14 BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Konsep-konsep dan definisi
2.1.1 Definisi Kemiskinan Menurut Sharp (2000) kemiskinan bersumber dari: rendahnya kualitas angkatan kerja, akses yang sulit terhadap kepemilikan modal, rendahnya tingkat penguasaan teknologi, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. John Friedman (1979) mengatakan kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial seperti yang dimaksudkan oleh Friedman tersebut meliputi: pertama, modal produktif atas aset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, pendidikan dan kesehatan; kedua, sumber keuangan, seperti pendapatan dan kredit yang memadai; ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai; serta kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan. Chambers (1987), mendefinisikan kemiskinan sesuai dengan kenyataan dan konseptualnya. Menurutnya, inti masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan, yang terdiri atas lima unsur: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali berkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin. 14
15 Levitan (1980), mendefiniskan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan Menurut Schiller (1979), kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Kemiskinan merupakan hal yang kompleks dan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas, begitu pula sebaliknya. Dimensi kemiskinan
dapat diidentifikasi
menurut ekonomi, sosial, politik (Kamalfuadi, 2009). Sedangkan Suryawati (2005) menjelaskan kemiskinan dalam multidimensional yaitu (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi kesehatan, (3) dimensi sosial dan budaya, (4) dimensi sosial politik, (5) dimensi pendidikan, agama dan budi pekerti. Menurut
Badan
Pusat
Statistik
(BPS),
kemiskinan
adalah
ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yakni nilai pengeluaran
konsumsi kebutuhan dasar makanan setara 2.100 kalori
energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok (Karnaji, 2006). Sedangkan menurut Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia tersebut meliputi: terpenuhinya
kebutuhan
pangan, sandang, kesehatan, pendidikan,
16 pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik (TKPKRI, 2008). Permasalahan
kemiskinan
dapat
ditinjau
dari
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya yakni dimensi ekonomi, sosial bahkan politik. Kompleksitas kemiskinan mencakup sisi ragam dimensi, indikator ukuran, serta relevansinya dangan faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi, faktor penyebabnya serta dampak kemiskinan terhadap kehidupan mendatang. Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena kondisi alamiah dan ekonomi, kondisi struktural dan sosial, serta kondisi kultural (budaya). Kemiskinan alamiah dan ekonomi timbul akibat keterbatasan sumber daya alam, manusia, dan sumberdaya lain sehingga peluang produksi relatif kecil dan tidak dapat berperan dalam pembangunan. Kemiskinan struktural dan sosial disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, tatanan kelembagaan dan kebijakan dalam pembangunan. Sedangkan kemiskinan kultural (budaya) disebabkan sikap atau kebiasaan hidup yang merasa kecukupan sehingga menjebak seseorang dalam kemiskinan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas menyebutkan berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) yang disebabkan: (1) sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian; dan (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat, dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang disebabkan (1) perubahan siklus ekonomi dari
17 kondisi normal menjadi krisis ekonomi; (2) perubahan yang bersifat musiman seperti kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan; dan (3) bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan. Penyebab utama kemiskinan desa adalah: (1) pendidikan yang rendah; (2) ketimpangan kepemilikan modal dan lahan pertanian; (3) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang terbatas; (5) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (6) pengelolaan ekonomi secara tradisional; (7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang; (9) tidak adanya jaminan sosial bagi masyarakat desa; dan (10) rendahnya jaminan kesehatan. Pembagian jenis kemiskinan dapat dibagi berdasarkan pola waktu. Menurut Ginandjar Kartasasmita dalam Ridlo (2001), menurut pola waktu tersebut kemiskinan dapat dibagi menjadi: (1) Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun yang diantaranya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi. (2) Cyclical poverty yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. (3) Seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan. (4) Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan. Berdasarkan jenisnya kemiskinan secara umum dapat dibagi menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut yang telah ditetapkan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum yang antara
18 lain terdiri dari kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, perumahan dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif merupakan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat tersebut. Meskipun seseorang/masyarakat telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak (tidak miskin), tetapi masih rendah kualitasnya dibandingkan masyarakat sekitarnya yang relatif lebih kaya (Ridlo, 2001). 2.1.1.1 Garis Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran yang dikonseptualisasikan dengan Garis Kemiskinan (GK). GK merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. GK yang digunakan oleh BPS terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM), di mana GK merupakan penjumlahan dari GKM dan GKNM. Manfaatnya untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti jumlah dan persentase penduduk miskin (headcount index – P0), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index – P1), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index – P2). Rumus penghitungannya sebagai berikut:
19 GK = GKM + GKNM…………………………………………………(2.1) Keterangan: GK : Garis Kemiskinan GKM : Garis Kemiskinan Makanan GKNM : Garis Kemiskinan Nonmakanan GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain). Sementara GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perdesaan. Garis Kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. 2.1.1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index – P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Nilai agregat dari
poverty gap index menunjukkan biaya
mengentaskan kemiskinan dengan membuat target transfer yang sempurna terhadap penduduk miskin dalam hal tidak adanya biaya transaksi dan faktor penghambat. Semakin kecil nilai poverty gap index, semakin besar potensi ekonomi untuk dana
20 pengentasan kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin dan juga untuk target sasaran bantuan dan program. Penurunan nilai indeks Indeks Kedalaman Kemiskinan mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung kemiskinan
