BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pada bagian ini akan dijabarkan tentang model problem based learning, media puzzle, model pembelajaran ekspositori berbantuan media puzzle, dan hasil belajar IPS. Masing-masing akan diuraikan lebih lanjut pada masing-masing bagian pembahasan berikut ini. 2.1.1
Model Problem Based Learning Model Problem Based Learning (PBL) atau yang dikenal juga dengan
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan model pembelajaran yang berkembang dari pendekatan scientific. Model ini merupakan model pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa untuk mendapatkan pengetahuannya secara mandiri. Peran guru dalam pembelajaran adalah menyajikan berbagai masalah, memberikan pertanyaan terkait masalah yang disajikan, dan memfasilitasi penyelidikan atau pemecahan berbagai masalah tersebut oleh siswa. 2.1.1.1 Definisi Problem Based Learning Menurut Nurhadi dalam Putra (2013:65), model problem based learning adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Menurut David Bound dan Grahame I. Feletti (1977), “problem based learning is a conception of knowledge, understanding, and education profoundly different from the more usual conception underlying subject-based learning” (Putra, 2013:64). Barrow mendefinisikan problem based learning sebagai pembelajaran yang diperoleh menuju pemahaman akan resolusi suatu masalah, di mana permasalahan tersebut harus diketemukan pertama kali untuk memulai suatu pembelajaran (Huda, 2013:271). Menurut Arends (2008:41) “problem based learning menunjukkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, sebagai perantara untuk melakukan investigasi dan penyelidikan. Masalah yang autentik
8
9
ini
dapat
membantu
siswa
menyusun
pengetahuannya
sendiri,
menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, serta meningkatkan kepercayaan diri”. Sedangkan Dutch dalam Amir (2010:21) menyatakan pengertian problem based learning sebagai berikut. PBL merupakan metode instruksional yang menantang mahasiswa agar “belajar untuk belajar,” bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis mahasiswa dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan mahasiswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber yang sesuai. Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian problem based learning, dapat disimpulkan bahwa problem based learning adalah suatu model pembelajaran di mana pada awal pembelajarannya disajikan berbagai masalah yang biasanya diambil dari masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan seharihari siswa dari lingkungannya. Masalah-masalah tersebut dijadikan landasan untuk melakukan investigasi dan penyelidikan oleh siswa sebagai pembelajaran yang memberikan bekal keterampilan untuk memecahkan masalah dan cara berpikir kritis atas sebuah masalah. Selain itu, model ini juga menuntut siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan konsep dari materi yang dipelajari secara langsung. 2.1.1.2 Teori-teori yang Melandasi Problem Based Learning Menurut Arends (2008:45) Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran langsung. Pembelajaran ini mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi lebih kepada apa yang siswa pikirkan (kognisi) selama mengerjakan kegiatan pembelajaran tersebut. Ada berbagai teori yang melandasi model problem based learning, diantaranya adalah teori Dewey dalam kelas demokratis. Menurut Dewey, sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar, dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah yang ada (Putra, 2013:77). Pedagodi Dewey ini menurut Arends (2008:46) mendorong guru untuk lebih melibatkan
10
siswa di berbagai proyek berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki berbagai masalah intelektual penting. Selain Dewey, psikolog Swiss Piaget dan Vygotsky juga memberikan dasar problem based learning yang berkembang dari konsep kontruktivisme. Menurut Arends (2008:46) Piaget mengungkapkan bahwa anak-anak memiliki sifat bawaan untuk selalu ingin tahu dan mencoba mencari tahu jawaban atas keingintahuannya dengan mencoba memahami lingkungan di sekitarnya. Menurut Piaget, keingintahuan tersebut memotivasi anak untuk mengonstruksikan secara aktif representasi-representasi yang berada dalam pikiran anak-anak tersebut. Semakin bertambah umur dan kemampuan berbahasa serta ingatan anak, maka representasi anak tentang lingkungan dan dunianya menjadi lebih rumit dan abstrak. Hal tersebut mendorong anak untuk melakukan investigasi dan mengontruksikan teori untuk menjelaskan keingintahuannya tersebut. Lebih lanjut Arends menjelaskan bahwa menurut Piaget berapapun umur dari pelajar atau siswa itu sendiri, tidak membatasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses mendapatkan informasi dan membangun pengetahuannya sendiri. Pengetahuan bersifat tidak statis tetapi berubah berevolusi dan berubah secara konstan selama siswa membangun pengalaman-pengalaman barunya yang memaksa siswa untuk memodifikasi pengetahuan barunya tersebut dengan pengetahuan lama yang sudah dimiliki sebelumnya. Pada hakikatnya, menurut Putra (2013:77) pedagogi yang baik menurut Piaget melibatkan siswa dalam situasi yang memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan percobaan sendiri, mencoba memanipulasi tanda-tanda dan simbol, bertanya dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan yang dilihat pada waktu lainnya, serta membandingkan temuannya dengan temuan anak lain. Seperti Piaget, dalam Arends (2008:47) Vygotsky percaya bahwa intelektual berkembang ketika individu menemukan pengalaman baru yang membingungkan tetapi tetap berusaha untuk mengatasi dekrepansi yang ditimbulkan
oleh
pengalaman-pengalaman
baru
tersebut.
