26
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN SEBAHAGIAN AHLI WARIS MENGUASAI HARTA WARISAN
A. Pengertian Kewarisan Kata kewarisan berasal dari kata warasa, kata kewarisan banyak digunakan dalam al-Qur’an dan kemudian di rinci dalam Sunnah Rasulullah SAW hukum Islam dibangun.24 Dalam literature Indonesia kata kewarisan dengan awalan “ke” dan akhiran “an” jelas menunjukkan kata benda dan mempunyai makna yang berhubungan dengan mewarisi, diwarisi dan diwariskan.25 J. Satrio, menyebutkan bahwa Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu / beberapa orang dengan dalam hal ini hukum waris merupakan bagian dari harta kekayaan.26 Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendifinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.27
24
M. Yunus Daulay & Nadarlah Naimi. Fiqih Muamalah. (Medan: Ratu Jaya, 2011) hal. 121 Achmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 9. 26 J. Satrio. Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 19 27 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta; PT.Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 3-4. 25
26
Universitas Sumatera Utara
27
Menurut etimologi atau bahasa kata warasa memiliki beberapa arti: pertama mengganti, kedua: memberi, ketiga: mewarisi. Sedangkan secara terminology (istilah), hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap yang berhak.28 Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan dari pewaris kepada ahli waris yang masih hidup. Dalam hukum Islam terdapat beberapa istilah, yaitu, faraidhl, fiqih mawaris, dan lain-lain.29 Waris adalah peraturan–peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Batasan tersebut menetapkan suatu hal dalam waris, bahwa yang berpindah dalam pewarisan adalah kekayaan si pewaris. Hukum waris adalah: “Hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.”30 Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan).
28 Muhammad Syarbaini al-Khatib. Mughni al-Muhtaj. juz 3. Mustafa al-Baby al-Halaby. Kairo. hal. 3 29 Suparman Usaman dan Yusuf Somawinata. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Gaya Media Parata, 1997), hal. 22 30 Effendi Perangin. Hukum Waris. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 3
Universitas Sumatera Utara
28
A. Pitlo memberikan defenisi hukum waris sebagai berikut: Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari perpindahan ini bagi orangorang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, mapun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 31 Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan, yang bewujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.32 Pengertian waris menurut beberapa ahli hukum fiqih dapat disebutkan sebagai berikut: a.
Menurut Departemen Agama Repubik Indonesia, Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahliwaris dan menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris.33
b.
Abdullah Malik Bin As-Sayyid Salim, Ilmu Faraidh ialah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta
31 A. Pitlo (alih bahasa M. Isa Arief), Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1971) hal. 2 32 J. Satrio.Op. Cit hal.22. 33 Departemen Agama Republik Indonesia. Bahan Penyuluhan Hukum. (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2001) hal. 57
Universitas Sumatera Utara
29
warisan dan orang-orang yang berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.34 Pada asasnya, menurut undang-undang, untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang sah adalah hubungan darah yang ditimbulkan akibat dari suatu perkawinan yang sah. Hubungan darah yang tak sah timbul sebagai akibat hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan dan pengakuan anak secara sah. Apa pun itu syaratnya suatu perkawinan yang sah dan apa yang disebut keturunan luar kawin diatur dalam hukum keluarga. B. Sebab-Sebab Mewarisi Sebelum harta warisan yang ditinggalkan pewaris dibagikan ada beberapa hal yang harus dilakukan, sebelumnya perlu diketahui bahwa ada yang dikenal harta peninggalan, dalam terminologi fiqih disebut dengan tirkah. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Agar harta peninggalan tersebut dapat dibagi sebagai harta warisan maka perlu diselesaikan kewajiban-kewajiban tertentu. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.35
34
Abdullah Malik Bin As-Sayyid Salim. Sahih Fikih Sunnah. Penterjemah Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 682
Universitas Sumatera Utara
30
Dalam Islam, ahli waris itu ada dua macam, yakni ahli waris nasabiyah yaitu ahliwaris yang hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah (keturunan atau kekerabatan) yang mana semua ahli waris yang ada pertalian darah baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak diberi hak menerima bagian menurut jauh dekatnya kekerabatannya, bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya pun memiliki hak yang sama dengan yang sudah dewasa. Namun hal ini berlaku ketentuan hijab.36 Kedua, ahli waris Sababiyah yaitu ahli waris yang kewarsiannya berdasarkan pernikahan dan memerdekakan budak (hamba sahaya) namun dikarenakan perbudakan sudah tidak ada pada saat sekarang ini, maka penerapannya juga sudah tidak berlaku. Rukun waris Islam ada tiga, yaitu: a.
