BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian Paradigma merupakan kekuatan dasar yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah ilmu pengetahuan. Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian serta memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diprioritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberikan rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. Menurut sebuah analisis yang dikutip dari Bogdan dan Biklen (1982), paradigma meupakan kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Narwaya, 2006 : 110). Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme (2) paradigme kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008 : 237) Paradigma Positivisme dan Postpositivisme August Comte (1798-1857) adalah filsuf yang mempelopori kemunculan aliran filsafat postivisme. Positivisme mendominasi wacana ilmu pengetahuan pada awal abad 20-an dengan menetapkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia ataupun alam untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan yang benar. Demi terpenuhinya, kriteria-kriteria tersebut, maka ilmu-ilmu harus memiliki pandangan dunia positivistik sebagai berikut :pertama, objektif. Teoriteori tentang semesta haruslah bebas nilai. Kedua, fenomenalisme.Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang semesta yang teramati.Ketiga, reduksionisme.Semesta direduksi menjadi faktafakta keras yang dapat diamati.Keempat, naturalisme.Alam semesta adalah objek-
Universitas Sumatera Utara
objek yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam.Positivisme memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu bahkan sampai dewasa ini (Bungin, 2008:10). Ketika para peneliti komunikasi pertama kali berkeinginan meneliti dunia sosial secara sistematis, mereka menggunakan ilmu pengetahuan fisik sebagai model.Kelompok ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan fisik meyakini positivisme sebagai suatu pandangan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui fenomena yang empiris, dapat diamati dan diukur serta diuji dengan metode ilmiah.Akan tetapi, manusia bukanlah seperti gelas kimia yang berisi air. Akibatnya, para ilmuwan sosial berkomitmen dengan praktik metode ilmiah yang menggunakan teori postpositivis, yaitu teori yang didasarkan pada pengamatan empiris yang diarahkan oleh metode ilmiah, tetapi menyadari bahwa manusia dan perilaku manusia tidak sekonstan elemen yang ada didunia fisik (Davis dkk, 2010 :14). Namun dalam praktiknya, implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga dalam tulisannya, Guba menyatukan nya dalam paradigma klasik (Bungin, 2008 : 238) Dalam memandang suatu wacana dari segi bahasa menurut Moh. A.S. Hikam, paradigma positivisme dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama dan diukur kebenaran/ketidakbenarannya terhadap sintaksis dan semantik. Selain itu pandangan positivisme juga menganggap bahwa media adalah saluran pertukaran pesan dan berita adalah cerminan dan refleksi dari kenyataan. Karena itu berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang dipilihnya, opini dan pandangan subjektif dari pembuat berita harus disingkirkan. Wartawan berperan sebagai pelapor sehingga berita yang diterima pada tangan pembaca sama dengan apa yang dimaksudkan dengan pembuat berita. (Eriyanto, 2001). Paradigma Konstruktivisme Dalam aliran Filsafat seperti yang dinyatakan oleh K. Bertens (1993), gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide.Dan gagasan itu lebih
Universitas Sumatera Utara
konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya.Ia juga mengatakan bahwa, manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno (1997): pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstrukstivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata.Pengetahuan bagi mereka merefleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi
relasi
sosial
antara
individu
dengan
lingkungan
atau
orang
disekitarnya.Dan konstruksivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann (1990) disebut dengan konstruksi sosial (Bungin, 2011:14). Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Eriyanto dalam bukunya yang berjudul Analisis Framing (2002: 19) menyebutkan bahwa pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: 1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Gans, dalam Eriyanto, 2002:19) 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai; media
Universitas Sumatera Utara
dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik 4. Berita bersifat subjektif/konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5.
Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009:95) Paradigma Kritis Paradigma ini beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagianya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43). Paradigma kritis hadir untuk mengoreksi paradigma konsturktivis yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam (Eriyanto,2001:6), pandangan konsturktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran pada anlaisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekannkan pada konstelasikekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara
Universitas Sumatera Utara
bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat dipengaruhi dan berhubungan dengan kekuatan sosial yang ada dimasyarakat.Bahasa juga disini dianggap bukan sebagai medium yang netral yang terletak di luar diri si penulis.Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis teks dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti digunakan, atau topik apa yang seharusnya dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasiyang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto,2001:6)
Paradigma Penelitian Secara ontologis, paradigma konstruktivieme bersifat relativis.Realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi mental yang diperolehsecara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kalidipertukarkan di antara sejumlah
individu.Secara
bersifattransaksional
dan
epistemologis, subjektivis.Peneliti
paradigma dan
konstruktivisme objek
penelitian
diasumsikanterhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebuttercipta seiring berlangsungnya penelitian. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis.Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3). Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu
Universitas Sumatera Utara
memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97). Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada level ontologi, paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus. Guba dalam bukunya The Paradigm Dialog (1990: 25) menyatakan: “...philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the context of mental framework (construct) for thinking about it.” Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse, 1980).Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada.Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut.Itu berarti realitas ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Selanjutnya ia menyatakan : “Constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible.” Kutipan tersebut mempunyai arti bahwa kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan.Ini berarti menurut Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai.Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi
Universitas Sumatera Utara
dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang terakhir dan penting adalah : “Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah”. Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus (Guba, 1990: 26). Dari beberapa penjelasan Guba tersebut dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai, tidak mungkin bebas nilai. Dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap, tetapi berkembang terus. 2.2Uraian Teoritis Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40). Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teoriteori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
2.2.1Analisis Framing Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini, menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomenafenomena media mutakhir . (Agus Sudibyo: 2001) Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan.Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis).Dalam prakteknya, analisis framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya. Konsep framing sering digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi–informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain. Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai ‘’seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi.Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Dari definisi Entman tersebut framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya analisis framing mempunyai asumsi bahwa wacana media massa memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu dan persoalan yang hadir dalam wacana publik. Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbedabeda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana.Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi sangat dipengaruhi oleh status, wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing. Dalam konteks inilah wacana media massa kemudian menjadi arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu objek wacana. Perdebatan yang terjadi di dalamnya dilakukan dengan cara-cara yang simbolik, sehingga lazim ditemukan bermacammacam perangkat linguistik atau perangkat wacana yang umumnya menyiratkan tendensi untuk melegitimasi diri sendiri dan mendelegitimasi pihak lawan. Maka jelas terlihat bahwa framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan), melainkan juga berhubungan juga dengan proses produksi berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai tertentu, tidak bingkai yang lain, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur skema wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan peristiwa. Ide tentang framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame
sebagai kepingan-kepingan
perilaku
(strips
of
behaviour)
yang
membimbing individu dalam membaca realitas. Peneliti yang paling konsisten mendiskusikan dan mengimplementasikan konsep framing adalah Willian A. Gamson.Gamson terkenal dengan pendekatan konstruksionisnya untuk menganalisis wacana komunikasi. Menurut Gamson dan
Universitas Sumatera Utara
Modigliani, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Selain Gamson dan Modigliani, berkaitan dengan dilihatnya framing sebagai proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media, Robert M. Entman lebih lanjut mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral, dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Ada beberapa tokoh yang memberikan definisi framing. Beberapa definisi para ahli tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1. Definisi Framing Menurut Beberapa Tokoh: TOKOH
DEFINISI
Robert N. Entman
Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.
William A. Gamson
Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Todd Gitlin
Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.itu dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. David
E.
Snow and Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang
Robert Benfort
relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.
Amy Binder
Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa
secara
langsung
atau
tidak
langsung.
Frame
mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. Zhongdang
Pan
and Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi
Gerald M. Kosicki
yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama dari definisi framing tersebut.Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Akibat penonjolan aspek-aspek tertentu ini, karenanya, seperti dikatakan Frank D. Durham, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti.Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Ada dua aspek dalam framing.Pertama, memilih fakta/ ralitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak melihat peristiwa tanpa
