PEMBAGIAN HARTA WARISAN UNTUK AHLI WARIS YANG BERBEDA AGAMA 1
Drs. Soleman Soleh, MH. .
I. Pendahuluan Agama Islam diturunkan dalam keadaan sempurna, sehingga tidak ada satu permasalahpun yang muncul di dunia ini tidak ada hukumnya. Hukum Islam sesuai dengan perkembangan jaman, tempat dan kondisi, segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam bisa diselesaikan dan diatasi oleh hukum Islam. Sumber hukum Islam yang pertama adalah al-Qur’an dan
sumber hukum Islam yang ke dua adalah al-Hadits,
sedangkan sumber hukum Islam berikutnya adalah ijma’ qiyas atau ijtihad, sebagaimana dijelaskan oleh R asulullah dalam salah satu haditsnya ketika mengutus M uaz bin Jabal ke negeri Yaman. Rasul bertanya kepada Muaz bin jabal “ Bagaimana (cara) kamu menyelesaikan suatu perkara jika diajukan kepadamu ? M uaz menjawab saya akan putuskan dengan Kitab Allah (al-Qur’an), kalau tidak terdapat dalam alQur’an tanya Rasul berikutnya ?, akan aku putuskan dengan sunnah Rasul (hadits), kalau tidak kamu dapati dalam hadits dan dalam al-Qur’an tanya Rasul lebih lanjut ?, M uaz menjawab saya akan berijtihad dengan seksama, atas jawaban Muaz tersebut Rasulullah menepuk-nepuk dada sambil berkata segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kep ada utusan Rasul-Nya jalan yang diridhoi R asulullah”.
2
Perkembangan hukum Islam setelah Rasulullah hanya merupakan perluasan penjabaran dan penganalogikan dari prinsip -prinsip yang sudah ada dalam al-Qur’an dan 1 . 2
Hakim Pengadilan Agama T igaraksa. Pro f. DR.H. Muhammad Amin Suma, MA,. SH. Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Fiqh Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tahun 2002. hal. 73-74
2
al-Hadits, berupa kaidah-kaidah yang universal. Kaidah-kaidah universal tersebut kemudian diterapkan kepada peristiwa-peristiwa baru yang dihadapi oleh hukum Islam dimasa kini. Karena sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi “ al-Hukmu Tagayyurun bi-Tagoyyuri al-Amkan wa al-Ajman” artinya hukum itu akan berubah sesuai dengan perubahan tempat dan perubahan jaman. Dengan demikian perubahanperubahan hukum dalam kaidah hukum Islam dibenarkan, selama tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah umum hukum Islam. Dengan perubahan waktu dan berkembangnya peradaban manusia yang semakin modern, maka kiranya perlu pembaharuan dalam hukum Islam, untuk memecahkan persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, sehingga hukum Islam itu akan tetap hidup dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. B egitu juga hukum kewarisan Islam, tidak luput dari mengalami perkembangan dan pembaharuan yang lebih modern sesuai dengan jamannya, yang kesemuanya itu tidak terlepas dari femahaman ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang bersifat dzanni. Kalau dicermati ada beberapa pembaharuan hukum kewaritsan Islam setelah wafatnya Rasulullah saw, seperti masalah ‘Aul lahir pada jaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, masalah R add dan Gharrawain lahir pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, masalah musyarakah pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, masalah wasiat wajibah ada pada undang-undang kewaritsan M esir, masalah ahli warits pengganti menurut Hazairin yang merupakan fakar hukum Islam Indonesia, dan masih banyak lagi masalah-masalah baru lainnya yang tidak dapat disebut disini. M asalah-masalah baru tersebut muncul karena perkembangan jaman yang semakin komplek, dimana masalah-masalah tersebut belum ditemukan pada jaman R asulullah saw. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan saling waris mewarisi, diantaranya : adanya factor hubungan keluarga, adanya factor perkawinan dan adanya factor 3
memerdekakan hamba sahaya. Factor hubungan perkawinan merupakan
3
Drs. Fatchur Rahman. Ilmu Waris. Bandung? Al-Ma’arif, tahun 1981, hal.120.
salah satu
3
akibat saling waris mewarisi, sehingga dengan perkawinan tersebut mengakibatkan adanya hubungan saling waris mewarisi antara suami istri. Dalam hal perkawinan Allah menghalalkan seorang laki-laki M uslim mengawini seorang perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayar 5. Kalau Allah menghalalkan perkawinan seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita kitabiyah, maka bisa ditafsirkan bahwa Allah menghalalkan pula akibat-akibat hukum dari perkawina tersebut, termasuk juga masalah kewarisannya, karena tidaklah adil jika Allah menghalalkan perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perepuan kitabiyah tetapi mengharamkan kewarisannya. Dalam hadits Rasulullah saw yang artinya “tidak saling mewarisi antara yang muslim kepada yang kafir, dan tidak saling mewarisi pula antara yang kafir kepada yang muslim”
Kalau difahami
secara tekstual antara al-Qur’an surat al-Maidah ayat 5
dengan hadits nabi tersebut di atas, seolah-olah saling bertengangan, disatu sisi halalnya laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah, tetapi disisi lain tidak saling mewarisi antara orang muslim dengan orang kafir. Dalam kasus terjadi bertentangan menurut akal kita, antara satu dalil dengan dalil yang lain, maka disinilah perlunya ijtihad untuk memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat manusia, sebab pada dasarnya maqashidu as-syar’i adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dalil-dalil yang universal atau dalil-dalil yang saling bertentangan menurut akal kita, adalah merupakan lapangan ijtihad, tugas kita adalah untuk berijtihad dalam mentafsirkan dalil-dalil universal atau dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut kepada keadaan yang kita hadapi sekarang. Oleh karena itu dalam tulisan ini, selain membahas Pembagian harta warisan untuk anak Pewarits yang beragama ahli kitab (Kristen dan Yahudi) dan pemeluk agama lainnya, Penulis juga akan membahas tentang perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah, kemudian Penulis akan mencoba untuk meneliti, menganalogi dalil-dalil tersebut, mana yang lebih kuat dan lebih maslahat bagi umat manusia sekarang ini.
