BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Dalam bagian kajian teori ini berisi tentang pustaka untuk materi model pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) dan teori belajar matematika Dienes. 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Pada awal pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan dalam dunia pendidikan adalah kompetitif dan individualistik. Namun dalam perjalanannya, muncul kelemahan-kelemahan dari kompetitif dan individualistik, yaitu (a) kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat frustrasi siswa lainnya Slavin (2005: 6). Pembelajaran kooperatif muncul untuk mengatasi kelemahan tersebut. Belajar kooperatif sering dilakukan oleh siswa atau bahkan guru sewaktu menjadi siswa. Siswa bekerja sama dengan beberapa temannya untuk menyelesaikan tugas dari guru, sebagai contoh saat bekerja membuat keterampilan tangan. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompokkelompok yang terdiri dari 4-5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru. Kelompok dibagi secara heterogen, dimana pembagian anggota sesuai tingkat prestasi, jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang yang berbeda dan merata. Setelah dibagi dalam kelompok, siswa mendapat kesempatan untuk belajar bersama, lalu menjawab soal atau kuis secara individu yang hasilnya digabungkan dengan anggota kelompok yang lain. Nilai rata-rata kelompok yang tertinggi akan mendapat sertifikat yang manarik dan menambahkan foto anggota kelompok dan dipajang dalam dinding kelas Slavin (2005: 8). Dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama, pendapat Artzt & Newman dalam Abdussakir (2011). Masing-masing anggota memiliki
5
6
tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompok, selain itu sebagai individu anggota juga harus paham tentang materi yang diperoleh kelompok. Johnson & Johnson dalam Abdussakir (2011) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah, menurut Louisell & Descamps dalam Abdussakir (2011). Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kelompok yang beranggota secara acak. Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2002: 20) berpendapat bahawa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Dalam pelaksanaanya ada beberapa unsur penting dalam belajar kooperatif. Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Roger dan David Johnson dalam Anita Lie (2002: 20) , yaitu sebagai berikut: 1. Saling ketergantungan positif Keberhasilan kelompok sangat bergantung pada usaha setiap anggota, bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seluruh anggota terikat dengan tugas yang dibawa dalam mencapai tujuan kelompok, sehingga anggota saling tergantung satu sama lain. 2. Tanggung jawab individual Tugas yang diberikan setiap anggota berbeda, sehingga merasa memiliki tanggung jawab dalam kelompok. Masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok dapat dilaksanakan. 3. Tatap muka Saling bertukar ide atau pendapat dalam sebuah diskusi akan memperkuat hubungan positif dalam kelompok. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing.
7
4. Komunikasi antar anggota Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Sehingga tugas guru memberi contoh tidakan atau ungkapan kepada anggota yang setelah memberi pendapat. 5. Evaluasi proses kelompok Memberikan fasilitas khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama dengan lebih efektif. Teori-teori yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran kooperatif dibagi menjadi dua kategori utama, yiatu : a.