Universitas Sumatera Utara
perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan ini diungkapkan dengan, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemaikaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/ peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dsb. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Gagasan Gamson mengenai frmae media ditulis bersama Andre Modigliani. Sebuah frame mempunyai struktur internal. Pada titik ini ada sebuah pusat organisasi atau ide, yang membuat peristiwa menjadi relevan dan menekankan sebuah isu. Sebuah frame pada umumnya menunjukkan dan menggambarkan range posisi, bukan hanya satu posisi. Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani, frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu
Universitas Sumatera Utara
wacana. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas sejumlah kemasan (package) melalui mana konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan dan hendak kemana berita tersebut dibawa, Gamson Modigliani menyebut cara pandang tersebut sebagai kemasan (package) (Eriyanto, 2005 :223-224). Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki kebijakan politis tersendiri. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162). Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tak terelakkan. Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan
yang
khusus,
interpretasi
kausal,
evaluasi
moral
dan
merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi
Universitas Sumatera Utara
tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab,
memberikan penilaian
moral dan
menawarkan
penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan. 2.2.2Frame Model Gamson dan Modegliani Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan Frederick (dinyatakan pula oleh William A Gamson dan Andre Modegliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representatif yang mengandung kontruksi makna tertentu. Rumusan tentang perangkat framing juga diberikan oleh McCauley dan frederick (dinyatakan pula oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani). Rumusan ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media; berita dan artikel, terdiri atas package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tertentu.Di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condensing symbols.Struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang sedang dibicarakan.Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua sub-struktur, yaitu framing devices dan reasoning devices. Seperti dijelaskan Gamson, framing devices terdiri atas: methapor, exemplars, catchphrase, depiction, dan visual image. Sedangkan reasoning devices terdiri atas: root (analisis kausal), consequencies (efek-efek spesifik), dan appeals to principle (klaim-klaim moral). Lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
FRAMING ANALYSIS MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI
Sumber : Diadopsi dari William A. Gamson dan Andre Modigliani, ‘’Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power a Constructionist Approach’’, Journal of sociology, Vol. 95, No.1, July 1989, hlm. 3, dalam Siahaan et al., 2001, hlm. 87, Alex sobur hal 177 dan Eriyanto hal 225
Universitas Sumatera Utara
Struktur framing devices (perangkat pembingkai) yang mencakup metaphors (metafora), exemplars (contoh terkait), catchphrases (frase yang menarik), depictions (penggambaran suatu isu yang bersifat konotatif), dan visual images (gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai) menekankan aspek bagaimana ‘’melihat’’ suatu isu. Struktur reasoning devices (perangkat penalaran) menekankan aspek pembenaran terhadap cara ‘’melihat’’ isu, yakni roots (analisis kausal), appeals to principle (klaim moral), dan consequences (konsekuensi yang didapat dari bingkai). Secara literal, metaphors dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau
memakai kiasan dengan
menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. Henry Guntur Tarigan menilai metafora sebagai sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek; dan satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1990:15). John Fiske (Imawan, 2000:66) menilai metafora sebagai common sense, pengalaman hidup keseharian yang di-taken for granted masyarakat. Common sense terlihat alamiah (kenyataannya diproduksi secara arbitrer) dan perlahanlahan menjadi kekuatan ideologis kelas dominan dalam memperluas dan mempertahankan ide untuk seluruh kelas.Metafora berperan ganda; pertama sebagai perangkat diskursif, dan ekspresi piranti mental; kedua, berasosiasi dengan asumsi atau penilaian, serta memaksa teks membuat sense tertentu. Exemplars mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/pelajaran.Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif. Catchphrases, istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pemikiran atau semangat tertentu.Dalam teks berita, catchphrases mewujud dalam bentuk jargon, slogan, atau semboyan. Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu.Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan
Universitas Sumatera Utara
tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.Depictions dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi. Visual images, pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya perhatian atau penolakan, dibesarkan-dikecilkan, ditebalkan atau dimiringkan, serta pemakaian warna.Visual image bersifat sangat natural, sangat mewakili realitas yang membuat erat muatan ideologi pesan dengan khalayak. Roots (analisis kausal), pemberatan isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya, membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebabakibat yang digambarkan atau dibeberkan. Appeal to Principle, pemikiran, prinsip, klaim moral sebagai argumentasi pembenar membangun berita, berupa pepatah, cerita rakyat, mitos, doktrin, ajaran, dan sejenisnya. Appeal to principle yang apriori, dogmatis, simplistik, dan monokausal (nonlogis) bertujuan membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Fokusnya, memanipulasi emosi agar mengarah ke sifat, waktu, tempat, cara tertentu, serta membuatnya tertutup/keras dari bentuk penalaran lain. Dan pada akhirnya akan didapat konsekuensi dari teks berita, yang terangkum dalam consequences. Adapun beberapa penelitian yang telah menggunakan
framingmodel
Gamsom dan Modegliani contihnya, BUNG KARNO DALAM WACANA MEDIA MASSA ORDE BARU: Analisis terhadap Berita-Berita tentang Bung Karno dalam Majalah Tempo dan Majalah Editor Edisi Januari 1988-Juni 1994 dengan Pendekatan Framing. (Agus Sudibyo:2001) Pembicaraan tentang sejarah Indonesia terasa kurang lengkap tanpa menyebut satu nama, Bung Karno. Sulit untuk disangkal bahwa peranan dan kepeloporan
Bung
Karno
dalam
perjalanan
sejarah
Indonesia
sangat
dominan.Meminjam kata-kata Mahbub Djunaidi, “Bung Karno adalah potongan kayu bakar yang terbesar gelondongannya yang sudah membakar api nasionalisme Indonesia, membakar api persatuan nation Indonesia, dan membakar api revolusi nasional yang pada puncaknya memerdekakan negeri ini.”