Dalam
usaha
menemukan pemahaman yang baru, individu menghubungkan pengetahuan yang baru tersebut dengan pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya. Yang berbeda
11
dari pendapat Vygotsky terhadap pendapat Piaget yang lebih menekankan pada perkembangan intelektual anak terlepas dari kultur dan sosialnya adalah penekanan pentingnya aspek sosial belajar. Menurut Vigotsky, belajar terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya, di mana dengan bantuan guru dan teman sebaya yang lebih mampu, siswa dapat mengembangkan potensinya. Berdasarkan teori-teori tersebut, teori-teori kontruktivisme tentang belajar, yang menekankan pada kebutuhan siswa untuk menginvestigasi lingkungannya dan mengonstruksikan pengetahuannya secara mandiri maupun dengan bantuan dari orang lain seperti guru atau teman sebaya merupakan dasar teoritis berkembangnya model problem based learning. 2.1.1.3 Karakteristik dan Ciri-ciri Problem Based Learning Menurut Tan dalam Amir (2010:22) karakteristik dari Problem Based Learning (PBL) adalah: (1) masalah digunakan sebagai awal pembelajaran; (2) biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (ill-structured); (3) masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspektive); (4) masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru; (5) sangat mengutamakan belajar mandiri (self directed learning); (6) memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi; serta (7) pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Sedangkan Arends (2008:42) menyimpulkan bahwa ada 5 karakteristik yang dimiliki oleh problem based learning, yaitu: (1) pertanyaan atau masalah perangsang dimana Problem Based Learning (PBL) mengorganisasikan pengajaran seputar pertanyaan dan masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa; (2) fokus interdisipliner, meskipun problem based learning dapat dipusatkan pada subjek tertentu (sains, matematika, sejarah), tetapi masalah yang diinvestigasikan dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk menggali banyak subjek; (3) investigasi autentik yang mengharuskan siswa untuk melakukan investigasi autentik yang berusaha menemukan solusi riil untuk masalah riil; (4) produksi artefak dan exhibit, dimana problem based learning
12
menuntut siswa untuk mengontruksikan produk dalam bentuk artefak atau exhibit yang menjelaskan dan mereprentasikan solusi mereka; dan (5) kolaborasi yang ditandai oleh siswa-siswa yang bekerja sama siswa-siswa lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut Putra (2013:72), problem based learning memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah; (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa; (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan disiplin ilmu; (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar; (5) menggunakan kelompok kecil; (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah dipelajari dalam bentuk produk atau kinerja. 2.1.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning Menurut Putra (2013:82-83) problem based learning memiliki beberapa kelebihan serta kekurangan. Kelebihan yang dimiliki problem based learning sebagai model pembelajaran yang mengaktifkan siswa, yaitu 1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan lantaran siswalah yang menemukan konsep tersebut; 2) melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi; 3) pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki oleh siswa, sehingga pembelajaran lebih bermakna; 4) siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran karena masalahmasalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata; 5) menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap sosial yang positif dengan siswa lainnya; 6) pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar dapat diharapkan; 7) problem based learning diyakini pula dapat menumbuhkembangkan kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun kelompok. Sedangkan kekurangan model Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut: 1) bagi siswa yang malas, tujuan dari problem based learning
13
tidak akan tercapai; 2) membutuhkan banyak waktu dan dana; 3) tidak semua mata pelajaran bisa diterapkan dengan problem based learning. Menurut Trianto (2011: 96-97) kelebihan model problem based learning adalah 1) realistik dengan kehidupan siswa; 2) konsep sesuai dengan kebutuhan siswa; 3) memupuk sifat inquiry siswa; 4) retensi konsep menjadi kuat; dan 5) memupuk kemampuan problem solving. Sedangkan kekurangan model ini adalah 1) persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks; 2) sulitnya mencari problem yang relevan; 3) sering terjadi miss-konsepsi; dan 4) konsumsi waktu yang cukup dalam proses penyelidikan. 2.1.1.5 Evaluasi dalam Problem Based Learning Dalam pembelajaran yang berorientasi pada proses, terdapat dua komponen pokok yang perlu diperhatikan dalam proses evaluasi, yaitu 1) pengetahuan yang diperoleh oleh siswa; serta 2) proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Dalam problem based learning, guru dapat memberikan umpan balik untuk merefleksikan penampilan siswa dalam pembelajaran, termasuk proses, keterampilan, komunikasi, menghargai teman, dan kontribusi individu (Putra, 2013). Menurut Arends (2008) prosedur-prosedur asesmen harus selalu disesuaikan dengan tujuan pengajaran pengajaran yang ingin dicapai, dan selalu penting bagi guru untuk mendapatkan informasi asesmen yang reliabel dan valid. Lebih lanjut Arends menguraikan bahwa tugas asesemen dalam pembelajaran problem based learning tidak hanya berupa tes tertulis saja, tetapi juga adanya penilaian performansi dari masing-masing anggota kelompok juga diperlukan, yang salah satunya dapat berupa hasil kerja oleh siswa. Selain itu, penilaian performansi juga dapat menilai sejauh mana potensi siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan serta kemampuan kelompok dalam bekerja sama menyelesaikan masalah yang ada. Problem based learning sendiri menjangkau pengembangan pengetahuan faktual tentang suatu topik permasalahan tertentu, yaitu pengembangan pemahaman yang agak sophisticated tentang berbagai masalah dan dunia di sekitar siswa. Alat-alat asesmen yang dapat dimanfaatkan diantaranya dengan