Maurus yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang bakal diwariskan pada ahli waris setelah diambil dari biaya perawatan, melunasi utang-utang si mayit dan setelah melaksanakan wasiat.
b.
Muwaris yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan pengadilan atas dasar beberapa sebab, walaupun dalam arti sesungguhnya ia belum mati.
35
M. Yunus Daulay & Nadarla Naimi. Op. Cit. hal. 123
36
Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia. (Jakarta: Rajawali Pers. Cet. ke-2, 1997) hal. 389
Universitas Sumatera Utara
31
c.
Waris yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mawaris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah dan adanya perwalian dengan si muwarits. 37 Abdullah Syah membagi sebab-sebab mewarisi itu kepada 4 (empat) sebab,
yaitu perkawinan, kekerabatan, memerdekakan hamba, sumpah setia. 1.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang lakilaki dan perempuan.
2.
Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
3.
Al-wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan hamba yang dilakukan seseorang.
4.
Sebab sesama Islam (baitul mal). Baitul mal adalah: tempat harta umum kaum muslimin yang di bawah kekuasaan pemerintah. 38
C. Penghalang Mewarisi Menurut Kompilasi Hukum Islam39 yang sebagaimana diatur dalam Pasal 173, seorang terhalang menjadi ahli waris oleh putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a.
Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris. 37
Fachtur Rahman. Op.Cit., hal. 36 H. Abdullah Syah dan Amal Hayati, Hukum Waris Islam, (Medan: Wal Ashri Publishing, 2011), hal. 28-30. 39 Moh Muhibin dan Adul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 173. 38
Universitas Sumatera Utara
32
b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Isi dari Pasal 173 KHI40 di atas sama dengan isi dari Pasal 838 KUHPerdata,
akan tetapi dalam Pasal 186 KHI yang dijelaskan oleh H. M. Mawardi Muzamil. Dalam tulisannya yang berjudul Hikmah Waris dalam Islam mengatakan, “bahwa seorang laki-laki yang melakukan zina dan mengakibatkan lahirnya anak hasil zina, maka ia tidak berhak menjadi ahli waris dari anak hasil zinanya, dan anak hasil zina juga tidak dapat berkedudukan sebagai ahli waris dari laki-laki yang menyebabkan ia dilahirkan”. Penghalang, yang kita kenal dengan istilah Al-Hajib, ini ada dua.
40
Mawardi Muzami, “Hikmah Waris dalam Islam”, mawardi.blog.unissula.ac.id/.../hikmahpembagian-harta-kewarisan, diakses tanggal 10 Nopember 2012. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada dasarnya adalah perintah sosialisasi KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya. Secara tegas dalam Inpres tersebut disebutkan bahwa Presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama untuk menyeberluaskan KHI. Demikian pula Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, ada tiga butir penting disebutkan dalam keputusan tersebut, yaitu pertama, seluruh intansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan untuk digunakan oleh intansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah di bidang hukum tersebut. Kedua, seluruh lingkungan intansi tersebut dalam menyelesaikan masalahmasalah hukum sedapat mungkin menerapkan KHI di samping peraturan perundangan lainnya. Ketiga; Dirjen Binbaga Islam dan Dirjen BIUH mengkoordinasikan pelaksanaan keputusan menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
33
Pertama: Karena sifat, seperti: budak, pembunuh dan berbeda agama. Artinya, meskipun seseorang termasuk ahli waris anak dari si mayit, tetapi karena anak ini yang membunuh pewaris (yang mewariskan) tadi, anak ini murtad, atau berstatus sebagai budak, tetapi orang tadi tidak berhak mendapatkan harta warisan. Kedua: Terhalang dengan orang. Artinya, ahli waris-ahli waris tertentu menjadi terkurangi bagiannya atau tidak jadi mendapatkan harta warisan dikarenakan keberadaan ahli waris lain yang lebih berhak. Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi ada tiga macam, yaitu perbudakan, pembunuhan, berlainan agama atau murtad. a.
Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk
umum yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.41
41
M. Ali ash-Shabuni. ”Pembagian Waris /Islam/Waris/Gugur.html , diakses tanggal 27 Maret 2012.
Menurut
Islam.”
http://media.isnet.org
Universitas Sumatera Utara
34
Status budak tidak dapat mempusakai atau hak waris mewarisi. Hal tersebut disebabkan oleh: 1. Tidak cakap dalam mengurus harta milik 2. Status kekerabatan terhadap keluarganya sudah putus, dan ia diqiyaskan kepada orang asing, sedangkan mewarisi kepada orang asing itu batal. b.
Pembunuhan Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh
orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak mengambil pusaka ayahnya. Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut, maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta peninggalannya. Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Pada dasarnya pembunuhan itu adalah merupakan tindak pidana kejahatan namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan tersebut tidak di pandang sebagai
Universitas Sumatera Utara
35
tindak pidana dan oleh karena itu tidak di pandang sebagai dosa. Untuk lebih mendalami pengertiannya ada baiknya di kategorikan sebagai berikut:42 1.
Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan di medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta dan kehormatan.
2.
Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana kejahatan), seperti: pembunuhan dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak kewarisan dari yang di
bunuhnya, di sebabkan alasan-alasan berikut: 1.
Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya.
2.
Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.
3.
Pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama di sebut dengan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat , maka dengan sendirinya ma’siat tidak boleh di pergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan nikmat.43 Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda. Artinya “Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris.44 Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin 42
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, hal. 57 Husain Amin Nasution. Hukum Kuarisan Suatu Analisis Komperatif Pemikiran Mujtahid Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)., hal. 67 44 Aunur Rofiq bin Ghufron, “Orang Yang Tidak Berhak Mendapat Harta Waris.” Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. 43
Universitas Sumatera Utara
36
Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri.45 Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. c.
Berlainan Agama Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang beragama non Islam. Adapun dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah SAW yang artinya: Orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam. 46 Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda. Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau, Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW, yang meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anakanaknya yang sudah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
45
Ibid Muhammad Nafis. “Warisan Bagi Non Muslim dan Murtad.” http://www.pa-barabai.ptabanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=45, diakses tanggal 10 Maret 2012. 46
Universitas Sumatera Utara
37
D. Hak dan Kewajiban Ahli Waris Apabila bercerita tentang hak dan kewajiban ahli waris, maka dapat diperinci setelah harta warisan tersebut terbuka, dimana ahli waris diberi suatu hak untuk menentukan sikap terhadap harta warisan dan juga kewajibannya. Sejauh mana hakhak ahli waris dalam menentukan sikap terhadap harta warisan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:47 1.
Menerima secara penuh, yaitu dapat dilakukan secara tegas dan diam-diam, secara tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan ke dalam akte yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris yang sah.
2.
Secara diam-diam yaitu jika ia melakukan dengan suatu perbuatan
3.
Mengambil atau menjual juga melunasi hutang-hutang si pewaris.
4.
Menerima dengan reserves ( hak untuk menukar)
5.
Hak untuk menolak.48 Kompilasi hukum Islam mengatur kewajiban yang harus dijalankan ahli waris
terhadap pewaris yang tertuang dalam Pasal 175 (1) KHI terdiri dari: 1.
Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
2.
Menyelesaikan hutang-hutang baik berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang.
3.
Menyelesaikan wasiat pewaris. Batas wasiat telah diatur oleh hukum Islam yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan. 47
M. Idris Ramulyo. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 46 48 Ibid, hal. 46
Universitas Sumatera Utara
38
4.
Membagi warisan diantara ahli waris yang berhak. 49 Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta yang ditinggalkannya. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 175 (2) Kompilasi Hukum Islam. Menurut Kompilasi Hukum Islam tertuang dalam Pasal 174, kelompok/ golongan ahli waris terdiri dari: a.
Menurut hubungan darah: 1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan kakek. 2. Golongan perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b.
