10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Konsep A.1 Kemandirian Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan berani menentukan sikap yang tepat. Seperti permasalahan yang menjadi titik puncak keresahan para difabel adalah adanya anggapan difabel yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu menggantungkan pihak lain seperti keluarga. Meskipun realitanya ada banyak difabel yang bersikap demikian namun perlu diingat bahwa masih ada difabel yang berusaha untuk mencukupi segala kebutuhannya dengan tangannya sendiri. Salah satu aspek penting yang diperlukan untuk merekontruksi pemikiran masyarakat umum adalah dengan mengembangkan kemandirian dalam bersikap dan bertindak. Menurut Basri (1995) kemandirian berasal dari kata "mandiri", yang berarti berdiri sendiri. Basri (1995) menyatakan bahwa dalam arti psikologi, kemandirian
mempunyai
pengertian
sebagai
keadaan
seseorang
dalam
kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang mampu untuk memikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikerjakannya dan diputuskannya, baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya. Kata “mampu” perlu digaris bawahi dan menjadi pokok perhatian mengingat kapasitas kemampuan dari difabel dibatasi oleh keterbatasan fisik. Meskipun memiliki keterbatasan pada bagian tubuhnya namun dalam melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan keterbatasanya, difabel tetap memiliki strategi untuk tetap melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa bantuan orang lain. Contohnya bagi
10
11
difabel yang memiliki keterbatasan pada bagian tangan (buntung) tentu sulit untuk makan seperti orang normal, sehingga difabel menyiasatinya dengan makan menggunakan kaki, meskipun merasa tidak nyaman bahkan dinilai tidak sopan namun cara ini bisa membuktikan bahwa masih ada difabel yang berusaha untuk tidak bergantung pada orang lain. Siswoyo (Daradjat, 2000) mendefinisikan kata kemandirian sebagai suatu karakteristik individu yang mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya seoptimal mungkin, dan ketergantungan pada tingkat yang relatif kecil. Artinya sikap mandiri lebih mengutamakan kepentingan dirinya atas dasar kebutuhan dirinya bukan atas dasar keinginan orang lain, hal ini bisa dikaitkan dengan pembuatan sebuah keputusan yang murni dari pertimbangan dirinya tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Orang-orang yang demikian relatif bebas dari lingkungan fisik dan sosialnya. Bebas bukan berarti sendiri atau tidak mempunyai aturan, namun kata bebas lebih memberikan makna penekanan kepada sikap aktualisasi diri dalam melakukan kewajiban dan perannya sesuai apa yang dia inginkan bukan atas tuntutan yang berbenturan dengan kepentingan orang lain. Meskipun mereka tergantung pada lingkungan untuk memuaskan kebutuhan dasar, sekali kebutuhan terpenuhi mereka bebas untuk melakukan caranya sendiri dan mengembangkan potensinya. Penggalian potensi ini sangat penting dalam aspek untuk memandirikan setiap individu karena dengan mengetahui apa potensi diri masingmasing maka kelak pengembangan diri seperti dalam karier akan mudah dicari. Karier sangat penting bagi setiap individu, mengingat karierlah yang akan membawa individu berada dalam level sejahtera atau tidak sejahtera (miskin). Setiap orang selalu mengidam-idamkan menjadi sosok yang mandiri dalam kehidupannya, namun terkadang definisi mandiri diartikan secara sempit yaitu kemampuan untuk hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Hidup sendiri selalu ditopang dengan kondisi ekonomi yang mapan dari pendapatan yang tetap. Pemahaman ini masih menjadi tolak ukur ditengah-tengah masyarakat sehingga sangat perlu untuk direkontruksi dengan pengertian yang lebih flexibel sehingga bisa dipahami dan dijadikan pola hidup bagi semua orang. Mandiri secara sikap
12
dan perilaku juga bisa jadi salah satu contoh yang selama ini belum menjadi pegangan hidup masyarakat, padahal point ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hidup tanpa tekanan dan paksaan dalam membuat berbagai keputusan maupun kebijakan adalah kemandirian yang tidak disadari oleh masyarakat. Mandiri adalah hak dan kewajiban dari setiap individu termasuk kaum difabel yang secara fisik memiliki keterbatasan. Bahkan mampu melakukan berbagai aktifitas dengan kekuatan dan daya upaya sendiri seperti makan, bersekolah, beraktualisasi diri dalam segala bidang dan kegiatan-kegiatan lainnya sudah menjadi bekal bagi difabel untuk masuk dalam tataran kemandirian. Seseorang
yang
berkepribadian
diri
kuat
berarti
tinggi
tingkat