Teori Motivasi
Teori motivasi memfokuskan pada penghargaan yang diberikan kepada siswa yang melakukan usaha. Deutsch dalam Slavin (2005: 34) mengidentifikasikan tiga struktur tujuan motivasi, yaitu : a) Kooperatif, individu memberi kontribusi pada pencapaian tujuan anggota lainnya. b) Konpetitif, tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya. c) Individualistik, tiap individu tidak memiliki konsekuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lain. Menciptakan kondisi dimana satu-satunya cara agar setiap anggota kelompok tercapai tujuan pribadi mereka dengan membantu kelompoknya untuk bisa sukses dalam melakukan sebuah kegiatan. Sehingga dengan alami muncul motivasimotivasi yang tibul akibat saling mendukung antar anggota (pujian dan dukungan) agar anggota kelomponya dapat melakukan usaha maksimal. b. Teori Kognitif Teori Kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama (sebuah kelompok mencoba mencapai tujuan bersama atau tidak). Menurut Slavin (2005: 36) teori kognitif yang berbeda terbagi menjadi dua kategori utama yaitu : a) Teori Pembangunan, menurut para pakar tahun 80an khususnya yang menganut paham Piaget yang disimpulkan oleh Slavin dalam bukunya (2005: 38) yaitu interaksi yang terjadi antar siswa akan berjalan sendirinya untuk
8
mengembangkan prestasi siswa. Antar siswa akan belajar satu sama lain melalui diskusi mengenai materi yang dibahas, konflik pengetahuan (kognitif) akan timbul, alasan yang kurang tepat akan keluar dan mendapat masukan sehingga pemahaman dengan kualitas yang lebih tinggi akan tercipta sebagai kesepakatan bersama. Menurut Slavin (2005: 37) mengatakan “Terdapat dukungan yang besar terhadap gagasan bahwa interaksi di antara teman sebaya dapat membantu anak-anak yang non-conservers (tidak mampu melihat kekekalan) menjadi conservers (mampu melihat kekekalan)”. Kekalan yang dimaksud adalah hukum kekalan yang diciptakan Jean Piaget seperti yang tertulis dalam buku Nyimas Aisyah (2008: 19) dimana enam hukum kekalan itu yaitu kekalan bilangan (6-7 tahun), kekalan materi (7-8 tahun), kekalan panjang (8-9 tahun), kekalan luas (8-9 tahun) dan kekalan isi (14-15 tahun). b) Teori Elaborasi Kognitif, Wittock dalam Slavin (2005: 38) mengatakan bahwa penelitian dalam bidang kognitif telah membuktikan bahwa informasi jika masih ingin dipertahankan memori jangka panjang orang tersebut harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Sebagai contoh sebagai tugas merangkum atau meringkas menuntut siswa mengatur kembali materinya dan memilih bagian yang penting dari materi dan kegiatan ini lebih baik jika dibandingkan dengan tugas yang hanya mencatat materi dari sumbernya. Cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materi kepada orang lain. Donald Darsereau dalam buku Slavin (2005: 39) menyatakan bahwa peserta didik yang bekerja dalam struktur rancangan kooperatif dapat memahami materi lebih baik daripada mereka yang bekerja sendiri. Rangkaian kegiatan sebagi berikut “para siswa tersebut mengambil peran sebagai pembaca dan pendengar. Mereka yang membaca satu bagian dari teks, dan kemudian pembaca merangkum informasinya sementara pendengar mengoreksi kesalahan, mengisi materi yang hilang, dan memikirkan cara bagaimana kedua siswa dapat mengingat gagasan utamanya. Pada bagian teks berikutnya para siswa bertukar peran.”
9
Ini
memperlihatkan
terjadinya
penemuan
peer-tutoring
(pengajaran
antarteman), siswa yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kegiatan kooperatif adalah mereka yang memberikan penjelasan elaboratif kepada teman yang lain. Menurut penelitian Deutsch yang dilakukan pada 50 siswa yang dibagi dalam 10 kelompok dalam buku Huda (2011: 9) menunjukkan bahwa siswa-siswa yang berada dalam kelompok kooperatif lebih sering bekerja sama, terkoordinasi, lebih memperhatikan pembagian kerja yang setara antarsetiap anggota di dalamnya. Mereka lebih peduli pada gagasan orang lain, efektif berkomunikasi dan termotivasi mencapai tujuan bersama. Huda (2011: 17) menunjukkan bahwa studi oleh pakar pembelajaran kooperatif seperti Johnson dan Johnson, Slavin dan Sharan menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan strategi pengajaran efektik dalam meningkatkan prestasi dan sosialisasi siswa sekaligus turut berkontribusi bagi perbaikan sikap dan pandangan tentang pentingnya belajar dan bekerja sama, khususnya bagi mereka yang berada pada lingkungan sekolah yang berasal dari latar belakang etnis yang berbedabeda. Menurut Slavin (2005: 40) pembelajaran kooperatif memiliki potensi penghalang dalam pelaksanaanya, yaitu adanya pemboncengan nama dalam setiap tugas kelompok. Kontribusi sebagian anggota kurang maksimal akan mengakibatkan anggota kelompok yang kooperatif merasa dirugikan. Maka dari itu diperlukan komitmen dari siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran kooperatif. 