dan
ketimpangan
makin
mendekati
garis
pengeluaran penduduk miskin juga semakin
menyempit. Rumus penghitungannya sebagai berikut: 1
𝑃1 = 𝑛 ∑𝑞𝑖=1 [
𝑧−𝑦𝑖 𝑧
].....................................................................................(2.2)
P1 : Poverty Gap Index atau Indeks Kedalaman Kemiskinan z : Garis Kemiskinan yi : Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2,…,q), yi < z q : Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan n : Jumlah penduduk 2.1.1.3 Indeks Keparahan Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index – P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Ukuran ini memberikan informasi yang saling melengkapi pada insiden kemiskinan. Sebagai contoh, mungkin terdapat kasus bahwa beberapa kelompok penduduk miskin memiliki insiden kemiskinan yang tinggi tetapi jurang kemiskinannya (poverty gap) rendah, sementara kelompok penduduk lain mempunyai insiden kemiskinan yang rendah tetapi memiliki jurang kemiskinan yang tinggi bagi penduduk yang miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Rumus penghitungannya sebagai berikut: 1
𝑃2 = 𝑛 ∑𝑞𝑖=1 [
𝑧−𝑦𝑖 2 𝑧
] ………………………………………………………….(2.3)
P2 : Poverty Severity Index atau Indeks Keparahan Kemiskinan z : Garis Kemiskinan
21 yi
: Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2,…,q), yi < z : Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan : Jumlah penduduk
q n 2.1.2
Angka Melek Huruf Salah satu komponen IPM yang dipakai sebagai dasar penghitungan
adalah pengetahuan (knowledge). Komponen ini mewakili sektor pendidikan (educational
attainment)
yang merupakan salah satu komponen untuk
mengindikasikan pembangunan sumber daya manusia. Tingkat pendidikan merupakan manifestasi yang sangat jelas dari perbaikan kondisi hidup (living standard) suatu masyarakat pada suatu daerah, sehingga tingkat pendidikan yang lebih baik akan mendorong perbaikan kondisi sektor-sektor lain. Dalam IPM indeks pendidikan diwakili oleh komponen angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah. Kemajuan tingkat pendidikan salah satunya diindikasikan oleh angka melek huruf, dan indikator ini menunjukkan mutu sumber daya manusia. Dasar penghitungannya dengan membagi banyaknya penduduk yang bisa membaca dan menulis dengan total penduduk. Semakin tinggi nilai persentasenya maka semakin tinggi mutu sumber daya manusia dalam masyarakat. 1. Angka minimal untuk indikator ini adalah 0. Pendidikan memerlukan keputusan pengalokasian investasi. Peranan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah dan swasta mutlak diperlukan dalam rangka pengalokasian dana dan
sumber
daya
masyarakat
lainnya
secara
terencana
untuk
penyelenggaraan pendidikan. Bila penduduk tidak mendapat kesempatan
22 untuk mengikuti pendidikan maka dimungkinkan tercatatnya angka 0 pada indikator angka melek huruf. 2. Angka maksimal untuk indikator ini adalah 100 (persen). Sebaliknya bila masyarakat dengan mudah mengakses pendidikan sehingga kemampuan baca tulis meningkat dimungkinkan bahwa angka melek huruf menjadi 100. Dari kedua nilai tersebut maka target pencapaian adalah 100 – 0 = 100, sehingga indeks melek huruf bisa disusun menjadi: 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑀𝑒𝑙𝑒𝑘 𝐻𝑢𝑟𝑢𝑓 =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐻𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛−𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 …………………(2.3) 𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖𝑎𝑛
Korelasi antara pendidikan dan kemiskinan sudah lama menjadi isu sentral di banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, permasalahan muncul sebagai akibat besarnya subsidi yang diperuntukan bagi kelompok masyarakat miskin (Carey, 2002 dalam Nurdyana S, 2012). Jurnal yang berjudul The Impact of Education on Multidimensional Poverty across the regions in Punjab oleh Imran Niazi, Muhammad (2008) menyatakan bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam mengurangi kemiskinan dalam berbagai dimensi. Berdasarkan data terkait diperoleh bahwa kurangnya kontribusi pendidikan di Punjab India mempengaruhi peningkatan tingkat kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Abrisham Aref (2011) dalam jurnal yang berjudul Perceived Impact of Education on Poverty Reduction in Rural Areas of Iran mengemukakan kaitan pendidikan dan kemiskinan di daerah perdesaan di Iran. Hambatan pengurangan kemiskinan di daerah perdesaan tersebut diakibatkan oleh sistem pendidikan yang rendah. Sehingga semakin baik sistem pendidikan yang diterapkan maka
23 pengurangan kemiskinan juga dapat terwujud. Oleh karena itu, pertimbangan perencanaan pendidikan dasar yang baik dapat menyukseskan pengentasan kemiskinan. Jurnal Ezebuilo R (2014) dengan judul “Does Higher Education Reduce Poverty Among Youths In Nigeria?” bertujuan untuk mengetahui dampak dari pendidikan dan tinggi kemiskinan antar pemuda di Nigeria menggunakan data tahun 2004 melalui National Living Standard Survey. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pendidikan tinggi memiliki kapasitas untuk mengurangi kemiskinan. Pemuda dengan pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kondisi ekonomi berada di atas mereka dengan pendidikan yang lebih rendah. 2.1.3
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber
daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktorfaktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Di dalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa.
24 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Sedangkan laju pertumbuhan PDRB adalah menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu (BPS). Rumus penghitungannya adalah sebagai berikut: 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑃𝐷𝑅𝐵 =
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 −𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
× 100%.........................................(2.4)
Keterangan: PDRBt = Nilai PDRB Tahun ke-t PDRBt-1 = Nilai PDRB Tahun ke-(t-1) Menurut Sadono Sukirno (2000), laju pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil. Selanjutnya pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan sejauh mana distribusi pendapatan telah menyebar kelapisan masyarakat serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya. Sehingga menurunnya PDRB suatu daerah berdampak pada kualitas konsumsi rumah tangga, dan apabila tingkat pendapatan penduduk sangat terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang paling murah dengan jumlah barang yang berkurang. Menurut Kuznet (dikutip dari Tulus Tambunan, 2001), pertumbuhan dan kemiskinan mempunyai korelasi yang sangat kuat, karena pada tahap awal proses pembangunan tingkat kemiskinan cenderung meningkat dan pada