kemandiriannya dan sebaliknya, seseorang yang berkepribadian diri lemah, berarti tingkat kemandiriannya rendah. Kepribadian seseorang tentu juga sangat berpengaruh kepada sikap seseorang, seseorang yang merasa dirinya tidak mampu dan susah untuk bekerja keras menjadi pertanda awal yang akan menunjukkan bahwa tingkat kemandiriannya lemah. Merasa lemah dan minder justru juga menjadikan seseorang mudah untuk menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sebaliknya sikap bekerja keras dan ambisi yang tinggi justru mampu membawa seseorang menuju sikap dan kepribadian yang mandiri karena adanya keengganan untuk meminta bantuan kepada pihak lain. Uraian dari beberapa tokoh psikologi pertumbuhan, seperti Maslow, Rogers, Allport dan beberapa tokoh dalam psikologi kepribadian, seperti Murray dan Adler (Boeree : 2005). Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang berkepribadian diri kuat mempunyai beberapa ciri, yaitu : (1) mempunyai keinginan untuk berprestasi, (2) mempunyai keinginan untuk bebas dan mandiri, (3) mempunyai keinginan untuk berafiliasi, (4) mampu berempati dengan baik, dan (5) mempunyai rasa tanggung jawab. Sedangkan seseorang yang berkepribadian diri lemah mempunyai ciri-ciri yang berlawanan atau kualitas yang lebih rendah dari ciri-ciri yang tersebut diatas. Setiap manusia mempunyai bentuk dan kualitas kepribadian yang berbeda. Schaefer
(1996)
menjelaskan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
13
terbentuknya kepribadian dapat dibagi menjadi dua, yaitu hereditas (nature) dan alam sekitar (nurture). Anak yang dilahirkan sudah mempunyai hereditas tertentu, selanjutnya alam sekitar, termasuk disini adalah orang tua dan masyarakat yang secara langsung atau tidak akan berperan mempengaruhi pembentukan kepribadian. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah salah satu hal yang dituju dalam perkembangan hidup manusia. Kemandirian didefinisikan sebagai keinginan untuk merasa bebas, berbuat sesuatu atas dorongan sendiri, merasa yakin akan kemampuannya, mampu mengatasi masalah, memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Sikap mandiri ini dapat terbentuk dari pola interaksi anak dengan orang tua dan keluarganya, sebagai pondasi awal. Sikap mandiri ini perlu diarahkan pada hal-hal yang positif, misalnya untuk melaksanakan tugas sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kemandirian ini oleh Daradjat (2000) dicirikan sebagai pribadi yang mempunyai beberapa ciri, yaitu : 1) Memiliki kebebasan untuk berinisiatif. Mempunyai kebebasan untuk berpendapat dan menuangkan ide-ide baru serta mencoba sesuatu hal baru yang mungkin belum dilakukan orang lain. 2) Memiliki rasa percaya diri. Memiliki kepercayaan diri bahwa segala masalah yang dihadapi mampu untuk
diatasi
dan
tidak
mempunyai
perasaan
ragu-ragu
dalam
mempertimbangkan sesuatu. 3) Mampu mengambil keputusan. Berusaha mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi masalah yang dihadapi tanpa bergantung orang lain. 4) Mampu bertanggung jawab. Segala hal yang dikerjakan dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri dan orang lain.
14
5) Mampu mengendalikan diri. Mampu untuk mengendalikan diri dalam melakukan suatu tindakan dan apabila melakukan suatu kesalahan akan cepat menyadarinya. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan mengenai rincian aspek-aspek kemandirian, yaitu : (a) kemampuan mengambil inisiatif, (b) kemampuan mengerjakan sendiri tugas-tugas rutin, (c) kemampuan mengatasi rintangan dari lingkungan, (d) kemampuan mendapatkan kepuasan dari bekerja, (e) kemampuan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan, dan (f) kemampuan menetapkan sendiri keinginan dan tujuannya.
A.2 Difabel Definisi atau pengertian terhadap penyandang cacat, dapat dilihat dari konteks penggunaan berbahasa dan konsep yang digunakan. UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri atas : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental , serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda). Perlu digaris bawahi bahwa difabel hanyalah kecacatan (keterbatasan) secara fisik dan mental yang tidak berpengaruh kepada berkurangnya hak, kewajiban maupun peran dari difabel itu sendiri. Mengacu pada pasal 1 UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak yang menyadang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar. Teori kecacatan menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu ; Disability adalah keterbatasan atau kekurang mampuan untuk melaksanakan kegiatan secara wajar bagi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kondisi impairment. Disini PBB menekankan pada ketidak mampuan seseorang atau
15
kekurang mampuan seseorang dalam melakukan sesuatu kegiatan karena ada keterbatasan (cacat) fisik yang dimiliki. Kebijakan baru berkaitan dengan penyandang difabel, tertuang dalam UU nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities atau Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Difabel. Dalam UU ini orang yang mengalami kedifabelan, disebut dengan Penyandang Difabel. UU ini memandang penyandang difabel sebagai warga masyarakat yang mempunyai hak-hak dan kesempatan yang sama dengan warga masyarakat lainnya untuk mendapatkan taraf kesejahteraan sosial. Majelis Umum PBB pada 30 Maret 2007 menyatakan beberapa hak bagi para penyandang difabel adalah : tidak didiskriminasikan, hidup mandiri dan terlibat dalam masyarakat, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta akses terhadap informasi. Maka dirasa perlu untuk memberikan pelatihan berkelanjutan bari para penyandang difabel agar mereka mampu mengoptimalkan potensi
yang mereka miliki. Dengan
