BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Selulosa Selulosa adalah polimer glukosa yang berbentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple et.al 2003). Unit penyusun (building block) selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula (D-glukosa). Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan (Lehninger 1993) (Gambar 1). Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pectin, hemiselulosa, dan xilan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan (Goyskor dan Eriksen 1980 dalam Fitriani 2003). Komponen-komponen tersebut dapat diuraikan oleh aktifitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan fungi (Sukumaran et.al 2005).
6
7
Gambar 1. Struktur Kimia Selulosa (Sumber : Lehninger 1993). Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan ke empat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß1,4-glikosidik. Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan tersebut tahan terhadap peruraian secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1982). Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu : 1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600 - 1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling
tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak, sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu bahannya (Nuringtyas 2010) (Gambar 2).
8
Gambar 2. Rumus Struktur α – selulosa (Sumber : Nuringtyas 2010). 2. Selulosa β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 - 90, dapat mengendap bila dinetralkan (Gambar 3).
Gambar 3. Rumus Struktur β – selulosa (Sumber : Nuringtyas 2010). 3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat polimerisasinya kurang dari 15.
Bervariasinya struktur kimia selulosa (α, β, γ) mempunyai pengaruh yang besar pada reaktivitasnya. Gugus-gugus hidroksil yang terdapat dalam daerahdaerah amorf sangat mudah dicapai dan mudah bereaksi, sedangkan gugus-gugus
9
hidroksil yang terdapat dalam daerah-daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterfikasi (asam) (Sjőstrőm 1995). Selulosa
memiliki
struktur
yang unik
karena
kecenderungannya
membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara: (1) gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang terdapat pada unit glukosa terdekat, (2) gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b (Gambar 4). Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, bagian kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat (Klemm 1998). (Gambar 5).
10
Gambar 4. Ikatan Hidrogen Intra dan Antar Rantai Selulosa (Sumber : Klemm 1998).
Gambar 5. Model Fibril Struktur Supramolekul Selulosa (Sumber : Klemm 1998). Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomis yang lebih tinggi seperti glukosa dan etanol dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara
11
asam/basa (Ariestaningtyas 1991). Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut, flagelata, dan bakteria (Fengel and Wegener 1995). Luthfy (1988) menyebutkan bahwa rumput laut jenis Eucheuma sp ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %. Kandungan karbohidrat yang tinggi menjadikan makroalga jenis Eucheuma sp berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol. Makroalga jenis Sargassum sp mulai dikembangkan sebagai bahan pembuatan etanol. Salah satu negara yang mengembangkannya adalah Jepang. Untuk mengembangkan pembuatan bioetanol berbahan dasar Sargassum sp Jepang membuat proyek bernama Ocean Sunrise Project yang bertujuan untuk memproduksi bioetanol dari rumput laut Sargassum horneri (Maulana dan Wibowo 2011).
2.2
Enzim Selulase Enzim adalah katalis biologis/ senyawa yang mempercepat proses reaksi
tanpa ikut bereaksi dalam suatu reaksi kimia organik. Seluruh enzim adalah protein. Molekul awal yang disebut substrat akan dipercepat perubahannya menjadi molekul lain yang disebut produk. Jenis produk yang akan dihasilkan bergantung pada suatu kondisi/ zat yang disebut promoter. Enzim bekerja dengan cara bereaksi dengan molekul substrat untuk menghasilkan senyawa intermediat melalui suatu reaksi kimia organik yang membutuhkan energi aktivasi lebih rendah, sehingga percepatan reaksi kimia terjadi karena reaksi kimia dengan energi aktivasi lebih tinggi, membutuhkan waktu lebih lama (Palmer 1995). Salah satu jenis enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β(1-4) pada selulosa adalah enzim selulase. Enzim selulase merupakan enzim yang memegang peranan penting dalam proses biokonversi limbah-limbah organik berselulosa menjadi glukosa, protein sel tunggal, makanan ternak, etanol dan lain-lain (Chalal 1983). Selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri atas kompleks endoβ-1,4-glukonase (CMCase, Cx selulase endoselulase, atau carboxymethyl
12
cellulase) , kompleks ekso-β-1,4-glukonase (aviselase, selobiohidrolase, C1 selulase), dan β-1,4-glukosidase atau selobiase (Meryandini dkk., 2009). Enzim selulase atau enzim yang dikenal dengan nama sistematik β-1,4 glukan-4-glukano hidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis selulosa dengan memutus ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodektrin, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya menjadi gula sederhana atau glukosa. Sistem pemecahan selulosa menjadi glukosa terdiri atas tiga jenis enzim selulase yaitu endo-β-1,4-glukanase, ekso-β-1,4-glukanase, dan β-glukosidase. (Silva et al. 2005). Proses pemecahan selulosa oleh enzim selulase ditunjukkan pada (Gambar 6).