25 saat mendekati tahap akhir pembangunan jumlah orang miskin berangsur-angsur berkurang. Siregar, Hermanto (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Impact of Economic Growth on the Reduction of Poor People” menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin walaupun dengan magnitude yang relatif kecil. Permasalahan kemiskinan dapat dipecahkan salah satunya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merupakan syarat keharusan untuk mengurangi kemiskinan. Balisacan et al.(2002) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia dan apa yang ditunjukkan oleh data subnasional. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki catatan yang mengesankan mengenai pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan kuat untuk tingkat agregat. Panel data yang dibangun dari 285 Kota/Kabupaten menyatakan perbedaan yang besar pada perubahan dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi subnasional, dan parameter-parameter spesifik. Suryadarma dan Suryahadi (2007) melakukan studi mengenai pengaruh pertumbuhan pada sektor swasta terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia untuk melihat dampak pertumbuhan di sektor publik dan swasta terhadap kemiskinan. Pertumbuhan belanja modal swasta digunakan sebagai proksi dari sektor swasta dan pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah sebagai indikator sektor publik. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan di kedua
26 sektor tersebut secara signifikan mengurangi kemiskinan, selain itu juga menghasilkan elastisitas yang relatif sama. 2.1.4
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Pembangunan yang baik dan seimbang dapat diwujudkan apabila penduduk
yang menjadi subyek sekaligus obyek mampu berperan didalamnya. Penduduk sebagai subyek memegang peranan penting dalam terciptanya kesuksesan pembangunan, sebab penduduklah yang menjadi tumpuan pelaksana seluruh kegiatan ekonomi yang secara nyata akan menciptakan pembangunan yang berhasil. Namun, di sisi lain penduduk juga akan menjadi beban ekonomi pembangunan apabila tidak mampu memberikan peran dan sebaliknya hanya menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi baru. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. TPAK menunjukkan rasio penduduk usia kerja yang telah siap terjun ke dunia kerja (membutuhkan pekerjaan), baik yang sudah mendapatkan pekerjaan maupun yang belum. TPAK dihitung dengan rumusan: 𝑇𝑃𝐴𝐾 =
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑈𝑠𝑖𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
× 100 %................................................................(2.5)
Krisztina Kis-Katos dan Robert Sparrow (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Poverty, Labour Markets and Trade Liberalization in Indonesia mengukur dampak dari liberalisasi perdagangan selama periode 1993-2002 pada wilayah kemiskinan di 259 kabupaten/kota di Indonesia, dan menyelidiki mekanisme pasar tenaga kerja. Kemiskinan berkurang di daerah-daerah yang lebih banyak mengadopsi liberalisasi tarif impor. Pembentukan tenaga kerja dan kenaikan upah tidak terampil yang berhubungan dengan pengurangan tarif impor barang setengah
27 jadi maupun barang jadi tidak menyebabkan penurunan tarif impor output akhir. Akan tetapi menunjuk ke arah peningkatan daya saing perusahaan sebagai faktor pendorong dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang lebih baik. Fields et al (2007) dalam Poverty Effects of the Minimum Wage: The Role of Household Employment Composition mengemukakan mengenai dampak upah minimum terhadap klasifikasi ukuran kemiskinan absolut. Karakteristik ukuran kemiskinan absolut tersebut sangat erat kaitannya dengan garis kemiskinan, keenganan kemiskinan, permintaan tenaga kerja, dan tingkat upah minimum. Hubungan kemiskinan dan tingkat upah minimum sangat erat kaitannya, meskipun pengaruh antar wilayah dapat menyebabkan perubahan upah minimum yang berbeda. Sukirno (2004) bahwa salah satu faktor penting yang menentukan kemakmuran masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dapat terwujud, sehingga apabila tidak bekerja atau menganggur maka akan mengurangi pendapatan dan hal ini akan mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai sehingga dapat menimbulkan buruknya kesejahteraan masyarakat. Ada hubungan yang sangat erat sekali antara tingginya jumlah pengangguran dengan jumlah penduduk miskin. 2.1.5 Angka Harapan Hidup Pada tingkat makro, umur harapan hidup dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan. Peningkatan umur harapan hidup memberikan indikasi kompleks di berbagai bidang secara lintas sektor.
28 Peningkatan itu bisa memberikan gambaran membaiknya kondisi sosial ekonomi penduduk, kesehatan dan lingkungan. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penurunan kondisi sosial ekonomi penduduk dalam satu periode pada akhirnya akan berakibat pada penurunan umur harapan hidup. Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan salah satu indikator pembangunan manusia. Dalam berbagai publikasi AHH merupakan bagian dari pembangunan di bidang kesehatan karena bidang ini berhubungan erat dengan meningkatnya umur hidup masyarakat. Perbaikan sanitasi lingkungan, kesadaran masyarakat tentang cara hidup sehat, dan pengobatan dengan cara medik secara langsung bisa memperpanjang usia hidup. Peningkatan umur hidup juga terjadi seiring dengan semakin majunya tingkat sosial ekonomi penduduk. Secara konsepsi angka harapan hidup diartikan sebagai rata-rata jumlah tahun hidup yang dapat dijalani oleh seseorang sejak lahir hingga akhir hayatnya, dengan kata lain angka ini menunjukkan rata-rata umur penduduk mulai lahir sampai akhir hidupnya. Faktorfaktor yang dapat berpengaruh pada angka harapan hidup adalah faktor lingkungan, status sosial ekonomi penduduk, keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan dan keadaan status gizi penduduk. Dalam konsep perencanaan pembangunan faktorfaktor
ini
selalu
dibahas
kaitannya
dengan
sektor
kesehatan. Dengan
demikian angka harapan hidup mewakili indikator kesehatan dalam menilai tingkat kesejahteraan penduduk. Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan tabel kematian (life table) dengan input data orang/penduduk yang meninggal berdasarkan kelompok umur. Penggunaan life table berhubungan dengan cohort peristiwa pada
29 suatu waktu tertentu. Selain dengan life table teknik penghitungan angka harapan hidup bisa pula dengan Program Mortpak. Penghitungan dengan program ini biasanya disebut penghitungan secara tak langsung karena menggunakan input data jumlah wanita usia 15-49 tahun per kelompok umur 5 tahunan. Selain jumlah wanita digunakan juga jumlah anak lahir hidup (ALH) dan jumlah anak masih hidup (AMH) menurut kelompok umur wanita 15-49 tahun sebagai data dasar. Oleh karena itu, AHH ini dipakai sebagai dasar untuk menghitung indeks kesehatan yang dianggap dapat menggambarkan seberapa jauh keberhasilan pembangunan kesehatan maka perlu ditetapkan angka minimal dan maksimal. Life Expectancy and the Environment oleh Fabio Mariani, et al (2009) mengungkapkan tentang adanya korelasi positif yang kuat antara umur panjang dan kualitas lingkungan. Negara-negara dengan penduduk yang harapan hidupnya rendah disebabkan oleh lingkungan yang berkualitas rendah pula. Dinamika pertumbuhan ekonomi didasarkan pada akumulasi perkembangan modal manusia. Philip (2004) melalui penelitiannya yang berjudul Vulnerability and Poverty: What are the causes and how are they related? memaparkan tentang kemiskinan yang sangat erat kaitannya dengan kerentanan. Orang miskin lebih rentan terhadap gangguan kesehatan, ekonomi yang rendah, bencana alam, bahkan kekerasan akibat manusia lain. Tekanan yang disebabkan oleh penyakit, cedera, dan kehilangan mata pencaharian signifikan menjadi penyebab yang serius terhadap kemiskinan. Essays on Poverty, Income Inequality, and Health in Transition Economies yang ditulis Oleksiy Ivaschenko (2003) mengenai masalah yang terkait kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kesehatan dalam transisi ekonomi di Eropa Barat dan