berkembangnya potensi tersebut, mereka akan memiliki keterampilan yang memadai dan dapat hidup mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Indonesia turut menyepakati konvensi tingkat dunia tersebut dan konvensi tersebut telah dialih bahasa dengan bahasa Indonsia untuk dapat dilaksanakan melalui serangkaian program pendukung berupa pelatihan bagi difabel. Setiap manusia mempunyai hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Hakhak ini harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan sehingga perlindungan serta pemajuan hak asasi manusia berlaku untuk warga masyarakat, termasuk kelompok rentan khususnya penyandang difabel. Jadi tidak ada perbedaan antara difabel dengan masyarakat normal lainnya kecuali keterbatasan fisik yang dimiliki. Masyarakat seharusnya juga membuka interaksi seluas-luasnya dengan difabel tanpa ada pengucilan sedikitpun yang bisa menjadikan difabel termarjinalkan karena diasingkan dari lingkungannya sendiri. Lingkungan menjadi faktor penting penentu apakah difabel mampu bersosialisasi dengan masyarakat secara baik atau tidak dari keleluasaan interaksi yang dapat dilihat dari sikap keterbukaan masyarakat kepada kaum difabel. Hak dan kewajiban difabel
16
tidak boleh diabaikan oleh pihak manapun termasuk pemerintah, karena suara dan pendapat mereka juga bisa memberikan solusi bagi kesejahteraan negara. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan definisi tentang penyandang difabel tersebut, disajikan beberapa definisi atau pengertian kedifabelan menurut beberapa ahli, dasar kategorisasi sehingga menghasilkan hasil kategori penyandang difabel secara lengkap. Pihak pendekatan medis yang merupakan pendekatan paling tua dalam mendefinisikan kedifabelan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana yang ditulis oleh Coleridge (1997) mengemukakan tiga dimensi mendasar mengenai kedifabelan yang mengacu kepada pendekatan medis atau kedokteran yaitu :
Impairment: any loss or anormally of psychological, phsysio-logical or an atomical structure on function Disability: any restriction or lack (resulting from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being. Handicap: a disadvantage for a given individual, resulting from an impairment or disability, that limits or prevents fulfilment of a role that is normal (depending on age, sex, and social and culture factors) for that individu (Coleridge: 1997).
Impairment yaitu kerusakan/kelemahan suatu ketidak normalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomi, misal lumpuh di bagian bawah tubuh (paraplegia). Disability (difabel) adalah segala keterbatasan atau kelemahan fisik (sebagai akibat dari kerusakan organ tubuh atau bagian tubuh lain) untuk melakukan aktivitas dengan cara atau dalam batas-batas yang dianggap “normal” bagi manusia, misalnya keterbatasan dalam berjalan dengan dua kaki. Handicap (ketidakmampuan) adalah keadaan yang merugikan bagi seseorang sebagai akibat “kerusakan/kelemahan” atau kedifabelan” yang membatasi atau mencegah pemenuhan peranan yang normal (tergantung usia, jenis kelamin, serta faktor sosial budaya). Misalnya, tidak adanya akses kepenggunaan kursi roda dalam gedung/transportasi kerena tidak tersedia jalur landai yang dilalui kursi roda).
17
Penjelasan mengenai penyandang difabel lainnya dikemukakan oleh Ferial dan Slamet (1998) dalam manual RBM, yang mendefinisikan penyandang difabel sebagai bayi/anak/dewasa/orang tua yang mengalami gangguan-gangguan yaitu : 1. Gangguan kejang (ayan), adalah kedifabelan yang disebabkan oleh adanya iritasi didalam otak. Tanda-tanda awal yang dapat dilihat dari gangguan kejang ini adalah penderita melamun, kepala dan leher berpaling kesatu sisi, berputar dan kemudian terkulai, mata terbalik keatas, mengeluarkan suara dan gerakan badan (kejang). 2. Gangguan belajar, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam mempelajari sesuatu, karena memiliki tingkat kecerdasan atau kepandaian yang rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Rendahnya tingkat kecerdasan ini disebabkan adanya proses perkembangan individu yang lebih terlambat atau berhenti lebih cepat. Gangguan wicara, adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam berbicara atau menyampaikan sesuatu. Gangguan wicara ditandai dengan keadaan dimana orang
sama
sekali tidak bisa bicara, atau masih bisa bicara tetapi dengan pengucapan tidak jelas atau tidak lengkap sehingga tidak bisa dipahami oleh orang lain. 3. Gangguan pendengaran, yaitu seseorang yang mengalami hambatan dalam mendengar
sehingga
tidak
dapat
berkomunikasi
atau
masih
bisa
berkomunikasi tetapi tidak baik. Biasanya seseorang yang mengalami gangguan pendengaran total, bila tidak dilatih bisa berakibat gangguan pada bicaranya atau bahkan tidak bisa bicara sama sekali. 4. Gangguan penglihatan, adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada indera
penglihatan
sedemikian
rupa,
sehingga
menghambat
dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Gangguan penglihatan ini dibedakan antara gangguan ringan, setengah berat/sedang, dan gangguan berat atau tidak bisa melihat sama sekali. 5. Gangguan gerak, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam menggerakkan lengan, badan, atau tungkai. Hal ini disebabkan karena lemahnya fungsi dari lengan, badan dan tungkai, atau karena kehilangan salah satu anggota badannya.