Gambar 6. Skema Tahap-Tahap Pemecahan Selulosa (Sumber : Nugraha 2006) Gambar 6 memperlihatkan tahap-tahap pemecahan selulosa oleh kompleks enzim selulase (endoglukanase, eksoglukanase, dan β-glukosidase). Tahap
13
pertama, enzim endoglukonase menyerang daerah amorf dari selulosa secara acak dan membentuk makin banyak ujung-ujung nonpereduksi yang memudahkan kerja eksoglukonase. Enzim eksoglukonase selanjutnya menghidrolisis daerah kristal dari selulosa dengan membebaskan dua unit glukosa. Kerja sama kedua enzim ini menghasilkan unit-unit sakarida yang lebih kecil yang selanjutnya dihidrolisis oleh β-glukosidae menghasilkan glukosa (Nugraha 2006). Menurut Enari (1983) (Tabel 1) serta Prescott and Dunns (1981) (Gambar 7) mengelompokkan enzim utama selulase berdasarkan spesifikasi substrat masing-masing enzim yaitu : 1.
Endo-β-1,4-glukanase
(β-1,4-D-glukan-4-glukanohidrolase,
EC
3.2.1.4)
menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak. Enzim ini dapat bereaksi dengan selulosa kristal tetapi kurang aktif. Enzim ini secara umum dikenal sebagai CMC-ase atau selulase Cx. 2. β-1,4-D-glukan selobiohidrolase (EC.3.2.1.91) atau secara umum dikenal dengan selulase C1, memutus ujung rantai selulosa non pereduksi dan membebaskan selobiosa. 3. β-1,4-D-glukan glukohidrolase (EC.3.2.1.74) memutus ujung rantai selulosa non pereduksi dan membebaskan glukosa. Enzim ini menghidrolisis selulosa yang telah dilunakkan dengan asam fosfat, selo-oligosakarida dan CMC. 4.
β-1,4-glikosidase
(β-1,4-D-glukosida
glukohidrolase,
EC
3.2.1.21)
menghidrolisis selobiosa dan rantai pendek selo-oligosakarida yang menghasilkan glukosa. Enzim ini tidak dapat memecah selulosa dan selodekstrin.
14
Gambar 7. Klasifikasi Enzim Selulase (Sumber : Prescott and Dunns 1981). Tabel 1. Hidrolisis Berbagai Substrat Oleh Enzim Selulase Jenis Enzim Selulolitik
Substrat Selotetraosa
Selobiosa
+
Selulosa amorf +
+
-
Selobiohidrolase +
-
+
+
-
β- Glukosidase
-
-
+
+
Endoglukonase
Selulosa kristalin -
-
CMC
Sumber : Enari (1983) Berdasarkan kelarutan air dan jenis enzim selulasenya, substrat selulosa dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu substrat yang larut dalam air dan substrat yang tidak dapat larut dalam air (Tabel 2).
