BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Peer Assessment Menurut Zulharman (2007), saat ini telah terjadi perubahan paradigma
pembelajaran dari teacher centered menjadi student centered. Kondisi tersebut tidak hanya membawa dampak pada perubahan metode pembelajaran tapi juga mempengaruhi penggunaan metode penilaian pembelajaran. Metode penilaian pembelajaran harus diupayakan lebih melibatkan peran siswa. Dalam hal ini Peer assessment merupakan metode penilaian yang lebih berpusat pada siswa. Menurut Race (1995) tes tradisional memiliki banyak kelemahan dalam menilai siswa. Tes tidak membuat siswa belajar secara mendalam melainkan hanya “permukaannya” saja. Tes juga hanya berorientasi pada hasil atau hanya menitikberatkan pada bagaimana siswa menjawab pertanyaan bukan bagaimana siswa belajar. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan inovasi dalam penilaian atau adanya alternatif penilaian yang dikembangkan untuk mengatasi kelemahan tes. Mowl (1996) menyatakan bahwa peer assessment merupakan salah satu bentuk inovasi dalam bidang penilaian yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Peer assessment adalah sebuah proses dimana seorang pelajar menilai hasil belajar teman atau pelajar lainnya yang berada setingkat (Bostock, 2000; Zulharman, 2007). Maksud dari setingkat adalah jika dua orang atau lebih berada dalam level kelas yang sama atau subjek pelajaran yang sama (Zulharman, 2007).
10
11
Peer assessment dapat digunakan baik dalam penilaian formatif untuk mendapatkan feedback maupun dalam penilaian sumatif untuk kenaikan kelas (Bostock, 2000; Zulharman, 2007). Akan tetapi, peer assessment lebih sering dianjurkan untuk digunakan dalam penilaian formatif daripada sumatif (Zulharman, 2007). Tujuan peer assessment adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa sehingga dapat membuat penilaian mandiri (Wheater et al.,2005). Menurut Toohey (Wilson, 2002) tujuan peer assessment adalah untuk melibatkan siswa dalam memberikan penilaian (mengkritisi, menaksir, atau mengevaluasi pekerjaan siswa lain) dan menerima penilaian (dikritisi pekerjaannya, ditaksir atau dievaluasi siswa lain). Menurut Wheater et al. (2005) Peer assessment dapat diterapkan atau digunakan untuk menilai presentasi, laporan, esai, hitungan, bibliografi, kerja praktek, pameran poster, portofolio, pameran-pameran, dan lain-lain. Menurut Bostock (2004) ada beberapa keuntungan dalam penggunaan peer assessment, yaitu diantaranya : 1) membantu siswa untuk bertanggung jawab dengan dilibatkan dalam penilaian; 2) mendorong siswa untuk kritis meneliti pekerjaan yang dilakukan rekannya; 3) memberikan umpan balik bagi siswa; 4) sebagai latihan bagi siswa untuk terjun di dunia kerja, dimana penilaian dilakukan oleh kelompok; 5) mengurangi beban guru; dan 6) meningkatkan motivasi siswa. Selain itu, menurut Race et.al (Bostock, 2004) peer assessment memiliki keuntungan diantaranya : 1) meningkatkan motivasi siswa, karena siswa merasa memiliki proses penilaian; 2) mendidik siswa menjadi pembelajar yang mandiri,
12
karena peer assessment
mendorong mereka untuk lebih peduli terhadap
kehidupan belajarnya masing-masing; 3) peer assessment, memperlakukan assessment itu sebagai bagian dari proses belajar, maka setiap kesalahan dipandang sebagai kesempatan untuk dapat diperbaiki, daripada dipandang sebagai suatu bentuk kegagalan; 4) peer assessment dapat melatihkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk lifelong learning terutama keterampilan mengevaluasi; 5) dengan peer assessment didapatkan suatu model untuk menilai kualitas diri sendiri secara internal, melalui evaluasi eksternal; 6) mendorong siswa agar belajar lebih mendalam tidak sekedar belajar permukaannya saja. Peer assessment juga memiliki kelemahan dalam penerapannya. Menurut Bostock (2004) adapula kerugian dari penggunaan peer assessment, yaitu diantaranya : 1) siswa kurang mampu menilai rekannya; 2) hubungan persahabatan, perasaan tidak suka dan lain-lain mungkin akan mempengaruhi penilaian; 3) siswa mungkin tidak suka dinilai oleh rekannya, karena kemungkinan ada diskriminasi, kesalah pahaman, dan lain-lain; dan 4) tanpa ada keterangan dari guru, kemungkinan siswa akan memberi keterangan yang salah terhadap rekannya. Sedangkan menurut Wheater et al