18
6. Gangguan perkembangan, yaitu kondisi secara khusus yang dialami oleh bayi atau anak kecil, dimana perkembangannya tidak senormal orang lain. Keadaan ini terlihat dimana seorang anak/bayi tidak bisa melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. 7. Gangguan Tingkah laku, yaitu keadaan dimana seseorang memperlihatkan gangguan tingkah laku karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya, berubah-ubah dan tidak dapat berpikir jernih, dan bahkan tidak menyadari akan tingkah lakunya. 8. Gangguan Mati Rasa, yaitu keadaan dimana seseorang sudah tidak dapat memfungsikan indera perasanya. Tanda-tandanya terlihat dimana orang tidak merasakan sesuatu yang mengenai tangan/lengan dan tungkai/kaki. 9. Gangguan Lain-lain, yaitu seseorang yang mengalami gangguan selain yang telah disebutkan diatas seperti bibir sumbing, luka bakar, sesak, termasuk yang mengalami gangguan/difabel ganda. Menurut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, berbagai faktor penyebab serta permasalahan kecacatan, maka jenis-jenis kecacatan dapat di kelompokkan sebagai berikut : 1. Penyandang Cacat Fisik yaitu individu yang mengalami kelainan kerusakan fungsi organ tubuh dan kehilangan organ sehingga mengakibatkan gangguan fungsi tubuh. Misalnya gangguan penglihatan, pendengaran, dan gerak. 2. Penyandang Cacat Mental yaitu individu yang mengalami kelainan mental dan atau tingkah laku akibat bawaan atau penyakit. Individu tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang umum dilakukan orang lain (normal). 3. Penyandang Cacat Fisik dan Mental yaitu individu yang mengalami kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari selayaknya.
19
1. Penyandang Cacat Fisik a. Tuna Netra Berarti kurang penglihatan. Keluarbiasaan ini menuntut adanya pelayanan khusus sehingga potensi yang dimiliki oleh para tuna netra dapat berkembang secara optimal. b. Tuna Rungu/ Wicara Tuna Rungu, ialah individu yang mengalami kerusakan alat atau organ pendengaran yang menyebabkan kehilangan kemampuan menerima atau menangkap bunyi serta suara. sedangkan Tuna Wicara, ialah individu yang mengalami kerusakan atau kehilangan kemampuan berbahasa, mengucapkan katakata, ketepatan dan kecepatan berbicara, serta produksi suara. c. Tuna Daksa Secara harfiah berarti cacat fisik. Kelompok tuna daksa antara lain adalah individu yang menderita penyakit epilepsy (ayan), kelainan tulang belakang, gangguan pada tulang dan otot,serta yang mengalami amputasi.
2. Penyandang Cacat Mental a. Tuna Laras Dikelompokkan dengan anak yang mengalami gangguan emosi. Gangguan yang muncul pada individu yang berupa gangguan perilaku seperti suka menyakiti diri sendiri, suka menyerang teman, dan lainnya. b. Tuna Grahita Sering dikenal dengan cacat mental yaitu kemampuan mental yang berada di bawah normal. Tolak ukurnya adalah tingkat kecerdasan atau IQ. Tuna grahita dapat dikelompokkan sebagai berikut : 3. Penyandang Cacat Mental Eks Psikotik : 1)
Eks psikotik penderita gangguan jiwa, sering mengganggu.
2)
Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku.
20
4. Penyandang Cacat Mental Retardasi : a. Tuna Grahita Ringan (Debil) Tampang dan fisiknya normal, mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum. b. Tuna Grahita Sedang (Embisil) Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tuna grahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II SD Umum. c. Tuna Grahita Berat (Idiot) Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan seharihari mereka membutuhkan bantuan orang lain. d. Penyandang Cacat Fisik dan Mental (Ganda) Tuna Ganda, Kelompok penyandang jenis ini adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna grahita atau bahkan sekaligus. Secara keseluruhan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa difabel merupakan
keterbatasan
seseorang
secara
fisik
maupun
mental
yang
menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan normal seperti orang-orang pada umumnya. Keterbatasan yang dimiliki oleh difabel tidak mengurangi peran, hak, dan kewajibannya sebagai penduduk Indonesia.
21
A.3 Pemberdayaan Difabel
Seperti yang kita tahu, kaum difabel menjadi kaum minoritas yang rentan terhadap segala permasalahan sosial dan juga ekonomi. Difabel memiliki kompleksitas permasalahan yang tentu perlu mendapatkan perhatian ekstra dari pihak-pihak disekitarnya baik masyarakat maupun pemerintah. Perlu adanya upaya yang dapat meningkatkan kapasitas daya juang difabel di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Konsep kemandirian yang digadang-gadang menjadi tujuan bagi para individu difabel tentu harus menempuh berbagai cara dan strategi agar bisa tercapai dengan maksimal. Salah satu upaya adalah dengan melakukan pemberdayaan bagi kaum difabel untuk memberikan power
bagi mereka sehingga bisa memberikan
pengaruh positif terhadap kehidupan mereka. Pemberdayaan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah namun juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat baik berupa organisasi, komunitas maupun paguyuban sebagai aktor dalam sebuah pemberdayaan. Menurut Prijono dan Pranarka (1996) lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat minoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless). Alur pikir di
22
atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber– sumber power. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat
perwujudan
potensi
kemampuan
yang
mereka
miliki.
Adapun
pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
23
Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertamatama haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya
itu
sendiri,
dengan
mendorong,
memotivasi
dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996). Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Payne ( dalam Prijono dan Pranrka, 1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang
24
akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat
berdaya
adalah
termotivasi,berkesempatan,
masyarakat
memanfaatkan
yang
tahu,
peluang,
mengerti, berenergi,
faham mampu
bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak
sesuai
dengansituasi.
