BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Pengertian Belajar Pada hakikatnya belajar merupakan interaksi yang dilakukan individu terhadap semua situasi yang berada disekitarnya. Namun pada kenyataannya suatu proses belajar akan terjadi terus-menerus dan saling bersinambungan. Proses belajar yang terjadi akibat dari kebutuhan dari individu yang mendorong melakukan proses tersebut. Belajar merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relatif permanen sebagai akibat dari upaya-upaya yang dilakukan. Adapun pengertian belajar menurut para ahli, salah satunya menurut Sardiman (2014: 20), “Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya”. Pendapat lain menurut Hamalik (2014: 36) menyatakan “Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman. Menurutnya, belajar merupakan bagian hidup manusia dan berlangsung seumur hidup. Kapan saja dan dimana saja, baik di sekolah, di rumah, bahkan di jalanan dalam waktu
yang
tidak
ditentukan
sebelumnya”.
Pendapat
lain
yang
mengemukakan pengertian belajar adalah Daryanto (2012: 16), “Belajar merupakan suatu proses, yaitu kegiatan bersinambungan yang dimulai sejak lahir dan terus berlangsung seumur hidup”. Menurutnya dalam belajar terjadi adanya perubahan tingkah laku yang bersifat relatif permanen. Menurut Pusat Kurikulum Balitbang (2003: 7) menyatakan bahwa belajar berarti proses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman. Berdasarkan beberapa pendapat pengertian belajar yang telah dikemukakan, maka diperoleh pengertian belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif permanen dan berlangsung seumur hidup. Perubahan
6
7
ini dapat berupa tingkah laku,
pengetahuan, pemahaman, sikap, dan
keterampilan. 2. Motivasi Belajar a.
Pengertian Motivasi Istilah motivasi berasal dari kata kerja latin movere artinya menggerakkan. Menurut Donald dalam Pendidikan Psikologi yang dikutip oleh Hamalik (1992: 173) “motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan”. Hamalik juga merumuskan tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu : 1. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi Perubahan-perubahan
dalam
motivasi
timbul
dari
perubahan-perubahan tertentu di dalam sistem neurofisiologis dalam organisme manusia, misalnya adanya perubahan dalam sistem pencernaan akan menimbulkan motif belajar. Akan tetapi, ada juga perubahan energi yang tidak diketahui. 2. Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan (affective arousal). Mula-mula
merupakan
ketegangan
psikologis,
lalu
merupakan suasana emosi. Suasana emosi ini menimbulkan kelakuan yang bermotif. 3. Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan. Pribadi yang memiliki motivasi akan mengadakan responsrespons yang tertuju ke arah suatu tujuan. Misalnya ingin mendapat hadiah, maka akan belajar, membaca buku, mengikiti les dan sebagainya. Schunk (2012:6) mengatakan “Motivasi adalah suatu proses diinisiasikannya dan dipertahankannya aktivitas yang diarahkan pada pencapaian tujuan”. Motivasi menyangkut berbagai tujuan yang memberikan daya penggerak dan arah bagi tindakan. Motivasi menuntut dilakukannya aktivitas fisik atau pun mental. Aktivitas
8
fisik memerlukan usaha, kegigihan, dan tindakan lainnya yang dapat diamati. Menurut Yamin (2008: 92) mengatakan bahwa motivasi merupakan salah satu determinan penting dalam belajar. Motivasi berhungungan dengan (1) arah perilaku; (2) kekuatan respon (yakni usaha) setelah belajar siswa memilih mengikuti tindakan tertentu; dan (3) ketahanan perilaku, atau beberapa lama seseorang itu terus menerus berperilaku menurut cara tertentu. Kemudian Dimyati dan Mudjiono (1999: 75) berpendapat bahwa motivasi merupakan dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia. Menurut Sardiman (2014: 74) mengatakan “Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia. Beberapa
definisi
beberapa
para
ahli
yang
telah
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah upaya untuk meningkatkan dorongan dari dalam diri dengan menggerakan perilaku untuk mewujudkan tujuan tertentu. b.