2.1.2 Kooperatif tipe Team Game Tournament (TGT) Dalam kelas siswa pasti memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga guru menjadi kesulitan untuk memilih dan menerapkan pembelajaran yang tepat untuk jenis kelas yang siswanya heterogen. Menurut Huda (2011: 4) pertengahan abad 20, penelitian tentang perilaku manusia dalam kelompok konteks ilmu sosial menghasilkan bahwa kelompok (group) berpengaruh signifikan terhadap perilaku sosial individu. Penelitian tahun 1949 oleh Morton Deutsch dalam Huda (2011: 11) membuktikan bahwa pembelajaran kooperatif akan mencapai tujuannya dengan lebih prosuktif, saling berkomunikasi dengan intens dari pada mereka
10
yang memilih untuk berkompetisi sendiri. Penelitian ini didukung pernyataan Robert E. Slavin dalam bukunya Slavin (2005: 4) bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan pencapaian prestasi siswa dan juga akibar positif lainnya dapat mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap teman yang berkemampuan lemah dalam bidang akademik dan meningkatkan rasa harga diri. Selain itu, untuk siswa sendiri adalah tumbuhnya kesadaran bahwa siswa perlu belajar untuk berfikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka. Pembelajaran kooperatif memiliki banyak tipe, salah satunya yaitu Team Games Tournament (TGT). Metode ini merupakan pembelajaran pertama dari John Hopkins, menggunakan turnamen mingguan dimana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Tipe ini menggabungkan model pembelajaran kooperatif itu sendiri yang digabungkan dengan model kompetisi antar kelompok. Anita Lie (2002: 23) berpendapat bahwa model kompetisi bisa menimbulkan rasa cemas yang dapat memacu siswa untuk meningkatkan kegiatan belajar. Meningkatnya kegiatan belajar ini perdampak dalam meningkat hasil belajar yang pada akhir pembelajaran akan dibandingkan dengan hasil siswa atau kelompok lain. Menurut Robert E. Slavin (2005: 166), pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 komponen utama, yaitu 1. Presentasi di Kelas Guru menyampaikan materi seperti
yang biasa dilakukan ketika
memberikan materi dimatapelajaran sebelumnya, misalnya menggunakan ceramah dan diskusi yang dipimpin guru. Selain itu guru juga menyampaikan tujuan, tugas, kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberian motivasi agar siswa menikmati setiap sesi pembelajaran. Pada saat
penyampaian
materi
oleh
guru
siswa
harus
benar-benar
memperhatikan, karena akan membantu siswa ketika akan melakukan turnamen karena skor individu mempengaruhi skor kelompok. 2. Tim (belajar kelompok)
11
Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompok mewakili (kemampuan akademik, ras, etnis, dan jenis kelamin) sehingga adanya heterogenitas diharapkan antar anggota kelompok saling membantu. Dalam persiapan melalui belajar kelompok kegiatan yang dapat dilakukan siswa adalah memecahkan masalah bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi
tiap
kesalahan
pemahaman
oleh
teman
anggota
kelompok.Selain itu setiap kelompok memiliki tugas untuk memperdalam pengetahuan bersama kelompoknya sebagai persiapan anggota untuk mengikuti turnamen. 3. Persiapan Game Guru menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang kontennya sesuai mateti yang disajikan dan dirancang untuk menguji kemampuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan belajar tim. Yang perlu disiapkan adalah kartu soal yang dilengkapi dengan nomor, skor, pertanyaan, jawaban mengenai materi dan tabel skor tim. Game dimainkan oleh tiga atau lebih anak dalam sebuah meja, dan masing-masing adalah perwakilan dari tim masing-masing. 4. Turnamen Turnamen adalah sebuah struktur game yang dimainkan. Dilaksanakan setelah penyajian materi oleh guru dan belajar kelompok oleh siswa. Pada tahap pertama guru menempatkan 3 atau 4 (sesuai banyak kelompok) perwakilan dari tiap tim untuk menduduki meja turnamen 1, 4 siswa berikutnya perwakilan dari tiap-tiap tim meduduki meja turnamen 2, dan seterusnya. Setiap jawaban salah, pada kolom skor diberi angka 0 (nol) jika jawaban benar kolom skor diisi sesuai skor yang tertera dalam soal, dan begitu seterusnya. 5. Rekognisi Tim Bagi tim yang memiliki nilai rata-rata terbaik mendapat penghargaan berupa sertifikat atau penghargaan dalam bentuk lain.