15
Tabel 2. Substrat Selulosa Berdasarkan Kelarutan Air dan Jenis Enzim Selulase Substrat Selulosa Enzim Selulase Larut dalam air - Rantai pendek (derajat polimerasi rendah) Silodekstrin Endo, ekso, BG Radio-labeled selodekstrin Endo, ekso, BG - Turunan silodekstrin β-methyllumberlliferil oligosakarida Endo, ekso, BG p-nitrofenol oligosakarida Endo, ekso, BG - Turunan selulosa dengan rantai panjang Carboxymethylecellulose (CMC) Endo Dye CMC Endo Tidak larut dalam air - Selulosa kristalin Katun, selulosa mikrokristalin (Avisel), Total, endo, ekso selulosa bakteri - Selulosa Amorf – PASC Total, endo, ekso - Dyed Selulosa Total, endo - Kromogenik dan turunan fluoreforik Trinitrofenil-karboksimetilselulase Endo (TNP-CMC) - Flurant Selulosa Endo, total - α-selulosa Total Keterangan :Endo ; endoglukanase, Ekso ; eksoglukanase, BG ; glukosidase, Total ; ketiga tipe enzim selulase. Sumber : Zhang et al., (2006) Perbedaan antara masing-masing enzim selulase terletak pada kespesifikan struktur di sekeliling substrat. Perbedaan kespesifikan dari enzim endoglukanase dan selobiohidrolase bersifat tidak mutlak karena ke dua enzim tersebut dapat menghidrolisis ikatan β-1,4 glukosida dari selulosa amorf. Penentuan aktivitas enzim selulase akan sulit apabila filtrat yang akan diukur aktivitas enzimnya merupakan campuran dari berbagai enzim selulase. Enzim-enzim ini tidak hanya dapat menghidrolisis substrat yang sama tetapi juga dapat bekerja secara sinergis memecah substrat yang sama, sehingga menyebabkan aktivitas yang diukur dipengaruhi oleh proporsi dari masing-masing enzim yang ada (Enari 1983). Aktivitas enzim endoglukanase pada umumnya dapat diuji dengan substrat CMC (Carboxymethyl cellulose) sehingga enzim endoglukanase disebut dengan istilah CMCase, sedangkan aktivitas enzim selobiohidrolase atau eksoglukanase
16
seringkali diuji dengan substrat avisel sehingga enzim eksoglukanase disebut dengan aviselase (Zhang et al., 2006).
Tahapan hidrolisis selulosa tergantung kepada struktur selulosa, interaksi antara enzim selulase dengan serat selulosa, mekanisme hidrolisis enzim tersebut di alam dan inhibitor yang terbentuk. Fase adsorbsi dan pembentukan kompleks enzim substrat adalah fase kritis di dalam hidrolisis selulosa. Glukosa dan selobiosa adalah inhibitor enzim dalam menghidrolisis selulosa. Selobiosa menghambat
enzim
selobiohidrolase
dan
glukosa
menghambat
enzim
penghidrolisis selobiosa yaitu β-glukosidase pada kompleks enzim selulase. Selobiosa mempunyai potensi lebih kuat menjadi inhibitor dibandingkan dengan glukosa (Coughlan 1985). Laju hidrolisis enzim selulase ditentukan oleh struktur substrat. Struktur kristal lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur amorf maka hidrolisis dilakukan oleh enzim endoselulase atau endoglukanase (Coughlan 1985). Faktor yang mempengaruhi aktivitas selulase yaitu adanya senyawa penghambat berupa ion logam. Penghambatan tersebut dapat dinetralkan dengan menambahkan sistein sehingga aktivitas enzim dapat berlangsung kembali (Kulp 1975). Beberapa senyawa logam dan senyawa lainnya yang dapat menghambat aktivitas selulase ialah Hg2+, Ag2+, dan Cu2+ (Deng and Tabatai 1994; Oikawa et al. 1994), glukanolakton (Kulp 1975), surfaktan, senyawa pengkelat khususnya Sodium Dodecyl Sulphate (SDS), Ethylene Diamine Tetraacetyc Acid (EDTA) (Oikawa et al. 1994), laktat dalam konsentrasi agak rendah (Chesson 1987), dan etanol serta alkohol lainnya (Ooshima et al., 1985). Senyawa penghambat tersebut dapat menekan seluruh kecepatan hidrolisis dengan menghambat adsorbsi eksoglukanase dan endoglukanase pada selulosa, dan menghambat aksi sinergis eksoglukanase dan endoglukanase yang bekerja pada permukaan selulosa. 2.3
Bakteri Laut Sekitar 80 persen dari spesies bakteri laut telah teridentifikasi dan
diketahui sebagai bakteri kelompok basil gram negatif. Dari pengamatan terhadap koloni yang ditumbuhkan pada cawan petri maupun pemeriksaan mikroskopis
17