Pengertian Motivasi Belajar Motivasi belajar menurut Hanafiah dan Suhana (2009: 26), “Motivasi belajar merupakan kekuatan (power motivation), daya pendorong (driving force), atau alat pembangunan kesediaan dan keinginan yang kuat dalam diri untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif dan inovatif, dan menyenangkan dalam rangka perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor”. Sardiman (2014: 74) menyatakan bahwa motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dihendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. Kemudian Corno dan Mandinach (1983) yang dikutip oleh Schunk (2012: 221) mengatakan bahwa motivasi belajar adalah motivasi
9
mempelajari keterampilan dan strategi, ketimbang mengerjakan tugastugas. Peran penting motivasi dalam kegiatan belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: 85) adalah: (a) menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil belajar, (b) menginformasikan kekuatan usaha belajar, (c) mengarahkan kegiatan belajar,(d) menginformasi kekuatan usaha belajar, (e) menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja. Berdasarkan definisi tersebut diperoleh bahwa motivasi belajar merupakan dorongan dari dalam diri sendiri atau dari luar guna melakukan usaha perubahan baik perilaku, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam jangka tertentu. c. Bentuk-bentuk Motivasi Belajar di Sekolah Menurut Sardiman (2014: 92) mengatakan bahwa ada beberapa bentuk untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu (1) memberi angka; (2) hadiah; (3) saingan/ kompetisi; (4) egoinvolvement; (5) memberi ulangan; (6) mengetahui hasil; (7) pujian; (8) hukuman; (9) hasrat untuk belajar; (10) minat; (11) tujuan yang diakui. d. Fungsi Motivasi Motivasi belajar diperlukan mendukung kegiatan belajar siswa Hanafiah dan Suhana (2009: 28) mengemukakan secara lebih spesifik fungsi motivasi belajar sebagai berikut : 1) Motivasi merupakan alat pendorong perilaku belajar peserta didik. 2) Motivasi merupakan alat untuk mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. 3) Motivasi merupakan alat untuk memberikan direksi terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. 4) Motivasi merupakan alat untuk membangun sistim pembelajaran lebih bermakna.
10
e.
Indikator Motivasi Belajar Menurut Uno (2008: 23), bahwa indikator motivasi belajar baik intrinsik maupun ekstinsik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Adanya hasrat dan keinginan berhasil 2) Adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar 3) Adanya harapan, dan cita-cita masa depan 4) Adanya penghargaan dalam belajar 5) Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar 6) Adanya lingkungan belajar yang kondusif. Menurut Winkel (1999: 53) motivasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. 1) Motivasi intrinsik Motivasi intrinsik adalah motivasi yang fungsinya tidak dirangsang dari luar, karena di dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ini mengacu pada keinginan melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena adanya nilai atau manfaat aktivitas itu sendiri. Misalkan anak yang gemar membaca
akan
senantiasa
mengumpulkan
buku-buku
untuk
kemudian ia baca walaupun tidak ada yang menyuruhnya. Suatu kegiatan pembelajaran, motivasi intrinsik merupakan keinginan yang timbul dari dalam diri siswa untuk mencapai tujuan belajar. Motivasi ini muncul karena kesadaran diri sendiri sehingga siswa bersungguh-sungguh untuk berusaha untuk mendapatkan pengetahuan, maupun keterampilan. 2) Motivasi ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berfungsi karena ada rangsangan dari luar. Seseorang akan melibatkan diri ke dalam sebuah aktivitas karena beranggapan bahwa dengan cara itu ia akan mencapai tujuan tertentu, seperti mendapatkan hadiah, pujian, dan lain sebagainya. Misalkan seorang siswa mau untuk belajar semalam suntuk hanya karena ingin mendapatkan pujian dari teman
11
sekelasnya. Belajar yang demikian tidak akan memberikan pengetahuan yang membekas pada siswa, yang ia peroleh hanya rasa senang karena mendapat pujian. Menurut Sardiman (2014: 99) mengatakan bahwa motivasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Tekut menghadapi tugas. Ulet menghadapi kesulitan. Menunjukkan minat terhadap berbagai masalah. Lebih senang bekerja mandiri. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin. Berdasarkan beberapa pengertian motivasi belajar, ciri-ciri
dan indikator motivasi dapat ditetapkan indikator motivasi belajar sebagai berikut: 1. Aspek dorongan dari dalam diri a. Siswa mencatat materi dari guru. b. Siswa berusaha mengerjakan setiap tugas secara mandiri dan sungguh-sungguh. 2. Aspek dorongan dari luar . a. Siswa segera menyelesaikan kuis berdasarkan waktu yang diberikan oleh guru b. Siswa akan langsung menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. c. Siswa akan mempresentasikan hasil diskusi dengan baik. 3.