30 Uni Soviet. Kebijakan ekonomi yang tepat mempengaruhi kemajuan ekonomi, misalnya peningkatan pelayanan kesehatan. Sehingga kemajuan ekonomi dapat tercapai sebagai akibat kualitas penduduk yang lebih baik serta produktivitas yang tinggi. 2.1.6
Gini Rasio Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua
faktor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar-sempitnya kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan (Todaro,2006). Dari semua pengukur ketimpangan, indeks gini adalah yang paling sering dipakai sebagai indikator ketimpangan, yaitu dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi luas separuh segi empat di mana kurva Lorenz itu berada. Salah satu yang menarik dari indeks gini ialah pendekatannya yang sangat langsung terhadap ukuran ketidakmerataan, memuat perbedaan di antara setiap pasangan pendapatan, yang sejauh ini merupakan ukuran ketidakmerataan ekonomi yang paling populer. Pada kenyataannya, pasanganpasangan yang diobservasi yang dipakai dalam penghitungan Indeks gini digunakan untuk menghasilkan Kurva Lorenz. Hal ini dilakukan dengan mem-plot pasangan pangsa (kumulatif) pendapatan dan penduduk dalam sebuah kotak. Nilai dari indeks gini berkisar antara 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa seluruh pendapatan terbagi secara merata terhadap seluruh unit masyarakat (perfect equality), sedang nilai 1 berarti seluruh pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu unit saja pada keseluruhan distribusi (perfect inequality). Pada prakteknya, koefisien gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,5 hingga
31 0,7, sedangkan untuk negara yang distribusi pendapatannya merata berkisar antara 0,2 hingga 0,35 (Todaro,2006). Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yakni: tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar-sempitnya kesenjangan/ketimpangan distribusi pendapatan (Todaro,2006). Jelas, bahwa setinggi apa pun tingkat pendapatan nasional per kapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah. Demikian sebaliknya, semerata apa pun distibusi pendapatan di suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemelaratan juga akan semakin meluas. Berdasarkan penelitian Almas Heshmati (2004) yang berjudul “The Relationship between Income Inequality, Poverty and Globalisation” dikemukanan mengenai hasil empiris analisis regresi yang mempelajari hubungan kausal antara ketimpangan pendapatan, kemiskinan dan globalisasi. Ketimpangan pendapatan ini berkorelasi negatif dengan globalisasi, dan globalisasi mengurangi kemiskinan. Budi Zulfachri (2004) dalam tesisnya dengan judul “Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan terhadap kemiskinan di Indonesia” mengungkapkan bahwa Hasil penelitian memberikan masukkan bahwa; Peningkatan pendapatan per kapita mendorong perlambatan laju pertumbuhan kemiskinan, sebaliknya ketidakmerataan pendapatan akan meningkatkan laju pertumbuhan penduduk miskin. Ketimpangan pendapatan mempercepat laju pertumbuhan kemiskinan, ini dapat dilihat dari pangsa pendapatan perkotaan yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Sektor primer, yang merupakan sektor yang
32 paling besar distribusi pendapatannya, berpengaruh negatif terhadap jumlah penduduk miskin secara nasional. Sektor sekunder dan sektor tersier memberikan pengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. 2.1.7 Daya Beli Masyarakat/ Rata-rata Pengeluaran Perkapita Riil Yang Disesuaikan (Purchasing Power Parity/ PPP) Kemiskinan selalu identik dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat pendapatan penduduk (Sen,1981). Daya beli adalah kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang maupun jasa. Kegunaan penghitungan angka ini adalah menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. Kemampuan daya beli antar daerah berbeda-beda dengan rentang tertinggi Rp 732.720 dan yang terendah Rp 360.000. Semakin rendahnya nilai daya beli suatu masyarakat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian pada saat itu yang sedang memburuk yang berarti semakin rendah kemampuan masyarakat membeli suatu barang atau jasa. Penghitungan daya beli masyarakat dihitung sesuai dengan indikator konsumsi riil per kapita yang telah disesuaikan dilakukan melalui tahapan pekerjaan sebagai berikut: 1. Menghitung pengeluaran konsumsi per kapita dari Susenas Modul (=A) . 2. Mendeflasikan nilai A dengan IHK ibukota provinsi yang sesuai (=B). 3. Menghitung daya beli per unit (=PPP/unit). Metode penghitungan sama seperti metode yang digunakan International Comparison Project (ICP) dalam menstandarkan nilai PDB suatu negara. Data dasar yang digunakan adalah data harga dan kuantum dari suatu basket komoditi yang terdiri dari
33 nilai 27 komoditi yang diperoleh dari Susenas Modul, yaitu: Beras lokal, Tepung terigu, Ketela pohon, Ikan tongkol/tuna/cakalang, Ikan teri, Daging sapi, Daging ayam kampung, Telur ayam, Susu kental manis, Bayam, Kacang panjang, Kacang tanah, Tempe, Jeruk, Pepaya, Kelapa, Gula pasir, Kopi bubuk, Garam, Merica/lada, Mie instant, Rokok kretek/filter, Listrik, Air minum, Bensin, Minyak tanah, dan Sewa rumah. 4. Membagi nilai B dengan PPP/unit (=C). 5. Menyesuaikan nilai C dengan formula Atkinson sebagai upaya untuk memperkirakan nilai marginal utility dari C. 6. Penghitungan PPP/unit dilakukan dengan rumus:
PPP / unit
p j
j
E(i , j )
( 9, j )
.q(i , j )
………………………………………….(2.6)
dimana: E(i,j) = pengeluaran untuk komoditi j di provinsi ke-i P(9,j) = harga komoditi j di DKI Jakarta q(i,j) = jumlah komoditi j (unit) yang dikonsumsi di provinsi ke-i Amartya Sen (1999), dalam Development as Freedom, mengusulkan untuk melihat kemiskinan sebagai ketiadaan kapabilitas (capability deprivation), tetapi ia juga berargumentasi bahwa ketidakcukupan pendapatan juga seringkali menjadi pendorong kuat untuk meingkatkan hidup seseorang. Pendekatan kapabilitas terhadap kemiskinan akan menekankan aspek instrinsik dalam upaya pengentasan kemiskinan, bukan pada aspek instrumental. Sebaliknya, pendekatan ekonomi (tingkat pendapatan) cenderung menekankan aspek instrumental dari kemiskinan. Meski tingkat pendapatan terpaut dengan kapabilitas, kedua aspek tersebut berbeda secara mendasar.