Universitas Sumatera Utara
Bung Karno adalah nation and character builder yang telah membawa bangsa Indonesia ke arah terbentuknya bangsa yang berkpribadian khas. Bung Karno juga nerupakan simbol nasionalisme Indonesia yang berhasil menjembatani perbedaan di antara suku-suku di Indonesia dan menanamkan kepada mereka kesadaran tentang satu bangsa, bangsa Indonesia. Dalam percaturan politik internasional, ia adalah figur negarawan yang representatife pada masanya dan merupakan salah satu dari pemimpin berkarisma istimewa dalam nasionalisme Asia dan Afrika. Berbagai kalangan tanpa terkecuali yang pada awalnya tidak menyukainya, mengakui keberadaan Bung Karno sebagai pemimpin terkemuka di Asia, serta salah satu tokoh politik dunia yang sangat diperhitungkan. Memahami manusia Soekarno, bagaikan memahami lukisan dengan seribu warna.Meminjam istilah Benda, Bung Karno adalah sosok dramatic personae, sebuah gambaran pribadi yang bukan hanya popular dan karismatik di mata rakyat, tapi juga kontradiktif dan controversial. Bung Karno mewakili sosok pemimpin rakyat yang multidimensional. Tidak ada tokoh di Indonesia yang semarak label seperti Bung Karno: proklamator, Bapak Bangsa, nation and character building, singa podium, agitator ulung, pemimpin absolute-totaliter dan kolaborator Jepang. Sebagian label itu bahkan berasal dari luar negeri, sebagai bukti bahwa ketokohan Bung Karno juga diakui khalayak internasional. Kompleksitas Bung Karno sebagai seorang pemimpin terlihat dari beragam perspektif yang digunakan masyarakat Indonesia untuk memandang Bung Karno.Disatu sisi, Bung Karno memang dihormati berkat pengorbanan dan kontribusinya dalam sejarah perjuangan bangsa. Di sisi lain, Bung Karno juga dipersalahkan karena tidak mau membubarkan PKI pasca G-30S/PKI 1965, kegagalan ekonomi dan proyek-proyek mercusuar yang tidak efisien di era Demokrasi Terpimpin, serta kisah-kisah asmaranya yang kurang mencerminkan kualitas seorang pemimpin. Bung Karno juga dituduh sebagai penguasa yang cenderung totaliter. Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah bagaimanakah sebenarnya sikap politik Orde Baru terhadap Bung Karno.Harian Merdeka pernah menyimpulkan bahwa negara Orde Baru menggunakan ‘standar ganda’ dalam bersikap
terhadap
Bung
Karno.Rachmawati
Soekarnoputri
juga
pernah
Universitas Sumatera Utara
menyimpulkan ada dualisme sikap Pemerintah terhadap Bung Karno. Pada satu sisi, Pemerintah mengakuinya sebagai pahlawan dan proklamator kemerdekaan, di sisi lain Pemerintah mengizinkan terbitnya buku-buku yang mendeskriditkan dan merusak nama baik Bung Karno, membiarkan pihak-pihak yang berpresepsi bahwa Bung Karno adalah komunis, bahkan melarang berdirinya Universitas Bung Karno. Secara umum dapat disimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru sebenarnya cukup legaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung Karno dengan kata lain mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekontruksi realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terlihat dalam analisis data kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno. Kesimpulan ini didukung oleh kecerendungan framing yang ditunjukkan insane pers Orde Baru sendiri dalam mengkontruksi berita-berita tentang Bung Karno.Sebagai contoh, majalah Editor (17/3/1990) berjudul “Agar Bangsa Ini Tidak Pecah” yang mengulas kekerasan sikap Bung Karno untuk tidak membubarkan PKI pasca-G 30 S/PKI 1965. Kelemahan analisis framingyang terbingkai dari data manifest dan latent dengan akhir analisis latent dan simpulan latent. Objek yang dianalisis khusus tentang berita.Unit analisisnya berupa skema, produksi dan reproduksi berita. Analisis
framingternyata
masih
memerlukan
penyempurnaan,
misalnya
permasalahan model proses analisis framing.