Keaktifan Siswa a. Pengertian Keaktifan Keaktifan berasal dari kata aktif yang artinya giat bekerja, giat berusaha, mampu bereaksi dan beraksi, sedangkan arti kata keaktifan adalah kesibukan atau kegiatan (Fajri dan Senja, 2004: 36). Dalam mengkategorikan keaktifan, dapat ditinjau dari dua hal yaitu keaktifan dapat digolongkan menjadi keaktifan jasmani dan keaktifan rohani. Keaktifan jasmani maupun rohani meliputi (1) keaktifan indera yaitu pendengaran, penglihatan, peraba dan lain-lain; (2) keaktifan
12
akal; serta (3) keaktifan ingatan. Keaktifan juga termasuk dalam sumber pembelajaran yang merupakan kombinasi antara suatu teknik dengan sumber lain (Mulyasa, 2008: 158). Menurut Mulyono (2001: 26) “Keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang dilakukan ataua kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun nonfisik”. Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari
dan
dikembangkan
oleh
setiap
guru
dalam
proses
pembelajaran. Keaktifan siswa dalam belajar ditandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosi dan fisik. Siswa merupakan manusia belajar yang aktif dan selalu ingin tahu. Daya keaktifan yang dimiliki anak secara kodrati itu akan dapat berkembang ke arah yang positif saat lingkungannya memberikan ruang yang baik untuk perkembangan keaktifan itu (Aunurrahman, 2009: 119). Kemudian menurut Sudjana (2014: 61) mengemukakan keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sebagai berikut: (1) turut serta dalam melaksanakan belajarnya; (2) terlibat dalam pemecahan masalah; (3) bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya; (4) berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah; (5) melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru; (6) menilai kemampuan dirinya dan hasilhasil yang diperolehnya; (7) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan, diperoleh keaktifan adalah aktivitas fisik atau nonfisik dari siswa dalam proses pembelajaran sehingga kondisi belajar yang dapat mentranformasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar memperoleh pembelajaran yang efektif. b. Jenis-jenis Keaktifan Keaktifan siswa dapat dilihat dari keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar yang beraneka ragam. Paul B. Diedrich 9
13
dalam Hamalik (2014 : 90) membagi kegiatan belajar siswa dalam 8 kelompok, yaitu: 1. Visual activeties (kegiatan-kegiatan visual) seperti membaca, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain. 2. Oral Activities (kegiatan-kegiatan lisan) seperti mengemukakan suatu fakta, menghubungkan sutu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi, dan interupsi. 3. Listening Activities (kegiatan-kegiatan mendengarkan) seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato, dan sebagainya. 4. Writing activities (kegiatan-kegiatan menulis) seperti menulis cerita karangan, laporan, tes, angket, menyalin, dan sebagainya. 5. Drawing activities (kegiatan-kegiatan menggambar) seperti menggambar, membuat grafik, peta, diagaram, pola, dan sebagainya. 6. Motor activities (kegiatan-kegiatan motorik) seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model bermain, berkebun, memelihara binatang, dan sebagainya. 7. Mental activities (kegiatan-kegiatan mental) seperti merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dan sebagainya. 8. Emotional activities (kegiatan-kegiatan emosional) seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani, tenang, gugup, dan sebagainya c. Pengertian Keaktifan Siswa Keaktifan siswa dalam belajar merupakan persoalan penting dan mendasar yang harus dipahami, disadari dan dikembangkan oleh setiap guru dalam proses pembelajaran. Keaktifan siswa dalam belajar ditandai oleh adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosi dan fisik. Siswa merupakan manusia belajar yang aktif dan selalu ingin tahu. Daya keaktifan yang dimiliki anak secara kodrati itu akan dapat berkembang ke arah yang positif saat lingkungannya memberikan ruang yang baik untuk perkembangan keaktifan itu (Aunurrahman, 2009: 119). Pada penelitian ini, keaktifan siswa yang dimaksud adalah partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dikelas atau
14
kegiatan yang dilakukan siswa secara giat dengan frekuensi pengerjaan yang tinggi.