Apabila semua ahli waris masih ada, maka yang berhak menerima warisan hanya anak, ayah, ibu, duda atau janda. Hukum Islam menentukan yang berhak mendapatkan harta warisan ke dalam
25 (dua puluh lima) orang, yaitu 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. 15 (lima belas) orang laki–laki terdiri dari: 1.
Anak Laki-laki.
2.
Cucu Laki-laki.
3.
Bapak.
4.
Kakek.
5.
Saudara Laki-laki seibu sebapak.
6.
Saudara Laki-laki sebapak saja.
7.
Saudara Laki-laki seibu saja.
8.
Ponakan Laki-laki kandung. 49
Lihat Pasal 175 (1) KHI
Universitas Sumatera Utara
39
9.
Ponakan Laki-laki sebapak saja
10. Paman kandung 11. Paman sebapak. 12. Sepupu Laki-laki kandung. 13. Sepupu Laki-laki sebapak. 14. Suami. 15. Laki-laki yang memerdekakan mayat dari perbudakan. Sedangkan ke 10 (sepuluh) orang ahli waris perempuan adalah: 1.
Anak Perempuan.
2.
Cucu perempuan.
3.
Ibu.
4.
Nenek pihak ayah.
5.
Nenek pihak ibu.
6.
Saudara perempuan seibu sebapak.
7.
Saudara perempuan sebapak saja.
8.
Saudara perempuan seibu saja.
9.
Istri.
10. Perempuan yang memerdekakan si mayat dari perbudakan. Apabila semua ahli waris ada (hal ini sangat jarang terjadi), ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah: 1.
Anak kandung laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
40
2.
Anak kandung perempuan.
3.
Ayah.
4.
Ibu.
5.
Suami/istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan semuanya, maka
mereka ini pasti mendapat warisan. Sebab tidak ada penghalang antara mereka dengan almarhum yang meninggal dunia E. Kewajiban Menyegerakan Pembagian Warisan Masalah waktu menyegerakan, maka beberapa ulama menyepakati hal ini, sebab dikhawatirkan akan timbul masalah dikemudian hari jika pembagian waris berlama-lama, dan juga mempertimbangkan faktor lain. Bahkan ada anjuran kepada pemilik harta, untuk membuat wasiat semasa hidupnya, agar sepeninggal nanti, ahli warisnya harus menyegerakan membaginya secara syar'i, jika tidak maka bisa terancam dosa. Hukum Islam di Indonesia itu dibagi menjadi dua: a.
Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya.
b.
Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang pidana
Universitas Sumatera Utara
41
sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.50 Pembagian harta warisan harus segera dilaksanakan setalah pewaris meninggal, tidak boleh ditunda-tunda, kecuali jika ada keadaan tertentu yang tidak memungkinkan, misal karena rumahnya belum laku dijual, atau ada ahli waris yang masih bayi/kecil, atau ada ahli waris yang banci, atau ada ahli waris yang hilang/tertawan, maka ada bagian yang dibekukan untuk sementara hingga diketahui keadaannya. Harta warisan adalah sepenuhnya milik para ahli warisnya, karena itu tidak boleh mengambil/menguasai harta milik mereka. Segeralah ditunaikan jika mereka menginginkannya disegerakan, jangan sampai karena lama tidak dibagikan, akhirnya muncul kecurigaan dan kebencian dari para ahli waris, karena sesungguhnya mereka bisa jadi sangat membutuhkan harta tersebut. Menyegerakan
pembagian
harta
warisan
memiliki
hikmah.
Untuk
menghindari adanya konflik, maka sebaiknya apabila orang tua yang bijaksana, apalagi memiliki harta yang cukup banyak, seharusnya dibuat surat wasiat (testamen) di hadapan Notaris agar tidak menimbulkan persengketaan di antar ahli waris kemudian hari.51 Penundaan pembagian harta warisan seringkali terjadi manakala sang pewaris wafat masih meninggalkan istri, yakni ibu dari anak-anaknya. Maka anak-anak
50
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 54 51 Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013.