14
memberikan tugas-tugas
mengatasi
masalah
kepada siswa
yang dapat
mendiagnosis kemampuan mereka untuk mengambil manfaat dari jenis pengajaran tertentu, khususnya pembelajaran berbasis masalah (Arends, 2008). Sedangkan untuk menilai usaha kelompok maka yang harus diperhatikan guru diantaranya adalah mengurangi kompetensi merugikan yang mungkin muncul saat pembelajaran. Hal ini sering kali terjadi dengan membandingkan siswa dengan teman-teman sebayanya. Guru juga harus membuat penilaian berbasis sekolah menjadi penilaian yang mirip dengan situasi kehidupan nyata (Arends, 2008). 2.1.1.6 Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) Putra (2013:78) menyebutkan ada 5 langkah utama dalam problem based learning, yaitu 1) mengorientasikan siswa pada masalah; 2) mengorganisasikan siswa agar belajar; 3) memandu menyelidiki secara mandiri atau berkelompok; 4) mengembangkan dan menyajikan hasil kerja; 5) menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Proses Problem Based Learning (PBL) menurut Amir (2010:24-25) dapat dijalankan apabila pengajar siap dengan segala perangkat yang diperlukan (masalah, formulir pelengkap, dan lain-lain). Peserta didik harus sudah memahami prosesnya, dan telah membentuk kelompok-kelompok kecil. Kemudian setiap kelompok menjalankan proses atau langkah-langkah sebagai berikut: 1) mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas; 2) merumuskan masalah; 3) menganalisis masalah; 4) menata gagasan dan secara sistematis menganalisisnya dengan mendalam; 5) memformulasikan tujuan pembelajaran; 6) mencari informasi tambahan dari sumber yang lain; 7) mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk guru/kelas. Menurut Arends (2008:57) terdapat beberapa fase dalam problem based learning dan perilaku yang sebaiknya dilaksanakan oleh guru. Hal tersebut tersaji dalam Tabel 1 berikut ini.
15
Tabel 1 Sintaksis untuk PBL Fase Fase 1
Tugas Guru Memberikan orientasi Guru
Perilaku Guru membahas tujuan
tentang permasalahannya mendeskripsikan kepada siswa
pelajaran,
berbagai
kebutuhan
logistik penting, dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
Fase 2
Mengorganisasikan siswa Guru untuk meneliti
membantu
siswa
untuk
mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.
Fase 3
Membantu
investigasi Guru
mandiri dan kelompok
mendorong
mendapatkan
siswa
informasi
yang
untuk tepat,
melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi. Fase 4
Mengembangkan
dan Guru
membantu
siswa
dalam
mempresentasikan
merencanakan dan menyiapkan artefak-
artefak dan exhibit
artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model, dan membantu
siswa
untuk
menyampaikannya kepada orang lain. Fase 5
Menganalisis
dan Guru membantu siswa untuk melakukan
mengevaluasi
proses refleksi terhadap investigasinya dan
mengatasi masalah
proses-proses
yang
digunakan
oleh
siswa. Berdasarkan langkah-langkah problem based learning yang telah diuraikan, maka langkah-langkah problem based learning ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1)
memberikan
orientasi
masalah
kepada
siswa;
2)
mengorganisasikan siswa untuk meneliti; 3) memandu siswa menyelidiki secara
16
mandiri maupun individu; 4) mengembangkan dan mempresentasikan hasil penelitian atau penyelidikan; 5) menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. 2.1.2 Media Puzzle Dalam bagian ini akan dijabarkan tentang hakikat media, hakikat media puzzle, tujuan penggunaan media puzzle sebagai alat permainan edukatif, kelebihan dan kekurangan media puzzle, serta langkah-langkah problem based learning berbantuan puzzle. Penjabaran lebih lanjut akan diuraikan di masingmasing bagian mulai dari 2.1.2.1-2.1.2.5 berikut ini. 2.1.2.1 Hakikat Media Menurut Usman (2002:11) “media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya”. Menurut Solihatin (2008:23) “media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi”. Proses belajar mengajar pada dasarnya merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pembelajaran disebut media pembelajaran. Media pembelajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (message), merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar (Sumiati, 2008:160). Banyak ahli yang memberikan batasan tentang media pembelajaran. Association for Education and Communication Technology (AECT), mengatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan. Sedangkan Gagne mengartikan media sebagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Media pembelajaran sifatnya lebih khusus, digunakan untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang telah dirumuskan secara khusus. Rudi Bretz dalam Asnawir (2008) mengklasifikasikan ciri utama media pada tiga unsur pokok yaitu suara, visual, dan gerak, yang terklasifikasi menjadi delapan klasifikasi media, yaitu 1) media audio visual gerak; 2) media audio visual diam; 3) media audio
17
semi gerak; 4) media visual gerak; 5) media visual diam; 6) media visual semi gerak; 7) media audio; dan 8) media cetak. Media pembelajaran sebagai perantara atau penyalur pesan, memiliki manfaat sebagai berikut 1) menjelaskan materi pembelajaran atau objek yang abstrak menjadi konkrit; 2) memberikan pengalaman nyata dan langsung kepada siswa;
3)
mempelajari
materi
pembelajaran
secara
berulang-ulang;
4)
