BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian yang berhubungan dengan karya sastra drama pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang antara lain sebagai berikut. 1) Rahmi Samalu. 2008, dengan judul “Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 8 Gorontalo Mengubah Cerpen Menjadi Naskah Drama”. Penelitian tersebut mengangkat permasalahan, (1) bagaimana kemampuan siswa dalam mengubah cerpen menjadi naskah drama? (2) apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa tersebut? dan (3) bagaimana solusi pemecahan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam mengubah cerpen menjadi naskah drama? Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data kemampuan siswa kelas VIII1 SMP Negeri 8 Gorontalo dalam mengubah cerpen menjadi naskah
drama
masih
pada
kategori
kurang.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi
ketidakmampuan siswa kelas VIII1 SMP Negeri 8 Gorontalo mengubah cerpen menjadi naskah drama meliputi guru sebagai pengajar, siswa sendiri, metode yang digunakan guru, ketersediaan sumber belajar, alokasi waktu pembelajaran yang sangat terbatas, dan faktor materi yang masih sulit bagi siswa. Solusi pemecahan masalah ketidakmampuan siswa mengubah cerpen menjadi naskah drama dapat dilakukan dari aspek guru sebagai pengajar, siswa sendiri, metode yang digunakan guru, ketersediaan sumber belajar, alokasi waktu pembelajaran yang sangat terbatas, dan faktor materi yang masih sulit bagi siswa. Meskipun sama-sama meneliti tentang kemampuan siswa mengubah/ menyadur cerpen ke bentuk naskah drama, penelitian sebelumnya dengan penelitian yang sekarang terdapat perbedaan dari segi permasalahan dan lokasi penelitiannya. Permasalahan pada penelitian
sebelumnya lebih dititikberatkan pada kemampuan siswa dalam mengubah cerpen menjadi naskah drama, faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa tersebut, dan bagaiman solusi
pemecahannya. Sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan sekarang,
permasalahan lebih dititikberatkan dan difokuskan pada kemampuan siswa merelevansiksan tema cerpen ke dalam bentuk drama satu babak, kemampuan siswa menentukan tokoh dan karakter, serta bagaimana kemampuan siswa menyusun dialog dalam naskah drama sesuai cerpen yang dibaca. Selain itu, penelitian sebelumnya mengambil siswa kelas VIII SMP N 8 Gorontalo sebagai objek dan lokasi penelitian, sedangkan penelitian yang akan dilakukan sekarang mengambil siswa kelas XI program Bahasa SMA N 4 Gorontalo.
2) Risda Dai. 2008, dengan judul “Kemampuan Siswa Menginterpretasi Penokohan dalam Pementasan Drama Biarkan Aku Menangis (suatu penelitian deskriptif pada siswa kelas VIII MTs.Nurul Bahri Kabila Bone)”. Penelitian tersebut mengangkat permasalahan 1) Bagaimana struktur cerita drama “Biarkan Aku Menangis”?, 2) Bagaimana kemampuan siswa menentukan kedudukan tokoh dalam pementasan drama “Biarkan aku menangis”? 3) bagaimana kemampuan siswa menginterpretasi penokohan dalam pementasan drama “ Biarkan Aku Menangis”? dan 4) bagaimana kemampuan siswa menentukan penokohan dalam pementasan drama “Biarkan Aku Menangis”. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampuan siswa dalam menginterpretasi penokohan dalam pementasan Drama Biarkan Aku Menangis mencapai kategori cukup. Penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan sekarang memang terdapat persamaan pada permasalahan penelitian, yaitu sama-sama menentukan tokoh dan karakter pada drama yang dalam penelitian sebelumnya disatukan dalam penokohan. Namun pada penelitian yang akan dilakukan sekarang, tokoh dan karakter hanya merupakan salah satu
diantara tiga permasalahan yang diangkat, sedangkan pada penelitian sebelumnya permasalahan yang diteliti semuanya terfokus pada penokohan.
