: (1) perhatian siswa terhadap penjelasan guru, (2) kerjasamanya dalam kelompok, (3) kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok ahli, (4) kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok asal, (5) memberi kesempatan berpendapat kepada teman dalam kelompok, (6) mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat, (7) memberi gagasan yang cemerlang, (8) membuat perencanaan dan pembagian kerja yang matang, (9) keputusan berdasarkan pertimbangan anggota kelompok lain, (10) memanfaatkan potensi anggota kelompok, dan (11) saling membantu dan menyelesaikan masalah. (dalam http://ardhana12.wordpress.com/2009/01/20/indikator-keaktifansiswa-yang-dapat-dijadikan-penilaian-dalam-ptk-2/). Hasil dari pengukuran pencapaian KD dipergunakan sebagai dasar penilaian atau evaluasi. Menurut BSNP (2007:9) penilaian adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan,
sehingga
menjadi
informasi
yang
bermakna
dalam
pengambilan keputusan. Wardani Naniek Sulistya, dkk, (2010:2.8) menjelaskan bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau
21
ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria tersebut dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) atau batas keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria (PAP/PAK), sedang kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut dengan Penilaian Acuan Norma atau Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR). Fungsi penilaian menurut Depdiknas (dalam Wardani Naniek Sulistya, dkk 2012:5) adalah untuk : 1. Menggambarkan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik 2. Membantu peserta didik memilih program atau jurusan, atau untuk mengembangkan kepribadian 3. Menemukan kesulitan belajar dan mengembangkan prestasi peserta didik serta sebagai alat diaknosis bagi guru 4. Sebagai upaya guru untuk menemukan kelemahan proses pembelajaran yang dilakukan ataupun yang sedang berlangsung 5. Sebagai kontrol bagi guru dan semua pemangku kepentingan (stake holder) pendidikan tentang gambaran kemajuan perkembangan proses dan hasil belajar peserta didik. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah Kriteria Ketuntasan Belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.
2.1.3
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan pendekatan
22
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa dimana setiap minggu guru menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor dan tiap siswa diberi skor perkembangan (Ibrahim, 2000:20). Pengetesan pembelajaran kooperatif tipe STAD, guru meminta siswa menjawab kuis tentang bahan pelajaran. Butir-butir tes pada kuis ini harus merupakan suatu jenis tes obyektif tertulis (paper-and-pencil), sehingga butir-butir itu dapat diskor di kelas atau segera setelah tes itu diberikan. Laporan atau presensi kelompok dapat digunakan sebagai salah satu dasar evaluasi dan siswa hendaknya diberi penghargaan perannya secara individual dan hasil kolektif. Dalam pembelajaran kooperatif, guru harus hati-hati dengan cara menilai yang diterapkan di luar sistem penilaian harian atau mingguan, konsisten dengan konsep struktur penghargaan kooperatif, adalah penting bagi guru untuk menghargai hasil kelompok berupa hasil akhir maupun perilaku kooperatif yang menghasilkan hasil akhir itu. Bagaimanapun juga, tugas penilaian ganda ini dapat menyulitkan guru pada saat guru mencoba menentukan nilai individual untuk suatu hasil kelompok (Corebima dkk., 2002). Karakteristik STAD menurut Arends (2001) adalah sebagai berikut: a.
Tujuan kognitif: informasi akademik sederhana
b.
Tujuan sosial : kerja kelompok dan kerja sama
c.
Struktur tim : kelompok belajar heterogen dengan 4 – 5 orang anggota
d.
Pemilihan topik pelajaran : biasanya oleh guru
e.
Tugas utama : siswa dapat menggunakan lembar kegiatan dan saling membantu untuk menuntaskan materi belajarnya
23
f.
Penilaian : tes mingguan (http://mihecheery.blogspot.com/2010/06/metode-pembelajaran-stad.html)
Menurut Slavin (2010: 143), STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu presentasi kelas, tim kuis, skor kemajuan individual, rekognisi tim. a.
Presentasi kelas Materi diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering dilakukan atau diskusi.
b.
Tim Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi adalah mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Tim adalah fitur yang paling penting dala STAD. Pada tiap poinnya, yang ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya.
c.
Kuis Setelah guru memberikan presentasi, siswa akan mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dan mengerjakan kuis. Sehingga setiap siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya.
d.
Skor Kemajuan Individual Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya.
e.
Rekognisi Tim Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor tim siswa dapat juga digunakan untuk menentukan dua puluh persen dari peringkat mereka.