d. Indikator Keaktifan Siswa Menganalisis tentang keaktifan terdapat beberapa indikator yang dapat menjadi pedoman dalam pengukuran keaktifan. Indikator keaktifan siswa dapat dilihat dari kriteria berikut ini (1) perhatian siswa terhadap penjelasan guru; (2) kerjasamanya dalam kelompok; (3) kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok; (4) memberi kesempatan berpendapat kepada teman dalam kelompok; (5) mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat; (6) memberi gagasan yang cemerlang; (7) membuat perencanaan dan pembagian kerja yang matang; (8) keputusan berdasarkan pertimbangan anggota yang lain; (9) memanfaatkan potensi anggota kelompok; serta (10) saling membantu dan menyelesaikan masalah (Ardhana, 2009: 2). Sardiman (2014: 98) mengatakan bahwa siswa adalah kertas putih, sedang unsur dari luar yang menulisi adalah guru. Gurulah yang menentukan bahan dan metode, sedang siswa menerima begitu saja. Berdasarkan indikator yang dikemukakan oleh beberapa ahli maka diperoleh indikator keaktifan siswa yang akan ditingkatkan sebagai berikut. Tabel 2.1 Indikator Keaktifan Siswa yang Ditingkatkan No 1.
Aspek Keaktifan Siswa Visual activities (Kegiatan Visual)
Indikator Keaktifan Siswa 1. Memperhatikan dengan seksama saat guru menjelaskan pembelajaran matematika. 2. Memperhatikan penjelasan teman saat presentasi.
2.
Oral activities (Kegiatan Lisan)
1. Bertanya kepada guru tentang hal yang belum dimengerti. 2. Berdiskusi dengan teman pasangannya dalam memecahkan suatu permasalahan. 3. Memberikan tanggapan berupa pendapat atas jawaban dari teman terhadap suatu permasalahan.
3.
Mental activities (KegiatanKegiatan Mental)
1. Mengerjakan Lembar Kerja Kelompok (LKK). 2. Mampu mempertahankan jawabannya saat ditanya oleh guru.
15
4.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) a. Pengertian Model Pembelajaran Menurut Joyce, Weil, dan Shower (1992 : 4) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pengajaran tatap muka di kelas atau tutorial dan untuk membentuk perangkat pembelajaran, misalnya buku, film, program komputer, dan kurikulum. Kemudian Arends (1998 : 226) berpendapat bahwa model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas dari pada suatu strategi, metode atau prosedur. Menurutnya model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yaitu : (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar; (3) tingkah laku mengajar dan belajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Kemudian menurut Soekamto (dalam Trianto, 2011: 22) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Menurut Arends (dalam Trianto, 2011: 22), istilah model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuan, sintaks, lingkungan, dan sistem pengelolaannnya Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan yang menggambarkan suatu proses pembelajaran dengan sintaks dan tujuan tertentu.