3) Ismail Rehina Rahama. 2009, dengan judul Meningkatkan kemampuan mengekspresikan Perilaku dan Dialog Tokoh dalam Drama Melalui Metode Modeling pada Peserta Didik kelas XI SMA Muhammadiyah Tolangohula Kabupaten Gorontalo tahun ajaran 2008/2009. Penelitian tersebut mengangkat pemasalahan bagaimana meningkatkan kemampuan mengekspresikan Perilaku dan Dialog Tokoh dalam Drama Melalui Metode Modeling pada Peserta Didik kelas XI SMA Muhammadiyah Tolangohula Kabupaten Gorontalo tahun ajaran 2008/2009? Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode modeling dapat meningkatkan kemampuan mengekspresikan perilaku dan dialog tokoh peserta didik. Meskipun sama-sama menentukan dialog pada drama, akan tetapi penelitian sebelumnnya dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang terdapat perbedaan pada judul penelitian dan lokasi penelitian. Selain itu, penelitian sebelumnya merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dengan kata lain, penelitian sebelumnya sudah merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan pada siswa. Berdasarkan tinjauan di atas, maka jelas terdapat perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hanya persamaannya sama-sama terfokus pada penelitian tentang drama. 2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Pengertian Cerpen Cerpen merupakan sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam (Nurgiyantoro, 2010:10). Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah
ceritanya. Faktor cerita inilah terutama yang mempengaruhi sikap dan selera orang terhadap buku yang akan, sedang, atau sudah dibaca. Genre cerpen berkembang pesat dengan berbagai keunikannya. Cerpen tersatukan melalui „tema‟ dan „efek‟. Cerpen bergaya padat, salah satu kepadatan yang lazim digunakan didalamnya adalah simbolisme (Dewojati,2010:17). Cerpen pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya terbatas. Jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas (Kosasih, 2012:34). Oleh karena itu pada cerpen sering terdapat alur yang lebih sederhana, tokoh yang dimunculkan hanya terdiri dari beberapa orang saja, serta latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas. Pendapat lain dikemukakan oleh Satyagraha Hoerip (dalam Semi, 1988:34), bahwa cerpen (cerpen) adalah karakter yang “dijabarkan” lewat rentetan kejadian daripada kejadiankejadian itu sendiri satu persatu. Sebuah cerpen pada dasarnya menuntut adanya perwatakan jelas pada tokoh cerita. Salah satu ciri yang terpenting dalam cerpen adalah cerpen haruslah berbentuk padat. Jumlah kata, konflik, dan ide yang tertuang dalam cerpen harus lebih sedikit. Untuk menentukan panjang pendeknya cerpen, Guerin (dalam Priyatni, 2010:126) menyatakan bahwa cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Cerpen, selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, ternyata peristiwa dan isi cerita yang disajikan juga sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi mengandung kesan yang dalam. Isi cerita memang pendek karena mengutamakan kepadatan ide. Oleh karena peristiwa dan isi cerita dalam cerpen singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan roman/novel. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan sebuah karya sastra berbentuk narasi dengan cerita yang pendek, dan terdiri dari tokoh yang sedikit, tetapi
pendeknya cerita tersebut memudahkan pembaca dalam memahami alur ceritanya tanpa memakan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan cerita pada cerpen tersebut. 2.2.2 Jenis-jenis Cerpen Menurut Tarigan (1984:178), pembagian atau klasifikasi terhadap cerpen dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang yang umum, yaitu sebagai berikut. a. berdasarkan jumlah kata; b. berdasarkan nilai. 1.
Berdasarkan jumlah kata Berdasarkan jumlah kata yang dikandung oleh cerpen, maka dapatlah dibedakan dua jenis
cerpen, yaitu : a) Cerpen yang pendek (short short story) b) Cerpen yang panjang (long short story) Hal di atas sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro (2010:10) yang menyebutkan bahwa cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story) yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. 2.