(2005) salah satu kesulitan dalam
pelaksanaan peer assessment adalah : 1) pengajar harus mengatur kelompok penilaian yang memakan waktu; 2) ada perbedaan pemahaman; 3) ada perbedaan respon gender; 4) ada perbedaan latar belakang siswa. Kesulitan lain dengan dilaksanakannya peer assessment adalah siswa masih memandang bahwa
13
penilaian merupakan tugas guru, kepercayaan diri siswa masih kurang dalam melakukan peer assessment dan ketidak mengertian siswa terhadap kriteria penilaian (Zulharman, 2007). Kekurangan peer assessment tersebut dapat diminimalisir. Menurut Wheater et al. (2005) kekurangan dalam penggunaan peer assessment tersebut dapat diatasi dengan cara: 1) membuat kriteria penilaian untuk menyeragamkan persepsi siswa; 2) kriteria penilaian dibuat secara sederhana dan memiliki daya objektivitas yang tinggi; 3) menegosiasikan dan menjelaskan kriteria penilaian terlebih dahulu; 4) menggunakan sebuah prosedur keluhan dan review sehingga siswa (penilai sesama) memberikan nilai yang dapat didiskusikan; 5) memberikan banyak waktu pada sesi penilaian sebaya; 6) memberikan umpan balik kepada siswa untuk menginformasikan nilai mereka apakah valid dan sama dengan nilai pengajar atau tidak. Lebih lanjut Wheater et al. (2005) mengemukakan bahwa tujuan dari pengembangan dan negosiasi adalah supaya siswa dapat memahami benar atau menyeragamkan tentang kriteria-kriteria yang akan dinilai. Walaupun tidak terdapat hubungan antara kontribusi siswa dalam mengembangkan kriteria dengan nilai kinerja siswa yang bersangkutan (Wheater et al., 2005). Parson (2003), mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan peer assessment, diantaranya: 1) menceritakan atau menerangkan terlebih dahulu kepada siswa mengenai format dan aturan penilaian sebelum pelaksanaan pembelajaran; 2) memberikan praktik atau latihan karena pada umumnya siswa tidak mempunyai pengalaman dalam menilai pekerjaan
14
rekannya; dan 3) memberikan pengarahan bahwa penilaian ini sebagai bentuk umpan balik untuk meningkatkan keterampilan. Lebih lanjut Zulharman (2007), mengemukakan bahwa penerapan peer assessment dapat efektif apabila dilakukan langkah-langkah berupa : 1) penyampaian maksud dan tujuan peer assessment secara jelas kepada siswa, maupun yang akan menjadi penilai; 2) menerapkan peer assessment secara bertahap; 3) penjelasan kriteria penilaian yang jelas; 4) pelatihan yang intensif; dan 5) memonitor proses dan hasil penilaian peer assessmant tersebut. Menurut M.Yusuf Tuloli (2006) kualitas lulusan SMK yang diinginkan dunia kerja
diantaranya
lulusan
SMK harus
mempunyai
keterampilan
adaptabilitas yaitu memecahkan masalah dan berfikir kreatif, lulusan SMK juga harus memiliki keterampilan manajemen personal, yaitu mempunyai harga diri yang positif, motivasi, yang tinggi dan kemampuan mengembangkan karir dan kepribadian selain itu lulusan SMK harus memiliki keterampilan untuk bekerja secara kelompok. Jika kita tinjau dari kriteria lulusan SMK yang diharapkan dunia kerja dan dihubungkan dengan tujuan, manfaat dari peer assessment keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Penerapan peer assessment untuk menilai kinerja siswa SMK patut dicoba sebagai alternatif penilaian atau menjadi sebuah inovasi ditengah keluhan dari dunia industri bahwa lulusan SMK sebagai tenaga kerja baru memiliki kelemahan diantaranya yang paling menonjol adalah kesiapan mental kerja yang masih rendah (Tuloli,M.Y., 2006)
15
2.2.