secara langsung dari bahan laut yang diwarnai dengan metode Gram, diperkirakan sekitar 95 persen dari bakteri laut adalah gram negatif. Hal ini menunjukkan perbedaan yang cukup besar dibandingkan dengan persentasi bakteri gram negatif yang ditemukan di perairan tawar dan dua kali jumlah dari gram negatif yang ditemukan di dalam tanah. Sebagian besar bakteri yang ditemukan di laut termasuk motil aktif (Zobell 1990). Bakteri pembentuk spora juga diketahui tidak banyak ditemukan di lingkungan laut. Bakteri pembentuk spora yang ditemukan di lingkungan laut di antaranya Bacillus abysseus, B.borborokoites, B.cirroflagellosus, B.filicolonicus, B.imomarinus, B.submarinus, B.thalassokoites, dan B.epiphyticus. Secara ratarata, ukuran bakteri laut lebih kecil dibandingkan bakteri yang terdapat di dalam susu, air limbah, air tawar, atau tanah .Rata-rata panjang ukuran sel adalah 2 sampai 3 µm dan lebar ukuran sel rata-rata 0,4 - 0,6 µm (Zobell 1990). Secara umum, bakteri laut tumbuh lebih lambat dan koloninya lebih kecil dibandingkan kebanyakan mikroorganisme dari tanah, limbah, dan susu. Pada pengamatan pertumbuhan bakteri, nampak bahwa bakteri terestrial sudah mencapai pertumbuhan optimum pada usia kultur tujuh hari, sedangkan pada bakteri laut pada usia kultur 10 hari masih tampak kenaikan pertumbuhan (Zobell 1990). Ciri-ciri bakteri yang tumbuh di lingkungan perairan, termasuk bakteri laut adalah bersifat kromogenik, yaitu mampu menghasilkan beragam pigmen. Distribusi warna adalah sebagai berikut: 31,3 persen kuning, 15,2 persen oranye, 9,9 persen kecoklatan, 7,4 persen neon, 5.4 persen merah atau pink, dan 0,2 persen hijau. Jenis paling umum yang berpendar berwarna kehijauan. Bakteri laut yang mempunyai pigmen berwarna kuning diantaranya
Flavohaclerium
marinotypicum, F.marinovirosum, Fl.okeanokoites, Pseudomonas neritica, Ps. obscura,
Ps.oceanica,
Ps.vadosa,
Ps.xanthochrus,
Vibrio
adaptatus,
V.marinoflavus, dan V.marinovulgaris (Zobell 1990). Bakteri yang hidup di lingkungan laut pada umumnya mampu mendegradasi hampir semua jenis substrat organik, dan banyak senyawa anorganik yang diubah oleh aktifitas mikroorganisme laut. Sebagian besar bakteri
18
laut memiliki aktifitas yang cukup tinggi sebagai agen proteolitik, namun sedikit yang merupakan agen sakarolitik. Semua bakteri heterotrofik laut mampu menyerap glukosa, hanya 46 dari 60 kultur yang di fermentasi glukosa dengan pembentukan asam, dan tidak satupun dari mereka menghasilkan "gas" dari glukosa. Hal ini mungkin karena kurangnya kemampuan fermentasi, tetapi lebih besar kemungkinan karena efisiensi dari organisme dalam asimilasi bahan organik. Bila dikultivasi dalam media cair, bakteri laut mampu mengkonversi 30 sampai 35 persen glukosa pada protoplasma atau produk-produk metabolit, sisanya yang teroksidasi menjadi karbon dioksida dan air sebagai sumber energi (Zobell 1990). Bakteri laut dapat dibedakan dari bakteri terestrial berdasarkan toleransinya terhadap garam. Pada penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa bakteri laut mampu mentolerir keberadaan garam hingga konsentrasi diatas 100% dalam medium. Kebutuhan salinitas dari bakteri laut terkait dengan adaptasi fisiologis sel terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Bakteri genus Bacillus dan Micrococcus yang diisolasi dari lingkungan laut diketahui memiliki tingkat toleransi salinitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan genus Pseudomonas atau Vibrio (Zobell 1990). 2.4
Bakteri Selulolitik Mikroorganisme
yang
mampu
mendegradasi
selulosa
dinamakan
mikroorganisme selulolitik. Bakteri yang dapat mendegradasi selulosa disebut juga bakteri selulolitik. Bakteri selulolitik memiliki kemampuan dalam menghidrolisis bahan-bahan dari alam yang mengandung selulosa menjadi produk yang lebih sederhana (Marganingtyas 2011). Beberapa jenis bakteri yang dapat mendegradasi selulosa adalah Chaetonium sp, Chytophaga sp, dan Clostridium sp (Rao dalam Nurmayani 2007). Sebagai contoh, dalam beberapa penelitian yang menggunakan bakteri jenis Clostridium sp untuk produksi beberapa pelarut antara lain dinyatakan Ezeji et.al (2007) memproduksi aseton, butanol dan etanol dari tepung jagung dengan kadar 14,28 g/L.