12
Meja
Meja
Meja
Meja
Turnamen
Turnamen
Turnamen
Turnamen
1
2
3
4
Gambar 2.1 Skema pertandingan atau turnamen TGT menurut Slavin Keterangan bagan : Kelas dibagi dalam beberapa kelompok, contoh diatas kelompok A, B dan C. A1, B1, C1
= siswa berkemampuan tinggi
A(2,3) B(2,3) C(2,3)
= siswa berkemampuan sedang
A4, B4, C4
= siswa berkemampuan rendah
Meja Turnamen 1,2,3,4
= meja turnamen tiap kemampuan
Pembelajaran TGT (Team Game Turnament) memiliki kelebihan dan kekurangan, antara lain : a. Kelebihan -
Jika siswa dikondisikan dalam tim heterogen, kemampuan siswa yang lemah dalam akademik dapat termotivasi dengan siswa yang akademiknya tinggi.
-
Siswa menjadi lebih bersemangat dalam belajar.
13
-
Keterlibatan siswa dalam belajar sangat tinggi.
-
Pengetahuan yang diperoleh siswa bukan hanya didapat dari presentasi guru namun melalui kontruksi siswa sendiri.
-
Menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa seperti kerjasama, kebersamaan, toleransi, tanggung jawab, dan bisa menerima pendapat orang lain.
b. Kekurangan -
Membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.
-
Butuh penyesuaian kondisi jika dipakai sebagai kegiatan rutinitas.
-
Jika siswa tidak diawasi dengan baik akan menimbulkan kegaduhan dikelas.
2.1.3
Siswa terbiasa mendapatkan hadiah.
Pembelajaran Matematika Melalui Teori Belajar Dienes
2.1.3.1 Pembelajaran Matematika Matematika merupakan suatu bahan kaji yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Suminarsih (2007: 1) mengemukakan bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan berpikir logis. Maka dari itu mata pelajaran matematika dimasukkan dalam tiga tingkat pendidikan di Indonesia, yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam matematika di SD membekali peserta didik untuk mampu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Pembelajaran matematika disekolah harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan berjalannya waktu muncul teori-teori belajar yang dapat dimanfaatkan guru untuk memaksimalkan pembelajaran matematika. Ditambah muncul beberapa modelmodel pembelajaran yang dapat mendukung kesuksesan pembelajaran matematika lebih menarik dalam penyajiannya kepada siswa.
14
2.1.3.2 Teori Belajar Dienes Zoltan P. Dienes seorang matematikawan yang memusatkan perhatian pada cara-cara pengajaran terhadap siswa-siswa. Dasar teori ini bertumpu pada Piaget dan pengembangannya diorientasikan pada siswa-siswa, sehingga sistem yang dikembangkan menarik bagi siswa yang mempelajarinya. Teori Piaget melihat sisi atau aspek dalam diri siswa yaitu tingkat perkembangan kognitif khususnya siswa. Sependapat dengan Piaget, tentang perkembangan intelektual. Selain itu teori Dienes ini juga berkaintan dengan pendekatan PAKEM yang didalamnya ada unsur permianan. Jean Piaget menurut Soemakin dalam Nyimas Aisyah dkk (2008: 3) berpendapat bahwa proses berpikir manusia memiliki tahapan dari lahir hingga dewasa. Proses berpikir dibagi dalam empat tahap perkembangan, sebagai berikut: 1.
Periode Sensori Motor (0-2) tahun. Karakteristik period ini merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan yang timbul karena anak melihat objek dan meraba-raba objek.
2.
Periode Pra-operasional (2-7) tahun. Operasi yang dimaksud disini adalah suatu proses berpikir atau logik, dan merupakan aktivitas mental, bukan aktivitas sensori motor. Pada periode ini anak belum dapat mengambil keputusan secara logis, melainkan keputusan yang dapat dilihat seketika. Periode ini sering disebut juga periode pemberian simbol, misalnya suatu benda diberi nama (simbol). Anak terpaku pada kontak langsung dengan lingkungannya, tetapi anak mulai memanipulasi simbol dari benda-benda sekitar.
3.