16
b. Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif menurut Isjoni (2010: 16) cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang saat ini digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa, terutama mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Siswa dalam kelompok tidak menyelesaikan masalah secara sendiri-sendiri dan tidak juga menyelesaikan hanya salah satu orang diantara mereka. Menurut Johnson (1987) dalam Parveen (2011), “Cooperative learning is an instructional strategy in which students engage in activities that promote collaboration and teamwork”. Pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang saling asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat. Belajar tidak hanya berasal dari guru, tetapi juga dengan sesama. Kita juga dapat menghindari masalahmasalah yang bercampur dengan kompetisi di kelas. Siswa dapat saling membantu dalam belajar dan saling mendorong satu sama lain untuk meraih sukses secara akademis dengan tetap memiliki sikap kerjasama namun kompetisi tetap ada. Menurut Johnson, Johnson, dan Smith (1991) dalam Tsay dan Brady (2010) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif lebih dari sekedar "Bekerja dalam kelompok," dan harus mencakup sebagai berikut: (1)positive interdependence where team members are reliant on one another to achieve a common goal, and the entire group suffers the consequences if one member fails to do his or her work; (2) individual accountability where each member of the group is held accountable for doing his or her share of the work; (3) face-to-face promotive interaction where, although some of the group work may be done on an individual basis, most of the tasks are performed through an interactive process in which each group member provides feedback, challenges one another, and teaches and encourages his or her group mates; (4) appropriate use of collaborative skills where students are provided with the opportunity to develop and implement trust-building, leadership, decision-making, communication, and conflict management skills;
17
and (5) group processing in which team members establish group goals, the assessment of their performance as a team occurs periodically, and they often identify changes that need to be made in order for the group to function more effectively. Pada pembelajaran kooperatif menurut Johnson et.al (1991) dalam Tsay dan Brady (2010) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar bekerja dalam kelompok tetapi ada saling ketergantungan antar anggota kelompok dalam mencapai tujuan, setiap anggota kelompok bertanggung jawab dalam hal kerja sama, adanya interaksi antar anggota kelompok, adanya kolaborasi
yang baik
dalam
menyelesaikan permasalahan, serta adanya pengolahan kelompok yang baik sehingga akan terbentuk kelompok yang lebih efektif. Inti dari pembelajaran kooperatif (Slavin, 2008: 8) adalah para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan 4 orang untuk menguasai materi yang disampaikan guru. Slavin juga menyatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara eksentif atas dasar teori siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya. Secara umum pembelajaran kooperatif berarti pembelajaran yang mengedepankan kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik, dimana siswa dikelompokkan secara heterogen berdasarkan kemampuan akademis. Pembelajaran kooperatif ini akan memotivasi siswa untuk selalu berpikir kreatif, inovatif, percaya diri, serta mau bekerjasama dengan teman. Pengelompokkan heterogen berdasarkan tingkatan akademis memberikan keuntungan sebagai berikut: 1) Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung.
18
2) Dapat meningkatkan hubungan interaksi antar ras, agama, dan jenis kelamin. 3) Kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu siswa yang berkemampuan tinggi berarti guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga siswa. 4) Terdapat enam langkah dalam model pembelajaran kooperatif sebagai berikut : Tabel 2.2. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Langkah Langkah 1
Indikator Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Langkah 2
Menyajikan informasi Mengorganisasik an siswa ke dalam kelompok belajar
Langkah 3
Aktivitas Guru Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai dan memotivasi siswa. Guru menyajikan informasi kepada siswa. Guru menginformasikan pengelompokan siswa.