Universitas Sumatera Utara
42
enggan atau merasa tidak enak untuk menyampaikan kepada ibunya tersebut, agar harta warisan segera dibagikan. Atau bisa juga karena sebab-sebab lainnya, misalnya ada salah satu rumah yang masih ditinggali oleh kerabatnya yang lain. Untuk itu, perlu adanya sikap bijaksana juga dari sang ibu, sesungguhnya harta warisan itu memang milik dan hak para ahli warisnya, diantaranya anak-anaknya. Orang yang paling dihormati tersebut diharapkan memberi pengertian ilmu faraid kepada mereka semua agar tidak terjadi perselisihan. Mungkin dalam kenyataannya ada komentar yang negatif dari sebagian masyarakat. Kuburan belum kering sudah meributkan bagi waris, demikian kira-kita komentar itu.Sehingga sebagian kita agak segan untuk segera membagi harta warisan milik orang tua mereka. Padahal masalahnya bukan urusan kuburan sudah kering atau belum. Tetapi karena di dalam syariah Islam ada keharusan untuk menetapkan status hukum suatu harta. Tidak boleh ada harta yang tanpa tuan. Karena ada banyak kaitan hukum di belakangnya. Sebagai contoh yang sederhana, kaitannya dengan masalah zakat. Kalau harta itu tidak segera dibagikan dan ditetapkan pemiliknya, maka siapa yang berkewajiban untuk membayar zakat? Apakah almarhum yang ada di kuburan? Ataukah anak tertua? Atau anak yang sudah menikah? Tentu ini menjadi kendala. Juga ketika harus ada biaya perawatan atas harta, misalnya kendaraan dan sejenisnya. Maka siapa yang harus menanggungnya? Tentu ini akan kembali menjadi sumber konflik. Sebenarnya dalam pembagian warisan, masalahnya sederhana saja. Asalkan semua ahli waris sejak kecil sudah dididik dengan pendidikan yang Islami
Universitas Sumatera Utara
43
dan dikenalkan ilmu pembagian warisan, maka insyaallah masalahnya mudah sekali. Sebab sejak masih kecil mereka sudah tahu berapa nilai prosentase hak waris yang bakal menjadi miliknya. Tidak perlu ada perbedaan pendapat dalam pembagian warisan. Perbedaan pendapat dalam pembagian warisan terjadi umumnya karena anakanak tidak dididik secara Islami. Kepada mereka tidak pernah dikenalkan ilmu faraidh (bagi waris). Mereka dibiarkan tumbuh dengan sistem jahiliyah yang jauh dari nilai Islam. Bukti pertama kegagalan seorang ayah atas tanggung-jawabnya mendidik anak secara Islami adalah ketika anak-anaknya ribut dan memperebutkan warisan. Keributan itu muncul tatkala mereka berbeda pandangan tentang metode apa yang akan dipakai dalam pembagian warisan itu. Yang satu maunya pakai hukum adat, yang satunya pakai hukum barat, lalu yang lain pakai perasaan dan begitu seterusnya. Perbedaan ini muncul karena sejak dini mereka tidak pernah dikenalkan pada hukum waris Islam. Padahal boleh jadi mereka orang yang berpendidikan dan tidak awan dengan matematika, ilmu hitung dan sejenisnya. Tetapi karena fitrahnya tidak pernah terbina dengan baik, ketika membagi warisan, masuklah nilai-nilai asing ke dalam kehidupan mereka. Dan timbullah pertengkaran.52 Shiddiq al-Gharyani dalam bukunya ‘Fatawa Muamalat asy-Syaiah’ berkata, ‘Menunda dan memperlama proses pembagian harta warisan akan mengakibatkan kelupaan, keteledoran, dan kehilangan, atau terjadi pemanfaatan harta warisan oleh
52
Ahmad Sarwat. Harta Warisan Harus Segera Dibagikan, http://www. Rumah fiqih.com /ust/e2.php?id=1185788956 , diakses tanggal 20 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
44
mereka yang tidak berhak, juga berarti memakan harta dengan cara yang bathil, atau menyia-nyiakan harta dan meremehkan hak orang lain. Ini semua merupakan persoalan yang perlu diwaspadai, sebab seringkali menimbulkan persoalan serius seperti konflik, permusuhan, dan putusnya tali persaudaraan F. Konsep Keadilan dalam Pembagian Warisan Keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hukum tentang kewarisan. Dari berbagai ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas (doktrin) yang disepakati sebagai sesuatu yang dianggap menyiasati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian.53 Asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Asas-asas hukum kewarisan Islam terdiri dari: 1.
