BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritik 1. Kinerja Organisasi a. Pengertian Kinerja Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai penampilan, unjuk kerja, atau prestasi. (Yeremias T. Keban 2004 : 191). Menurut Bernardin dan Russel dalam Yeremias T. Keban (2004 : 192) mengartikan kinerja sebagai the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time period. Dalam definisi ini, aspek yang ditekankan oleh kedua pengarang tersebut adalah catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pegawai selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi pegawai yang dinilai. Sedangkan Suyadi Prawirosentono (1999 : 2) mendefinisikan kinerja sebagai performance, yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya
13
14
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Definisi kinerja organisasi yang dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 175) sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut. Senada dengan pendapat Bastian dalam Hessel Nogi Tangkilisan tersebut, Encyclopedia of Public Administration and Public Policy Tahun 2003 dalam Yeremias T. Keban (2004 : 193) juga menyebutkan kinerja dapat memberikan gambaran tentang seberapa jauh organisasi mencapai hasil ketika dibandingkan dengan pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu. b. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
15
Yeremias T. Keban (2004 : 203) untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting sebagai berikut. 1) Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataannya, orang menilai secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur atau mengendaikan perbuatan tersebut. 2) Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian kinerja. Aturan main menyangkut siapa yang harus menilai, kapan menilai, kriteria apa yang digunakan dalam sistem penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya manusia tersebut. Dengan demikian manajemen sumber daya manusia juga merupakan kunci utama keberhasilan sistem penilaian kinerja. 3) Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bisa kepada pengukuran tabiat atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan. 4) Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kinerja, maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukakan penilaian secara tepat dan benar. c. Penilaian Kinerja Larry D. Stout dalam Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 174) mengemukakan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.
16
Berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Bastian dalam Hessel Nogi Tangkilisan (2005 : 173) bahwa pengukuran dan pemanfaatan penilaian kinerja akan mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus. Secara rinci, Bastian mengemukakan peranan penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut. 1) Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi. 2) Memastikan tercapaianya skema prestasi yang disepakati. 3) Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan antara skema kerja dan pelaksanaanya. 4) Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan sistem pengukuran yang telah disepakati. 5) Menjadikanya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi. 6) Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. 7) Membantu proses kegiatan organisasi. 8) Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara objektif. 9) Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. 10) Mengungkapkan permasalahan yang terjadi. Begitu pentingnya penilaian kinerja bagi
keberlangsungan
organisasi dalam mencapai tujuan, maka perlu adanya indikator-indikator pengukuran kinerja yang dipakai secara tepat dalam organisasi tertentu. Menurut Agus Dwiyanto (2006 : 49 ) penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup dilakukan dengan menggunakan indikator yang melekat pada birokrasi itu, seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi juga harus dilihat dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik juga muncul
17
karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya memiliki stakeholder yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu sama lainya menyebabkan birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder juga berbeda-beda. d. Indikator Kinerja McDonald dan Lawton dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005 : 174) mengemukakan indikator kinerja antara lain : output oriented measures throughput, efficiency, effectiveness. Selanjutnya indikator tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1) Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2) Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005 : 175) menjelaskan tentang indikator yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi, yang terdiri atas beberapa faktor berikut. 1) Tangibles atau ketampakan fisik, artinya ketampakan fisik dari gedung, peralatan, pegawai, dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki oleh providers. 2) Reliability atau reabilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat. 3) Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong customers dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas. 4) Assurance atau kepastian adalah pengetahuan dan kesopanan para pekerja dan kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada customers. 5) Emphaty adalah perlakuan atau perhatian pribadi yang diberikan oleh providers kepada customers.
18
Agus Dwiyanto (2006 : 50) mengukur kinerja birokrasi publik berdasar adanya indikator yang secara lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut. 1) Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. 2) Kualitas Layanan Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. 3) Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula. 4) Responsibilitas Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit.
19
5) Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat publik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep dasar akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Dari berbagai macam indikator pengukuran kinerja yang diungkapkan oleh para pakar di atas, peneliti memilih untuk menggunakan indikator pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2006). Penulis memilih menggunakan teori tentang pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2006) tersebut karena dipandang sesuai, lebih tepat, dan lebih mampu mengukur kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung
zat
berbahaya.