24
Pada proses pembelajarannya, belajar kooperatif tipe STAD melalui lima tahapan yang meliputi: a) tahap penyajian materi, b) tahap kegiatan kelompok, c) tahap tes individual, d) tahap perhitungan skor perkembangan individu, d) tahap pemberian penghargaan kelompok. Slavin (1995) dalam Isjoni (2007:51). Langkah-langkah metode STAD: a.
Tahap penyajian Materi Dalam mengembangkan materi pembelajaran perlu ditekankan hal-hal sebagai berikut: a) mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok, b) menekankan bahwa belajar adalah memahami makna dan bukan sekadar hapalan, c) memberi umpan balik sesering mungkin untuk mengontrol pemahaman siswa, d) memberi penjelasan atau alasan mengapa jawaban itu benar atau salah, dan e) beralih pada materi berikutnya jika siswa telah memahami masalah yang ada.
b.
Tahap kerja kelompok Pada tahap ini, siswa diberi kertas kerja sebagai latihan dalam bentuk openended tasks. Dalam kerja kelompok ini siswa saling berbagi tugas, saling bantu menyelesaikan tugas dengan target mampu memahami materi secara benar. Salah satu kerja dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru harus berperan sebagai fasilitator dan motivator kerja kelompok.
c.
Tahap tes individu Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes secara individual atau kuis, mengenal materi yang telah dipelajari dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan open-ended tasks. Pada perhatian ini tes individu dilakukan pada akhir setiap pertemuan. Tujuannya agar siswa dapat menunjukkan pemahaman dan apa yang telah dipelajari sebelumnnya. Skor yang diperoleh siswa perindividu ini didata dan diarsipkan sebagai bahan untuk perhitungan skor kelompok.
d.
Tahap perhitungan skor individu Dihitung berdasarkan skor awal, dalam penelitian ini didasarkan pada nilai evaluasi hasil belajar semester I. Berdasar skor awal setiap siswa memiliki
25
kesempatan yang sama untuk memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya berdasarkan skor tes yang diperolehnya. e.
Tahap penghargaan Penghargaan keompok dilakukan dalam tahapan berikut ini: 1) menghitung skor individu kelompok, 2) nilai perkembangan individu dihitung berdasakan selisih perolehan skor tes awal dan tes berikutnya, sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk memberi sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya. Pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Priest (Rina, 2006: 16)
memiliki 7 komponen utama yaitu: 1.
Kejelasan tujuan yang hendak dicapai
2.
Persiapan pembelajaran termasuk di dalamnya pembentukan kelompok, presentasi tugas siswa
3.
Kepastian bahwa siswa telah memahami isi materi pelajaran
4.
Pembentukan kelompok pada STAD terdiri dari siswa yang heterogen
5.
Kuis individual yang dilakukan dalam rangka meyakinkan keberhasilan siswa dalam belajar dan sebagai indikator tanggung jawab siswa
6.
Kemajuan nilai secara individual
7.
Pengakuan dan hadiah terhadap kelompok
Tahapan-tahapan yang dilalui dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Priest (Rina, 2006:16), meliputi: 1.
Tahap penyajian materi Guru menyajikan materi melalui metode ceramah, demonstrasi, ekspositori, atau membahas buku pelajaran matematika. Dalam tahap ini guru menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan memotivasi rasa ingin tahu siswa
tentang
konsep
yang
akan
dipelajari,
agar
siswa
dapat
menghubungkan apa yang telah dimiliki dengan yang disampaikan oleh guru. Dalam hal ini, siswa harus benar-benar memperhatikan agar dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru. 2.
Tahap kerja kelompok
26
Guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang dipelajari guna kerja kelompok. Guru menginformasikan bahwa LKS harus benarbenar dipahami bukan sekedar diisi dan diserahkan pada guru. LKS juga digunakan sebagai keterampilan kooperatif siswa. Dalam hal ini, apabila di antara
anggota
kelompok
yang
belum
memahami
maka
teman
sekelompoknya wajib memberi penjelasan kembali karena guru hanya sekedar menjadi fasilitator yang memonitor kegiatan setiap kelompok. 3.
Tahap tes individu (Hasil Belajar) Tes individu atau hasil belajar ini dilakukan setelah kegiatan kelompok usai dan dikerjakan secara individu. Tes ini bertujuan supaya siswa dapat menunjukkan apa yang mereka pahami saat kegiatan kelompok berlangsung dan sumbangkan sebagai nilai.
4.