Asas Ijbari Asas ijbari dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup tanpa ada perbuatan hukum, atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris semasa hidupnya tidak dapat menolak atau menghalangi terjadinya peralihan tersebut.54
2.
Asas Bilateral 53
Ahmad Rofik, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 6. Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), hal. 207 54
Universitas Sumatera Utara
45
Maksudnya bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu keturunan perempuan maupun laki-laki. 3.
Asas Individual Asas individual berarti setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian warisannya tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.
4.
Asas Keadilan berimbang Asas ini maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antatara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
5.
Kewarisan semata akibat kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya sematamata disebabkan karena kematian.55 Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut
hukum. Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2 : 1 (baca 2 banding 1) antara porsi laki-laki dan perempuan.56 Asas keadilan dalam hukum Kewarisan
Islam mengandung
pengertian
bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris, karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam
55
Suhrawardi K. Lubis. dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam¸ (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 35. 56 Ali Parman. Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 90
Universitas Sumatera Utara
46
bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar- kecilnya beban atau tanggung jawab yang diembankan kepada mereka, dtinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.57 Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan" , atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka akan dilihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam. Rasio perbandingan 2 : 1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara laki -laki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.58 Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/ masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan menjadi tanggung jawab suaminya (laki-laki). Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untuk menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan
57
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo Grafika, 2003), hal. 25. 58 Cholil Umam, Agama Menjawab Tantangan Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
47
anak-anaknya, meskipun ia tergolong mampu/kaya, jika ia telah bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah). Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2 : 1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur : a.
Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b.
Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan waktu, tempat dan kondisi sebagaimana kaidah.59 Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam
diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan
laki-laki
dan
perempuan
dalam
segala
tingkatan
yang
sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan. Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2 : 1 tidak bergeser. Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan porsi 2:1 antara anak lakilaki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut 59
Zainuddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 123
Universitas Sumatera Utara
48
bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab, seperti yang telah diuraikan di atas. 60 Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh bidang ilmu-ilmu sosial memberi pengaruh pandangan para sarjana hukum terutama yang berpandangan hukum bukan hanya dilihat dari legitimasinya, melainkan hukum dipandang juga dari segi efektivitasnya. Hukum tidak hanya mengatur dalam prosedur hukum saja tetapi hukum melihat apa yang dikehendaki oleh masyarakatnya. Hal yang terpenting dalam hukum adalah bagaimana hukum itu dilaksanakan di dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat apabila hukum itu tidak dilaksanakan oleh masyarakat lagi maka hukum tersebut tidak dapat dikatakan hukum lagi. Hukum yang adil adalah hukum yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Tetapi konsep mengenai keadilan oleh sebagian masyarakat masih jauh panggangan dari api yang artinya hukum itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Sehingga muncul berbagai makna tentang keadilan Dalam hukum w a ri s Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan porsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki.