Indikator
pengukuran
kinerja
yang
dikemukakan oleh Agus Dwiyanto (2006 : 50) meliputi lima indikator, yaitu produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Dari kelima indikator, peneliti memilih untuk menggunakan tiga indikator yaitu produktivitas, responsivitas, dan responsibilitas. Ketiga indikator ini dipilih dengan alasan bahwa indikator-indikator ini telah
20
dapat mewakili dari beberapa indikator yang banyak digunakan untuk menilai kinerja suatu organisasi publik dari dalam dan luar organisasi. Menurut Agus Dwiyanto (2006 : 50) konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi tetapi juga efektivitas pelayanan. Dengan demikian, produktivitas dapat digunakan untuk mengukur kinerja dari dalam organisasi. Dalam hal pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, produktivitas Balai Besar POM Yogyakarta dapat dilihat dari target dan hasil capaian pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya dalam kurun waktu tertentu yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Balai Besar POM Yogyakarta. Responsivitas merupakan indikator kinerja yang berorientasi pada proses. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas sangat diperlukan dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, karena responsivitas
21
merupakan bukti kemampuan Balai Besar POM Yogyakarta untuk mengenali kebutuhan, keluhan, dan pengaduan dari masyarakat terkait masalah peredaraan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, menindaklanjuti pengaduan masyarakat serta menyusun agenda prioritas pengawasan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Mengenai
responsibilitas,
Agus
Dwiyanto
(2006
:
57)
mengemukakan bahwa responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Responsibilitas sangat diperlukan dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, karena responsibilitas dapat melihat kesesuaian kegiatan-kegiatan pengawasan Balai Besar POM Yogyakarta dengan prinsip-prinsip administrasi, kebijakan organisasi, tugas pokok dan fungsi Balai Besar POM Yogyakarta itu sendiri. 2. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) a. Pengertian, Tugas, Fungsi, dan Wewenang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dibentuk sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). LPND merupakan lembaga pemerintah pusat
22
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden serta bertanggung jawab langsung kepada presiden. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. BPOM melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM menyelenggarakan fungsi sebagai berikut. 1) Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan. 2) Pelaksanaaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan. 3) Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM. 4) Pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan. 5) Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Dalam menyelenggarakan fungsinya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai kewenangan sebagai berikut.
23
1) Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan. 2) Perumusan kebijakan di bidang pengawasan obat dan makanan untuk mendukung pembangunan secara makro. 3) Penetapan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan. 4) Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan. 5) Pemberian ijin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. 6) Penetapan pedoman penggunaan, konservasi, pengernbangan, dan pengawasan tanaman obat. b. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Balai
Besar
Pengawas
Obat
dan
Makanan
merupakan
“perpanjangan tangan” dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang terletak di Ibu Kota Provinsi di seluruh Indonesia. Sesuai dengan keputusan
Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan BPOM, maka Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan terdiri dari bidang-bidang sebagai berikut. 1) Bidang pengujian terapetik, narkotika, obat tradisional, dan produk komplemen yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan
24
pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu bidang di bidang produk terapetik, narkotika, obat tradisional, kosmetika dan produk komplemen. 2) Bidang pengujian pangan dan bahan berbahaya yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian, dan penilaian mutu di bidang pangan dan bahan berbahaya. 3) Bidang pengujian mikrobiologi yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu secara mikrobiologi. 4) Bidang pemeriksaan
dan penyidikan
yang mempunyai tugas
melaksanakan penyusunan rencana dan program kerja serta evaluasi dan
penyusunan
laporan
pelaksanaan
pemeriksaan
setempat,
pengambilan contoh untuk pengujian dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi, dan instansi kesehatan serta penyidikan kasus pelanggaran hukum di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kometika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas maka bidang pemeriksaan dan penyidikan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut. a) Penyusunan rencana dan program pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan.