4
II. Permasalahan Dalam hukum Islam pusaka mempusakai mempunyai pungsi yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan keutuhan keluarga, beralihnya harta si mati kepada yang masih hidup adalah sebagai manipestasi kasih sayang sesama keluarga. Adalah sangat bijaksana sekali jika pengalihan harta simati kepada orang yang lebih dekat dan banyak memberikan bantuan semasa hidupnya, atau kepada orang-orang yang dicintainya. Akan tetapi apakah orang-orang yang sangat dicintai, orang-orang yang sangat dekat atau orang-orang yang paling banyak membantu semasa hidupnya akan terhalang kewaritsannya lantaran ahli waritsnya beragama lain selain Islam terutama Yahudi dan Nasrani. Padalah Allah menghalalkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah. Kita belum bisa memahami secara qot’i perbedaan antara ayat 5 surat alM aidah dengan hadits Nabi tensebut di atas. Karena kedua dalil tersebut memerlukan ijtihad, sedangkan hasil dari ijtihad mesti akan berbeda antara yang satu dengan yang lain, sesuai dengan situasi kondisi dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Hasil ijtihad dari dua dalil yang saling bertentangan tersebut di atas, ada tiga kemungkinan, kemun gkinan pertama orang muslim tidak saling mewarisi dengan orang kafir atau sebaliknya, kemungkinan ke dua orang muslim saling mewarisi dengan ahli kitab, sedangkan kemungkinn ketiga orang muslim mewarisi kepada semua agama tetapi tidak untuk sebaliknya. Ke tiga kemungkinan tersebut adalah merupakan hasil ijtihad dari memahami dalil-dalil yang diuraikan di atas, yang secara ilmiah kita tidak bisa menolaknya atau menapikannya sama sekali, karena ke tiga kemungkinan tersebut diambil dari dalil yang sama, sehingga nilai kebenarannya dan kesalahannya adalah sama pula, kebenaran yang mutlak hanya Allah yang mengetahuinya, tugas kita adalah menggali hukum dan menterapkannya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada sekarang ini. Persoalan lainnya yang perlu dibahas dari bunyi hadits “tidak saling waris mewarisi antara yang muslim kepada yang kafir dan tidak mewarisi pula orang yang kafir dengan yang muslim” adalah kalimat kafir itu sendiri. Apakah yang dimaksud
5
kafir dalam hadits di atas adalah selain muslim, atau hanya penyembah berhala saja bukan ahli kitab ?. Dengan demikian ada dua kemungkinan dari kaliman “kafir” dalam hadits tersebut di atas, kemungkinan pertama yang dimaksud dengan “kafir” dalam hadits adalah pemeluk agama selain Islam, sedangkan kemungkinan ke dua adalah penyembah berhala (politeisme) bukan ahli kitab. Akan tetapi apakah kedua kemungkinan tersebut sama-sama tidak mendapatkan waritsan sama sekali dari pewarits yang muslim. Yang sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dimana ketika menikah pasangan suami istri beragama Islam, tetapi setelah berumah tangga dan telah dikaruniai keturunan, salah satu pihak kembali keagama semula yaitu Kristen, dan anak-anak pasangan suami istri tersebut ikut dengan orang tua y ang beragama Kristen. Dalam kasus seperti ini apakah anak yang beragama Kristen tidak mendapatkan warisan dari orang tua yang beragama Islam.
Oleh karena itu dari permasalahan-permasalahan
tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang perlu dibahas dalam makalah ini, dan jika dibuat dalam bentuk pertanyaan, maka akan tergambar beberapa rumusan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Sampai sejauh mana kehalalan seorang laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah kaitannya dengan kewaritsan yang berbeda agama ? 2. Apa yang dimaksud dengan perkataan kafir dalam hadits Nabi tersebut di atas, 3. Apakah perbedaan agama mutlak menjadi penghalang saling warits mewaritsi, terutama antara seorang muslim dengan ahli kitab ?
III. Pembahasan A. Hukum perkawinan dengan ahli kitab. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kewaritsan yang anak pewaritsnya beragama Kristen, maka terlebih dahulu
akan dikemukakan beberapa dalil atau
pendapat para ulama mengenai hukum perkawinan dengan ahli kitab, karena letak permasalahannya adalah akibat dari perkawinan itu sendiri, dimana dengan adanya perkawinan mengakibatkan adanya hukum saling warits mewaritsi.