memungkinkan adanya persamaan pendapat dan persepsi yang benar; 5) menarik perhatian siswa; 6) membantu siswa belajar secara individual maupun kelompok; 6) materi pembelajaran lebih lama diingat dan lebih mudah untuk diungkapkan kembali; 7) mempermudah dan mempercepat penyajian materi; 8) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan indera (Sumiati, 2008:30). 2.1.2.2 Hakikat Media Puzzle Menurut Ismail (2006:218) puzzle adalah permainan yang menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian. Puzzle merupakan media sederhana, mudah dibuat, dan penggunaannya juga menyenangkan, yaitu dengan menyusun kepingan-kepingan puzzle menjadi suatu gambar atau benda yang utuh. Permainan puzzle sebenarnya digunakan anak usia dini untuk melatih koordinasi mata dan tangan (Ismail,2006), tetapi tidak menutup kemungkinan untuk digunakan oleh siswa SD, karena anak pada usia 6-12 tahun masih menyukai dunia bermain. Permainan memberikan lingkungan kompetitif yang di dalamnya para pemelajar mengikuti aturan yang yang telah ditetapkan saat mereka berusaha mencapai tujuan pendidikan yang menantang (Sharon E. Smaldino,dkk,2012:39). Menurut Morsund dalam Sharon E. Smaldino,dkk (2012:40), dengan melakukan permainan, para siswa mulai mengenali pola yang ada dalam situasi tertentu. Sebagai misal, anak-anak kecil yang memainkan permainan konsentrasi akan belajar mencocokkan pola dan meningkatkan kemampuan mengingat kembali mereka. Puzzle pada hakikatnya merupakan suatu bentuk permainan yang bersifat teka-teki. “Dengan puzzle anak-anak dapat bereksplorasi menurut kemampuan dan minatnya” (Ismail, 2006). Kerumitan sebuah puzzle penting untuk timbangan
18
ketika memperkenalkan para siswa kepada permainan tersebut. Semua jenis puzzle merupakan jenis puzzle yang efektif yang bisa siswa gunakan. “Puzzle bisa digunakan untuk menerapkan informasi yang harus mereka pelajari” (Sharon E. Smaldino,dkk, 2012:41). 2.1.2.3 Tujuan Penggunaan Media Puzzle sebagai Alat Permainan Edukatif Permainan edukatif menurut Ismail (2006:119) adalah “suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan dapat digunakan sebagai cara atau alat pendidikan yang bersifat mendidik”. Pemainan edukatif bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir, bergaul dengan lingkungan, mengembangkan kepribadian, dan melatih keterampilan anggota tubuh anak. Puzzle merupakan salah satu dari sekian banyak alat permainan edukatif yang dapat dimanfaatkan guru untuk membatu proses pembelajaran. Alat permainan edukatif menurut Ismail (2006:215) adalah alat bermain yang dapat meningkatkan fungsi menghibur dan mendidik. Alat bermain edukatif adalah sarana yang dapat merangsang aktivitas anak untuk mempelajari sesuatu tanpa anak menyadarinya, baik menggunakan teknologi modern, sederhana, maupun tradisional. Tujuan penggunaan media puzzle sebagai alat permainan edukatif diantaranya: 1) untuk mengembangkan konsep diri, yaitu konsep dasar untuk mengenali cara berpikir dan merasakan tentang dirinya, misalnya dengan penggunaan finger puzzle untuk melatih anak mengenal jari-jari tangan; 2) untuk mengembangkan
kreativitas;
3)
untuk
mengembangkan
komunikasi;
4)
mengembangkan aspek fisik dan motorik, karena dengan bermain puzzle siswa dapat melatih keterampilan mata dan tangan; 5) mengembangkan aspek sosial; 6) mengembangkan aspek kognisi, dengan memacu kemampuan berpikir anak untuk dapat menyatukan kembali posisi gambar pada tempat yang sesuai (Ismail, 2006). Penggunaan media puzzle membantu guru menyampaikan pesan agar diterima siswa dengan tepat, cepat dan lebih mudah dengan melibatkan siswa secara aktif untuk memperoleh pemahaman yang diberikan. Menurut Dewi (2013:40) media puzzle digunakan dengan tujuan sebagai berikut: 1) memberi kemudahan siswa untuk memahami konsep; 2) memberi pengalaman berbeda dan
19
bervariasi sehingga merangsang minat siswa untuk belajar; 3) menumbuhkan sikap dan keterampilan tertentu; dan 4) menciptakan situasi belajar yang tidak dapat dilupakan oleh siswa. Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, tujuan media puzzle sebagai alat permainan edukatif adalah sebagai berikut: 1) melatih kemampuan kognitif, sosial, dan motorik siswa; 2) mengembangkan kreativitas siswa; 3) menciptakan situasi belajar yang menyenangkan; 4) memberikan pengalaman belajar yang dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar. 2.1.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Media Puzzle Penggunaan media puzzle dalam proses pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan media puzzle menurut Dewi (2013:41) antara lain: 1) gambar bersifat konkret sehingga siswa dapat melihat dengan jelas; 2) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu karena tidak semua objek dapat di bawa ke dalam kelas; 3) menarik minat atau perhatian siswa; 4) menantang daya kreativitas dan ingatan siswa untuk menyelesaikan masalah; 5) melatih nalar; 6) mengasah otak sehingga kecerdasan akan terlatih untuk memecahkan masalah; dan 7) melatih kesabaran karena dibutuhkan waktu untuk menyelesaikan permasalahan. Sedangkan kelemahan dari media puzzle antara lain: 1) lebih menekankan pada indera penglihatan (visual); 2) pemilihan gambar yang tidak tepat atau terlalu kompleks menjadikan pembelajaran kurang efektif; 3) penggunaan gambar kurang maksimal bila diterapkan dalam kelompok besar. 2.1.2.5 Langkah-langkah Problem Based Learning (PBL) berbantuan Puzzle Langkah-langkah problem based learning berbantuan puzzle adalah sebagai berikut: 1) memberikan orientasi masalah kepada siswa dengan menggunakan media puzzle; 2) mengorganisasikan siswa untuk melakukan penelitian dengan menyusun media puzzle; 3) memandu siswa menyelidiki secara mandiri maupun individu mengenai masalah yang disampaikan melalui media puzzle yang telah tersusun; 4) mengembangkan dan mempresentasikan hasil penelitian atau penyelidikan; 5) menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.