Periode operasi kongkret (7-12) tahun. Periode ini disebut operasi kongkret sebab berpikir logiknya didasarkan atas manipulasi fisik dari objek-objek. Pengerjaan-pngerjaan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke objekobjek atau peristiwa-peristiwa yang langsung dialami anak. Anak masih terikat dengan pengalaman pribadi, pengalaman anak masih kongkret dan belum formal. Dalam periode operasi kongkret, karakteristik berpikir anak adalah sebagai berikut :
15
a.
Kombinasivitas atau klasifikasi adalah suatu operasi dua kelas atau lebih yang dikomunikasikan ke dalam suatu kelas yang lebih besar. Anak dapat membentuk variasi relasi kelas dan mengerti bahwa beberapa kelas dapat dimasukkan ke kelas lain. Misalnya semua manusia laki-laki dan semua manusia perempuan adalah semua manusia. Hubungan A>B, B>C menjadi A>C.
b.
Reversibilitas adalah operasi kebalikan. Misalnya, 3 + ? = 4 sama dengan 4 – 3 = ?. Reversibilitas ini merupakan karakteristik utama untuk berpikir operasional di dalam teori Piaget.
c.
Asosiasivitas adalah suatu operasi terhadap bebepa klas yang dikombinasikan mnurut sembarang urutan. Misalnya himpunan bilangan bulat, operasi “+”, berlaku hukum asosiatif terhadap penjumlahan.
d.
Identitas adalah suatu operasi dengan unsur atau kelas hasilnya tidak berubah. Misalnya dalam himpunan bilangan bulat dengan operasi “+”, Unsur nol adalah 0 sehingga 5 + 0 = 5. Demikian juga suatu jumlah dapat dinolkan dengan mengkombinasikan lawannya, misalnya 5 ditambah – 5 menjadi 5 – 5= 0.
e.
Korespondensi satu-satu antara objek-objek dari dua kelas. Misalnya unsur dari suatu himpunan berkawan dengan satu unsur dari himpunan kedua dan sebaliknya.
f.
Kesadaran adanya prinsip-prinsip konservasi. Konservasi berkenaan dengan kesadaran bahwa satu aspek dari benda, tetap sama sementara aspek lainnya berubah. Anak pada periode ini dilandasi oleh observasi dari pengalaman dengan objek nyata, tetapi ia seudah mulai menggeneralisasi objek-objek tadi.
4.
Periode Operasi Formal (12-seterusnya) tahun. Periode ini juga disebut periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan tahap tertinggi dari perkembangan intelektual. Anak-anak pada periode ini sudah memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbol atau gagasan dalam cara berpikir. Anak sudah dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa
16
dikaitkan dengan benda-benda empirik. Anak sudah dapat melihat hubungan-hubungan abstrak dan menggunakan proposisi-proposisi logikformal termasuk aksioma dan definisi-definisi verbal. Ruseffendi yang ditulis Somakim dalam Nyimas Aisyah (2007: 17), untuk dapat mengajarkan konsep matematika pada anak dengan baik dan mudah dimengerti, maka materi yang akan disampaikan disesuaikan dengan tingkat intelektualnya sudah siap atau belum dapat menerima materi tersebut. Menurut Piaget dalam Ruseffendi Nyimas Aisyah (2007: 18), ada enam tahap dalam perkembangan belajar anak yang disebut dengan hukum kekekalan, yaitu : 1. Hukum kekekalan bilangan (6-7 tahun) Anak yang sudah memahami kekekalan bilangan akan mengerti bahawa suatu jumlah benda itu tetap walaupun dipindah-pindah posisinya. 2. Hukum kekekalan materi (7-8 tahun) Anak yang sudah memahami hukum kekekalan materi atau zat akan mengatakan bahwa materi atau zat akan tetap sama banyaknya meskipun dipindah tempatnya. 3. Hukum kekekalan panjang (8-9 tahun) Anak yang sudah memahami hukum kekekalan panjang akan mengatakan bahwa panjang tali akan tetap meskipun tali itu dilengkungkan. 4. Hukum kekekalan luas (8-9 tahun) Selain kekelan panjang, pada usia 8-9 tahun anak juga sudah waktunya memahami tentang kekekalan luas. Anak yang sudah memahami hukum kekekalan luas akan mengatakan bahwa luas daerah yang ditutupi suatu benda akan tetap sama luas meskipun letak benda diubah. 5. Hukum kekekalan berat (9-10 tahun) Anak yang sudah memahami hukum kekekalan berat akan mengatakan bahwa berat suatu benda akan tetap meskipun bentuk, tempat dan alat penimbangan benda tersebut berbeda. 6. Hukum kekekalan isi (14-15 tahun)