Berdasarkan nilai sastra Kalau kita banyak membaca cerpen, maka tahulah kita bahwa ada di antaranya yang
benar-benar bernilai sastra, yaitu memenuhi norma-norma yang dituntut oleh seni sastra, dan di samping itu ada pula beberapa yang tidak bernilai sastra, tetapi lebih ditujukan untuk menghibur saja. Klasifikasi tersebut masing-masing dikenal dengan istilah cerpen sastra dan cerpen hiburan. Memang sulit membuat batasan yang tegas antara cerpen sastra dengan cerpen hiburan, karena sastrapun mungkin pula menngandung hiburan, dan cerpen hiburan mungkin pula bernilai
sastra. Dari buku atau majalah yang memuat cerpen itu dapat kita ketahui masuk jenis mana sesuatu cerpen. Di Indonesia misalnya, cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah : Indonesia, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Cerpen, Horison, Budaya Jaya, merupakan cerpen sastra, dan yang dimuat dalam majalah Terang Bulan dan sejenisnya, adalah cerpen hiburan (Tarigan, 1984:179). Dari pendapat-pendapat di atas, maka cerpen yang akan disadur dalam penelitian ini berdasarkan jumlah katanya termasuk cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Sedangkan berdasarkan nilainya, cerpen ini termasuk jenis cerpen hiburan, tetapi mengandung nilai sastra. 2.2.3 Pengertian Drama Sebagai sebuah genre, drama memiliki asal-usul dan perkembangannya sendiri. Hingga kini telah banyak pendapat para ahli mengemukakan tentang definisi drama yang dapat memperkaya referensi. Secara etimologis, kata “drama” berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Jadi, drama merupakan perbuatan atau tindakan. Aristoteles mengartikan drama sebagai imitasi perbuatan manusia (Dewojati, 2010:7). Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sumardjo dan Saini (1988:31), bahwa drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya. Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menggambarkan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Dalam Kamus Istilah Sastra (2008:73) drama merupakan karya sastra yang bertujuan melukiskan tentang kehidupan yang menampilkan perselisihan/konflik dan emosi lewat peran dan dialog. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera.
Kata kunci drama adalah gerak. Setiap drama akan mengandalkan gerak sebagai ciri khusus drama. Kata kunci ini yang membedakan dengan puisi dan prosa fiksi. Menurut Soemanto (dalam Endraswara, 2011:11) dalam bahasa Perancis drama disebut drame yang artinya lakon serius. Serius yang dimaksud, tidak berarti drama melarang adanya humor. Serius dalam hal ini cenderung merujuk pada aspek penggarapan. Drama perlu garapan yang matang. Drama adalah seni cerita dalam percakapan dan akting tokoh. Dikatakan serius artinya drama butuh penggarapan tokoh yang mendalam dan penuh pertimbangan, dan yang digarap adalah akting agar memukau penonton . Banyak orang berasumsi, drama itu sekadar tontonan. Memang tidak keliru anggapan ini. Hampir semua drama dipentaskan memang untuk ditonton. Drama tanpa penonton jelas sulit ditafsirkan apakah menarik atau tidak, karena yang dapat memberikan apresiasi adalah penonton, siapa pun dan apa pun latar belakangnya. 2.2.4 Jenis-jenis Drama Kosasih (2012:137) membagi jenis-jenis drama atas empat bagian, yaitu sebagai berikut : 1. Tragedi Drama tragedi umumnya memunculkan kisah yang sangat menyedihkan yang dialami seorang insan yang mulia, kaum bangsawan, yang mempertaruhkan dirinya menentang rintangan-rintangan yang tidak seimbang dengan kekuatannya. Aspek positif drama melalui tragedi, misalnya dapat belajar bagaimana hidup dengan penuh derita, dapat mengajarkan dan memberikan wawasan suatu ketabahan dan dengan kemuliaan dapat menandinginya. Tragedi adalah sejenis drama yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a. Menampilkan kisah sedih. b. Cerita bersifat serius.