2.2.3Penelitian Kualitatif Bogdan dan Taylor (1992: 21-22) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan dan tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari (dalam Basrowi, 2008: 1). Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perspektif partisipan. Pemahaman
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan berupa pemahaman umum yang sifatnya abstrak tentang kenyataan-kenyataan. Penelitian kualitatif memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Latar alamiah. Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan. 2. Manusia sebagai alat. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. 3. Metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. 4. Analisis data secara induktif. Penelitian kualitatif mengutamakan analisis data secara induktif, dari lapangan tertentu yang bersifat khusus, untuk ditarik suatu proposisi atau teori yang dapat digeneralisasikan secara luas. 5. Teori dari dasar. Penelitian kualitatif lebih menghendaki penyusunan teori substantif yang berasal dari data. 6. Deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. 7. Lebih mementingkan proses daripada hasil. 8. Ada “batas” yang ditentukan oleh “fokus”. Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian. 9. Adanya kriteria khusus untuk keabsahan data. Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reabilitas, dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik. 10. Desain yang bersifat sementara. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. 11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data. (Basrowi, 2008: 20) 2.2.4Berita, Bahasa dan Kontruksi Realitas Kejadian atau peristiwa yang menghasilkan fakta sangat banyak.Tetapi, tidak semua peristiwa tersebut dapat ditulis dan dikategorikan sebagai sebuah berita jurnalistik.Karena itu, berita pada dasarnya adalah peristiwa yang sudah ditentukan sebagai berita.Ia bukan peristiwa itu sendiri. Ashadi Siregar dalam buku Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa memberikan pendapat mengenai unsur-unsur nilai berita (news value) dan layak berita (news worthy).Unsur-unsur tersebut yaitu pertama,
Universitas Sumatera Utara
significance (penting).Unsur ini terlihat ketika kejadian atau peristiwa yang ada memengaruhi kehidupan masyarakat.Atau setidaknya memengaruhi kehidupan pembaca.Kedua, magnitude (besar).Unsur ini ada dalam kejadian mengenai angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak.Ketiga, timeless (waktu).Ini menyangkut tentang aktualitas sebuah kejadian, terutama mengenai baru dan tidaknya sebuah peristiwa.Keempat, proximity (kedekatan).Kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan terhadap pembaca yang berada dalam lingkungannya.Bisa
kedekatan
secara
emosional,
maupun
secara
geografis.Kelima, prominence (tenar).Kejadian yang menyangkut orang, benda maupun tempat yang terkenal dan berpengaruh bagi banyak orang.Keenam, human interest (manusiawi).Ini berkaitan dengan hal-hal yang menyentuh perasaan atau emosi pembaca. Sementara itu, Bill Kovach dan Tom Rosensteil memberikan sembilan elemen jurnalisme dalam bukunya The Elements of Journalism.Elemen-elemen ini adalah standar nilai berita dan layak berita yang didasarkan pada wawancara dengan 400 wartawan di seluruh dunia. Sembilan elemen jurnalisme tersebut yaitu, (1) kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat; (3) intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi; (4) praktisi jurnalisme (wartawan) harus menjaga independensi terhadap narasumber berita; (5) jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan; (6) jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun dukungan masyarakat; (7) jurnalisme memberitakan hal yang penting menjadi menarik dan relevan; (8) jurnalisme menyiarkan berita komprehensif dan proporsional; (9) mengikuti hari nurani. Untuk bisa memenuhi nilai berita dan layak berita, sebuah peristiwa tidak harus memenuhi semua unsur di atas.Ia bisa memenuhi semua unsur, tetapi juga bisa hanya memenuhi beberapa unsur. Hal ini biasanya sesuai dengan hak prerogatif penerbitan pers dalam menentukan kebijakan redaksionalnya untuk menentukan unsur-unsur tersebut. Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan layak berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan teks berita.Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan. 2.2.5Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial Istilah interaksi merujuk pada bagaimana gagasan dan pendapat tertentu dari seseorang atau sekelompok orang ditampilkan dalam pemberitaan. Sehingga realitas yang terjadi tidak digambarkan sebagaimana mestinya, tetapi digambarkan secara lain. Bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk, cenderung memarjinkan seseorang atau sekelompok orang tertentu (Eriyanto, 2001: 113). Hal ini terkait dengan visi dan misi, serta ideologi yang dipakai oleh masing-masing media, sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak pada siapa (jika yang diberitakan adalah seseorang, kelompok, atau golongan dalam masyarakat yang tergantung pada etika,moral, dan nilai-nilai tertentu), tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan. Hal ini merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkontruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Realitas Sosial adalah hasil kostruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak terlepas dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Beger dan Thomas Luckman. Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192). Kontruksi sosial berasal dari filsafat kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh
Universitas Sumatera Utara
Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24). Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan id (Bertens, 1999: 89-106). Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Bertens, 1999: 137-139). Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada.” Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’(dalam Suparno, 1997: 24), mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu’ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa (Suparno, 1997: 25).
1. Konstruktivismeradikal Konstruktivismeradikalhanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata.Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran.Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologisme obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif, karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya konstruksi itu.
Universitas Sumatera Utara
2. Realismehipotesis Bagi realismehipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. 3. Konstruktivismebiasa Konstruktivismebiasamengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu.Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri. Dari ketiga
macam
konstruktivisme,
terdapat
kesamaan
dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya.Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapantahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2007: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi
Universitas Sumatera Utara
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Bungin, 2007: 14). Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstrusinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas. Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebenarnya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203).