19
“Cellulose-decomposing bacteria” atau bakteri selulolitik merupakan suatu komunitas bakteri yang hidup pada bahan yang mengandung selulosa di lingkungan laut yang mempunyai kemampuan untuk mendegradasi selulosa. Bahan selulosa yang berada di lingkungan laut misalnya limbah kertas, limbah galangan kapal, kapas, linen, dan selulosa hasil pengendapan organisme laut berupa sedimen laut (Zobell 1990). Kebanyakan bakteri laut merupakan bakteri halofil, bakteri ini memerlukan NaCl untuk pertumbuhan optimumnya dan tumbuh paling baik pada konsentrasi garam 2,5-4,0%, selain itu juga bersifat fakultatif anaerob yang tumbuh lebih baik pada ketersediaan oksigen. Haigler dan Weiner (1991) menyatakan bahwa bakteri selulolitik yang sering dijumpai di laut tropik adalah bakteri yang hidup pada suhu sekitar 35 0C-400C, yaitu genus Pseudomonas dan Cytophaga. Rheinheimer (1994) dalam Handayani (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis bakteri laut yang berperan dalam dekomposisi senyawa karbohidrat adalah jenis bakteri selulolitik aerob seperti Pseudomonas sp dan Bacillus sp serta bakteri selulolitik anaerob seperti Clostridium sp, sedangkan spesies-spesies bakteri selulolitik dari genus Cytophaga dan Sporocytophaga paling berperan dalam mendegradasi selulosa. Bakteri selulolitik dapat mendegradasi molekul komplek pada substrat tidak larut dalam air dengan menggunakan berbagai enzim melalui berbagai cara di dalam memutuskan bagian yang berbeda di dalam substrat. Proses perombakan secara enzimatis terjadi dengan adanya enzim selulase sebagai agen perombak yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β-(1,4)-glikosidik, rantai selulosa dan derivatnya (Ambriyanto 2010). Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan et.al 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi menjadi produk fermentasi yang nantinya dapat diolah lagi menjadi bioetanol. Umumnya degradasi selulosa terjadi pada pH normal (Hatami et al., 2008).
20
2.5
Penapisan Gen dengan Metode PCR PCR adalah reaksi berantai suatu primer dari urutan (sequence) DNA
dengan bantuan enzym polymerase sehingga terjadi amplifikasi DNA target secara in vitro. Teknik PCR ditemukan oleh Dr. Kary Mullis pada tahun 1985 dan mendapatkan hadiah Nobel atas temuannya pada tahun 1993 (Sunarto 2006). Pada prinsipnya alat PCR merupakan semacam inkubator yang mampu mengatur/mengubah suhu dengan sangat cepat sesuai dengan setting atau program yang dimasukkan. Alat PCR sendiri tidak mampu melakukan amplifikasi DNA, tetapi setting suhu didalamnya merupakan prasyarat bagi berlangsungnya reaksi amplifikasi. Amplifikasi akan berlangsung bila komponen – komponennya telah dimasukkan. Adapun komponen yang dibutuhkan pada proses amplifikasi diantaranya adalah : a. Deoxyribonucleotide triphosphate (dNTP) yang memberikan energi dan nukleosida untuk sintesis DNA. dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. b. DNA polymerase yang akan memanjangkan primer yang telah menempel pada cetakan. Biasanya digunakan enzym Taq Polymerase yang tahan terhadap suhu tinggi. c. Magnesium Chlorida (MgCl2) sebagai kofaktor dalam proses PCR. d. PCR
Buffer
yang biasanya
terdiri
atas
bahan-bahan
kimia
untuk
mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase. e. Sepasang primer yang terdiri dari primer F (forward) dan R (reverse) yang akan menentukan urutan (sequence) DNA yang akan disintesa. Primer yang digunakan bisa satu pasang ( 2 buah) atau 2 pasang (4 buah). f. Template yaitu DNA target yang diekstraksi dari sampel dan berfungsi sebagai bahan cetakan DNA yang diperbanyak (amplifikasi) (Sunarto 2006). Proses amplifikasi DNA dalam mesin PCR terdiri dari tiga proses utama. Pertama, denaturasi (pemisahan segmen DNA ganda menjadi DNA untai tunggal) yang berlangsung pada suhu 94o - 96 oC, kemudian yang kedua adalah terjadinya penempelan primer (annealing) yang berlangsung pada suhu 55o - 65 oC dan
21