c. Memunculkan rasa kasihan dan ketakutan. d. Menampilkan tokoh yang bersifat kepahlawanan. 2. Komedi Cerita ini umumnya menampilkan cerita-cerita ringan. Drama ini mungkin pula memunculkan kisah serius, namun dengan perlakuan nada yang ringan. Melalui komedi, kita dapat menikmati peluapan gelak tawa sebagai suatu pembukaan tabir rahasia mengenai untuk apa manusia menentang/melawan dan untuk apa pula manusia mempertahankan atau membela sesuatu. Komedi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a. Cerita ini mengenai peristiwa-peristiwa yang kemungkinan terjadi. b. Kelucuan muncul dari tokoh dan bukan dari situasi. c. Gelak tawa yang ditimbulkan bersifat “bijaksana”. 3. Melodrama Melodrama merupakan jenis drama yang bersifat sentimental dan melankolis. Ceritanya cenderung terkesan mendayu-dayu dan mendramatisir kesedihan. Emosi penonton dipancing untuk merasa iba pada tokoh protagonis (Suciyanti, 2010:1). Melodrama mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a. Mengetengahkan serta menampilkan kisah yang serius. b. Banyak memunculkan kejadian yang bersifat kebetulan. c. Memunculkan rasa kasihan yang sifatnya sentimental. 4. Farce
Farce merupakan jenis drama yang menampilkan cerita lucu yang bersifat dagelan, sengaja menciptakan kelucuan kelucuan dengan dialog dan gerak laku lucu (Suciyanti, 2010:1). Suatu farce mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a. Menimbulkan kelucuan yang tidak karu-karuan. b. Bersifat episodik, memerlukan kepercayaan yang sesaat. c. Kelucuan-kelucuan timbul dari situasi, bukan dari tokoh. Dari penjelasan di atas, maka drama hasil saduran dari cerpen termasuk drama jenis melodrama yang ceritanya terkesan mendramatisir kesedihan. Hal tersebut dapat dilihat pada tokoh antagonis yang selalu mengeluh dan tidak pernah bersyukur, serta ketabahan tokoh protagonis yang membuat penonton akan merasa iba jika drama tersebut dipentaskan. 2.2.5 Unsur Intrinsik Cerpen dan Drama Sebuah karya sastra baik itu cerpen ataupun drama mempunyai unsur-unsur penting yang membangunnya dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik). Pada umumnya, unsur intrinsik dalam cerpen dan drama itu sama. Hanya ada beberapa perbedaan yang terdapat dari masing-masing unsurnya. Jika dibandingkan dengan fiksi (cerpen atau novel), maka unsur intrinsik drama dapat dikatakan “kurang sempurna”. Di dalam drama tidak ditemukan adanya unsur pencerita, sebagaimana terdapat di dalam cerpen. Alur di dalam drama lebih dapat ditelusuri melalui motivasi yang merupakan alasan untuk munculnya suatu peristiwa (Hasanuddin, 2009:92). Unsur-unsur pembangun dalam cerpen dan drama meliputi : 1.
Tema Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut
segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya (Kosasih, 2012:40). Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya.
Pada hakikatnya menentukan tema pada cerpen sama dengan menentukan tema pada karya sastra lain, termasuk drama. Dalam drama, untuk mengetahui tema, kita perlu mengapresiasi menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Tema jarang dinyatakan secara tersirat, begitu pula pada cerpen. Pencerita menyusun suatu cerita karena ingin menjelaskan (mengilustrasikan) tema yang menarik baginya. Ia ingin mengungkapkan idenya agar dapat dipahami pembaca, atau dengan kata lain mengko munikasikan ide-ide kepada masyarakat. Tema biasanya dasar utama cerita yang dipilih pengarang untuk memulai karangannya. Dalam pengertian lain tema itu adalah pokok cerita dalam novel atau cerpen, yang kalau dipadatkan mungkin hanya dapat diungkapkan dengan satu kata atau kalimat (Tuloli,2000:43). 2.
Latar Latar atau setting merupakan tempat dan waktu serta suasana yang
berlangsung dalam
cerita, baik itu cerpen maupun drama. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya cerita ataupun pada karakter tokoh. Latar terdiri atas latar tempat dan latar waktu (Kosasih, 2012:38). a)
Latar tempat merupakan tempat berlangsungnya cerita mungkin berupa daerah yang luas, seperti nama daerah atau nama negara, mungkin pula berada di daerah yang sempit, seperti kelas atau pojok kamar. Contoh : akhirnya Rara nekat juga pergi ke lab IPA, dengan buku fisikanya dia duduk disamping pintu bagian depan lab IPA. Lalu ia mulai belajar dengan seperti biasanya (dikutip dari contoh penggambaran dalam buku Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Kosasih, 2012: 38).