34 Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated concept) yang memiliki lima dimensi, salah satunya mengenai pendapatan. Kemiskinan (Proper)/permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok. 2.2 Teori-Teori yang Relevan Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas). Kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat ataupun kemiskinan berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970-an, Gross National Bruto (GDP) dipakai sebagai patokan kesejahteraan; semakin tinggi GDP, maka semakin sejahtera penduduknya. Dan terdapat hubungan positif antara penurunan tingkat kemiskinan dengan pendapatan rata-rata. Namun kenyataannya meski GDP tinggi ternyata kemiskinan juga masih banyak ditemukan.
35 2.2.1 Teori Kemiskinan Todaro Todaro (2006) mengatakan, besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah “garis kemiskinan internasional”, garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 atau $2 per hari dalam dolar paritas daya beli (PPP). Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yaitu: tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan (Todaro,2006). Jelas, bahwa setinggi apa pun tingkat pendapatan nasional per kapita yang dicapai oleh suatu negara, selama distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di negara tersebut pasti akan tetap parah. Demikian sebaliknya, semerata apa pun distibusi pendapatan di suatu negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemelaratan juga akan semakin meluas.
36 Pendidikan juga memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Lebih jauh lagi, kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas, sementara keberhasilan pendidikan juga bertumpu pada kesehatan yang baik. Oleh karena itu, kesehatan dan pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital sebagai input fungsi agregat. Peran gandanya sebagai input maupun output menyebabkan kesehatan dan pendidikan sangat penting dalam pembangunan ekonomi. (Todaro, 2006). Teori siklus populasi-kemiskinan (population poverty cycle), yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat mendorong timbulnya berbagai macam masalah ekonomi, sosial dan psikologis, juga menghalangi prospek tercapainya kehidupan yang lebih baik karena mengurangi tabungan rumah tangga dan negara, disamping itu jumlah penduduk yang terlalu besar akan menguras kas pemerintah yang sudah sangat terbatas untuk menyediakan berbagai pelayanan kesehatan, ekonomi dan sosial bagi generasi baru (Todaro, 2006). Melonjaknya beban pembiayaan atas anggaran pemerintah tersebut jelas akan mengurangi kemungkinan dan kemampuan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup generasi dan mendorong terjadinya transfer kemiskinan kepada generasi mendatang yang berasal dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya lingkaran setan kemiskinan /the vicious circle of poverty, yaitu penduduk miskin dengan pendapatan rendah merasa harus
37 menambah anak untuk meringankan beban kemiskinannya, karena anak dianggap sumber tenaga kerja murah dan sandaran hidup di hari tua, padahal keluarga besar berarti pertambahan penduduk yang semakin cepat, pertambahan jumlah penduduk yang cepat cenderung menurunkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita, penurunan tingkat pendapatan per kapita akan menurunkan tingkat tabungan, penurunan tingkat tabungan akan menurunkan tingkat investasi masyarakat baik pada pendidikan dan kesehatan, karena dengan keluarga besar dan pendapatan yang rendah akan mempersempit peluang orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan angka fertilitas yang tinggi cenderung merugikan kesehatan ibu dan anak-anaknya, tingkat investasi yang turun akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lambat dan akhirnya akan menyebabkan tingkat kemiskinan yang semakin parah. Dengan demikian, argumen ini secara tegas memandang pertambahan jumlah penduduk sebagai penyebab sekaligus akibat kemiskinan. Menurut Todaro (2006), paling tidak terdapat lima alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, yaitu: 1. Kemiskinan yang meluas menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya dan dengan ketiadaan peluang investasi fisik maupun moneter, mempunyai banyak anak sebagai sumber keamanan keuangan di masa tuanya nanti. Faktor-faktor ini secara bersama-sama menyebabkan pertumbuhan per kapita lebih kecil dari pada jika distribusi pendapatan lebih merata
38 2. Akal sehat, yang didukung dengan banyaknya data empiris terbaru, menyaksikan fakta bahwa, tidak seperti sejarah yang pernah dialami oleh negara-negara yang sekarang sudah maju, kaum kaya di negara-negara miskin sekarang tidak dikenal karena hematnya atau hasratnya mereka untuk menabung dan menginvestasikan bagian yang besar dari pendapatan mereka di dalam perekonomian negara mereka sendiri 3. Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami oleh golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah, dapat menurunkan produktivitas mereka dan akibatnya secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Strategi yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup golongan miskin tidak saja akan memperbaiki kesejahteraan mereka, tetapi juga akan meningkatkan produktivitas dan pendapatan seluruh perekonomian. 4. Peningkatan pendapatan yang lebih besar kepada golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian, secara menyeluruh, sementara golongan kaya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk barangbarang mewah impor. Meningkatkan permintaan akan barang-barang buatan lokal memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal dan menumbuhkan investasi lokal. Permintaan seperti ini akan menciptakan kondisi bagi pertumbuhan ekonomi yang cepat dan partisipasi rakyat banyak di dalam pertumbuhan itu.
39 5. Penurunan kemiskinan secara masal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena merupakan insentif materi dan psikologis yang kuat bagi meluasnya partisipasi publik di dalam proses pembangunan. Sebaliknya, lebarnya kesenjangan pendapatan dan besarnya kemiskinan absolut dapat menjadi pendorong negatif materi dan psikologis yang sama kuatnya terhadap kemajuan ekonomi. Kondisi ini bahkan dapat menciptakan penolakan masyarakat luas terhadap kemajuan dan ketidaksabaran terhadap laju pembangunan atau terhadap kegagalan untuk mengubah kondisi material mereka. 2.2.2 Teori Perangkap Kemiskinan Maltus Dalam tulisan Malthus yang berjudul : Essay on the Principle of Population ia melukiskan konsep hasil yang menurun. Malthus menjelaskan kecenderungan umum penduduk seuatu negara untuk tumbuh menurut deret ukur yaitu menjadi dua kali lipat setiap 30 – 40 tahun. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, karena hasil yang menurun dari tanah, persediaan pangan hanya tumbuh menurut deret hitung. Pertumbuhan persediaan pangan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan tinggi, maka pendapatan per kapita akan cenderung turun menjadi sngat rendah, yang menyebabkan jumlah penduduk tidak pernah stabil, atau hanya sedikit di atas subsisten. Oleh karena itu, Malthus berkeyakinan bahwa satu-satunya cara untuk mengapuskan tingkat kehidupan yang rendah atau
“kemiskinan absolut” adalah menganjurkan masyarakat untuk
“menahan hawa nafsu” dan membatasi jumlah keturunannya.