Kegiatan Praktikum Praktikum dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai bagian
dari pengajaran yang bertujuan agar siswa mendapat kesempatan untuk menguji dan melaksanakan pada keadaan nyata apa yang diperoleh sebelumnya dalam teori. Menurut Van den Berg, dengan adanya praktikum diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konseptual pembelajaran yang sebelumnya masih belum berhasil (Siregar, 1998). Hasil pembelajaran berupa kemampuan yang dapat dicapai menurut Gagne (Dahar, 1989) dikategorikan ke dalam : 1) keterampilan motorik; 2) sikap; 3) informasi verbal; 4) strategi kognitif; dan 5) keterampilan intelektual. Keterampilan motorik terkait dengan keterampilan penggunaan anggota badan. Sikap terkait dengan penghargaan terhadap suatu objek. Informasi verbal berkaitan dengan pengetahuan tentang fakta dan kemampuan mengingat kembali informasi ilmu pengetahuan. Strategi kognitif terkait dengan kemampuan mempelajari cara belajar pada berbagai situasi dan kondisi. Adapun kemampuan intelektual terkait dengan kemampuan menggunakan daya nalar dan proses berpikir. Dengan kegiatan praktikum besar kemungkinan dapat mencakup kelima kemampuan tersebut di atas. Sejalan dengan tujuan praktikum, kimia sebagai bagian dari IPA yang memiliki karakteristik konsep sebagian besar abstrak mempunyai tujuan menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat
16
sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang dirinya sendiri dan alam sekitar (PUSKUR, 2006). Menurut Dahar (Suhartini, 2007), kegiatan praktikum merupakan suatu cara penyampaian materi kepada siswa untuk melakukan serangkaian kegiatan yang dikenal dengan keterampilan proses IPA yang meliputi mengamati, menginterpretasi,
mengklasifikasi,
memprediksi,
mengkomunikasikan,
berhipotesis, menerapkan konsep atau pirinsip, merencanakan percobaan, dan mengajukan pertanyaan. Keuntungan
menggunakan
kegiatan
praktikum
di
dalam
proses
pembelajaran IPA diantaranya dapat memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa pada siswa, siswa dapat mengamati proses yang terjadi, siswa dapat mengembangkan keterampilan inkuiri, dan siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah (Mulyati Arifin, dkk, 2003) Woolnough & Allsop (Rustaman, 2003) mengemukakan beberapa alasan mengenai pentingnya kegiatan praktikum, pertama, praktikum mengembangkan motivasi belajar IPA. Kedua praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen. Ketiga, praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah. Keempat, praktikum menunjang pemahaman materi pelajaran. Pengertian dan keuntungan dari kegiatan praktikum tentu saja sejalan dengan Tujuan SMK Analis Kimia yang termuat dalam kurikulum SMK, bahwa SMK dapat mendidik peserta didik dengan keahlian dan keterampilan dalam Program Keahlian Kimia Analis. Lulusan dapat bekerja baik secara mandiri atau mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai
17
tenaga kerja tingkat menengah (kurikulum SMK 2004). Dengan tujuan tersebut maka pada proses pembelajarannya SMK lebih banyak menitikberatkan pada kegiatan praktikum dibandingkan teori di kelas dengan perbandingan 70 : 30, hal ini dimaksudkan agar SMK dapat melahirkan lulusan yang siap bekerja, motivasi yang tinggi, mental yang kuat, dan dapat bekerja sama dengan orang lain (Tuloli,M.Y., 2006).