Proses
pemberdayaan
yang
melahirkan
masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.. Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap
25
nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
B. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Penelitian
pertama,
diambil
dari
African
Journal
of
Disability
(www.ajod.org) berjudul Stakeholder consultations on community-based rehabilitation guidelines in Ghana and Uganda yang ditulis oleh Mary Wickenden, Diane Muligan, Gertrude O.Fefoame dan Phoebe Katende pada tahun 2011.Fokus dari penelitian ini adalah pemberdayaan bagi orang-orang yang memiliki kekurangan secara fisik (difabel) yang efektif dengan rehabilitasi yang berbasis masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah parsipati yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat skala internasional kemudian Organisasi non-pemerintah lainnya serta mitra lokal yang memberikan kontrinbusinya kepada pembangunan difabel. Penelitian ini juga menerangkan kerjasama antara ornop asing dengan pihak-pihak terkait dalam lingkaran difabel dapat mempengaruhi kebijakan pada masalah-masalah difabel yang dibuat oleh pemerintah selanjutnya. Kebijakan yang dibuat diutamakan dalam akses teknologi dan informasi yang selama ini masih kurang didapatkan oleh kaum difabel. Penelitian ini menyimpulkan bahwa para pemangku kepentingan diberbagai kelompok masyarakat dapat memberikan kontribusi secara aktif untuk membentuk kebijakan dan praktik melalui konsultasi partisipatori. Pemerintah lokal dan nasiomal serta organisasi non-pemerintah dapat mendorongan difabel untuk berkontribusi pada pembangunan nasional melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pendekatan partisipati ini dapat berhasil diasilitasi oleh organisasi non pemerintah asing dengan
26
memberikan kebijakan yang responsive terhadap difabel. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis keduanya sama-sama memfokuskan kepada pemberdayaan dengan pendekatan partisipasi kepada difabel. Sedangkan perbedaanya adalah penelitian pertama ini lebih meluas dengan melibatkan dua negara yaitu Ghana dan Uganda, kemudian pihak stakeholder yang memberdayakan adalah Organisasi Nonpemerintah asing yang bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat serta pemerintah lokal sehingga penelitian ini lebih luas dan kompleks lingkupnya. Untuk penelitian yang akan dilakukan ini lingkupnya lebih sempit dengan fokus di satu kabupaten serta hanya dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat yang membidangi difabel diwilayah setempat
2. Penelitian
kedua,
diambil
dari
African
Journal
of
Disability
(www.ajod.org) yang ditulis oleh Anne Marie W.H, Albert P. Chaki, dan Ruth Mlay pada tahun 2012 dengan judul jurnal Occupational Therapy Synergy between Comprehensive Community Based Rehabilitation Tanzania and Heifer International to Reduce Poverty. Latar belakang penelitian menerangkan kemitraan sebuah organisasi rehabilitasi berbasis masyarakat dan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tanzania yang difokuskan pada peningkatan pendapatan untuk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi oleh keluarga dengan anak-anak difabel. Objek penelitian ini adalah masyarakat Tanzania yang difabel dengan masuk pada kategori miskin. Kemitraan untuk meningkatkan pendapatan mereka dengan memberikan modal usaha ternak berupa kambing. Hasil kemitraan layanan rehabilitasi dengan terapi kerja ini mengakibatkan meningkatnya efektifitas dari LSM dan meninggalkan dampak jangka panjang pada kaum difabel diwilayah tersebut. LSM tersebut membantu kaum difabel untuk meminimalisir
kemiskinan
dengan
metode
preventif.
Kesimpulan
penelitian ini telah berhasil menyediakan sebuah pengalaman yang berarti
27
untuk keluarga difabel dimana mereka dapat menghasilkan pendapatan dari peternakan kambing. Persamaan dari penelitian ini adalah keduanya fokus pada pemberdayaan difabel melalui LSM dengan strategi tertentu. Perbedaanya penelitian kedua ini langsung mengujicobakan pemberdayaan dengan pemberian modal usaha berupa ternak kambing sehingga mengambil aksi secara langsung, sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini lebih mengutamakan strateginya pemberdayaan kepada difabel secara luas.
3. Penelitian ketiga, tentang pemberdayaan difabel pernah dilakukan oleh Anik Yunianingsih (Sosiologi/FISIP/ UNS) tahun 2009 dengan judul Strategi Pemberdayaan Difabel Dalam Upaya Meningkatkan Kemandirian Difabel (Studi Deskripti Kualitatif tentang Strategi Pemberdayaan Difabel oleh LSM Bina Akses di Kabupaten Sukoharjo). Dalam penelitian ini memfokuskan kepada strategi pemberdayaan LSM Bina Akses kepada difabel di Kabupaten Sukoharjo
yang hasilnya bersifat menyeluruh
meliputi pemberdayaan yang bersifat fisik, mental maupun kemampuan sosial difabel. Strategi yang digunakan oleh LSM Bina Akses untuk memulikan mental difabel adalah melalui program-program rehabilitasi yang terdiri dari program motivasi, bimbingan fisik, bimbingan spiritual, bimbingan psikologis, dan bantuan sosial. Peran LSM Bina Akses dalam pemberdayaan difabel di Kabupaten Sukoharjo secara garis besar yaitu pendampingan dan peran penguatan potensi diri difabel. Peran dan strategi pemberdayaan
yang
dilakukan
oleh
LSM
Bina
Akses
untuk
memberdayakan difabel adalah dengan memberikan berbagai macam training
ketrampilan
dan
kewirausahaan
untuk
kemudian
bisa
dikembangkan oleh difabel secara mandiri. Dengan usaha yang mereka dirikan, difabel bisa hidup mandiri dari segi ekonomi maupun kebutuhan keluarganya. Persamaan dengan yang akan penulis lakukan adalah keduanya menggunakan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai promotor bagi pengembangan kemandirian difabel dan juga keduanya mengambil
28
lokasi yang sama yaitu di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan perbedaanya, penelitian sebelumnya fokus pada strategi pemberdayaan difabel sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini lebih kompleks dimulai dari permasalahan sosial, urgensi pemberdayaan hingga strategi pemberdayaan bagi difabel dengan LSM yang berbeda pula.