20
2.1.3 Model Pembelajaran Ekspositori Berbantuan Media Puzzle Pada bagian ini akan dijabarkan hakikat model pembelajaran ekspositori pada bagian 2.1.3.1. Pada bagian 2.1.3.2 akan diuraikan tentang karakteristik dan prinsip-prinsip penggunaan model pembelajaran ekspositori. Bagian 2.1.3.3. akan diuraikan kelebihan dan kekurangan model pembelajaran ekspositori. Pada bagian 2.1.3.4 akan diuraikan langkah-langkah pembelajaran ekspositori berbantuan media puzzle. 2.1.3.1 Hakikat Model Pembelajaran Ekspositori Model pembelajaran ekspositori adalah model pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi secara optimal. Roy Killen menamakan model ekspositori ini dengan istilah model pembelajaran langsung (direct instruction), karena dalam model pembelajaran ini, materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi itu (Hamruni, 2012:73). Lebih lanjut Hamruni (2012) menjelaskan bahwa model pembelajaran ekspositori merupakan bentuk dari pendekatan yang berorientasi kepada guru (teacher centered approach), karena dalam pembelajaran ini, guru memegang peran yang sangat dominan. Guru menyampaikan materi pelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama pembelajaran adalah kemampuan akademik (academic achievement) siswa. Menurut Ibrahim (2010:33) dalam pembelajaran ekspositori, peranan lebih aktif dimainkan oleh guru. Guru yang menyiapkan seluruh bahan ajaran dan guru pula yang menyampaikan seluruh bahan ajaran tersebut kepada siswa. Peranan siswa lebih pasif, menerima bahan yang disampaikan guru. Meskipun begitu, model pembelajaran ekspositori tidak hanya sekedar pemaparan materi dari guru. Menurut Suherman (2011:171) cara penyampaian materi pelajaran dalam model ekspositori dimulai dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya jawab. Guru dapat memeriksa pekerjaan siswa secara
21
individual, menerangkan lagi kepada siswa apabila dirasakan banyak siswa yang belum paham mengenai materi. Dimyati dan Mudjiono (2009:172) mengatakan bahwa ekspositori memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nila-nilai kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah: 1) meyusun program pembelajaran; 2) memberi informasi yang benar; 3) pemberi fasilitas yang baik; 4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar; dan 5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah: 1) pencari informasi yang benar; 2) pemakai media dan sumber dan benar; 3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru. Menurut Hamruni (2012:74) model pembelajaran ekspositori akan efektif jika: 1) guru menyampaikan bahan-bahan baru serta kaitannya dengan yang akan dan harus dipelajari siswa (overview); 2) guru menginginkan agar siswa mempunyai kemampuan intelektual tertentu; 3) bahan pelajaran yang akan diajarkan
cocok
untuk
dipresentasikan;
4)
guru
ingin
membangkitkan
keingintahuan siswa tentang topik tertentu; 5) guru menginginkan untuk mendemonstrasikan suatu teknik atau prosedur tertentu untuk kegiatan praktik; 6) seluruh siswa memiliki tingkat kesulitan yang sama; 7) guru yang akan mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemampuan rendah; 8) lingkungan tidak mendukung untuk menggunakan strategi yang berpusat pada siswa; 9) guru tidak memiliki cukup waktu untuk menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dari beberapa pendapat mengenai model pembelajaran ekspositori, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud model pembelajaran ekpositori adalah model pembelajaran yang mengkombinasikan cara penyampaian materi dengan ceramah atau pemaparan, disertai dengan tanya jawab dan pemberian tugas, baik secara individu maupun kelompok. 2.1.3.2 Karakteristik dan Prinsip-prinsip Penggunaan Model Pembelajaran Ekspositori Beberapa karakteristik model pembelajaran ekspositori menurut Hamruni (2012:73) adalah sebagai berikut: 1) model ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan
22
merupakan alat utama dalam melakukan model ini, sehingga sering diidentikkan dengan ceramah; 2) materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang; 3) tujuan utama pembelajaran adalah penguasaaan materi pelajaran itu sendiri, yang artinya setelah proses pembelajaran berakhir, siswa diharapkan dapat memahami materi dengan benar dengan cara mengungkapkan kembali materi yang sudah diuraikan. Selain
karakteristik
model
pembelajaran
ekspositori
yang
harus
diperhatikan guru, penggunaan model pembelajaran ekspositori, juga harus memperhatikan beberapa prinsip penggunaan. Prinsip-prinsip tersebut menurut Hamruni (2012:75) adalah sebagai berikut: 1) berorientasi pada tujuan; 2) prinsip komunikasi, yang menunjuk pada proses penyampaian pesan dari seseorang (sumber pesan) kepada seseorang atau sekelompok orang (penerima pesan); 3) prinsip kesiapan, agar siswa dapat merespon setiap stimulus yang diberikan oleh guru; dan 4) prinsip berkelanjutan, di mana proses pembelajaran harus dapat mendorong siswa untuk mau mempelajari materi pelajaran lebih lanjut. 2.1.3.3 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Ekspositori Penggunaan
model
pembelajaran
ekspositori
merupakan
model
pembelajaran yang sering digunakan, karena memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan model ekspositori menurut Hamruni (2012:85) antara lain: 1) dengan model ekspositori, guru dapat mengontrol urutan dan leluasan materi pelajaran, sehingga guru dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan; 2) model ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas; 3) melalui model ekspositori, selain melalui ceramah, siswa dapat melihat atau mengobservasi melalui demonstrasi dari guru; dan 4) model ekspositori dapat digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Meskipun begitu, model ekspositori juga memiliki beberapa kelemahan yang menurut Hamruni (2012:86) adalah sebagai berikut: 1) model ekspositori hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan
23
mendengar dan menyimak secara baik, sehingga siswa yang tidak memiliki kemampuan seperti itu akan mengalami kesulitan; 2) model ekspositori tidak mungkin melayani perbedaan individu baik perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat dan bakat, serta perbedaan gaya belajar; 3) model ekspositori sulit
mengembangkan
kemampuan
siswa
dalam
sosialisasi,
hubungan
interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis; 4) keberhasilan model ekspositori sangat bergantung kepada apa yang dimiliki guru seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat antusiasme dan kemampuan lainnya; 5) gaya komunikasi lebih banyak terjadi satu arah (one way communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula, terbatas pada apa yang akan diberikan guru. 2.1.3.4 Langkah-langkah Pembelajaran Ekspositori Berbantuan Media Puzzle Menurut Hamruni (2012:80-85) langkah-langkah pembelajaran dalam model pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
No 1.
2.
3.
4. 5.
2.1.4
Tabel 2 Sintaks Model Ekspositori Berbantuan Media Puzzle Indikator Perlakuan Guru Persiapan pembelajaran Guru menyiapkan siswa, membangkitkan motivasi dan menciptakan suasana belajar yang terbuka. Penyajian Materi Guru memaparkan materi pembelajaran dengan bahasa yang komunikatif, mudah dipahami, dan sesuai dengan perkembangan siswa dengan bantuan media puzzle. Menghubungkan materi Guru menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari atau pengalaman siswa. Menyimpulkan materi Guru mengulang kembali inti-inti materi yang disampaikan. Penerapan Guru memberikan tes atau latihan soal sesuai dengan materi yang telah disampaikan. Hasil Belajar IPS Pada sub bab 2.1.4 akan diuraikan kajian teori tentang valiabel terikat (Y)
dalam penelitian ini, yaitu hasil belajar IPS. Secara lebih rinci akan diuraikan
24
hakikat
hasil
belajar,
macam-macam
hasil
belajar,
faktor-faktor
yang
mempengaruhi hasil belajar, hakikat IPS SD, serta hasil belajar IPS berikut ini. 2.1.4.1 Hakikat Hasil Belajar Hasil belajar menurut Ahmad Susanto (2013:5) adalah perubahanperubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Hal ini dipertegas dengan pendapat dari Nawawi (dalam Susanto, 2013) yang menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:20), “hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar.” Hasil belajar menurut Agus Suprijono (2013:5) adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai,
pengertian-pengertian,
sikap-sikap,
apresiasi,
dan
keterampilan. Menurut Gagne (dalam Suprijono, 2013) hasil belajar dapat berupa: 1) informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis; 2) keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang; 3) strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan kemampuan kognitifnya sendiri; 4) keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani; 5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. 2.1.4.2 Macam-macam Hasil Belajar Menurut Bloom dalam Suprijono (2013:6), hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas,
contoh),
menentukan
application
hubungan),
(menerapkan),
synthesis
analysis
(mengorganisasikan,
(menguraikan, merencanakan,
membentuk bangunan baru), evaluation (menilai). Domain
afektif
adalah
receiving
(sikap
menerima),
responding
(memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization
25
(karakterisasi). Sedangkan domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, rountinized, keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Sedangkan hasil belajar oleh siswa menurut Hamalik (2003:160) meliputi tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Menurut Susanto (2013:6) hasil belajar meliputi pemahaman konsep (aspek kognitif), keterampilan proses (aspek psikomotorik), dan sikap siswa (aspek afektif). Menurut Bloom dalam Susanto (2013:6), pemahaman diartikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Pemahaman konsep yang dimaksud Bloom adalah seberapa jauh siswa dapat menerima, menyerap, dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru maupun hasil dari penelitian atau pencarian pengetahuan yang siswa lakukan secara mandiri. Menurut Carin dan Sund dalam Susanto (2013:6), pemahaman dapat dikategorikan sesuai dengan aspek-aspek berikut, yaitu: (1) pemahaman merupakan kemampuan untuk menerangkan dan menginterpretasikan sesuatu; (2) pemahaman bukan sekedar mengingat kembali; (3) pemahaman lebih dari sekedar mengetahui; dan (4) pemahaman merupakan suatu proses bertahap yang masingmasing tahap mempunyai kemampuan tersendiri. Usman dalam Susanto (2013:9) mengemukakan bahwa keterampilan proses
merupakan
keterampilan
yang
mengarah
kepada
pembangunan
kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa. Selanjutnya, Indrawati dalam Susanto (2013:9) membagi keterampilan proses menjadi dua tingkatan, yaitu keterampilan proses tingkat dasar (meliputi: observasi, klasifikasi, komunikasi, pengukuran, prediksi, dan inference), dan keterampilan proses terpadu yang meliputi: menentukan, variabel, menyusun tabel data, menyusun grafik, memberi hubungan variabel, memproses data, menganalisis penyelidikan, meyusun hipotesis, menentukan variabel secara operasional, merencanakan penyelidikan, dan melakukan eksperimen.