2.3.
Penilaian Kinerja Siswa Kinerja dalam kamus besar bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1982)
berarti sesuatu yang dicapai siswa, prestasi yang diperlukan siswa atau merupakan kemampuan kerja. Penilaian kinerja sendiri memiliki pengertian suatu bentuk penilaian yang melibatkan siswa dalam suatu kegiatan yang menuntut unjuk kemampuan baik dalam keterampilan maupun dalam berkreasi sebagai perwujudan dari penguasaan pengetahuan (Stiggins, 1994). Senada dengan pernyataan Trespeces (Hari Setiadi, 2008) penilaian kinerja atau “Performance Assessment” adalah berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan pemahamannya dan mengaplikasikan pengetahuan, serta keterampilannya dalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Kimia sebagai salah satu ilmu IPA yang hakikatnya sebagai suatu proses, produk, dan sikap hendaknya mampu menerapkan penilaian yang dapat mengungkap hasil belajar siswa secara menyeluruh mencakup ketiga aspek tersebut. Penilaian yang dilakukan dengan cara tes hanya cenderung mengungkap
18
aspek produk saja (Iskandar, 2000). Untuk dapat melengkapi hasil belajar siswa tersebut, selain digunakan tes berupa tes objektif dan subjektif, perlu dilakukan penilaian terhadap kinerja siswa. Maka penilaian kinerja diharapkan berupa respons autentik yaitu aktifitas yang dapat diamati. Menurut Zainul (2001) pengertian dasar dari penilaian kinerja adalah penilaian yang mengharuskan peserta didik untuk mempertunjukan kinerja, bukan menjawab atau memilih jawaban dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia. Seperti yang sudah dibahas di atas menurut Wulan penilaian kinerja atau dengan istilah Performance assessment merupakan penilaian yang paling direkomendasikan untuk pembelajaran sains (Agustinus, 2008). Performance assessment merupakan penilaian terhadap perolehan, penerapan pengetahuan dan keterampilan yang menunjukan kemampuan siswa dalam proses maupun produk (Zainul, 2001). Zainul (2001) menyatakan bahwa performance assessment dapat mencakup penilaian multiple intellegence yaitu kemampuan visual-spatial, kinesthetic, musical, interpersonal, intrapersonal, logical mathematical, verballingustic dan naturalis. Menurut Marzano (Agustinus, 2008) menyatakan performance assessment dapat menilai seluruh dimensi belajar berikut ini: 1) sikap dan persepsi belajar yang positif (attitude and perceptions); 2) perolehan dan pengintegrasian pengetahuan (acquiring and integrating knowledge); 3) perluasan dan penghalusan pengetahuan (extending and refining knoeledge); 4) penggunaan pengetahuan secara bermakna (using knowledge meaningfully; 5) kebisaaan berfikir yang produktif (habits of mind). Performance assessment memungkinkan
19
siswa menunjukan apa yang dapat mereka lakukan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa terdapat perbedaan antara “mengetahui bagaimana melakukan sesuatu” dengan “mampu secara nyata melakukan hal tersebut” (Agustinus, 2008). Menurut Wulan Penilaian dengan performance assessment harus mengacu pada standar. Standar diperlukan untuk mengidentifikasi secara jelas apa yang seharusnya siswa ketahui dan apa yang seharusnya siswa dapat lakukan (Agustinus, 2008). Standar tersebut dikenal dengan istilah performance criteria atau
rubric (Zainul, 2001). Selain rubric, komponen lain dari performance