proses yang ketiga adalah terjadinya pemanjangan dari primer yang telah menempel (polimerasi) pada suhu 72o - 75oC (Setiawan 2003). Menurut Nur’utami (2011) tiga tahap utama kerja PCR dalam satu siklus yaitu : a. Denaturation (Pemecahan) Tahap pemecahan berlangsung pada suhu tinggi, 94o - 96oC ikatan hidrogen DNA terputus dari DNA utas ganda menjadi utas tunggal. Biasanya pada siklus awal PCR, tahap ini dilakukan lebih lama (5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Denaturation menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi template (patokan) bagi primer. Umumnya waktu durasi yang dibutuhkan yaitu selama 1 sampai 2 menit. b. Annealing (penempelan) Primer menempel pada bagian template DNA yang berkomplementer urutan basanya. Tahap ini dilakukan pada suhu antara 46 o - 60 oC. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Umumnya waktu/durasi yang dibutuhkan untuk tahap ini yaitu selama 1 sampai 2 menit. c. Extension (pemanjangan) Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis enzim DNA polimerase yang dipakai. Karena suhu dinaikkan ke dalam kisaran suhu optimum kerja enzim DNA polimerase. Dengan Taq polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 70o - 76 oC. Pada tahap ini DNA polimerase akan memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya (pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung (Gambar 8a). Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, misalnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 basepair (bp). Selain ketiga proses tersebut umumnya tahap kerja PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut : a. Pra-denaturasi
: Dilakukan selama 1 sampai 9 menit pada awal reaksi
untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktivasi DNA polimerase (jenis hot-start/aktif jika dipanaskan terlebih dahulu).
22
b. Final Elongasi
: Umumnya dilakukan pada suhu optimum enzim (70o - 72
o
C). Tahap final elongasi dilakukan selama 5 sampai 15 menit untuk
memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses final elongasi dilakukan setelah PCR terakhir. Karena hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan (template) pada siklus berikutnya, maka jumlah DNA target menjadi berlipat dua pada setiap akhir siklus (Gambar 8b), dengan kata lain DNA target meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan dihasilkan milyaran (230) amplifikasi DNA target. DNA target yang telah berlipat ganda jumlahnya dapat dideteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Setelah diwarnai dengan Ethidium Bromide (EtBr), hasil elektroforesis yang berupa pita DNA dapat dilihat dengan alat UV trans-iluminator (Contoh Gambar 9) dan foto dengan kamera Polaroid atau sistem dokumentasi gel yang lain (Sunarto 2006).
a b Gambar 8. Prinsip dan Cara Kerja PCR (Sumber : Sunarto 2006) Tahapan kerja PCR konvensional terdiri dari isolasi DNA/RNA (ekstraksi), amplifikasi menggunakan mesin thermal cycler, visualisasi DNA (elektroforesis) menggunakan tangki elektroforesis dan dokumentasi (Astuti 2011).
23
Gambar 9. Elektroforegram Amplifikasi Fragmen Penyandi Kitinase Bakteri Kitinolitik (Sumber : Agustin 2013) Keunggulan metode PCR dapat dilihat dalam hal kecepatan, spesifitas dan sensitifitasnya untuk mendeteksi mikroorganisme patogen. PCR sangat spesifik karena mendeteksi mikroorganisme pada tingkat DNA/RNA. DNA/RNA virus dapat diketahui secara cepat dan sampel yang akan diuji dapat dalam jumlah yang banyak. Penggunaan teknik PCR juga memiliki beberapa kelemahan antara lain kemungkinan memperoleh hasil positif maupun negatif yang salah. Hasil positif yang keliru dapat disebabkan karena adanya kontaminasi oleh kontrol positif maupun sampel yang lain sebelum proses amplifikasi. Hasil negatif yang salah dapat disebabkan karena jumlah kopian DNA yang tidak mencukupi dan tingkat infeksi yang terlalu rendah sehingga pita DNA berpendar redup atau bahkan tidak berpendar (Sukenda et.al 2009).