Gambar 1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
Universitas Sumatera Utara
(Sumber: Bungin, 2008: 204)
2.2.6 Faktor Faktor yang Membentuk Isi Media Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka
mengidentifikasikan ada lima faktor
yang
mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media: Individu; Rutinitas media; Organisasi; Ekstra media; dan Ideologi.
Gambar 2 Model Hierarki Teori Pengaruh Isi Media
Universitas Sumatera Utara
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 64)
Individual Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media. Terdapat tiga
faktor intrinsik pada pekerja media yang
dapat
mempengaruhi isi media. Pertama ialah karakteristik pekerja, personaliti, dan latar belakang pekerja. Kedua ialah sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Contohnya ialah keberpihakan politik jurnalis atau keyakinan agama jurnalis. Ketiga ialah orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita (Soemaker dan Reese, 1996: 64).
Gambar 3 Cara Kerja Faktor Intrinsik Pekerja Media Mempengaruhi Isi Media
Universitas Sumatera Utara
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 65)
Gambar di atas menunjukkan hubungan di antara faktor-faktor intrinsik jurnalis yang melatabelakangi isi media.Karakteristik, latar belakang dan pengalaman individu mempengaruhi sikap, nilai dan keyakinan yang dimiliki jurnalis dan juga mempengaruhi pengalaman dan latar belakang dalam profesinya.Sebagai contoh, pendidikan terakhir, lingkungan tempat jurnalis dibesarkan, dan karakteristik pribadi jurnalis akan mempengaruhi sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegangnya selama menjadi seorang jurnalis dan juga akan mempengaruhi pengalaman dan dedikasinya sebagai seorang jurnalis. Pengalaman dan dedikasi selama menjadi jurnalis kemudian membentuk bagaimana peranan dan etika jurnalis yang secara langsung mempengaruhi media.Sedangkan sikap, nilai dan keyakinan jurnalis secara tidak langsung mempengaruhi isi media sebatas wewenang jurnalis tersebut dalam organisasi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 65). Rutinitas Media Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut
Universitas Sumatera Utara
adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Karl Manheim, seorang sosiolog Jerman mengatakan bahwa tiap individu tidak berpikir dengan sendirinya. Seorang hanya berpartisipasi dalam memikirkan lebih jauh apa yang telah dipikirkan oleh orang lain sebelumnya. Mereka berbicara dalam bahasa kelompoknya, dan berpikir dengan cara pikir kelompoknya. Hal tersebut serupa dengan rutinitas yang terdapat pada organisasi media massa. Rutinitas telah menciptakan pola sedemikian rupa yang terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacaukan. Hal-hal yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan Reese, 1996: 105-108).
Gambar 4 Hubungan Tiga Sumber yang Mempengaruhi Rutinitas Media
Universitas Sumatera Utara
(Sumber: Soemaker dan Reese, 1996: 109)
Organisasi Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita. Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang mepekerjakan pekerja media dalam usaha untuk memproduksi isi media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan mana
yang
bukan.
Terdapat
tujuan
yang
jelas
yang
menciptakan
salingketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur yang birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: Apa peran organisasi; Bagaimana organisasi terstruktur; Apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; dan Bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144). Dalam organisasi media terdapat tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas
Universitas Sumatera Utara
mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusankeputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan Reese, 1996: 151).
Ekstra media Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media: 1. Sumber berita Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai
kepentingan,
sumber
berita
tentu
memberlakukan
politik
pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media. 2. Sumber penghasilan media Sumber penghasilan media berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media.