assessment yaitu task, task merupakan perangkat tugas yang menuntut siswa untuk menunjukan suatu performance tertentu. Sementara itu rubric dapat dinyatakan sebagai panduan pemberian skor yang menunjukan sejumlah kriteria performance pada proses atau hasil yang diharapkan (Zainul, 2001). Langkah-langkah
utama
yang
perlu
ditempuh
ketika
menyusun
performance assessment yaitu: 1) menentukan performance outcomes; 2) memilih fokus asesmen (menilai proses/prosedur, produk atau keduanya); 3) memilih tingkatan realisme yang sesuai (menentukan sebarapa besar tingkat keterkaitannya dengan kehidupan nyata); 4) memilih situasi performance; 5). memilih metode observasi, pencatatan dan penskoran (Wulan, 2007). Wiggins
(Iskandar,
2000)
menyatakan
bahwa
penilaian
kinerja
memberikan kesempatan kepada siswa dalam berbagai tugas dan situasi untuk memperlihatkan kemampuan dan pemahamannya dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya. Adapun alasan guru menggunakan penilaian
20
kinerja menurut Stiggins (Iskandar, 2000), yaitu : 1) ada beberapa kemampuaan siswa yang tidak dapat terdeteksi melalui tes tertulis yaitu keterampilan dan kreativitas. Kemampuan ini dapat muncul apabila dilakukan peragaan keterampilan yang dikuasainya melalui suatu karya dengan mengekpresikan kreativitas; 2) penilaian kinerja memberi peluang lebih luas bagi guru untuk mengambil keputusan secara tepat, sebab dalam kenyataannya tidak semua siswa dianggap kurang dalam tes tertulis, kurang pula dalam keterampilan dan kreativitas; 3) penilaian kinerja siswa bermanfaat dalam melihat sejauh mana siswa menguasai keterampilan selama pembelajaran tanpa harus menunggu pembelajaran berakhir. Peformance assessment memiliki keunggulan apabila dibandingkan dengan penilaian tradisional yaitu: 1) siswa dapat mendemonstrasikan suatu proses; 2) proses yang didemonstrasikan dapat diobservasi langsung; 3) menyediakan evaluasi lebih lengkap dan alamiah untuk beberapa macam penalaran, kemampuan
lisan dan keterampilan-keterampilan fisik; 4) adanya
kesepakatan antara guru dan siswa tentang kriteria penilaian dan tugas-tugas yang akan dikerjakan; 5) menilai outcomes pembelajaran dan keterampilanketerampilan kompleks; 6) memberi motivasi yang besar bagi siswa; 7) mendorong aplikasi pembelajaran pada situasi kehidupan nyata (Zainul, 2001). Selain memiliki keunggulan, performance assessment juga memiliki beberapa keterbatasan yaitu: 1) Sangat menuntut waktu dan usaha; 2) Pertimbangan (Judgement) dan scoring performance sifatnya subjektif; 3) Membebani; dan 4). Mempunyai reliabilitas rendah (Zainul, 2001).
21
Performance
assessment
terhadap
kinerja
siswa
tersebut
belum
menggunakan prosedur dan instrumen yang tepat. Bahkan penilaian terhadap kinerja tidak dilakukan karena guru merasa enggan untuk menilai kinerja siswa secara individual dengan alasan jumlah siswa yang terlalu banyak sehingga repot untuk memberikan penilaian yang detil terhadap siswa satu-persatu. Selain itu, guru memiliki pertimbangan bahwa waktu akan banyak terbuang jika melakukan tes kinerja individu untuk semua siswa padahal materi pelajaran banyak. Dengan demikian, harus ada metode penilaian yang mampu mengatasi segala keluhan tersebut. Menurut Wulan (Agustinus,2008) Salah satu metode yang dapat digunakan untuk performance assessment adalah peer assessment . Selain itu juga peer assessment dapat meringankan tugas guru dalam menilai proses kelompok secara langsung.