2.6
Primer Primer adalah untai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida,
umumnya 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer berperan sebagai pemula pada proses sintesis menggunakan PCR. Primer akan menempel pada DNA target dan membentuk rangkaian komplementer pada untai DNA yang berlawanan serta
24
mengapit rangkaian sasaran (DNA cetakan). Konsentrasi primer untuk proses PCR menurut William et al (1990) dalam Ain (2011) berkisar antara 0.1-0.5 μM. Desain primer merupakan salah satu prasyarat sebelum melakukan proses pengkopian gen dengan PCR. Primer PCR biasanya berukuran panjang 20-30 bp, Ujung 5' pada primer menentukan ujung produk PCR yang dihasilkan. Primer yang ideal memiliki kandungan GC vs. AT yang seimbang (45-55% GC), dan tanpa untaian satu basa yang terlalu panjang. Dua primer dari pasangan primer tidak mengandung struktur komplemen lebih dari 2 kb. Jarak amplifikasi atau sekuens target yang diamplifikasi mempunyai ukuran sekitar 200-400 bp (David 2005). Menurut Innis and Gelfand (1990), Syarat sebuah primer dalam PCR adalah : 1. Ukuran primer berkisar antara 17-28 basa 2. Komposisi basa adalah 50-60% (G+C) 3. Tm (suhu leleh) berkisar antara 55-80oC. 4. Primer PCR tidak boleh memiliki ujung (3') berupa G atau C, atau CG atau GC. Hal ini menghindari terjadinya "breathing" pada ujung dan meningkatkan efisiensi priming; 5. Tiga atau lebih sekuen C atau G pada ujung 3' primer dapat memicu terjadinya kesalahan priming pada sekuen yang kaya akan G dan C (karena stabilitas annealing), sehingga harus dihindari. 6. Ujung 3' primer bukan merupakan komplementer (pasangan basa), karena akan mengakibatkan terjadinya dimer primer. 7. Primer reverse dan primer forward harus dihindari saling berkomplemen, sehingga saling dapat membentuk ikatan atau menyatu. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Semakin panjang primer, maka semakin spesifik daerah yang diamplifikasi. Jika suatu kelompok organisme memang berkerabat dekat, maka primer dapat digunakan untuk mengamplifikasi daerah tertentu yang sama dalam genom kelompok tersebut. Beberapa faktor
25
seperti konsentrasi DNA contoh, ukuran panjang primer, komposisi basa primer, konsentrasi ion Mg, dan suhu hibridisasi primer harus dikontrol dengan hati-hati agar dapat diperoleh pita-pita DNA yang utuh dan baik. Keberhasilan teknik ini lebih didasarkan kepada kesesuaian primer dan efisiensi dan optimasi proses PCR. Primer yang tidak spesifik dapat menyebabkan teramplifikasinya daerah lain dalam genom yang tidak dijadikan sasaran atau sebaliknya tidak ada daerah genom yang teramplifikasi (Rybicki 1996). Optimasi PCR juga diperlukan untuk menghasilkan karakter yang diinginkan. Optimasi ini menyangkut suhu denaturasi dan annealing DNA dalam mesin PCR. Suhu denaturasi yang rendah dapat menyebabkan belum terbukanya DNA utas ganda sehingga tidak dimungkinkan terjadinya polimerisasi DNA baru. Proses penempelan primer pada utas DNA yang sudah terbuka memerlukan suhu optimum, sebab suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan amplifikasi tidak terjadi atau sebaliknya suhu yang terlalu rendah menyebabkan primer menempel pada sisi lain genom yang bukan sisi homolognya; akibatnya dapat teramplifikasi banyak daerah tidak spesifik dalam genom tersebut. Suhu penempelan (annealing) ini ditentukan berdasarkan primer yang digunakan yang dipengaruhi oleh panjang dan komposisi primer. Suhu penempelan ini sebaiknya sekitar 5 0C di bawah suhu leleh. Tm merupakan temperatur yang diperlukan oleh separuh primer dupleks mengalami disosiasi/lepas ikatan (President's DNA Initiative 2013). Secara umum suhu leleh (Tm) dihitung dengan rumus Tm = 4(G+C) + 2(A+T) 0C (Rybicky 1996), sedangkan suhu annealing (Ta) dapat dihitung dengan rumus Ta = 0.3 x Tm (primer) + 0.7 Tm (produk) – 25 (President's DNA Initiative 2013) Primer-primer