17
Anak yang sudah memahami hukum kekalan isi menyatakan bahwa pada suatu bak atau bejana yang penuh dan dimasukkan suatu benda, maka air yang tumbah sama dengan benda yang dimasukkan. Teori belajar Dienes yang menekankan pada tahapan permainan yang berarti proses pembelajaran melibatkan anak didik dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dapat membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu selain terkait dengan teori Piaget, teori Dienes juga terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan). Secara garis besar PAKEM menggambarkan kondisi-kondisi sebagai berikut : a. Peserta didik terlibat dalam berbagai
kegiatan
(aktivitas)
yang
mengembangkan keterampilan, kemampuan dan pemahamannya dengan mnekankan pada belajat dengan berbuat (learning by doing). b. Guru mennggunakan berbagai motivasi dan alat peraga, termasuk lingkungan sebagai sumber belajar agar pengajar lbih menarik, menyenangkan dan relevan bagi peserta didik. c. Guru mengatur kelas untuk memajang buku dan materi dengan tampilan yang menarik. d. Guru menggunakan cara belajar yang lebih kooperatif dan interaktif melalui pembagian siswa dalam kelompok-kelompok. e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah yang disediakan guru maupun dari siswa sendiri sehingga mereka dapat mengungkapkan gagasan sendiri dan melibatkan peserta didik dalam menciptakan lingkungan sekolahnya sendiri agar siswa lebih nyaman. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PAKEM, yaitu : a. Memahami sifat anak (sesuai dengan umur) b. Mengenal peserta didik secara individu, misalnya sejarah kesehatan siswa. Bermanfaat untuk mengantisipasi kegiatan yang dihindari anak-anak yang memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik.
18
c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar. Misalnya menawarkan pada siswa bagi yang ingin menjadi ketuaketua kelompok, sekaligus melatih siswa berorganisasi. d. Mengembangkan
kemampuan
berpikir
kritis,
kreatif
dalam
kemampuan memecahkan masalah. Ini berarti kasus-kasus atau masalah-masalah yang disediakan guru disesuikan kemampuan anak, sehingga tidak terlalu mudah atau sulit bagi siswa. e. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik. f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. g. Memberikan umpan balik yang tanggung jawab untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Dienes dalam Nyimas Aisyah (2008: 2) “mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.” Didalam teorinya, Dienes membagi beberapa tahap agar konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Tahapan tersebut adalah: 1.
Permainan Bebas (Free Play) Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Kebebasan untuk mengatur benda diberikan siswa sehingga selama permainan pengetahuan anak akan muncul. Dengan permainan bebas anak mulai mmbentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. 2.
Permainan yang Menggunakan Aturan (Games) Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola
dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Banyak pola akan
19
mempengaruhi tingkat usaha siswa dalam mencari, sedangkan keteraturan dalam konsep akan muncul ketika macam pola ditambah dan dilakukan berulang-ulang. 3.
Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities) Dalam mecari kesamaan sifat siswa dimulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan. Menyiapkan dua benda yang berbeda dan mencari kesamaan dan perbedaannya. 4.
Permainan Representasi (Representation) Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Siswa menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapi, dengan demikian mereka telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari. 5.
Permainan dengan Simbolisasi (symbolization) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau perumusan verbal. 6.