2.4.
Deskripsi materi “Titrasi Argentometri” Dalam kurikulum SMK program keahlian kimia analis, salah satu
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa yaitu dapat menganalisis bahan secara kuantitatif. Salah satu sub kompetensi yaitu siswa dapat menganalisis bahan secara titrimetri diantaranya dengan teknik analisis titrasi argentometri. Beberapa reaksi pengendapan dapat diterapkan di dalam titrasi. Dengan metode titrasi, analisis kuantitatif yang didasarkan pada prinsip reaksi pengendapan dapat dilakukan dengan cepat, lebih mudah, dan dengan ketelitian yang cukup memadai. Setiap reaksi pengendapan yang berlangsung cepat dan tersedianya indikator merupakan dasar titrasi pengendapan. Akan tetapi hanya
22
sedikit reaksi pengendapan yang berlangsung cukup cepat, juga sedikit indikator yang memenuhi syarat untuk titrasi pengendapan. Menurut S.M. Khopkar (1990) alasan utama kurang digunakannya metode tersebut adalah sulitnya memperoleh indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir pengendapan, juga komposisi endapan tidak selalu diketahui. Pereaksi pengendapan yang banyak digunakan dalam titrasi pengendapan adalah perak nitrat. Titrasi pengendapan yang melibatkan pereaksi pengendap perak nitrat disebut titrasi Argentometri (Darsati, S., 1999). Istilah Argentometri diturunkan dari bahasa latin Argentum, yang berarti perak. Jadi, Argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasarkan pada pembentukan endapan dengan ion Ag+. Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat (AgNO3). Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, serta kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan. (Underwood,1992) 2.4.1. Kurva Titrasi Kurva titrasi untuk reaksi pengendapan dapat dibuat dan seluruhnya analog dengan kurva untuk asam basa dan pembentukan kompleks. Contoh berikut ini melukiskan perhitungan yang digunakan dalam titrasi ion klorida dengan ion perak. (Underwood,1992)
23
Contoh : 50 mL larutan NaCl 0,10 M dititrasi dengan larutan AgNO3 0,10 M. Hitung konsentrasi ion klorida selama titrasi dan buat kurva pCl vs mL AgNO3. Ksp AgCl = 10 x 10-10. • Awal sebelum titrasi : [Cl-] = 0,10 M, maka pCl = 1,00 • Setelah penambahan 10 mL AgNO3 : Ag+
+
Cl-
awal
1,00 mmol
5,00 mmol
perubahan
1,00 mmol
1,00 mmol
kesetimbangan [Cl-] =
AgCl (p)
_
4,0 mmol = 0,067 M, jadi pCl = 1,17
• Setelah penambahan 49,9 mL AgNO3 : Ag+
+
Cl-
awal
4,99 mmol
5,00 mmol
perubahan
4,99 mmol
4,99 mmol
kesetimbangan [Cl-] =
AgCl (p)
_
0,01 mmol = 1,0 x 10-4 M, jadi pCl = 4
• Pada titik ekivalen Ag+
+
Cl-
awal
5,00 mmol
5,00 mmol
perubahan
5,00 mmol
5,00 mmol
-
-
kesetimbangan
AgCl (p)
[Ag+] = [Cl-] >>> [Cl-]2 = Ksp >>>> [Cl-]2 = 1,0 x 10-10 M [Cl-] = 1,0 x 10-5 M, jadi pCl = 5
_
24
• Setelah penambahan 60,0 mL AgNO3 : Ag+
+
Cl-
AgCl (p)
awal
6,00 mmol
5,00 mmol
perubahan
5,00 mmol
5,00 mmol
_
kesetimbangan 1,0 mmol [Ag+] =
= 9,1 x 10-3 M, pAg = 2,04