6
Al-Qur’an surat al-Maidah ayat yang artinya “ pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik makanan (sesembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, jika kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud untuk menikahinya tidak dengan berzina dan tidak pula menjadikan gundik-gundik. Barang siapa kapir sesudah beriman (tidak menerima hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan di hari akhir termasuk orang-orang yang merugi. 4 Para ulama pada dasarnya telah sependapat bahwa laki-laki muslim diperbolahkan (dihalalkan) menikahi perempuan-perempuan yang baik dari kitabiyah (yahudi dan nrani), para ulama juga tidak menjelaskan status kitabiyah itu sendiri, apakah kitabiyah yang hidup sebelum M uhammad diutus sebagai Rasul atau kitabiyah yang hidup setelah Muhammad diutus sebagai Rasul. Sebab kenyataannya dalam sejarah, bahwa agama Nasrani telah diselewengkan ajarannya sejak abad ke empat masehi setelah diadakan beberapa kali konprensi untuk memecahkan tentang ajaran Trinitas, dimana menurut ajaran trinitas Tuhan ada dalam tiga dimensi (tidak esa), yang terdiri dari Tuhan bapak (Allah), Ruhul kudus (malaikat) dan Tuhan anak (Isa). Konprensi pertama tahun 325 masehi di Niecea
dan konprensi ke dua di
Konstantinopel tahun 381 masehi telah disepakati bahwa Tuhan Anak dan Roh Kudus sama-sama dengan B apak dalam satu Ketuhanan, bahwa Anak adalah putra yang azali dari Bapak dan Roh Kudus memancar dari Bapak. Konprensi ke tiga tahun 451 masehi di Chalcedon dan konpreni ke empat tahun 569 masehi di Toledo telah disepakati bahwa Roh Kudus tidak hanya memancar dari Bapat, tetapi juga manancar dari Anak Ahmad M usthafa al-Maraghi tidak membedakan antara ahli kitab yang hidup sebelum nabi Muhammad diutus sebagai Rasul atau ahli kitab yang hidup setelah nabi M uhammad diutus sebagai rasul, sebab penyelewengan agama Nasrani terjadi jauh sebelum nabi Muhammad diutus sebagai Rasul. Dengan demikian Ahmad M usthafa al4
. Departeman Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalam Press. 1992
7
M araghi berpendapat bahwa “dihalalkan laki-laki mukmin untuk menikahi perempuanperempuan mukmin yang merdeka dan halal juga menikahi perempuan-perempuan yang merdeka diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu, baik yang hidup sebelum nabi M uhammad diutus sebagai Rasul ataupun yang hidup setelah nabi M uhammad diutus sebagai Rasul, seperti Yahudi dan Nasrani, apabila kamu bermaksud menikahi wanita-wanita yang menjaga diri dari ahli kitab setelah memberikan maskawinnya”.
5
M uhammad Ali as-Shabuni menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat “dibenarkan/halal bagi kita untuk mengawini wanita-wanita kitabiyah, baik yahudi maupun nasrani, karena ayat 5 surat al-M aidah tersebut merupakan dalil yang tegas yang 6
disepakati oleh jumhur ulama ” . M uhammad Ali as-Shabuni tidak membedakan antara wanita kitabiyah yang hidup sebelum nabi Muhammad diutus sebagai rasul atau wanita kitabiyah yang hidup setelah nabi M uhammad diutus sebagai rasul. Sedangkan Ibnu Umar melarang laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, karena dikhawatirkan suami atau anak-anaknya akan dapat dipengaruhi oleh istrinya untuk masuk agama istrinya, tetapi jika tidak ada kehawatiran sebagaimana tesebut di atas, maka tidak ada dalil yang mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan 7
perempuan kitabiyah.” . Pendapat Ibnu Umar tersebut hanya sebatas kekhawatiran saja, bukan sebagai larangan yang mutlak, jika kekhawatiran tersebut tidak ada, maka tidak ada larangan laki-laki musli m menikahi wanita kitabiyah. M ajelis Ulama Indonesia menjelaskan “Tentang perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab terdapat perbedatan pendapat, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak boleh, setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari pada maslahatnya, maka M ajelis Ulama Indonesia menfatwakan
5
. Ahmad musthafa al -Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Makatul Mukaramah : Maktabah Tijariyah, zuj 6, hal. 59. Menurut Imam Han afi d engan bol ehnya m enikahi perempuan kitabiy ah, maka boleh pul a hak warits mewaritsi antara muslim dengan perempuan kitabiyah. 6
. M uhammad Ali Al- Shobuni Rawa’i al—Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam. M uassasah M anahi al-Irfan: Bairut. Libanon. Cet III.Jilid I. Th. 1981, hal. 538. 7
. Bakar Ahmad bin Ali al-Rozi al-Jashosh, Ahkam Al-Qur’an. Isa al-Bari al-Halabi. Kairo, Mesir: Jilid I, th. 1953.