C. Landasan Teori Teori Fungsionalisme Struktural (Talcott Parsons) Fungsionalisme struktural sering juga disebut dengan fungsionalisme, analisis fungsional, dan teori fungsional. Masyarakat dalam pandangan fungsionalisme struktural sebagai kelompok individu yang terintegrasi menjadi satu kesatuan. Fungsionalisme struktural menekankan kepada : 1. Persyaratan fungsional yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sebuah sistem untuk terus bertahan. 2. Kecenderungan
masyarakat
untuk
menciptakan
konsensus
(kesepakatan) antar anggotanya. 3. Kontribusi “peran dan status” yang dimainkan oleh individu/institusi dalam keberlangsungan sebuah masyarakat. Fungsionalisme struktural mengkaji peran atau fungsi dari suatu struktur sosial atau institusi sosial dan tipe perilaku/ tindakan sosial tertentu dalam sebuah masyarakat serta pola hubungannya dengan elemen-elemen lainnya (Ritzer dan Goodman : 2013). Keberlangsungan masyarakat sebagai suatu sistem dan bertahan dari berbagai perubahan internal serta eksteral dengan mengidentifikasi berbagai persyaratan fungsional yan dihadapi oleh sistem sosial/masyarakat untuk bisa berlangsung dan bertahan langgeng. Fungsi adalah suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem Rocher (dalam Ritzer: 2013). Dalam teori struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat fungsi untuk semua sistem
29
tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan hal yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Secara sederhana, fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan
pada
model
sistem
organik
dalam
ilmu
biologi.
Artinya,
fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency). 1. Adaptation : fungsi yang dimiliki oleh sebuah sistem untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dari sistem tersebut. Contoh konkritnya adalah pada saat revolusi industri terjadi perubahan dalam pembuatan barang yang sebelumnya menggunakan tenaga manusia diganti dengan penggunaan mesin uap, sehingga dapat lebih efektif dan efisien dalam produksi barang. Maka dari itu industriindustri yang ada juga harus mengadaptasikan dirinya dengan penggunaan mesin uap untuk dapat bertahan dalam persaingan atau tidak mereka akan ketinggalan dan tidak dapat bertahan menghadapi industri lain yang menggunakan mesin uap tersebut. 2. Goal Attainment : fungsi yang dimiliki sebuah sistem untuk dapat mendefinisikan dan mencapai tujuannya. Misalnya pada suatu kelompok penelitian yang dibentuk pada suatu mata kuliah. Bila dalam kelompok tersebut tidak dapat menentukan tujuannya maka kelompok tersebut tidak akan dapat menjalankan fungsinya. 3. Integration : fungsi yang dimiliki oleh sistem dalam rangka mengatur hubungan bagian-bagian dalam komponen sistem tersebut dan aktor-aktor
30
didalamnya. Fungsi ini juga berperan dalam mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya dalam skema AGIL. 4. Latency : fungsi yang dimiliki suatu sistem untuk memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, pada tingkat individu maupun pola-pola kultural.
Dalam perumusan teori dasar Parsons, sistem yang hidup merupakan sistem tingkat pertama. Sistem bertindak (Action theory) yang akan menerangkan seluruh pengertian perilaku manusia adalah merupakan sub-kelas dari sistem yang hidup. Dengan demikian keempat syarat fungsional itu berkaitan dengan hubungan sistem dan lingkunganya serta sarana-sarana melalui mana penyelesaian ini harus dipenuhi (Poloma, 2003 : 81). Dalam perspektif fungsional suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok dimana mereka menjali kerjasama secara terpadu melalui keteraturan cara dan berpedoman pada nilai serta norma yang telah menjadi konsensus dalam masyarakat tersebut. Masyarakat juga dipandang sebagai sebuah sistem yang stabiln dan ada kecenderungan mengarah keseimbangan (equilibrium). Apabila datang sebuah perubahan yang menjadi gejolak sehingga mengganggu keseimbangan sistem maka sub-sub sistem akan berupaya untuk menetralisir agar bisa kembali stabil. Masyarakat sebagai sistem setiap unsurnya harus saling mempengaruhi, saling membutuhkan, dan bersama-sama membangun totalitas yang ada agar tercipta keseimbangan yang diinginkan. Berdasarkan ide yang diketengahkan Parsons dalam buku The Social System tahun 1951, yaitu tiga sistem yang saling bergantung satu sama lain (sistem kebudayaan, sosial, dan kepribadian) Parsons menambahkan sistem yang keempat yaitu sistem organisme perilaku. Dengan cara itu Parsosn mampu memperlakukan masing-masing sistem itu sebagai sistem yang memenuhi prasyarat fungsional sistem bertindak. Sistem sosial adalah sumber integrasi; sistem kepribadian memenuhi kebutuhan pencapaian tujuan atau goal attainment; sistem kultural mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem; sistem organism behavioral memenuhi kebutuhan yang bersifat penyesuaian (adaptif) (Poloma, 2003 : 183).