Maka pCl = 10,0 – 2,04 = 7,96 Secara umum untuk halida : Ag+ + X-
AgX (s)
Tetapan kesetimbangan : K =
=
Makin kecil Ksp makin besar K suatu Titrasi
Gambar 2.1 Kurva titrasi NaCl, NaBr, dan NaI. Garam 0,1 M sebanyak 50mL dititrasi dengan AgNO3 0,1 M
25
Telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu yang berkaitan dengan titrasi pengendapan adalah mencari indikator yang sesuai. Dalam titrasi Argentometri, terdapat tiga indikator yang lazim digunakan dan berhasil selama bertahun-tahun. Berdasarkan perbedaan indikator tersebut dikenal metode mohr, volhard, dan fajans dalam titrasi argentometri 2.4.2. Metode Mohr Dalam metode ini ion Kromat (CrO42-) bertindak sebagai indikator. Kromat (CrO42-) digunakan sebagai indikator titik akhir karena membentuk endapan Ag2CrO4 berwarna merah saat bereaksi dengan ion perak. Kelarutan perak kromat beberapa kali lebih besar daripada kelarutan perak klorida (Ag2CrO4 (8,4 x 10-5 M) > Kelarutan AgCl (1,35 x 10-5 M)). Akibatnya endapan perak klorida terbentuk lebih dulu daripada endapan perak kromat (Siti Darsati, 1999). Jika larutan Ag+ ditambahkan ke dalam larutan Cl- yang mengandung sedikit CrO42-, maka AgCl akan mengendap lebih dulu, sementara itu Ag2CrO4 belum terbentuk, dan [Ag+] naik hingga hasil kali kelarutan melampaui Ksp Ag2CrO4 (2,0 x 10-12) sehingga terbentuk endapan merah.
Ag+
+
Cl-
AgCl (s)
2Ag+
+
CrO42-
Ag2CrO4 (s) (merah)
Pada Titik Ekivalen : pAg = pCl= 5,00
26
konsentrasi ion kromat untuk memulai pengendapan perak kromat pada kondisi ini dapat dihitung dari harga Ksp perak kromat : [Ag+]2[CrO42-] = 2,00 x 10-12 [ CrO42-] = 2,00x10-12 / (1,0x10-5)2 = 0,02 M
Konsentrasi tersebut terlalu tinggi karena warna kuning CrO42- akan mengganggu pengamatan terbentuknya endapan Ag2CrO4 (merah). Dalam praktek biasanya digunakan 0,005 s/d 0,01 M supaya kesalahan titrasi diperkecil, dan masih bisa dikoreksi dengan titrasi blanko indikator, atau dengan membakukan AgNO3 terhadap suatu garam klorida yang murni (titrasi dilakukan dalam kondisi yang sama dengan titrasi sampel) (Tutus G., 2009). Titrasi metode Mohr dilakukan pada pH 6-9 (netral hingga basa lemah). Jika pH terlalu kecil (asam) kesetimbangan kromat-dikromat akan menurunkan kepekaan [CrO42-] sehingga menghambat pembentukan endapan Ag2CrO4. 2 CrO42-
+
2 H+
Cr2O72-
+
H2O
Jika pH terlalu besar (larutan basa) akan terbentuk endapan Ag2O. Ag+ +
OH-
2AgOH
Ag2O + H2O
Metode Mohr dapat digunakan untuk titrasi Br- dan CN- dalam larutan basa lemah, sedangkan untuk I- dan CNS- tidak dapat dilakukan karena akan terjadi adsorpsi oleh endapan. Untuk penentuan kadar Cl-, Ag+ tidak dapat dititrasi langsung oleh Cl- menggunakan indikator CrO42-, karena Ag2CrO4 akan terbentuk
27
lebih awal dan melarut lambat menjelang TE. Untuk hal tsb dapat digunakan teknik titrasi balik : Ag+ ditambah Cl- baku (berlebih), kemudian Cl- sisa dititrasi dengan larutan Ag+ baku menggunakan indikator CrO42-.