8
8
perkawinan tersebut haram”. . M ajelis Ulama Indonesia mengharamkan perkawinan seorang laki-laki muslim dengan wanita kitabniya (baik Yahudi maupun Nasrani) karena kodnisi saat itu sekitar tahun 1980 sedang ramainya kristenisasi, termasuk juga kristenisasi melalui perkawinan. Dimana pada saat itu perempuan Kristen ataupun lakilaki Kristen yang mau menikah dengan perempuan muslim atau laki-laki muslim terlebih dahulu masuk agama Islam, tetapi setelah perkawinannya dikaruniai keturunan, maka yang beragama Kristen kembali lagi ke agama Kristen dengan mengajak istri, suami dan anak-anak yang muslim untuk memeluk agama Kristen. Kekhawatiran M ajelis Ulama Indonesia pada saat itu memang sangat beralasan, karena banyak perempuan muslim atau laki-laki muslim yang beralih agama ke agama Kristen, karena mengukuti agama suami atau agama istri yang kembali ke agama Kristen, kalaupun suami atau istri tetap bertahan dengan agama
Islam, maka
perkawinan akan diakhiri dengan perceraian, dan suami atau istri yang Kristen akan membawa anak-anak dari hasil perkawinan secara Islam. M uhammad Daud Ali
menjelaskan “ hak dan kewenangan yang diberikan
Allah kepada pria muslim pada ayat 5 surat al-M aidah tidak boleh ditafsirkan serampangan berdasarkan emosi dan keinginan manusia, baik perorangan maupun kelompok, dengan menyatakan secara ekplisit kepada pria muslim secara inplisit diberikan pula kepada wanita muslim untuk mengawini pria non muslim khususnya ahlil kitab, tafsiran seperti ini tidak dibenarkan, karena ayat tersebut memberikan dispensasi hanya kepada pria muslim tidak kepada wanita muslim”.
9
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa para ulama telah sepakat halalnya laki-laki muslim untuk menikahi perempuan kitabiyah, baik Yahudi atapun Nasranai, para ulama juga tidak membedakan apakah kitabiyah tersebut yang hidup sebelum diutus nabi M uhamad Saw atapun setelah nabi M uhammad Saw 8
. Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-keputusan Musyawarah Nasional, Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, th. 1980, hal. 66. 9
..Muhammad Daud Ali. Sikap negara dalam mewujudkan perlindungan hukum warganegara dan perekawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Mimbar hukum: nomor 5, th. 1992, hal. 70
9
diutus. Ibnu Umar memang melarang laki-laki muslim untuk menikahi perempuan kitabiyah, tetapi larangan Ibnu Umar tersebut tidaklah bersifat mutlak, larangan tersebut hanya ada kehawatiran jika istri yang kitabiyah dapat mempengaruhi suami dan anakanaknya untuk masuh agama istrinya, tetapi jika tidak ada kehawatiran, maka tidak ada larangan laki-laki muslim untuk menikahi perempuan kitabiyah.
B. Hukum kewarisan dengan orang kafir/ ahli kitab Setelah Penulis membahas tentang perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan kitabiya (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana telah disebutkan di atas, yang intinya bahwa laki-laki M uslim dihalalkan untuk menikahi wanita kitabiyah baik yahudi atapun Nasrani. Selanjutnya Penulis juga akan membahas
tentang kewarisan antara
orang-orang yang berbeda agama, baik antara orang muslim dengan kitabiyah (yahudi dan nasrani), maupun antara orang muslim dengan agama lainnya, karena ada kaitannya dengan kalimat “ kafir “ dalam hadits nabi tersebut di atas, sebab kalimat “kafir” mengandung pengertian untuk pemeluk agama selain Islam, baik ahli kitab (yahudi dan nasrani) maupun agama lainnya. Dalam soal kewarisan bila dihubungkan dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan M uslim dari Usamah bin Zaid, yang berbunyi “tidak saling mewarisi antara orang muslim dengan orang kafir dan tidak saling mewarisi pula antara orang kafir dengan oran g muslim”. M aka dari kalimat kafir itu sendiri akan timbul beberapa pengertian dalam soal kewarisan, karena kalimat kafir sebagaimana tersebut di atas, masih memerlukan penjelasan yang lebih mendalam. Oleh karena itu jika difahami dari kalimat kafir, akan timbul beberapa pengertian dalam soal kewarisan, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
1. Kewarisan antara orang muslim dengan orang kafir Jika yang dimaksud kafir dalam hadits tersebut di atas adalah pemeluk agama politeisme (banyak tuhan), maka para ulama fiqh telah sepakat bahwa orang muslim tidak saling mewarisi dengan orang kafir penyembah tuhan banyak (politeisme)
10
sebagaimana disebutkan oleh hadits tersebut di atas. Larangan saling waris mewarisi antara orang muslim dengan orang kafir sebagaimana digambarkan oleh hadits Nabi tersebut di atas, asbabul wurudnya adalah berkenaan dengan ketika Abu Thalib meninggal dunia dengan meninggalkan 4 orang anak, masing-masing bernama Ali, Ja’far, Uqail dan Thalib. Ali dan Ja’far masuk agama Islam, sedangkan Uqail dan Thalib penyembah berhala (kafir).