Universitas Sumatera Utara
Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terusmenerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. 3. Pihak eksternal Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
Ideologi Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersepsikan dunia kita dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar dalam model hierarki pengarus isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222). Ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Raymond William (dalam Eriyanto,2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah. 1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebagai misal, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap tertentu mengenai demontrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi. Oleh karenanya, demontrasi
Universitas Sumatera Utara
tidak boleh ada, karena hanya akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalulintas, dan membuat persahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat. 2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa. 3. Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. 2.2.7 Citra Citra (image) memiliki banyak arti, yang mungkin merupakan penyebab ia menjadi satu dari sekian banyak kata yang digunakan secara berlebihan. Banyak orang menganggap bahwa citra sebagai lawan dari kenyataan, persepsi dari realitas atau kenyataan juga bisa berbeda-beda, sehingga tak dapat diandalkan sepenuhnya.Pengertian citra itu sendiri abstrak (intangible), tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk, seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas pada umumnya. Citra merupakan kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan, kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi (Soemirat, 2004 :112).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Citra adalah: 1. Kata benda : gambar, rupa dan gambaran 2. Gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai probadi, perusahaan, organisasi atau produk. 3. Kesan atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi. (Soemirat, 2004 :114). Menurut Kotler citra adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan yang dimiliki oleh sesorang terhadap suatu objek.Sikap dan tindakan orang terhadap objek sangat ditentukan oleh citra objek tersebut. (http://maskurisutomo.com/). Citra adalah peta tentang dunia.Tanpa citra kita selalu berada dalam suasana yang tidak pasti.Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus sesuai dengan realitas.Citra adalah dunia menurut persepsi kita (Rakhmat, 2005:223). Menurut Webster, citra adalah gambaran mental atau konsep tentang sesuatu. Menurut Kotler secara lebih luas mendefinisikan citra sebagai jumlah dari keyakinan-keyakinan, gambaran-gambaran, dan kesan-kesan yang dimiliki seseorang pada suatu objek. Objek yang dimaksud bisa berupa orang, organisasi, kelompok atau yang lainnya yang dia ketahui.13 Sementara menurut Newsome, Citra adalah persepsi kolektif tentang sebuah organisasi atau individu dari semua publik yang didasarkan pada apa yang dikatakan dan apa yang diperbuat. Dalam bukunya yang berjudul Kuliah Komunikasi, Dr. H. Sam Abede Pareno, MM menyatakan bahwa citra adalah abstrak tentang suatu pandangan, persepsi, opini, penilaian secara umum. Terakhir, Bill Sukatendel menjabarkan citra sebagai kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap suatu objek.Atau kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu objek, orang atau organisasi.Citra untuk tujuan organisasional, bisa dijelaskan sebagai campuran persepsi dari suatu objek baik itu perorangan atau lembaga.Citra adalah hasil gabungan dari semua kesan yang didapat, baik itu dengan melihat simbol, mengamati perilaku, mendengar atau membaca aktifitas atau melalui bukti material lainnya. Citra terkinilah yang penting bagi kebanyakan organisasi, namun citra lain juga cukup penting, yaitu bagaimana objek ingin dilihat. Hal ini sama dengan citra diri individu, yang terbagi atas tiga kompenen yaitu, realitas, yang
Universitas Sumatera Utara
ideal dan harapan atau keinginan. Citra yang paling memuaskan muncul jika didasarkan pada kenyataan. Dengan demikian, citra dapat didefinisikan sebagai arti yang dimiliki seseorang bagi orang lain, suatu integrasi mental yang halus dan berbagai sifat yang diproyeksikan atau dicerminkan oleh seseorang dan yang dipersepsi yang diinterprestasikan orang lain menurut kepercayaan, nilai dan pengharapan mereka. - Jenis Citra Menurut Anggoro ada lima jenis citra, yaitu : a. Citra Bayangan / Cermin (Mirror Image) Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi mengenai anggapan pihak luar terhadap organisasinya. Dengan kata lain, citra bayangan adalah citra yang dianut oleh orang dalam mengenai pandangan luar terhadap organisasinya. Citra ini sering kali tidak tepat, bahkan hanya sekedar ilusi, sebagai akibat dari tidak memadainya informasi, pengetahuan maupun pemahaman yang dimiliki oleh kalangan dalam organisasi mengenai pendapat atau pandangan pihak luar. Citra ini cenderung positif, bahkan terlalu positif, karena kita bisa membayangkan hal yang serba hebat mengenai diri kita sendiri shingga kita pun percaya orang lain juga memiliki pemikiran yang serupa dengan kita b. Citra Yang Berlaku / Kekinian (Current Image) Citra ini adalah suatu citra atau pandangan yang melekat pada pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Namun sama halnya dengan citra bayangan, citra ini berlaku tidak selamanya, bahkan jarang, sesuai dengan kenyataan karena semata-mata terbentuk dari pengalaman atau pengetahuan orang-orang luar yang bersangkutan yang biasanya tidak memadai. Biasanya pula citra ini cenderung negatif.Citra ini amat ditentukan oleh banyak sedikitnya informasi yang dimiliki oleh penganut atau mereka yang mempercayainya. c. Citra Harapan (Wish Image) Citra harapan adalah suatu citra yang diharapkan oleh pihak pencitra. Citra ini juga tidak sama dengan citra yang sebenarnya. Biasanya citra harapan lebih baik atau lebih menyenangkan daripada citra yang ada, walaupun dalam kondisi tertentu, citra yang terlalu baik juga bisa merepotkan. Namun secara umum yang
Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai citra harapan itu memang merupakan sesuatu yang berkonotasi lebih baik. Citra harapan ini biasanya dirumuskan dan diperjuangkan untuk menyambut sesuatu yang relatif baru, yakni ketika khalayak belum mempunyai informasi yang memadai. d. Citra Perusahaan / Kelembagaan (Corporate Image) Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan citra atas produk dan pelayanan saja.Citra perusahaan terbentuk oleh banyak hal. Hal-hal positif yang dapat meningkatkan citra suatu perusahaan antara lain adalah sejarah atau riwayat hidup perusahaan yang gemilang, keberhasilankeberhasilan di bidang keuangan yang pernah diraih, sukses ekspor, hubungan industri yang baik, reputasi yang baik sebagai pencipta lapangan kerja dalam jumlah besar, kesediaan turut memikul tanggungjawab sosial, komitmen mengadakan riset dan sebagainya. Marks and Spencer memiliki suatu citra perusahaan yang cemerlang dan sudah mendapat pengakuan internasional. e. Citra Majemuk (Multiple Image) Setiap perusahaan atau organisasi pasti memiliki banyak unit dan pegawai (anggota). Masing-masing unit dan individu tersebut memiliki perilaku tersendiri, sehingga secara sengaja ataupun tidak mereka pasti memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan jumlah pegawai yang dimilikinya. Untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, variasi citra itu harus ditegakkan. Banyak cara yang dapat ditempuh. Antara lain dengan mewajibkan semua karyawan untuk mengenakan seragam, menyamakan jenis dan warna mobil dinas, bentuk toko yang khas dan simbol-simbol tertentu serta hal-hal lainnya. Contoh perusahaan yang sering memakai metode ini misalnya adalah maskapai penerbangan. - Citra Positif dan Citra Negatif Anggoro menyatakan bahwa citra yang positif dan ideal adalah kesan yang benar,
yakni
sepenuhnya
berdasarkan
pengalaman,
pengetahuan,
serta
pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya.Itu berarti citra tidak seyogyanya "dipoles agar lebih indah dari warna aslinya", karena hal itu justru dapat mengacaukan.Suatu citra yang sesungguhnya bisa dimunculkan kapan saja, termasuk di tengah terjadinya musibah atau sesuatu yang buruk. Caranya adalah
Universitas Sumatera Utara
dengan menjelaskan secara jujur apa yang menjadi penyebabnya, baik itu informasi yang salah atau suatu perilaku yang keliru. - Citra dan Identitas Banyak orang mencampur adukkan citra dengan identitas. Padahal walaupun memiliki kaitan erat, citra tidaklah sama dengan identitas. Hal ini dikarenakan citra adalah hasil persepsi. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Jallaludin Rahkmat dalam bukunya, Psikologi Komunikasi bahwa citra adalah penggambaran tentang realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas sebenarnya. Identitas adalah apa yang sebenarnya ada pada atau ditampilkan. Identitas menempatkan jati diri, sedangkan citra adalah persepsi masyarakat terhadap jadi diri itu.Identitas bukan citra.Tetapi identitas dapat membantu untuk mengingatkan masyarakat tentang citra mereka.
Dalam kerangka lebih kompleks, Jean
Baudrillard mengatakan bahwa citra dipersepsikan untuk 4 hal, yaitu; sebagai refleksi dari realitas dasar, citra sebagai alat untuk menutupi dan menyesatkan realitas dasar, citra sebagai alat untuk menutupi ketidakhadiran realitas dasar dan citra sebagai hasil dari realitas yang tidak memiliki relasi dengan realitas manapun (hyperealitas). Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi – realitas tangan-kedua (second hand reality) televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lain. Surat kabar – melalui proses yang disebut “gatekeeping” menyeleksi berita. Payahnya, karena kita tidak dapat- dan tidak sempat- mengecek peristiwaperistiwa yang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi itu sematamata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.
2.3 Metode Teoritik Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan model analisis milik Gamson dan Modigliani. Analisis framing yang dikembangkan Gamson dan
Universitas Sumatera Utara
Modigliani memahami media sebagai satu gagasan interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu.Model ini didasarkan pada pendekatan konstruksionis yang melihat representasi media seperti berita dan artikel terdiri atas interpretative package yang mengandung konstruksi makna tertentu. Di dalam package ini terdapat dua struktur yaitu Core Frame dan Condensing Symbols. Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran rasional yang merupakan uraian yang bersifat kritik dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantar penelitian dengan rumus hipotesa (Nanawi, 2001:40). Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang dikembangkan oleh Gamson dan Modigliani seperti gambar berikut ini
Media Package
Core Frame
Considering Symbols
Framing Devices
Reasoning Devices
Universitas Sumatera Utara
1. Metaphors 2. Exemplars 3. Catchphrases 4. Depictions 5. Visual Images
1. Roots 2. Appeals to Devices 3. COnsequences
Gambar 1: Tabel Perangkat Framing Gamson dan Modigliani Sumber : Eriyanto, 2001 : 256
Universitas Sumatera Utara