40 Menurut Malthus, negara-negara miskin tidak akan pernah mampu menaikkan tingkat pendapatan per kapitanya di atas tingkat pendapatan per kapita subsisten kecuali mereka melakukan usaha yang bersifat preventif terhadap pertumbhan penduduk. Jika tidak ada usaha pengendalian, maka pengendalian positif (seperti kelaparan, penyakit, dan perang) terhadap pertumbuhan penduduk mau tidak mau akan merupakan kekuatan pengendalian. Model “perangkap penduduk” dari Malthus ini merupakan teori yang sederhana yang melukiskan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi. 2.2.3 Teori Kemiskinan Chambers Definisi kemiskinan yang dikemukakan oleh Chambers (1987) adalah definisi yang saat ini mendapatkan perhatian dalam setiap program pengentasan kemiskinan di berbagai negara-negara berkembang dan dunia ketiga. Pandangan yang dikemukakan dalam definisi kemiskinan dari Chambers menerangkan bahwa kemiskinan adalah suatu kesatuan konsep (integrated concept) yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) Kemiskinan (Proper) Permasalahan kemiskinan seperti halnya pada pandangan semula adalah kondisi ketidakmampuan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan- kebutuhan pokok. Konsep atau pandangan ini berlaku tidak hanya pada kelompok yang tidak memiliki pendapatan, akan tetapi dapat berlaku pula pada kelompok yang telah memiliki pendapatan. 2) Ketidakberdayaan (Powerless), Pada umumnya, rendahnya kemampuan pendapatan akan berdampak pada kekuatan sosial (social power) dari seseorang atau sekelompok orang terutama dalam memperoleh keadilan
41 ataupun persamaan hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 3) Kerentanan menghadapi situasi darurat (State of emergency), Seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tidak memiliki atau kemampuan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana situasi ini membutuhkan alokasi pendapatan untuk menyelesaikannya. Misalnya, situasi rentan berupa bencana alam, kondisi kesehatan yang membutuhkan biaya pengobatan yang relatif mahal, dan situasi-situasi darurat lainnya yang membutuhkan kemampuan pendapatan yang dapat mencukupinya. Kondisi dalam kemiskinan dianggap tidak mampu untuk menghadapi situasi ini. 4) Ketergantungan (dependency), Keterbatasan kemampuan pendapatan ataupun kekuatan sosial dari seseorang atau sekelompok orang yang disebut miskin tadi menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap pihak lain adalah sangat tinggi. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menciptakan solusi atau penyelesaian masalah terutama yang berkaitan dengan penciptaan pendapatan baru. Bantuan pihak lain sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan terutama yang berkaitan dengan kebutuhan akan sumber pendapatan. 5) Keterasingan (Isolation), Dimensi keterasingan seperti yang dimaksudkan oleh Chambers adalah faktor lokasi yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Pada umumnya, masyarakat yang disebut miskin ini berada pada daerah yang jauh dari pusat-pusat
42 pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan sebagian besar fasilitas kesejahteraan lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan atau kota-kota besar. Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh fasilitas-fasilitas kesejahteraan relatif memiliki taraf hidup yang rendah sehingga kondisi ini menjadi penyebab adanya kemiskinan. Skema terbentuknya kemiskinan yang didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh Chambers menerangkan bagaimana kondisi yang disebut miskin di sebagian besar negara-negara berkembang dan dunia ketiga adalah kondisi yang disebut memiskinkan. Kondisi yang sebagian besar ditemukan bahwa kemiskinan selalu diukur/diketahui berdasarkan rendahnya kemampuan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok berupa pangan, kesehatan, perumahan atau pemukiman, dan pendidikan. Rendahnya kemampuan pendapatan diartikan pula sebagai rendahnya daya beli atau kemampuan untuk mengkonsumsi. 2.2.4 Analisis Regresi Data Panel Data panel adalah kombinasi dari data time series dan cross section. Dengan mengakomodasi informasi yang terkait dengan variabel-variabel cross-section maupun time series, data panel secara substansial mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat mengabaikan variabel yang relevan (Ommited-Variables). Untuk mengatasi interkorelasi di antara variabel-variabel bebas yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tidak tepatnya penaksiran regresi maka digunakan metode regresi data panel. Selain itu, dalam sebuah penelitian terkadang ditemukan persoalan mengenai ketersediaan data (data avability) untuk mewakili variabel
43 yang digunakan dalam penelitian sehingga dengan menggabungkan data time series dan cross section maka jumlah observasi bertambah secara signifikan tanpa melakukan treatment apapun terhadap data (Gujarati, 2003). Regresi dengan menggunakan data panel disebut model regresi data panel. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan data panel. Pertama, data panel merupakan gabungan data data time seris dan cross section mampu menyediakan data yang lebih banyak sehingga akan menghasilkan degree of freedom yang lebih besar. Kedua, menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul ketika ada masalah penghilangan variabel (ommited-variable). Secara umum dengan menggunakan data panel kita akan menghasilkan intersep dan slope koefisien yang berbeda pada setiap perusahaan dan setiap periode waktu. Oleh karena itu, di dalam mengestimasi persamaan (3) akan sangat tergantung dari asumsi yang kita buat tentang intersep, koefisien slope dan variabel gangguannya. Ada beberapa kemungkinan yang akan muncul, yaitu: a. Diasumsikan intersep dan slope adalah tetap sepanjang waktu dan individu (perusahaan) dan perbedaan intersep dan slope dijelaskan oleh variabel gangguan b. Diasumsikan slope adalah tetap tetapi intersep berbeda antar individu c. Diasumsikan slope tetap tetapi intersep berbeda baik antar waktu maupun antar individu d. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar individu e. Diasumsikan intersep dan slope berbeda antar waktu dan antar individu
44 Untuk mengestimasi parameter model dengan data panel, terdapat beberapa teknik yang ditawarkan, yaitu: koefisien tetap antar waktu dan individu (Common Effect): Ordinary Least Square, model efek tetap (Fixed Effect), model efek random (Random Effect). 2.2.5 Teori ketimpangan kemiskinan antar wilayah Ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region) (Sjafrizal, 2012). Menurut Kuncoro (2006), kesenjangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyrakat, sebab kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno, 2010). Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan
45 pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2012). Menurut Hipotesa Neo-Klasik dalam Sjafrizal (2012), pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik. Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya (Sjafrizal, 2012). Simon Kuznet (1955) dalam Todaro (2006) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan menaik. Observasi inilah
46 yang kemudian, dikenal sebagai kurva Kuznet “U-Terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznet dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern. Terjadinya ketimpangan antar daerah juga dijelaskan oleh Mydral (1957) dalam Jhingan (2010). Mydral membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal itu menggunakan spread effect dan backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Spread effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favourable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah sekitar. Backwash effect (dampak balik) didefinisikan sebagai pengaruh yang merugikan (infavourable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah inti. Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral (1957) disebabkan oleh besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara
terbelakang.