Latar tempatnya adalah di sekolah, lab IPA. Sementara pada drama, latar tempat biasanya merupakan penggambaran tempat kejadian didalam naskah drama, seperti di medan perang, di meja makan.
b) Latar waktu merupakan waktu berlangsungnya cerita, mungkin pada pagi hari, dan waktuwaktu lainnya. Seperti halnya latar tempat, penggambarannya dapat secara langsung oleh pengarang ataupun melalui penuturan tokoh. Contoh : dia datang sambil terus menatapku, tak ada senyum diwajahnya. Hal ini membuat prasangka buruk terhadapku. Namun setelah duduk lama di mejanya sapaan itu keluar dari mulutnya, “pagi, Tom?”. “pagi…”, jawabku tanpa berani menatap wajahnya (dikutip dari contoh penggambaran dalam buku Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Kosasih, 2012:39).
Keadaan waktunya adalah pagi hari. Contoh pada drama misalnya penggambaran waktu kejadian didalam naskah drama, seperti pagi hari pada tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu, terdapat juga latar suasana/ budaya, yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi terjadinya adegan atau peristiwa dalam drama misalnya dalam budaya masyarakat Betawi, Melayu, Sunda Kosasih (2012:136). Latar dapat dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan cerita yang terdiri atas adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Dapat juga dikatakan, latar adalah lingkungan kejadian atau dunia yang berkaitan erat dengan kejadian yang diceritakan (Tuloli,2000:52). 3. Alur Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat (Sumardjo dan Saini 1988:139). Hal ini sependapat dengan pernyataan Kosasih (2012 : 34), bahwa alur (plot) merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Dari kedua pendapat diatas, Tuloli (2000:19) mengemukakan secara garis besar indikator-indikator alur/plot adalah : a) Kerangka atau struktur cerita yang merupakan jalin menjalin cerita dari awal hingga akhir; b) Hubungan peristiwa-peristiwa berdasarkan sebab dan akibat serta menurut urutan waktu; c) Jalinan perjalanan penokohan;
d) Hubungan konflik batin tokoh; e) Mengikat hubungan tempat dan waktu kejadian; f) Berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dan protagonis. Cerpen dan drama, sama-sama memiliki alur dan bagian-bagian dalam alur. Secara umum, alur pada cerpen terbagi ke dalam bagian-bagian berikut.
a)
Pengenalan situasi cerita (exposition) Dalam bagian ini pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan
antartokoh. b) Pengungkapan peristiwa (complication) Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. c)
Menuju pada adanya konflik (rising action) Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan ataupun keterlibatan berbagai
situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. d) Puncak konflik (turning point) Bagian ini pula disebut sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. e)
Penyelesaian (ending) Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami
tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula cerpen yang penyelesaian
akhir ceritanya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi akhir ceritanya itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian (Kosasih, 2012:35). Seperti juga bentuk-bentuk sastra lainnya, sebuah cerita drama pun harus bergerak dari suatu permulaan, melalui suatu bagian tengah, menuju suatu akhir (Kosasih, 2012:135). Dalam drama, bagian-bagian ini dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi (denouement). a.
Eksposisi sesuatu cerita menentukan aksi dalam waktu dan tempat; memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi sesuatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita tersebut, dan adakalanya membayangkan resolusi yang akan dibuat dalam cerita itu.
b.
Komplikasi atau bagian tengah cerita, mengembangkan konflik. Sang pahlawan atau pelaku utama menemukan rintangan-rintangan antara dia dan tujuannya, dia megalami aneka kesalahpahaman dalam perjuangan untuk menanggulangi rintangan-rintangan ini. Pengarang dapat memperunakan teknik flash back atau sorot balik untuk memperkenalkan penonton dengan masa lalu sang pahlawan, menjelaskan suatu situasi, atau untuk memberikan motivasi bagi aksi-aksinya.
c.