Rasulullah
membagikan harta pusaka Abu Thalib yang masih kafir kepada Uqail dan Thalib bukan kepada Ali dan Ja’far. Dari peristiwa di atas, bahwa Nabi hanya membagikan harta peninggalan Abu Talib kepada anaknya yang masih kafir yaitu Uqail dan Thalib, sedangkan Ali dan Ja’far tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, dengan alasan karena Ali dan Ja’far telah memeluk agama Islam.
Kalau diperhatikan secara mendalam bahwa kekafiran Abu
Thalib dan dua orang anaknya yang bernama Uqail dan Thalib adalah penyembah berhala (monoteisme), karena memang pada waktu awal-awal Islam datang masyarakan Arab terutama M akkah menganut ajaran agama politeisme (banyak tuhan) sebagai penyembah patung, sehingga bisa difahami bahwa yang dimaksud kafir dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori M uslim dari Usamah bin Zaid adalah kafir penyembah Tuham banyak (politeisme), bukan penyembah tuhan satu (monoteisme). Jika yang dimaksud dengan larangan saling mewarisi antara orang Islam dengan orang kafir dalam hadis Bukhori Muslim tersebut di atas adalah antara orang muslim dengan orang kafir karena menganut tuhan banyak (politeisme), maka larangan saling mewarisi tersebut telah relevan dengan larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan kafir karena penyembah tuhan banyak (politeisme) sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa laki-laki muslim dilarang menikahi perempuanperempuan musyrik, kecuali perempuan-perempuan musyrik tersebut telah beriman. Asbabun nuzul dari ayat 221 surat al-Baqarah tersebut adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi
ketika pembebasan M akkah, Murtsid al-Ghanawi tertarik
kepada seorang perempuan cantik yang bernama Anaq, sehingga peristiwa tersebut
11
diadukan kepada Rasulullah, maka turunlah ayat 221 surat al-Baqarah. Larangan Allah
untuk menikahi perempuan cantik yang bernama ‘ Anaq
sebagaimana di jelaskan dalam ayat 221 surat al-Baqarah, karena ‘Anaq bukan orang yang beriman kepada Allah (kafir), ‘Anaq adalah penyembah berhala. Dengan demikian sangat relevan dan tepat yang di maksud firman Allah dalam ayat 221 surat al-Baqarah dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori M uslim dari Usamah bin Zaid bahwa yang dimaksud
kafir dalam hadits tersebut di atas, adalah penganut ajaran
politeisme, bukan penganut ajaran agama monoteisme.
2. Kewarisan antara orang M uslim dengan Ahli Kitab Para ulama berbeda pendapat mengenai kewarisan antara orang muslim dengan ahli kitab, sebagian ulama berpendapat antara orang muslim dengan orang ahli kitab tidak saling waris mewarisi, sedangkan sebagian lagi berpendapat saling mewarisi. Pendapat yang tidak saling waris mewarisi antara orang muslim dengan orang ahli kitab beralasan dengan hadis nabi tersebut di atas, menurut mereka orang ahli kitab disamakan dengan orang kafir pada umumnya, karena konotasi kafir adalah untuk orang penganut agama diluar agama Islam, tidak membedakan apakah penganut agama monotisme maupun agama politeisme. Sedangkan pendapat yang saling waris mewarisi antara orang muslim dengan ahli kitab
beralasan karena bolehnya perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan kitabiyah. M enurut ulama yang membolehkan saling waris mewarisi antara muslim dengan ahli kitab dengan menganalogikan dibolehkannya perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah (yahudi dan nasrani), baik yang hidup sebelum nabi Muhammad diutus sebagai rasul maupun setelah nabi M uhammad diutus sebagai rasul, membawa pengaruh besar terhadap pemahaman hukum yang berkaitan dengan akibat dari perkawinan itu sendiri. Sebab menurut pemahanam akal fikiran manusia yang serba terbatas, jika Allah telah membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah (yahudi dan nasrani), maka akal fikiran kita akan berkata Allah membolehkan pula akibat hukum dari dibolehkannya perkawinan antara laki-laki
12
muslim dengan perempuan kitabiyah (yahudi dan nasrani), diantara akibat hukum dari perkawinan adalah masalah kewarisan. M anusia pada dasarnya tidak mengetahui
apa kehendak Allah dari