Perpindahan
modal
cenderung
meningkatkan
ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang
47 menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang (Jhingan, 2010). 2.2.6 Analisis One Way ANOVA Analisis varians (analysis of variance) atau ANOVA adalah suatu metode analisis statistika yang termasuk ke dalam cabang statistika inferensi. Uji dalam anova menggunakan uji F karena dipakai untuk pengujian lebih dari 2 sampel. Dalam praktik, analisis varians dapat merupakan uji hipotesis (lebih sering dipakai) maupun pendugaan (estimation, khususnya di bidang genetika terapan). Anova (Analysis of variances) digunakan untuk melakukan analisis komparasi multivariabel. Teknik analisis komparatif dengan menggunakan tes “t” yakni dengan mencari perbedaan yang signifikan dari dua buah mean hanya efektif bila jumlah variabelnya dua. Untuk mengatasi hal tersebut ada teknik analisis komparatif yang lebih baik yaitu Analysis of variances yang disingkat anova. Anova digunakan untuk membandingkan rata-rata populasi bukan ragam populasi. Jenis data yang tepat untuk anova adalah nominal dan ordinal pada variabelbebasnya,jika data pada variabel bebasnya dalam bentuk interval atau ratio maka harus diubah dulu dalam bentuk ordinal atau nominal. Sedangkan variabel terikatnya adalah data interval atau ratio. Adapun asumsi dasar yang harus terpenuhi dalam analisis varian, pertama distribusi data harus normal, agar data berdistribusi normal dapat ditempuh dengan cara memperbanyak jumlah sampel dalam kelompok. Asumsi kedua, setiap kelompok hendaknya berasal dari popolasi yang sama dengan variansi yang sama pula. Bila banyaknya sampel sama pada
48 setiap kelompok maka kesamaan variansinya dapat diabaikan. Tapi bila banyak sampel pada masing masing kelompok tidak sama maka kesamaan variansi populasi sangat diperlukan. Asumsi ketiga adalah sampel hendaknya diambil secara acak (random), sehingga setiap pengamatan merupakan informasi yang bebas. Anova satu arah (one way anova) digunakan apabila yang akan dianalisis terdiri dari satu variabel terikat dan satu variabel bebas. Interaksi suatu kebersamaan antar faktor dalam mempengaruhi variabel bebas, dengan sendirinya pengaruh faktor-faktor secara mandiri telah dihilangkan. Jika terdapat interaksi berarti efek faktor satu terhadap variabel terikatakan mempunyai garis yang tidak sejajar dengan efek faktor lain terhadap variabel terikat sejajar (saling berpotongan), maka antara faktor tidak mempunyai interaksi.
2.3 Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian Almas Heshmati (2004) yang berjudul “The Relationship between Income Inequality, Poverty and Globalisation” dikemukanan mengenai hasil empiris analisis regresi yang mempelajari hubungan kausal antara ketimpangan pendapatan, kemiskinan dan globalisasi. Ketimpangan ini berkorelasi negatif dengan globalisasi, dan globalisasi mengurangi kemiskinan. “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah di Sektor Publik Terhadap Peningkatan Pembangunan Manusia dan Pengurangan Kemiskinan” yang ditulis oleh Yani Mulyaningsih (2008), mengemukakan bahwa pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan.
49 Hasil penelitian tesis oleh Ide Juang Humantito (2009) dengan judul “Analisis Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur Terhadap Kemiskinan Di Indonesia (Model Regresi Data Panel 26 Provinsi Tahun 2001 – 2007)” mengungkapkan bahwa seluruh variabel independen ketersediaan infrastruktur berpengaruh signifikan dan negatif terhadap variabel persentase penduduk miskin. Disarankan kepada Pemerintah agar dalam perencanaan pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk mengurangi prosentase penduduk miskin, dapat menyusun prioritas berdasarkan nilai koefisien variabel independen yang membentuk model, berturut – turut yaitu cakupan jumlah puskesmas keliling, cakupan panjang jalan, jumlah SMK, jaringan distribusi listrik, jumlah SD dan kapasitas produksi efektif perusahaan air bersih. Melgiana S. Medah (2010) melalui tesisnya yang berjudul “Analisis FaktorFaktor Penyebab Kemiskinan Petani” mengemukakan bahwa karakteristik petani miskin di Kecamatan Kupang Timur terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan, memiliki modal yang rendah, penggunaan teknologi pertanian yang semi tradisional, belum menggunakan akses kredit, curahan waktu kerja di sektor pertanian berkisar antara 5-8 jam/hari dan cukup sering mengadakan lima kali pesta dalam kurun waktu 6 (enam) bulan. Faktor-faktor penyebab kemiskinan petani di Kecamatan Kupang Timur yaitu faktor geografi dan lingkungan mempengaruhi kemiskinan, diikuti faktor ekonomi serta faktor sosial dan budaya mempengaruhi kemiskinan serta pendapatan mempengaruhi kemiskinan petani. Enny Febriana (2010), dengan judul penelitian “Strategi Untuk Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Petani Miskin di Perdesaan: Studi Kasus Pada Rumah
50 Tangga Petani Miskin di Desa Cisaat Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi”, menyatakan strategi yang perlu dilakukan untuk membantu rumah tangga petani miskin meningkatkan pendapatannya adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia rumah tangga petani miskin dan meningkatkan peran kelembagaan dalam mendukung aktivitas ekonomi rumah tangga petani miskin. Yuniarti (2010) dalam tesisnya dengan judul “Pemodelan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Timur Tahun 2004-2008 dengan Regresi Panel” menyebutkan bahwa Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), PDRB Atas Dasar Harga Konstan, laju pertumbuhan ekonomi, Tingkat Pengangguran Terbuka, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan Angka Kematian Bayi mempengaruhi persentase penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur. Suliswanto (2010) dengan judul penelitian “Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Angka Kemiskinan di Indonesia”, berdasarkan hasil regresi data panel dapat disimpulkan bahwa secara parsial PDRB dan IPM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel terkait (Kemiskinan). Sedangkan secara simultan pengaruh PDRB dan IPM terhadap Kemiskinan adalah signifikan. Chichi Shintia Laksani (2010) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Pro-Poor Growth di Indonesia melalui Identifikasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan” Hasil analisa menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pada periode 1980-2008 dan 1999-2008. Namun demikian, pengurangan kemiskinan kurang didorong oleh efek ketimpangan pendapatan.