Permainan dengan Formalisasi (Formulization) Dalam tahap ini siswa dituntut untuk merumuskan sifat-sifat konsep dan
kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut. Karso dalam Nyimas Aisyah dkk (2008: 11) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. 2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Ayuk Septiana Dewi (2011: 54) dalam penelitiannya yang berjudul Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Tournament) Terhadap Hasil Belajar bagi Siswa Kelas V SD menyimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Game Tournament) efektif terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD. Dalam penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Gigih Febrianto yang berjudul Pengaruh Penggunaan Model
20
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Game Turnament) pada Pembelajaran IPS Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Ngeri 1 Wadeslintang Kecamatan Wadeslintang Kabupaten Wonosobo Semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan model pembelajaran TGT berpengaruh terhadap hasil belajar. Hasil belajar siswa setelah pemblajaran dengan mnggunkana model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih tinggi dibandingkan hasil belajar siswa setelah pembelajaran tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini berdasar pada nilai rata-rata kelas antara kelas kontrol mendapat 72,34 dan untuk kelas eksperimen mendapat 85,36. Penelitian yang dilakukan oleh Wanda Ferdianto (2011: 46) yang berjudul Pengaruh Penerapan Teori Belajar Dienes dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Matematika Kelas IV Semester II di SD Negeri Salatiga 01 menyimpulkan bahwa penerapan teori belajar Dienes dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa. Penelitian sebelumnya yang sudah disampaikan berbeda, akan tetapi masih berhubungan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian ini terdapat unsur yang sama membahas tentang pembelajaran menggunakan TGT dan penerapan teori Dienes. Namun penelitian kali ini menjadi berbeda, karena dalam penelitian ini peneliti mengembangkan model pembelajaran TGT berdasar teori Dienes dalam sebuah bahan ajar modul yang dibagikan oleh kelas penelitian dalam mata pelajaran matematika materi sifat-sifat bangun ruang. Penelitian ini melalui beberapa tahap pembuatan produk yang harus direvisi melalui pakar modul, pakar model, dan saran perbaikan dari guru-guru sebagai praktikan yang telah menggunakan produk penelitian berupa bahan ajar modul. 2.3 Kerangka Pikir Matematika merupakan mata pelajaran yang dapat menjadikan manusia Indonesia untuk kritis dan berfikir logis melalui rangkaian proses pembelajaran. Dienes
menciptakan
tahapan-tahapan
pembelajaran
matematika
dengan
permainan. Sehingga dalam proses pembelajaran dibutuhkan pendukungan yang dapat memaksimalkan setiap tahapan permainan Dienes. Model pembelajaran
21
kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) merupakan salah satu model pembelajaran yang mengandung unsur positif dari kegiatan yang melalui kelompok. TGT sudah menerapkan unsur-unsur yang dimiliki pembelajaran kooperatif didalamnya (saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, tatap muka, evaluasi proses kelompok dan komunikasi antar anggota). Pembelajaran berupa permainan siswa tidak hanya bergantung pada kelompok namun juga bertanggung jawab atas tugas individu untuk penambahan skor yang dimiliki kelompok. Dari keunggulan pembelajaran TGT, teori Dienes dan manfaat belajar matematika yang sudah disampaikan peneliti ingin mengembangkan ketiga unsur tersebut dalam bahan ajar yang menarik untuk siswa. Bahan ajar yang dimaksud adalah bahan ajar berupa modul yang mencantumkan beberapa kegiatan yang mencerminkan bahwa pembelajaran TGT dan teori belajar matematika Dienes terlaksana. Produk yang berupa bahan aja berupa modul nantinya akan mendampingi siswa dari kegiatan awal untuk menggali pengetahuan awal hingga melaksanakan evaluasi sehingga anak terlibat aktif dalam pembelajaran.
22
Kelebihan Dienes
Kelebihan TGT
Matematika sifatsifat bangun ruang
Produk awal modul Validasi produk
Pakar modul
Pakar materi
Saran perbaikan Revisi produk modul Uji coba produk 32 siswa kelas V SD Negeri 5 Dimoro
5 guru kelas kecamatan Toroh
Penyebaran angket dan hasil evaluasi siswa
Penyebaran angket dan saran perbaikan Revisi produk akhir
Hasil penelitian dan produk akhir modul
Gambar 2.2 Bagan kerangka berfikir
23
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, kajian teori, dan kerangka berfikir, maka peneliti dapat mengambil hipotesis dalam penelitian ini adalah model TGT (Team Game Turnament) berdasarkan teori belajar Dienes yang dikembangkan diduga efektif digunakan dalam pembelajaran kelas V SD.