Langkah 4
Membimbing kelompok belajar
Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok-kelompok belajar
Langkah 5 Langkah 6
Evaluasi Memberikan penghargaan
Guru mengevaluasi hasil belajar Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok
c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) Numbered Heads Together adalah suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas (Rahayu, 2006). Model pembelajaran tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagen yang bertujuan untuk melibatkan banyak siswa dalam menelaah materi yang
19
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Isjoni (2010: 68) menyatakan bahwa teknik memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan pertimbangan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka. Dengan teknik ini siswa bisa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya
dan
saling
keterlibatan
dengan
teman-teman
sekelompoknya. Menurut Trianto (2010: 82) yang dikutip dari Atiyah (2015) dalam
mengajukan
pertanyaan
kepada
seluruh
kelas,
guru
menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT sebagai berikut: 1) Penomoran (Numbering) Guru membagi siswa kedalam kelompok yang beranggotakan tiga hingga lima orang dan memberi mereka nomor sehingga tiap siswa dalam kelompok memiliki nomor yang berbeda. Pemberian nomor pada siswa dalam satu kelompok disesuaikan dengan banyaknya siswa dalam kelompok itu. 2) Pengajuan Pertanyaan (Questioning) Guru mengajukan pertanyaan kepada para siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum. 3) Berpikir Bersama (Heads Together) Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan bahwa tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut. 4) Pemberian Jawaban (Answering) Guru memanggil satu nomor tertentu kemudian siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.
20
Inti dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah penomoroan,. Melalui penomoran ini setiap siswa dituntut aktif dalam menjalankan presentasi atau diskusi besar. Artinya, siswa harus mempelajari dan memahami hasil diskusi dan mampu memecahkan permasalahan yang diberikan guru. Huda (2011: 138) mengatakan bahwa model tipe NHT ini dapat meningkatkan semangat kerja sama siswa, dan dapat dikerjakan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Selain itu, tipe NHT ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling sharing ide-ide dan mempertimbangkan jawaban paling tepat. Menurut Slavin (2008: 21), guru memberikan penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke nilai kuis setelah siswa bekerja dalam kelompok. Caracara penentuan nilai penghargaan kelompok adalah sebagai berikut: a. Menentukan nilai dasar masing-masing siswa. Nilai dasar dapat berupa nilai tes/kuis atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya. Dalam penelitian ini, nilai dasar adalah nilai ulangan siswa pra siklus. b. Menentukan nilai tes / kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok. Dalam penelitian ini, di setiap akhir pertemuan diadakan kuis individu. c. Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai awal masing-masing siswa dengan kriteria tertentu. Rahmi (2008) mengungkapkan, berdasarkan langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat disimpulkan bahwa ciri khas dari model pembelajaran kooperatif ini adalah guru hanya menunjukkan seorang siswa dengan menyebut salah satu nomor yang mewakili kelompoknya untuk mempresentasikan kelompoknya itu. Tim terdiri atas tiga sampai lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal akademik dan jenis kelamin. Dalam pembagian ini dilakukan secara heterogen baik secara jenis kelamin maupun prestasi belajar.
21
Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan kuis dengan baik. Tes diberikan setelah tahap presentasi dan praktik tim telah selesai. Para siswa tidak boleh saling membantu selama mengerjakan kuis. Skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada siswa tujuan kinerja yang dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. (Slavin, 2008 : 161). Karena tipe NHT menekankan siswa untuk saling kerjasama dalam kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok paham dengan hasil kerja kelompoknya dan bertanggungjawab terhadap hasil kerja diskusinya. Dengan demikian siswa merasa harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu jenis model pengajaran kelompok yang sangat bermanfaat karena lebih banyak menuntut keterlibatan siswa, dan setiap siswa harus dapat menjawab pertanyaan yang diberikan guru karena setiap anggota kelompok harus menguasai jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
B. Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan memuat uraian sistematis tentang hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang terdahulu juga mengangkat permasalahan tentang usaha meningkatkan keaktifan siswa melalui pembelajaran kooperatif. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Cahyo (2013). Penelitian tindakan kelas yang dilakukan bertujuan untuk tingkat ketuntasan dan keaktifan siswa pada mata pelajaran matematika siswa kelas VIII D SMP N 7 Surakarta tahun pelajaran 2012/2013”. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Penelitian tindakan kelas
22
yang telah dilakukan pembelajaran melalui model model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) dapat meningkatkan tingkat ketuntasan dan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Hal ini didasarkan pada hasil tes dan observasi. Hasil observasi dua observer mengenai keaktifan siswa, rata-rata persentase pada siklus I sebesar 71,1 % dengan persentase kegiatan visual 84,6 %, kegiatan lisan 55,7 %, serta kegiatan menulis 73,1 %, dan pada siklus II mengalami peningkatan rata-rata persentase keaktifan siswa sebesar 6,14 % menjadi 77,24% dengan persentase kegiatan visual 92,3 %, kegiatan lisan 56,73 %, serta kegiatan menulis 82,7 %. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Pangestika (2015) dilaksanakan menggunakan model pembelajaran ARIAS yang berkombinasi dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yang dilakukan di kelas X Ak SMK Batik 2 Surakarta, dapat meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar siswa mata pelajaran akuntansi perubahan jasa dan dagang. Peningkatan motivasi belajar dapat dilihat dari angket dan observasi. Pada pra tindakan, rata-rata nilai persentase capaian indikator pada angket sebesar 46,13% dan observasi sebesar 37,61%. Setelah dilakukan siklus 1, capaian indikator motivasi belajar dari hasil angket menjadi 61,18% dan hasil observasi sebesar 67,30%. Kemudian siklus 2, capaian indikator motivasi dari hasil angket sebesar 83,87% dan hasil observasi sebesar 82,48%. Pada penelitian relevan yang sudah dilakukan, ada dua penelitian yang memiliki variabel yang berbeda. Pada penelitian yang dilakukan Cahyo yaitu menggunakan keaktifan siswa, sedangkan Prastika menggunakan variabel motivasi belajar. Pada penelitian ini, peneliti hendak melakukan penelitian tentang hal yang hampir sama namun menggunakan dua variabel tersebutyaitu motivasi belajar dan keaktifan siswa. Penelitian yang akan dilaksanakan ini lebih menitikberatkan pada upaya guru dalam menerapkan model pembelajaran yang mendukung kurikulum KTSP yaitu dengan NHT (Numbered Heads Together) yang diawali dengan permasalahan, bekerja secara kooperatif namun tetap menitikberatkan pada tanggung jawab masing-masing individu dalam mencapai prestasi belajar.
23
C. Kerangka Pemikiran Kerangka berpikir
adalah arahan penalaran untuk sampai pada
jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Selaras dengan judul penelitian yang diambil oleh peneliti, yaitu “Penerapan Model Pembalajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Keaktifan Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 14 Surakarta tahun pelajaran 2015/2016”, maka dapat identifikasi bahwa permasalahan yang menjadi fokus kerja peneliti adalah bahwa motivasi belajar dan keaktifan siswa yang rendah secara tidak langsung berdampak pada prestasi belajar siswa. Sejalan dengan hal ini diharapkan adanya pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan prestasi belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika karena berdasarkan observasi awal motivasi belajar dan keaktifan belajar siswa kelas VIII E SMP Negeri 14 Surakarta masih rendah. Hal ini berdampak dalam pencapaian
prestasi belajar yang belum optimal. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa untuk matematika, peneliti kemudian menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan tujuan mampu meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa yang nantinya akan berdampak pada prestasi belajar yang optimal. Pada pembelajaran ini guru mampu memberi memotivasi kepada siswa di awal dan akhir proses pembelajaran dan para siswa mampu bekerja secara kooperatif namun tetap bertanggungjawab secara individu. Dalam pembelajaran NHT terdapat penomoran dalam anggota kelompok, dengan adanya tanggungjawab secara individu berdasarkan hasil kerja kelompok, diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa saat mengikuti proses pembelajaran.
D. Perumusan Hipotesis Hipotesis adalah suatu jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, yang masih harus diuji kebenarannya sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Berdasarkan landasan teori, hasil penelitian yang relevan dan kerangka pemikiran tersebut maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut : “Model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head
24
Together) dapat meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa untuk mata pelajaran matematika pada siswa kelas VIII E SMP Negeri 14 Surakarta tahun pelajaran 2015/2016.