60
ibid
Universitas Sumatera Utara
49
Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karena bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu. Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan porsi 1 : 1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaan dan penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan. G. Penyebab Sebagian Ahli Waris Menguasai Harta Warisan Yang Belum Dibagi Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Kasus waris merupakan kasus yang seringkali muncul setelah pewaris meninggal. Kasus-kasus yang terjadi adalah tentang perebutan harta waris antara ahli waris, yang muncul dengan keinginan untuk memiliki sebagian besar atau seluruh harta warisan yang ditinggalkan. Namun dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak sampai pada perebutan harta warisan, melainkan penyalahgunaan harta warisan sebelum terlebih dahulu harta waris itu dibagi. Sesuai dengan kronologi kasus di atas, apabila ada ahli waris yang ingin memanfaatkan harta warisan sesuai dengan kehendaknya, maka
Universitas Sumatera Utara
50
seharusnya para ahli waris segera mengurus pembagian harta warisan segera setelah si pemilik harta meninggal. Putusan Mahkamah Agung No. 2134 K/Pdt/ 1989 menjadi salah satu kasus yang terjadi, dimana salah satu pihak ahli waris menguasai harta warisan. Kronologis kasus dapat diuraikan berawal dari H. Muhammad Djamil sebagai pewaris (pemilik harta) memiliki 4 (empat) orang anak sebagai ahli waris. Harta warisan terdiri dari beberapa bidang tanah yang saat ini dikuasai oleh salah satu anaknya yang bernama Achdarman, yang juga sekaligus merupakan salah satu ahli waris. Achdarman adalah anak ke empat dari perkawinan H. Muhammad Djamil denga istrinya yang bernama Subangliah . Subangliah lebih dulu meninggal dari H. Muhammad Djamil. Dari perkawinan antara H. Muhammad Djamil dengan Subangliah inilah kehidupan perekonomian rumah tangga mereka mulai meningkat dan dipenuhi harta. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bidang tanah yang saat ini dikuasai oleh Achdarman. Achdarman menganggap bahwasanya beberapa bidang tanah yang saat ini dikuasainya adalah harta dari peninggalan ibunya yang belum terbagi. Pada biasanya sebahagian ahli waris menguasai harta warisan yang belum dibagi karena: 1.
Dia merasa lebih berhak membaginya karena dia anak tertua
2.
Ingin diselesaikan secara adat
3.
Ingin dibagi secara damai
Universitas Sumatera Utara
51
4.
Karena dia merasa bahagian dia lebih sedikit dari ahli waris yang lain.61 Pada kasus di atas, harta warisan berupa 11 (sebelas) bidang tanah beserta
tanaman yang tumbuh di atasnya dikuasai oleh Achdarman. Achdarman mulai menguasai harta warisan tersebut sejak H. Muhammad Djamil meninggal dunia. Penguasaan harta warisan ini dilakukan Achdarman karena Achdarman merasa bahwa harta warisan yang ditinggalkan adalah merupakan harta warisan H. Muhammad Djamil beserta ibunya yang merupakan istri kedua dari Subangliah, sehingga Achdarman merasa lebih berhak dari saudara-saudara lainnya. Diketahui bahwa H. Muhammad Djamil mulai memiliki harta yang banyak sejak perkawinan kedua, sehingga Achdarman menganggap bahwa dia lah yang berhak memiliki harta warisan paling banyak dari ahli waris lainnya. Para pewaris lainnya mencoba melakukan beberapa upaya agar Achdarman mau membagi harta tersebut namun Achdarman tetap bersikeras untuk tidak mau membaginya. Setelah jalan musyawarah tidak menemukan titik terang akhirnya para pewaris lainnya menempuh jalur hukum dengan melayangkan surat gugatan ke pengadilan, dengan maksud agar menemukan jalan keluar yang terbaik. Berdasarkan hasil analisis dengan Hakim Pengadilan Tinggi Medan, yang menjadi alasan ahli waris hingga dia bisa menguasai harta warisan kadangkala hanya kebetulan saja. Kalau dihukum adat biasanya karena anak yang paling kecil diberikan haknya lebih dari anak-anak yang lainnya dan biasanya mendapat rumah yang
61
Hasil diskusi bimbingan dengan Bapak Hasballah Thaib, di Medan
Universitas Sumatera Utara
52
ditempati. Jika secara accidentil biasanya siapa yang memelihara dan merawat orang tua, dialah yang mendapat harta, apabila harta belum dibagi. 62 Selain itu memang ada beberapa alasan khusus bagi pelaku untuk menguasai harta warisan, biasanya karena: 1.
Pelaku ingin menikmati harta itu sendiri
2.
Serakah
3.
Dia merasa anak paling tua dan paling lama merawat orang tuanya. 63 Alasan-alasan di atas juga digunakan Achdarman untuk menguasai dan tidak
mau membagi harta warisan yang dikuasainya. Padahal harta tersebut merupakan harta milik orang tuanya, artinya saudara-saudaranya juga berhak atas harta tersebut, jika orang tuanya meninggal dunia.
62
Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013. 63 Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Manahan, MP, Sitompul SH, M. Hum, Hakim Pengadilan Tinggi Medan, tanggal 05 Januari 2013.
Universitas Sumatera Utara