dihalalkannya menikahi wanita kitabiyah, baik Yahudi maupun Nasrani. Apakah dengan dihalalkannya pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah menyebabkan dibolehkannya kewarisan antara suami yang muslim dengan istri yang kitabiyah serta anak-anak yang dilahirkannya. Atau sebaliknya sekalipun Allah telah menghalalkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah, tetapi dalam hal kewarisan Allah melarangnya. Begitu juga kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dikehendaki oleh hadits Nabi yang berbuyi “tidak saling mewarisi antara orang yang muslim dengan yang kafir dan sebaliknya tidak saling mewarisi antara yang kafir dengan yang muslim”. Apakah yang dimaksud dengan kalimat kafir dalam hadits tersebut di atas ditujukan kepada penyembah tuhan banyak (politeisme) atau juga ditujukan kepada pemeluk agama tauhid yang telah menyelewengkan ajaran ketauhidannya. Asbabul al-wurud hadis di atas adalah berkenaan dengan kewarisan Abu Thalib kepada anak-anaknya, yaitu Uqail, Thalib, Ali dan Ja’far. Nabi membagikan karta peninggalan Abu Thalib yang kafir kepada ahli waris yang masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib tidak kepada Ali dan Ja’far, karena Ali dan Ja’far telah memeluk agama Islam. Kekafiran Abu Thalib, Uqail dan Thalib adalah penyembah patung (politeisme) bukan penanut agama Yahudi dan Nasrani (monoteisme), oleh karena itu mempersamakan kata kafir dalam hadis tersebut di atas dengan
kafir
kepada ahli kitab dalam soal
kewarisan tidaklah tepat, karena asbabul wurudnya juga tidak tepat. Imam Abu Hanafi berpendapat “ dengan bolehnya menikahi perempuan kitabiyah, maka boleh pula hak waris mewarisi
antara laki-laki muslim dengan
10
perempuan kitabiyah. . Abu Hanifah beralasan kebolehan laki-laki muslim menikahi
10
Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahidin, dalam terjemahan Abd. Rahman d an A.Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa, hal. 497
13
wanita kitabiyah sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an ayat 5 surat al-Maidah adalah sangat jelas, oleh karena itu kewarisan laki-laki muslim yang menikahi perempuan kitabiyah sangat jelas pula. Dengan demikian dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, maka boleh pula saling waris mewarisi antara lakilaki muslim dengan perepuan kitabiyah ataupun dengan turunannya. M enurut M u’az, Mu’awiyah, M uhammad Ibnu Hanafiyah, Ali Ibnu Husain, Said Ibnu M usaiyyad dan fuqaha Syiah Imamiyah menjelaskan bahwa “larangan pusaka mempusakai karena perbedaan agama itu tidak mencakup larangan bagi orang Islam mewarisi kerabatnya yang non M uslim. Oleh karena itu apabila seorang istri kafir kitabiyah wafat, sadangkan suaminya yang beragama Islam peninggalannya.
dapat mengarisi harta
11
Begitu juga pendapat Imam Tsaur, jumhur ulama Kuffah dan kebanyakan ulama Basrah menyatakan “orang murtad itu mewaritsi dengan ahli warits orang yang memeluk agama Islam, pendapat ini diperkuat
oleh Ali bin Abi Thali dan Ibnu
12
M as’ud”. . Maksud dari pendapat ini adalah orang yang telah memeluk agama Islam, kemudian beralih ke agama lain (murtad), maka dia tetap mewaritsi kepada ahli waris yang beragama Islam, begitu juga saling mawarisi antara arang Islam dengan ahli kitab, karena dasar saling waris mawarisi antara laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah sudah jelas. Ulama-ulama yang membolehkan pusaka-mempusakai antara laki-laki Muslim dengan istrinya yang kitabiyah, menganalogikan dengan firman Allah dalam surat alM aidah ayat 5, y aitu jika orang Islam diperkenankan menikahi perempuan kitabiyah, maka begitu pula dalam masalah kewarisan diperkenankan pula untuk saling mewarisi. M ereka berpendapat
tidaklah tepat jika dalam pernikahan antara laki-laki muslim
dengan perempuan kitabiya diperkenankan, tetapi dalam hal kewarisan tidak
. 11 12
. Fatchur Rahman, Ilmu Waris , Al-Ma’arif . Bandung: th. 1981 . hal. 99 Ibnu Rusy, Op-cit, hal. 196.
14
diperkenankan. Dari uraian tersebut di atas, pada intinya sebagian para ulama fiqh atau ahli hukum Islam, mengakui adanya kewarisan yang ahli warisnya orang kafir (kitabiyah atau murtad) dengan orang Islam. Oleh karena masih terjadi perselisihan dikalangan para ulama fiqh tentang kewarisan ahli kitab, maka tidaklah salah jika ada yang berpendapat bahwa ahli kitab sekarang (yahudi dan Nasrani) saling mewarisi dengan orang muslim. Perbed aan pendapat tersebut adalah sangat wajar, karena dalil nash yang berkenaan dengan kewarisan antara orang Islam dengan ahli kitab masih bersifat ijmali (umum),
bahkan secara tektual (lahiriyah) saling bertentangan antara nash hadits
dengan nash al-Qur’an. Terhadap nash-nash yang ijmali atau saling bertentangan secara tektual, pada dasarnya akal manusia tidak bisa menjangkau kehendak Allah dalam ayat tersebut, tetapi perlu diingat kewajiban manusia adalah untuk menggali, mengkaji dan menganalisa dalil-dalil al-Qur’an dan dalil-dalil al-Hadits yang berhubungan dengan kewarisan maupun yang berhubungan dengan perkawinan, karena perkawinan merupakan salah satu sebab terjadinya saling waris mewarisi.
C. Pengertian Kafir dalam Hadits Nabi Dalam beberapa literatur Islam bahwa yang dimaksud dengan kata “Kafir” menurut bahasa adalah “menutupi sesuatu”, sedangkan kafir menurut istilah adalah “ orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran Islam dan keluar dari agama Islam”.