31
Analisis AGIL dalam masyarakat ( Poloma, 1984;185) :
Gambar II.1 Analisi AGIL Penjelasan dari analisis AGIL adalah sebagai berikut :
1. Adaptasi = Sub sistem organis perilaku Organisme perilaku dianggap sebagai sub sistem yang adaptif, sebagai tempat fasilitas-fasilitas manusia yang primer mendasari sistem-sistem lainya. dia melingkup seperangkat kondisi kemana tindakan harus disesuaikan dan terdiri dari mekanisme antar hubungan yang utama dalam lingkungan fisik (Poloma, 2003 : 184). Dalam penelitian ini fungsi adaptif ditujukan untuk memperoleh sumber daya yang memadai dari lingkungan sekitar dan mendistribusikan ke seluruh sistem. Adaptasi lebih diutamakan kepada tersedianya sumber daya yang bisa memenuhi kebutuhan dari difabel baik dari segi materi maupun non materi. Paguyuban Sehati harus memulai dengan menganalisis terlebih dahulu apakah kebutuhan dan permasalahan yang dialami oleh kaum difabel kemudian melihat apakah sumber daya yang dimiliki untuk bisa dikembangkan. Pemenuhan kebutuhan terutama dalam hal ekonomi sangat menunjang keseluruhan sistem agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Sub sistem adaptasi fokus pada hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari para difabel. Jika diatas kebutuhan secara materi dalam hal ekonomi menjadi penunjang sistem, maka kebutuhan akan pengakuan dan pelayanan yang
32
setara dengan masyarakat pada umumnya adalah sesuatu yang dianggap baik dan diharapkan oleh difabel. Para difabel membutuhkan pengakuan dari masyarakat bahwa mereka adalah anggota masyarakat yang tidak seharusnya didiskriminasi. Untuk mencapai sebuah keseimbangan maka hal-hal yang dibutuhkan oleh difabel harus menjadi prioritas bagi elemen masyarakat lain yang hidup berdampingan selama ini. Selain itu peran difabel juga menjadi salah satu tolak ukur bagi masyarakat untuk bisa menilai sisi positif dari difabel itu sendiri. Seluruh masyarakat perlu untuk menjunjung tinggi toleransi antar sesama anggota masyarakat terlebih lagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, keadilan dan menghargai semua yang ada dalam kehidupan sosial agar tercipta lingkungan masyarakat yang rukun dan seimbang. 2. Goal Attainment = Sub sistem kepribadian Sub sistem kepribadian dikendalikan oleh sistem kultural (Latency) dan juga sistem sosial (Integration) melalui sosialisasi. Kepribadian adalah motivasi yang ada dalam diri individu yang mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan yang diharapkan pada fungsi adaptasi. Kebutuhan yang dimaksud bukanlah sisi kebutuhan yang ada secara naluri sejak lahir akan tetapi timbul karena individu berada pada aturan sosial. Setelah melalui proses internalisasi pada sub sistem budaya yang mengajarkan adanya nilai dan norma yang dianggap sebagai pedoman kebaikan tentu seorang individu akan memiliki motivasi yang menciptakan sebuah tujuan. Disini sub sistem kepribadian akan dikaitkan dengan motivasi bagi para difabel untuk mencapai tujuanya mereka yaitu aspek mandiri baik secara psikologi, ekonomi maupun sosial sesuai yang dicanangkan oleh Paguyuban Sehati dalam visi dan misi organisasi. Bahkan sub sistem ini erat kaitanya dengan sistem politik, dimana para difabel juga diarahkan untuk mengikuti kebijakankebijakan Pemerintah yang selaras dengan tujuan yang ingin dicapai semua elemen. Difabel menjadi pihak yang dipengaruhi karena dijadikan sebagai aktor untuk mencapai titik perubahan yang dituju melalui peran Paguyuban Sehati.
33
3. Integrasi = sub sistem sosial Sistem sosial terdiri dari beragam ator individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi suatu lingkungan fisik dimana aktor cenderung termotivasi kearah optimisasi. Sistem sosial menempatkan status dan peran sebagai unit yang mendasari suatu sistem. Status merujuk pada posisi seseorang secara struktural dalam sistem sosial sedangkan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi. Ada sejumlah prasyarat fungsional bagi sistem sosial, yaitu : a) Sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa agar dapat beroperasi dengan sistem lain. b) Sistem sosial harus didukung oleh sistem lain agar dapat bertahan. c) Sistem harus secara signifikan memenuhi kebutuhan proporsi kebutuhan aktor-aktornya. d) Sistem harus menimbulkan partisipasi yang memadai dari anggotanya. e) Sistem harus memiliki kontrol minimum terhadap perilaku yang berpotensi merusak. f) Konflik yang menimbulkan kerusakan tinggi harus dikontrol.