26
Sedangkan sikap menurut Sardiman dalam Susanto (2013:10) merupakan kecenderungan untuk melakukan sesuatu dengan cara, metode, pola, dan teknik tertentu terhadap dunia di sekitarnya baik berupa individu-individu maupun objekobjek tertentu. Sikap merujuk pada perbuatan, perilaku, atau tindakan seseorang. Berdasarkan beberapa uraian tentang macam-macam hasil belajar, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 macam hasil belajar, yaitu hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor. 2.1.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Gestalt dalam Susanto (2013:12) belajar merupakan suatu proses perkembangan dimana secara kodrati jiwa raga anak memerlukan sesuatu, baik yang berasal dari diri sendiri maupun pengaruh dari luar dalam proses perkembanannya tersebut. Berdasarkan teori tersebut, hasil belajar dipengaruhi oleh dua hal, yaitu dari siswa itu sendiri dan lingkungannya. Menurut Wasliman dalam Susanto (2013:12) hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik meruapak hasil interaksi antara dua faktor, yaitu (1) faktor internal yang bersumber dari dalam diri peserta didik, meliputi kecerdasan, minat, dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan lingkungan; (2) faktor eksternal yang berasal dari luar diri peserta didik yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kualitas proses pembelajaran apabila dilihat dari faktor guru dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek. Menurut Dunkin dalam Susanto (2013:13), aspek-aspek tersebut adalah (1) teacher formative experience yang meliputi jenis kelamin, pengalaman guru, latar belakang sosial dan budaya; (2) teacher training experience meliputi pengalaman-pengalaman guru yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru; (3) teacher properties yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru. Ruseffendi dalam Susanto (2013:14) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu (1) kecerdasan anak; (2) kesiapan atau kematangan peserta didik yang berhubungan dengan minat dan kebutuhan siswa; (3) bakat anak; (4) kemauan belajar yang disertai tanggung jawab; (5) minat peserta didik; (6) model penyajian materi pelajaran; (7) pribadi dan sikap guru
27
yang diamati dan ditiru oleh peserta didik; (8) suasana pengajaran; (9) kompetensi guru dalam membantu siswa dalam belajar; (10) masyarakat yang mempengaruhi kepribadian siswa. Berdasarkan pemaparan-pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu (1) faktor internal dari siswa yang antara lain meliputi kecerdasan siswa, minat dan bakat siswa, motivasi belajar, dan kondisi fisik serta kesehatan siswa; dan (2) faktor eksternal yang meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. 2.1.4.4 Hakikat IPS SD Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS menurut Sardjiyo (2009:1.26) adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau satu perpaduan. Menurut Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang standar isi, IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep,dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga Negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Tujuan mata pelajaran IPS di sekolah dasar dijabarkan dalam sejumlah kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa. Kompetensi tersebut dirumuskan dalam standar kompetensi seperti yang termuat dalam Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi yang meliputi: 1) Memahami identitas diri dan keluarga, serta sikap saling menghormati dalam kemajemukan keluarga. 2) Mendeskripsikan lingkungan rumah. 3) Memahami peristiwa penting dalam keluarga secara kronologis. 4) Memahami kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan lingkungan tetangga.
28
5) Memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama di sekitar rumah dan sekolah. 6) Memahami jenis pekerjaan dan penggunaan uang. 7) Memahami sejarah kenempakan alam, dan keragaman suku bangsa si lingkungan kabupaten/kota dan provinsi. 8) Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi. 9) Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia. 10) Menghargai peranan tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankaan kemerdekaan Indonesia. 11) Memahami perkembangan wilayah Indonesia, kenampakan alam dan keadaan sosial negara-negara di Asia Tenggara, serta benua-benua. 12) Memahami gejala alam yang terjadi di Indonesia dan sekitarnya Tujuan mata pelajaran IPS sesuai dengan Permendiknas No 22 Tahun 2006 adalah sebagai berikut: 1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; 2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; 3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; dan 4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran IPS menurut Permendiknas No 22 Tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1) manusia, tempat, dan lingkungan; 2) waktu, keberlanjutan, dan perubahan; 3) sistem sosial dan budaya; 4) perilaku ekonomi dan kesejahteraan. 2.1.4.5 Hasil Belajar IPS Menurut AK. Ellis dalam Effendi (2010:5) IPS diajarkan guna memberikan tempat bagi siswa untuk belajar dan mempraktekkan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari proses demokrasi yang terjadi di kelas, misalnya pada saat pemilihan
29
ketua kelas maupun belajar menghargai pendapat dengan cara membuat forum diskusi. IPS juga dirancang untuk membantu siswa menjelaskan "dunianya". Selain itu, IPS membantu siswa memperleh pemahaman mendasar (fundamental understanding ) tentang sejarah, geografi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. IPS meningkatkan kepekaan-kepekaan siswa terhadap masalah-masalah sosial. ilmu pengetahuan sosial juga mengajarkan bagaimana hidup bersama. Para siswa berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini IPS mengajarkan anak untuk menghargai orang lain dan berinteraksi dengan lingkungan lainnya sehingga siswa akan peka terhadap apa saja yang terjadi di sekitarnya. Menurut Gunawan (2011:39) pembelajaran IPS bertujuan agar anak didik memiliki kemampuan sebagai berikut: “1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; 2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; 3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; 4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.” Lebih lanjut, Gunawan (2011:41) menjelaskan bahwa “dalam kegiatan pembelajaran IPS, siswa dapat dibawa langsung ke dalam lingkungan alam dan masyarakat. Dengan lingkungan alam sekitar, siswa akan akrab dengan kondisi setempat sehingga mengetahui makna serta manfaat mata pelajaran IPS secara nyata. Di samping itu, dengan mempelajari sosial atau masyarakat, siswa secara langsung dapat mengamati dan mempelajari norma-norma atau peraturan serta kebiasaaan baik yang berlaku dimasyarakat, sehingga siswa dapat pengalaman langsung bahwa ada timbal balik yang memperngaruhi kehidupan pribadi dan masyarakat.” 