Tahap perhitungan nilai perkembangan individu Nilai tes diperoleh atas jawaban benar, setelah diperoleh nilai maka dihitung berdasarkan suatu aturan nilai yang diperoleh dapat menunjukkan keberhasilan dalam kelompoknya.
5.
Tahap penghargaan kelompok Penghargaan kelompok diberikan secara sederhana oleh peneliti atas dara aktivitas dan jumlah siswa yang tuntas belajar. Bentuk penghargaannya sangat situsional. Guru bisa memberikan poin pada kelompok dengan aturan-aturan khusus ataupun dengan cara sederhana yang intinya kerja keras siswa beserta kelompoknya dihargai sekecil apapun hasilnya. Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD yang
telah dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD meliputi: (a) Tahap penyajian materi, (b) Tahap kerja kelompok, (c) Tahap presentasi hasil, (d) Tahap tes individu, dan (e) Tahap rekognisi tim terbaik. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif STAD: a.
Kelebihan model pembelajaran kooperatif STAD Menurut Davidson (dalam Nurasma, 2006:26) kelebihan dari STAD yaitu: 1.
Meningkatkan kecakapan individu
27
b.
2.
Meningkatkan kecakapan kelompok
3.
Meningkatkan komitmen
4.
Menghilangkan prasangka buruk terhadap teman sebaya
5.
Tidak bersifat kompetitif
6.
Tidak memiliki rasa dendam
Kekurangan model pembelajaran kooperatif STAD Menurut Slavin (dalam Nurasma, 2006:2007) yaitu: 1. Konstribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang 2. Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran anggota yang pandai lebih dominan.
Contoh simulasi: 1.
Mintalah anggota kelompok untuk memilih satu warna
2.
Barilah waktu ± 10 menit untuk memilih nama kelompok
3.
Bagikan lembar kegiatan siswa
4.
Serahkan pada siswa untuk bekerja sama dalam pasangan, bertiga atau satu kelompok utuh, tergantung pada tujuan yang sedang dipelajari. Jika mereka mengerjakan soal, masing-masing siswa harus mengerjakan soal sendiri dan kemudian dicocokkan dengan temannya. Jika salah satu tidak dapat mengerjakan suatu pertanyaan, teman satu kelompok menjelaskannya. Jika siswa mengerjakan dengan jawaban pendek, maka mereka lebih sering bertanya dan kemudian antar teman saling bergantian memegang lembar kegiatan dan berusaha menjawab pertanyaan itu.
5.
Tekankan pada siswa bahwa mereka belum selesai belajar sampai mereka yakin teman-teman satu kelompok dapat mencapai nilai samapai 100 pada kuis. Pastikan siswa mengerti bahwa lembar kegiatan tersebut untuk belajar tidak hanya untuk diisi dan diserahkan. Jadi penting bagi siswa mempunyai lembar kegiatan untuk mengecek diri mereka dan teman-teman sekelompok mereka pada saat mereka belajar. Ingatkan siswa jika mereka mempunyai pertanyaan, mereka seharusnya menanyakan teman sekelompoknya sebelum bertanya guru.
28
6.
Sementara siswa bekerja dalam kelompok, guru berkeliling kelas. Guru sebaiknya memuji kelompok yang semua anggotanya bekerja dengan baik, yang anggotanya duduk dalam kelompoknya untuk mendengarkan bagaiman anggota yang lain bekerja dan sebagainya.
7.
Kuis dikerjakan siswa secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh siswa selama belajar dalam kelompok. Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok.
8.
Penghargaan kelompok, langkah pertama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu dan memberi sertifikat atau penghargaan kelompok yang lain. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya.