Sistem sosial berupaya untuk meminimalisir dan memecahkan setiap permasalahan yang menjadi gejolak untuk sebuah sistem masyarakat. Point penting disini adalah sosialisasi dan internalisasi, sosialisasi yang sukses akan menjadikan internalisasi nilai dan norma secara sempurna. Sub sistem sosial yang mengintegrasi dipahami sebagai upaya mengkoordinasikan, mengatur hubungan antar elemen dan sistem. Integrasi menjadi pengontrol bagi seluruh elemen untuk dapat berjalan sesuai dengan harapan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam
mengikuti
kegiatan-kegiatan
Paguyuban Sehati
tentu
difabel
mendapatkan banyak nilai-nilai baru melalui sosialisasi yang diberikan oleh pengurus Paguyuban atau mitra Paguyuban yang tentu memiliki kapasitas ilmu yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Analisis selanjutnya apakah sosialisasi yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati sukses untuk mengubah pola pikir difabel dan masyarakat. Hasilnya jawaban ini akan memberikan pengaruh
34
terhadap keseimbangan sistem masyarakat kedepanya. Kontrol yang diberikan oleh Paguyuban Sehati, difabel dan masyarakat umum tetap dalam konteks aturan yang berlaku bisa juga diartika secara luas dalam konteks hukum.
4. Latency = sub sistem budaya Kebudayaan merupakan kekuatan yang mengikat sistem tindakan karena didalam kebudayaan terdapat nilai dan norma yang harus ditaati oleh individu untuk mencapai tujuan. Nilai dan norma diinternalisasikan ke dalam pribadi individu agar bisa memiliki sistem kepribadian yang sesuai dengan kebudayaan yang dianut. Pendidikan, agama, dan keluarga berperan mentransfer nilai kolektif yang dibutuhkan untuk kelangsungan masyarakat melalui proses sosialisasi, institusionalisasi, dan internalisasi. Analisis sub sistem budaya ini dalam kajian difabel akan diarahkan pada sejauh mana difabel melembagakan nilai dan norma yang telah diterima selama dalam proses pemberdayaan yang dilakukan oleh Paguyuban Sehati. Dalam buku Sosiologi Kontemporer Margareth Poloma (1984;184-185) Parsons melihat siste sosial sebagai komponen dari sistem-bertindak yang lebih umum. Masing-masing dari keempat subsistem bertindak itu memenuhi salah satu dari kebutuhan fungsional. Sistem cultural bertanggungjawab pada Latent pattern maintenance (L) maupun Goal Attainment (G) dalam arti melaksanakan prinsipprinsip cultural dengan memberikan ganjaran atau hukuman bagi yang menerapkan perilak yang diinginkan. Berdasarkan skema AGIL di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi fungsi sistem adalah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat
internal), .Integrasi
(sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Adapun komponen dari sistem secara general (umum) dari suatu aksi adalah: Keturunan & Lingkungan yang merupakan kondisi akhir dari suatu aksi, Maksud & Tujuan, Nilai Akhir, dan hubungan antara elemen dengan faktor normative.
35
D. KERANGKA BERPIKIR
DIFABEL
Peran Keluarga
Pembentukan Caracter Building
Peranan Paguyuban Sehati
Peningkatan ekonomi
Sosialisasi
Peran Pemerintah
Advoksi
Kemandirian
Bagan 1 : Kerangka Berpikir Keterangan : Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan Penyandang Cacat mengamatkan bahwa penyandang difabel mempunyai kesempatan yang sama dalam pekerjaan sesuai dengan disfungsi fisiknya dan kemampuan keterampilan yang dimiliknya, namun hal ini belum terealisasikan sampai sekarang karena terjadinya praktek diskriminasi bagi penyandang difabel. Secara garis besar Perda ini membahas tentang peraturan untuk tidak mendiskriminasi difabel dalam bidang sosial dan ekonomi pada khususnya. Namun realitas yang terjadi selama ini mayoritas difabel masih jauh dari kata sejahtera karena sikap masyarakat
dan beberapa pihak yang
36
menganaktirikan mereka, akses terhadap perlakuan yang setara masih belum didapatkan. Sehingga perlu ada upaya untuk menciptakan karakter mandiri bagi kaum difabel agar mereka tidak lagi termarjinalkan oleh lingkungan sekitar. Dalam pembentukan karakter kemandirian bagi kaum difabel tentu dibutuhkan peran dari pihak-pihak dilingkungan sekitar serta peran pemerintah yang bergerak dalam bidang pemberdayaan bagi difabel sesuai dengan kaidah dalam RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat). Peran keluarga dibutuhkan untuk memberikan daya dorong terhadap perkembangan difabel baik dalam segi psikologi maupun sosial. selain itu, kontribusi pemerintah mutlak dibutuhkan terutama untuk memasilitasi segala kegiatan difabel terutama yang berhubungan dengan aksi-aksi Paguyuban Sehati. Peranan Paguyuban Sehati sebagai lembaga rehabilitasi bagi difabel menjadi salah satu solusi yang diharapkan mampu membawa difabel setara dalam lingkungan bermasyarakat. Paguyuban Sehati memberikan berbagai pelayanan untuk meningkatkan kemandirian bagi difabel agar dapat berkompetisi baik dalam dunia ekonomi maupun sosial. Pelayanan yang diberikan berfokus pada 4 point yaitu (1) Pembentukan character building, (2) peningkatan perekonomian, (3) sosialisasi, dan (4) advokasi. Kemandirian adalah salah satu yang tentu diharapkan bagi semua masyarakat termasuk bagi difabel karena dengan mandiri kekurangan yang dimiliki oleh difabel tidak menjadi permasalahan serta beban bagi keluarga maupun lingkungan sekitarnya.