Resolusi atau denouement hendaklah muncul secara logis dari apa-apa yang telah mendahuluinya di dalam komplikasi. Titik batas yang memisahkan komplikasi dan resolusi, biasanya disebut klimaks (turning point). Pada klimaks itulah terjadi perubahan penting mengenai nasib sang tokoh. Kepuasan para penonton terhadap suatu cerita tergantung pada sesuai tidaknya perubahan itu dengan yang mereka harapkan.
4. Penokohan Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan
“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro. 2010:66). Menurut Kosasih (2012:36), pada cerpen terdapat teknik penggambaran karakteristik tokoh yaitu sebagai berikut. 1. Teknik analitik atau penggambaran langsung; 2. Penggambaran fisik dan perilaku tokoh; 3. Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; 4. Penggambaran tata kebahasaan tokoh, serta 5. Pengungkapan jalan pikiran tokoh. Penokohan pada cerpen dan drama tidak jauh beda, karena pada dasarnya sama-sama mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita ataupun lakon. Seperti yang dikemukakan oleh Hasanuddin, (2009:93) bahwa pada penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik tokoh (aspek fsiologis), keadaan kejiwaan tokoh (aspek psikologis) keadaan sosial tokoh (aspek sosiologi), serta karakter tokoh. Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh (drama personae) adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama itu. Dalam susunan daftar tokoh itu, yang terlebih dulu dijelaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya itu. Penulis lakon sudah menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya. Watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam dialog dan catatan samping. Jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu. Dalam wayang kulit atau wayang orang,
tokoh-tokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerak-gerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat, dan ungkapan yang digunakan (Waluyo,2006:15). 5.
Amanat Amanat merupakan salah satu unsur dalam cerita yang sangat penting. Pentingnya
amanat dalam cerita berhubungan dengan mutu atau kualitas sebuah karya sastra tersebut (Didipu, 2012:84). Setiap karya sastra, baik novel, cerpen ataupun drama mempunyai amanat atau pesan moral yang tersirat didalamnya. Pesan merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan. Oleh karena itu amanat selalu berhubungan dengan tema cerita itu. Misalnya, tema suatu cerita tentang hidup bertetangga, maka amanat ceritanya tidak akan jauh dari tema itu, misalnya pentingnya menghargai tetangga, pentingnya menyantuni tetangga yang miskin, dan sebagainya Kosasih (2012:41). Selain persamaan unsur-unsur di atas, yang membedakan antara cerpen dengan drama adalah dialog. Dialog merupakan unsur terpenting dalam drama, yang tidak terdapat dalam cerpen. Luxemburg dkk, (1992:160) menyatakan bahwa dialog terikat pada pelaku. Unit-unit dialog yang juga disebut giliran bicara diucapkan oleh seseorang pelaku yang mempunyai fungsi dalam alur. Dialog adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang lain. Begitu pentingnya kedudukan dialog di dalam sastra drama, sehingga tanpa kehadirannya suatu karya sastra tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra drama (Endraswara, 2011:21). Kosasih (2012:36) menyatakan bahwa dalam drama percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan.
a.
Dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang telah terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan para tokoh yang turut berperan diatas pentas.
b.
Dialog yang diucapkan diatas pentas lebih tajam dan tertib daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah. Pada prinsipnya sebuah drama itu merupakan rangkaian dialog. Dialog mengambil
hampir seluruh pertunjukkan. Priyatni (2010:187) menyatakan cara penulisan dialog yang lazim adalah sebagai berikut : 1. Diawali dengan menuliskan nama tokoh. 2. Diikuti titk dua 3. Ujaran tokoh berupa kalimat utuh 4. Tidak ada tanda petik dalam ujaran 5. Jika ada perhentian sejenak, ditandai dengan tanda hubung. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap karya sastra itu memiliki unsur pembangun dari dalam, yang sering disebut dengan unsur intrinsik. Unsur intrinsik dari kedua karya sastra drama dan cerpen pada hakikatnya sama. Cerpen dan drama sama-sama memiliki tema, plot, alur, serta amanat yang terdapat dalam cerita. Tetapi, drama memiliki dialog sebagai salah satu unsur terpenting yang membedakan karya sastra drama dengan karya sastra lainnya, baik itu puisi, novel, maupun cerpen.