2.2
Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Berikut ini disajikan beberapa kajian hasil penelitian yang relevan dengan
penelitian ini. Kajian hasil penelitian yang dimaksud adalah mengkaji hasil penelitian penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran Fisika dan matematika, yaitu: 1. Laila Puspitaningsih dalam penelitiannya dengan judul “Penerapan Pembelajaran Cooperative Tipe STAD Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar Fisika Siswa” kesimpulannya adalah sebagai berikut. (1) Aktivitas belajar siswa terus meningkat setiap siklusnya. Persiklus ratarata ketercapaian aktivitas siswa yang sesuai dengan aspek yang diamati pada saat pembelajaran pada siklus pertama sebesar 66,91% pada siklus kedua meningkat sebesar 4,94% menjadi 71, 85% dan pada siklus ketiga meningkat sebesar 1,55 menjadi 73,35%. (2) Hasil belajar siswa meningkat setiap siklusnya rata-rata hasil belajar siswa pada siklus 1 sebesar 61,63, pada siklus 2 meningkat sebesar 8,74 menjadi 70,37 dan siklus ketiga meningkat sebesar 1,49 menjadi 71,86. 2. Penelitian oleh Hesti Setyaningsih dengan judul “Keefektifan Model
29
Pembelajaran Cooperative Tipe STAD Pada Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Segiempat Siswa Kelas VII Semester 2 SMP N 1 Slawi” yang kesimpulannya bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih efektif dari pada pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori pada pokok bahasan segiempat kelas VII semester II SMP N1 Slawi tahun pelajaran 2006/2007. 3. Penelitian Heri Pamuji (2009) dengan judul ”Keefektifan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD (Student Team Achievement Division) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VII SMP N2 Adimulyo Kebumen Pada Sub Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi” menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas data hasil tes dari kedua kelompok tersebut diperoleh bahwa kedua sampel normal dan homogen, sehingga untuk pengujian hipotesis dapat digunakan uji t. Dari hasil perhitungan pada lampiran thitung = 1,92 sedangkan nilai ttabel = 1,67. Karena thitung < ttabel maka Ho ditolak dan hipotesis diterima. Jadi rata-rata hasil evaluasi pembelajaran pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Sehingga dapat dikatakan pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih efektif dari pada pembelajaran ekspositori terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP N 2 Adimulyo Kebumen pada sub pokok bahasan persegi panjang dan persegi.
2.3
Kerangka Berfikir Dalam PBM matematika di SD Negeri Tegalrejo 01 Salatiga mengalami
kegagalan, yaitu nilai ulangan harian matematika dari 46 siswa yang mendapat nilai ≥ 62 sebanyak 19 anak atau 41,3 %, sedangkan yang mendapat nilai < 62 sebanyak 27 anak atau 58,7 % dan perolehan rata-rata 58,04. Kurang berhasilnya siswa dikarenakan guru menggunakan model pembelajaran yang monoton dan penggunaan media yang kurang dimanfaatkan. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi
30
yang disampaikan guru, sehingga hasil belajar siswa yang semula rendah dapat meningkat. Penelitian yang akan dilakukan dengan cara guru sebagai peneliti. Peneliti sendiri yang mempunyai ide dan guru lain sebagai pengamat saat peneliti melaksanakan PBM. Penelitian dilakukan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD mata pelajaran matematika kelas 6 pada kompetensi dasar 3.1 menghitung luas segi banyak yang merupakan gabungan dari dua bangun datar sederhana dan 3.2 menghitung luas lingkaran, sehingga dapat membantu siswa untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika. Pembelajaran kooperatif tipe STAD
dalam PBM diharapkan dapat
membantu siswa dalam memahami materi yang telah disampaikan oleh guru. Penelitian dilakukan pada siklus 1 dengan tahap perencanaan, tindakan dan observasi, serta refleksi. Pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD yang melibatkan siswa mulai dari motivasi. Selanjutnya guru dalam menyampaikan materi melakukan tanya jawab dengan siswa. Kemudian dilakukan refleksi berdasarkan hasil observasi dan hasil tes belajar siswa untuk masukan dan perbaikan siklus 2 jika pada siklus 1 mengalami kegagalan. pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Ini dapat dilihat pada skema berikut ini.
31
Pembelajaran centered)
konvensional
(teacher
Membentuksiswa menjadi 10 tim,
Observasi
yaitu A,B, C, D, E, F, G, H, I, dan
Keaktifan
J Menyimak skenario pembelajaran
Observasi
Penilaia
STAD
Keaktifan
n Proses
Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD
Menyimak
materi
Luas
Segi
Observasi Keaktifan
Banyak
Hasil
Mendiskusikan
Belajar
permasalahan
tentang mencari luas segi banyak Hasil Belajar
Observasi Keaktifan
Matematika Meningkat 80 %
Memberikan
tanggapan
diskusi
hasil
Observasi Keaktifan Penilaia
Menjawab kuis
Gambar 2.1 Hubungan antara Model STAD dan Hasil Belajar
Tes
n Hasil
32
Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan maka diharapkan tujuan yang telah ditentukan peneliti akan tercapai yaitu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar matematika.
2.4
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan di atas,
maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut: Peningkatan hasil belajar matematika diduga dapat diupayakan melalui model kooperatif tipe STAD siswa kelas 6 SDN Tegalrejo 01 Salatiga Semester I tahun 2013/2014.