2.2 Kajian Hasil-hasil yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi, dkk (2013) yang berjudul Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Media Audiovisual berpengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa kelas IV SD gugus Ubud Gianyar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan hasil belajar IPS antara
30
siswa yang belajar menggunakan model pembelajaran problem based learning berbantuan media audiovisual dengan siswa yang belajar dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Karyani, dkk (2013) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Model Problem Based Learning Berbantuan Media Index Card Match Terhadap Hasil Belajar IPS KElas V SDN Gugus 8 Gianyar. Dalam penelitian tersebut, model Problem Based Learning berbantuan media indec card match berpengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V, ditunjukkan dengan rata-rata hasil belajar IPS kelompok eksperimen lebih tinggi dari siswa dari kelompok kontrol yang mengikuti pembelajaran konvensional, yaitu 80,21>71,48. Dewi (2013) melakukan penelitian yang berjudul Penerapan Model Problem Based Learning dengan Media Puzzle untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA di Kelas IVB SDN Tambakaji 04. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran problem based learning dapat meningktakan kualitas pembelajaran IPA yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil belajar siswa dari nilai rata-rata 70,56 menjadi 88,71 pada siklus II. Sedangkan Wigar (2012) melakukan penelitian dengan judul penelitian Efektivitas Penggunaan Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran Matematika pada siswa kelas V SD Semester II Desa Depok Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil post test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam penelitian setelah dilakukan uji t menunjukkan signifikansi 0,003. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan efektivitas antara pembelajaran matematika yang dilaksanakan menggunakan model problem based learning dengan model pembelajaran konvensional ada siswa kelas V SD Depok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sholikhin, Bagus I pada tahun 2011 memiliki hasil yang berbeda. Penelitian tersebut berjudul Pengaruh Problem Based Learning (PBL) Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas V SD di Gugus Kartini Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2010/2011. Peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada pengaruh Problem Based Learning (PBL) terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas V SD di Gugus Kartini Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga semester II tahun ajaran 2010/2011.
31
Hal ini disebabkan masalah waktu yang dibutuhkan dalam pengimplementasian PBL yang menggunakan waktu lebih lama daripada pembelajaran konvensional, serta perubahan tuntutan siswa dari sistem pembelajaran konvensional ke Problem Based Learning (PBL) juga menjadi masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum (2012) berjudul Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Jigsaw dengan Permainan Puzzle Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD Negeri 4 Menderejo Kradenan Blora Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif signifikan yang ditunjukkan dengan perbedaan rata-rata dari hasil belajar kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, yaitu 83 < 90. 2.3 Kerangka Pikir Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang berkembang dari pendekatan scientific. Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa di mana siswa dikondisikan untuk aktif mencari alternatif pemecahan masalah yang diberikan dengan menggunakan ide dan gagasan yang dimiliki oleh siswa. Masalah yang diberikan dalam pembelajaran merupakan masalah sehari-hari yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Penggunaan media puzzle menjadikan pembelajaran lebih menarik. Media puzzle digunakan sebagai perantara pemberian masalah kepada siswa dengan cara yang lebih menyenangkan. Dengan media puzzle siswa akan lebih tertantang untuk mencoba memecahkan masalah yang disajikan. Penggunaan model Problem Based Learning ini merujuk pada salah satu tujuan IPS yaitu mencetak siswa yang terampil dalam pemecahan masalah. Materi yang diajarkan dalam mata pelajaran IPS merupakan konsep-konsep yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehinnga penggunaan model Problem Based Learning ini merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang tepat yang dapat digunakan dalam pembelajaran pada mata pelajaran IPS. Dalam Problem Based Learning, siswa dituntut untuk melakukan penyelidikan atas masalah yang disajikan. Pengalaman siswa dalam melakukan penyelidikan dalam pencarian alternatif pemecahan masalah membuat siswa
32
membangun sendiri pemahamannya tentang materi yang diajarkan melalui masalah yang disajikan. Pengkonstruksian pengetahuan siswa tersebut menjadikan pengalaman lebih bermakna, sehingga hasil belajar siswa lebih baik daripada pembelajaran yang berpusat pada guru. 2.4 Hipotesis Berdasarkan kajian teori, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka pikir dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu diduga terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara penerapan model Problem Based Learning (PBL) berbantuan media puzzle dengan model pembelajaran ekspositori berbantuan media puzzle terhadap hasil belajar IPS siswa kelas 4 SD Negeri Kalibeji 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2013/2014.