degenerate
adalah
campuran
oligonukleotida
yang
bervariasi dalam hal urutan basa nukleotidanya, tetapi mempunyai panjang atau jumlah nukleotida yang sama. Campuran oligonukleotida tersebut dapat digunakan sebagai primer dalam PCR untuk melakukan amplifikasi suatu gen atau fragmen DNA tertentu. Primer-primer degenerate tersebut berguna dalam PCR jika ingin mengamplifikasikan suatu fragmen DNA yang belum banyak diketahui urutan nukleotidanya sehingga primer yang spesifik tidak dapat dibuat. Primerprimer semacam itu juga berguna jika ingin melakukan amplifikasi suatu gen
26
yang belum diketahui urutan nukleotidanya tetapi gen tersebut termasuk dalam kelompok famili gen (gene family) tertentu. Dengan menggunakan informasi mengenai urutan nukleotida gen lain yang termasuk dalam famili yang sama maka dapat menyintesis primer-primer degenerate untuk mengamplifikasi gen yang belum diketahui urutannya tersebut. Di samping itu, primer-primer degenerate juga dapat digunakan untuk melakukan amplifikasi anggota-anggota suatu famili gen untuk identifikasi atau analisis selanjutnya (Yuwono 2006).
2.7
Karakterisasi In Silico Karakterisasi In Silico merupakan salah satu kegiatan penggunaan
perangkat bioinformatik untuk mengidentifikasi karakter-karakter pada suatu sekuen gen, diantaranya domain fungsional, sisi aktif, motif protein, analisis homologi, konstruksi pohon filogenetik dan sebagainya. Sebuah aspek penting dari karakterisasi sekuen biologis adalah identifikasi motif dan domain. Ini merupakan cara penting untuk mengkarakterisasi fungsi protein karena sekuen protein baru sering tidak signifikan dengan database sekuen yang ada sehingga sulit untuk diketahui. Dalam hal ini, para ahli biologi dapat mendefinisikan fungsi protein berdasarkan identifikasi sekuen konsensus pendek yang telah diketahui fungsinya. Pola sekuen konsensus ini disebut sebagai motif dan/atau domain (Xiong 2006). Motif adalah suatu pola sekuen lestari yang berukuran pendek yang berkaitan dengan perbedaan fungsi dari suatu protein atau DNA. Sebuah motif yang khas, seperti motif zinc finger (jari-jari zinc) memiliki sepuluh sampai dua puluh asam amino. Sebuah domain juga merupakan sekuen lestari, yang didefinisikan sebagai suatu unit fungsional dan struktural yang independen. Domain biasanya lebih panjang dari motif. Sebuah domain itu terdiri lebih dari 40 residu dan sampai 700 residu, dengan rata-rata panjang 100 residu. Sebuah domain dapat memiliki suatu bagian motif didalamnya dapat pula tidak mengandung motif. Contoh domain adalah domain transmembran dan domain yang berikatan dengan ligan. Motif dan domain secara evolusi lebih lestari dibandingkan dengan daerah lain pada suatu protein dan memiliki kecenderungan
27
untuk berevolusi melalui penambahan atau pengurangan suatu unit tertentu pada modul domain tersebut. Identifikasi motif dan domain pada suatu protein merupakan aspek penting pada proses klasifikasi sekuen protein dan annotasi fungsional. Dikarenakan aspek divergensi pada evolusi, hubungan fungsional diantara protein-protein seringkali tidak dapat dibedakan begitu saja melalui BLAST atau pencarian database FASTA. Selain itu, protein atau enzim terkadang memiliki fungsi ganda yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan menggunakan annotasi tunggal melalui pencarian database sekuen sehingga diperlukan identifikasi motif dan domain untuk mengatasi hal tersebut (Xiong 2006).