13
Dalam literatur Islam bahwa kata “kafir” ditujukan kepada setiap orang yang memeluk agama selain Islam, baik untuk orang yang menganut agama monotisme (satu tuhan) seperti Nasrani dan Yahudi (ahli kitab) maupun untuk orang yang menganut agama politeisme (banyak tuhan), seperti Hindu, Budha, kongfuchu dan lain sebagainya. Dari kedua jenis agama tersebut di atas, baik yang monotisme (satu tuhan) seperti Yahudi dan Nasrani ataupun yang politeisme (banyak tuhan) seperti Hindu, Budha, kongfuchu dan lain sebagainya. Allah memberikan gambaran yang berbeda,
13
. Abdul Azis Dahlan…(et al).Ensiklopedi Hukum Islam , PT .Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1996, Jilid 3, tahun1996, hal. 856
15
artinya Allah membedakan kekafiran ahli kitab (Yahudi dan Nasranai) dengan kekafirannya orang yang menganut agama politeisme (banyak tuhan), sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam al-Qur’an ayat 6 surat al-Bayinah yang artinya sebagai berikut: “ Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya. M ereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk”. Dari keterangan ayat tersebut di atas, dapat difahami bahwa ada p erbedaan antara kafir dari ahli kitab (monotisme) dengan orang musyrik (politeisme). Istilah kafir digunakan untuk penganut agama monotisme, sedangkan istilah musyrik digunakan untuk penganut agama politeisme, padahal ke dua jenis agama tersebut sama-sama dikatagorikan sebagai kafir, hanya saja kekafiran dari ahli kitab (monoteisme) tidak sejak dari awal, karena agama ahli kitab pada awalnya mengakui adanya keesaan Allah. Sedangkan kekafiran orang musyrik (politeisme) sejak dari awal, karena agama ini sejak 14
dari awal mengakui adanya banyak tuhan . Untuk lebih jelas coba bandingkan antara ayat 221 surat al-Baqarah dengan ayat 5 surat al-M aidah sebagai berikuta di bawah ini. Ayat 221 surat al-Baqarah yang artinya berbunyi : dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Ayat 221 surat al-Baqarah tersebut diatas asbabun nuzulnya adalah berkenaan dengan permohonan Ibnu Abu Murtsid al-Ghanawi untuk meminta izin kepada Rasulullah untuk menikahi mawita musyrik yang cantik dan terpandang, maka turunlah ayat ini dan Rasulullah melarang Ibnu Abu M urtsid untuk menikahi wanita cantik 14
. Moh. Rifai. Perbandingan Agama . Wicaksana : Semarang. T ahun 1984
16
tersebut sebelum beriman kepada Allah. Wanita cantik dimaksud adalah masih menganut agama politeisme penyembah berhala yang dipasang disekeliling ka’bah, karena pada waktu itu penduduk kota M ekkah masih menganut agama politeisme. Larangan
menikahi wanita musyrik (agama politeisme) yang terkandung
dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah untuk selamanya (abadi), kecuali perempuan musyrik tersebut telah beriman (masuk Islam). Dapat difahami bahwa keharamannya disebabkan karena sejak dari awal agama politeisme mengakui adanya tuhan banyak, sehingga kemusyrikannya menyebabkan kehar aman untuk selama-lamanya. Sedangkan ayat 5 surat al-Maidah berbunyi : Artinya: pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.. Ayat 5 surat al-M aidah tersebut di atas asbabun nuzulnya adalah berkenaan dengan masalah makanan dan sesembelihan ahli kitab, dimana ayat ini masih berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat 3 surat al-M aidah. Yang pada dasarnya
ayat 3 surat al-M aidah telah menyebutkan binatang-binantang yang
diharamkan kepada kaum muslimin untuk dimakan, bahkan termasuk anjingpun oleh Rasulullah diperitahkan untuk dimusnahkan, karena rumah yang didapati anjing tidak akan dirahmati M alaikat. Yang akhirnya orang-orang bertanya kepada Rasulullah dengan pertanyaan “jadi apalagi yang dihalalkan bagi kami ?”, maka turunlah ayat 4 dan ayat 5 surat al-M aidah. Pada intinya ayat 4 dan ayat 5 surat al-M aidah menerangkan bahwa tangkapan binatang buas yang telah dididik seperti anjing, hasil tangkapannya halal untuk dimakan oleh orang M uslim, sesembelihan orang ahli kitab (yang diberi kitab) seperti nasrani dan
17
yahudi halal untuk dimakan oleh orang M uslim dan wanita-wanita kitabiyah (yahudi dan nasrani) halal dinikahi oleh laki-laki Muslim. Kehalalan wanita kitabiyah untuk dinikahi oleh laki-laki M uslim adalah sangat jelas dalam nash al-Qur’an, dan para ulama telah sepakat menerimanya tanpa memperselisihkan kitabiyah sebelum R asulullah diutus atau setelah Rasulullah diutus. Jadi sangat jelas bahwa perbedaan antara ayat 221 surat al-Baqarah dengan ayat 5 surat al-M aidah, dimana dalam ayat 221 haram menikahi wanita musyrik, yaitu wanita penganut agama politeisme (tuhan banyak) bagi laki-laki Muslim, seperti agama Hindu, Budha , Shinto, Khongfuche dan lain-lain. Sedangkan ayat 5 surat al-M aidah dihalalkan laki-laki M uslim menikahi wanita kitabiyah, penganut agama monotisme (tuhan satu), seperti agama nasrani dan agama yahudi. Dengan demikian secara umum pengertian kafir dapat diartikan “ orang-orang yang ingkar terhadap kebenaran Islam dan keluar dari agama Islam, yang ditujukan kepada setiap orang yang memeluk agama selain Islam, baik untuk orang yang menganut agama monotisme (satu tuhan) seperti Nasrani dan Yahudi (ahli kitab) maupun untuk orang yang menganut agama politeisme (banyak tuhan), seperti Hindu, Budha, kongfuchu dan lain sebagainya. Tetapi pengertian kafir menurut hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori M uslim dari Usamah bin Zaid adalah penganut agama politeisme (banyak tuhan) bukan penganut agama monoteisme (tuhan esa), karena asbabul wurud dari hadits ini adalah berkenaan dengan pembagian waritsan dari orang yang menganut agama politeisme (penyembah tuhan banyak).