25
b) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi, instansi kesehatan di bidang terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetika, dan produk komplemen. c) Melaksanakan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana distribusi di bidang pangan dan bahan berbahaya. d) Pelaksanaan penyidikan terhadap kasus pelanggaran hukum. e) Evaluasi dan penyusunan laporan pemeriksaan dan penyidikan obat dan makanan. 5) Bidang
sertifikasi
dan
layanan
konsumen
mempunyai
tugas
melaksanakan penyusunan rencana dan program serta evaluasi dan penyusunan laporan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi tertentu, dan layanan konsumen.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu pada skripsi Astried Djafar pada tahun 2009 yang berjudul "Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Peredaran Produk Makanan Yang Tidak Memenuhi Standarisasi Mutu (Studi Di Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Surabaya)". Hasil penelitian yang didapat tahap pengawasan yang dilakukan oleh Balai Besar POM Surabaya
26
yaitu terhadap produk makanan sebelum dipasarkan atau setelah produk beredar di masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, penegakan hukum Balai Besar POM Surabaya belum dilaksanakan secara optimal karena masih banyak kendala yang dihadapi, Balai Besar POM Surabaya juga didukung dengan kelengkapan peraturan dan kualitas pegawai, memiliki Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) dan kerja sama dengan pihak lain. Upaya mengatasi kendala yang ada dengan menambah sumber daya manusia, penyebaran informasi kepada masyarakat tentang produk makanan yang tidak memenuhi standar mutu, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum. Persamaan penelitian milik Astried Djafar dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengkaji tentang pengawasan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM). Metode yang digunakan dalam penelitian sama-sama menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif berdasarkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Perbedaan penelitian milik Astried Djafar dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah terletak pada lokasi dan bidang kajiannya. Lokasi dalam penelitian milik Astried Djafar adalah di Balai Besar POM Surabaya. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Balai Besar POM Yogyakarta. Perbedaan yang lain adalah dilihat dari bidang kajiannya, jika penelitian milik Astried Djafar melihat peranan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen akibat peredaran produk makanan yang tidak memenuhi standarisasi mutu. Sedangkan peneliti akan
27
meneliti tentang kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya dan faktor yang menghambat kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya.
C. Kerangka Berfikir Laju pertumbuhan perusahaan obat dan makanan di Indonesia ternyata telah mendorong maraknya produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya beredar di wialayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Produk obat dan makanan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat setiap harinya tanpa disadari bahwa produk obat dan makanan tersebut dapat mengandung zat berbahaya. Produk obat yang mengandung zat berbahaya masih dijual bebas di pasaran seperti di toko obat, pasar, maupun swalayan membuat masyarakat resah. Keresahan masyarakat tersebut disebabkan oleh khasiat dan kemurnian obat seringkali disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, produk makanan seperti yang terdapat pada jajanan sekolah, makanan olahan, dan makanan kemasan yang berada di pasar dan toko-toko tradisional tanpa kita sadari makanan tersebut dapat mengandung zat berbahaya. Sama halnya dengan produk makanan yang berada di toko-toko modern atau swalayan yang sering kali kita anggap bersih dalam hal penyediaan produk makanan pun tidak luput dari ancaman bahan dan zat tambahan berbahaya Untuk melakukan pengawasan terhadap produk obat dan makanan di masyarakat, pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001
28
Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaksanakan tugas di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. sedangkan Balai Besar POM Yogyakarta merupakan “perpanjangan tangan” Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan serta visi dan misinya. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara terarah dan sistematis sehingga organisasi tersebut bisa berjalan secara efektif, efisien, dan responsif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu penilaian kinerja juga dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi dalam memenuhi harapan dan memuaskan masyarakat. Penilaian kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya menggunakan beberapa indikator diantaranya adalah produktivitas, responsivitas, dan responsibilitas. Indikator-indikator ini dipilih karena dari ketiga indikator tersebut dinilai oleh peneliti sebagai indikator yang paling sesuai dan dapat berfungsi sebagai tolak ukur untuk menilai kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya. Melalui pengukuran kinerja dengan menggunakan indikator-indikator tersebut dapat kita ketahui
29
apakah kinerja Balai Besar POM Yogyakarta sudah maksimal atau belum. Dengan adanya kinerja yang maksimal dari Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya, maka diharapkan terjaminnya keamanan produk obat dan makanan yang beredar di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
30
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Maraknya produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya beredar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengawasaan Balai Besar POM Yogyakarta terhadap produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya
Kinerja pengawasan Balai
Faktor yang menghambat
Besar POM Yogyakarta :
kinerja Balai Besar POM
1. Produktivitas
Yogyakarta
2. Responsivitas 3. Responsibilitas
Terjaminnya keamanan produk obat dan makanan yang beredar di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
31
D. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek produktivitas ? 2. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek responsivitas ? 3. Bagaimana kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya apabila ditinjau dari aspek responsibilitas ? 4. Apa faktor-faktor yang menghambat kinerja Balai Besar POM Yogyakarta dalam pengawasan produk obat dan makanan yang mengandung zat berbahaya?