51 Pengurangan kemiskinan akibat perubahan ketimpangan pendapatan yang ditimbulkan pertumbuhan ekonomi hanya terjadi pada periode 1999-2008. Sedangkan pertumbuhan ekonomi pada seluruh periode, signifikan berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Begitupula hasil analisis Saputro (2010) dengan judul “faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di 15 provinsi di Indonesia Tahun 2007” melalui metode analisis faktor, diperoleh bahwa sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 cenderung memiliki ciri-ciri seperti: pengeluaran per kapita untuk makanan lebih besar daripada pengeluaran per kapita untuk nonmakanan, pendidikan masih rendah, bekerja di sektor pertanian, status pekerjaan informal, ada yang tidak bekerja, belum menggunakan tenaga kesehatan modern untuk persalinan anak pertama maupun persalinan anak terakhir, belum menggunakan alat KB, tidak menggunakan air bersih, dan tidak memiliki jamban. Sebagian besar penduduk miskin di 15 provinsi pada tahun 2007 menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi makanan sehingga pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan rumah tangga kurang mendapatkan perhatian. Pendidikan yang rendah mengakibatkan penduduk miskin tidak dapat bersaing dengan penduduk tidak miskin untuk bekerja pada pekerjaan formal sehingga penduduk miskin cenderung tidak bekerja atau memilih bekerja di sektor pertanian, dan bekerja dengan status pekerjaan informal. Hasil penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk, PDRB, IPM, Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah” melalui teknik analisis regresi berganda menunjukkan bahwa variabel
52 Jumlah Penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, PDRB berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah, Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Jawa Tengah (Saputra, 2011). Housseima Guiga dan Jaleleddine Ben Rejeb (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Poverty, Growth and Inequality in Developing Countries” diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa investasi negara dalam sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan kondisi kehidupan penduduk pedesaan
dapat
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
mengurangi
ketidaksetaraan. Oleh karena itu, hipotesis Kuznets didasarkan pada hubungan antara pertumbuhan ekonomi ketimpangan pendapatan yang paling tepat. Faturrohmin (2011) dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh PDRB, Harapan Hidup dan Melek Huruf terhadap Tingkat Kemiskinan (Studi kasus 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah)” melalui analisis regresi menyatakan dengan tingkat keyakinan 95 persen, Variabel PDRB, maupun Angka Harapan Hidup secara parsial berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Begitupula, secara simultan, variabel PDRB, Harapan Hidup dan Melek Huruf berpengaruh terhadap penurunan kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2005 – 2009. Hasil penelitian dengan judul “Faktor-Faktor yang Menentukan Tingkat Kemiskinan Desa di Kabupaten Situbondo” melalui metode analisis faktor diperoleh bahwa dari analisis faktor terdapat dua faktor utama yaitu faktor akses terhadap sarana dan prasarana baik pendidikan, ekonomi, kesehatan dan
53 komunikasi dan faktor penduduk dan rumah tangga. Peubah-peubah yang masuk dalam faktor pertama yaitu akses terhadap sarana dan prasarana antara lain adalah akses terhadap fasilitas pendidikan dengan peubah jarak terdekat ke SMP, SMU dan SMK. Untuk akses terhadap sarana ekonomi adalah jarak terhadap kelompok pertokoan dan jarak ke pasar utama. Akses terhadap kesehatan terdiri dari peubah jarak ke puskesmas dan jarak ke apotik. Sedangkan akses komunikasi adalah jarak ke kantor pos. Peubah pembentuk faktor kedua yaitu penduduk dan rumah tangga antara lain kepadatan penduduk per hektar, persentase
keluarga pertanian,
persentase keluarga pengguna listrik PLN, dan keluarga penerima kartu Askeskin (Santoso, 2011). Hasil penelitian Andono (2011) dengan judul penelitian “Analisis Faktor Penentu dan Tingkat Ketimpangan Kemiskinan Antar Wilayah di Indonesia Periode 2007 – 2009” melalui metode analisis regresi diperoleh bahwa Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan, artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan. Pendidikan (AMH) berpengaruh negatif dan signifikan artinya semakin tinggi pendidikan akan mengurangi tingkat kemiskinan. Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan, artinya semakin tinggi tingkat pengangguran maka akan menambah kemiskinan. Tesis oleh Dance Amnesi (2012) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Pendapatan Perempuan pada Keluarga Miskin di Kelurahan Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung”, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan faktor umur, tingkat pendidikan, jam kerja, sifat pekerjaan dan jumlah tanggungan berpengaruh positif dan signifikan secara
54 simultan terhadap pendapatan perempuan pada keluarga miskin di Kelurahan Kapal. Faktor umur, jam kerja, sifat pekerjaan dan jumlah tanggungan berpengaruh positif dan signifikan secara parsial terhadap pendapatan perempuan pada keluarga miskin di Kelurahan Kapal. Tingkat pendidikan berpengaruh positif dan tidak signifikan secara parsial terhadap pendapatan perempun pada keluarga miskin di Kelurahan Kapal. Model kemiskinan menurut Anuraga (2013) dengan judul “Pemodelan Kemiskinan di Jawa Timur dengan Structural Equation Modeling-Partial Least Square” bahwa ekonomi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel laten kemiskinan, sedangkan variabel kesehatan memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap model kemiskinan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah pada penelitian ini menganalisis variabel pengaruh angka melek huruf, angka harapan hidup, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB), gini rasio dan daya beli masyarakat terhadap persentase jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali Tahun 2007 – 2013. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan data panel. Selanjutnya ingin menganalisis model estimasi persentase penduduk miskin melalui tiga metode.