IV. Kesimpulan Dari pembahasan sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya para ulama telah sepakat tentang halalnnya laki-laki M uslim menikahi wanita kitabiyah. Dengan demikian karena laki-laki muslim halal menikah i wanita kitabiyah, maka sebagian ulama membolehkan pula waris mewarisi antara orang muslim dengan kafir kitabiyah. Oleh karena itu perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling waris mewarisi terutama dengan ahli kitab.
18
Perbedaan makna antara ayat 5 surat al-Maidah dengan hadits nabi tentang kalimat ‘Kafir”, dari teks hadits yang artinya “ tidak saling mewarisi antara yang muslim dengan yang kafir, begitu juga sebaliknya”, setelah dianalogikan dengan dalildalil lain, maka yang dimaksud kafir dalam hadits tersebut adalah penyembah berhala, yang dikenal dengan agama ardi atau agama politeisme, agama yang diciptakan oleh manusia, kekafirannya sejak awal. Sedangkan ahli kitab tidak dimaksud kafir dalam hadits tersebut di atas, sebab ahli kitab menganut agama samawi (agama dari Allah), walaupun dianggap kafir, maka kekafirannya tidak sejak dari awal, kekafirannya hanya masalah persepsi tentang adanya Allah kaitannya dengan Nabi Isa. Oleh karana kekafiran tidak sejak dari awal, maka dibolehkan saling warits mewaritsi antara orang tua yang muslim dengan anaknya yang ahli kitab. Alasan lainnya adalah asbabul wurud dari hadits Nabi sebagaimana tersebut di atas, berkenaan dengan ketika Abu Thalib meninggal dunia dengan meninggalkan 4 orang anak, masing-masing bernama Ali, Ja’far, Uqail dan Thalib. Ali dan Ja’far memeluk agama Islam, sedangkan Uqail dan Thalib penyembah berhala (kafir). Rasulullah membagikan harta pusaka Abu Thalib yang masih kafir penyebah patung (politeisme) kepada Uqail dan Thalib bukan kepada Ali
dan Ja’far. Nabi hanya
membagikan harta peninggalan Abu Talib kepada anaknya yang masih kafir yaitu Uqail dan Thalib, sedangkan Ali dan Ja’far tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya, dengan alasan karen a Ali dan Ja’far telah memeluk agama Islam. Kalau diperhatikan secara mendalam bahwa kekafiran Abu Thalib dan dua orang anaknya yang bernama Uqail dan Thalib adalah penyembah berhala (politeisme), karena memang pada waktu awal-awal Islam datang, masyarakat Arab terutama Makkah menganut ajaran agama politeisme (banyak tuhan) sebagai penyembah patung. Dengan demikian dapat difahami bahwa yang dimaksud kafir dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Usamah bin Zaid adalah kafir penyembah Tuham banyak (politeisme), bukan penyembah tuhan satu (monoteisme). Dengan demikian dapat diperjelas kembali bahwa karena perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan kitabiyah dibolehkan, maka dibolehkan pula saling waris
19
mewarisi antara suami yang muslim dengan perempuan yang kitabiah, begitu juga saling mawariskan dari anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan antara laki-laki yang muslim dengan perempuan yang kitabiyah. Dengan demikian menurut penulis anakanak yang beragama ahli kitab seperti yahudi dan nasrani, bisa mendapatkan bagian dari orang tuanya yang muslim melaui dua kemungkinan, kemungkinan pertama adalah sebagai ahli warits karena sahnya perkawinan dengan ahli kitab, kemungkinan ke dua melalui wasiat wajibah, tetapi harus memilih salah satunya bukan kedua-duanya. Sedangkan untuk anak yang kafir (agama politeisme) tidak saling mewaritsi dengan orang tuanya yang muslim, oleh karena itu anak pewarits yang kafir (agama politeisme) tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya yang muslim, tetapi boleh mendapatkan bagian dari orang tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah. Bolehnya hibah kepada orang non muslim dapat dianalogikan bolehnya wasiat wajibah kepada non muslim terutama kepada anaknya yang non muslim. Karena wasiat wajibah merupakan adanya keterikatan hubungan darah yang sangat dekat antara orang tua dengan anaknya, oleh karena itu sangat wajar seorang anak pemeluk agama politeisme mendapat warisan dari orang tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah.
DAFTAR PUS TAKA -
Prof. DR.H. Muhammad Amin Suma, MA,. SH. Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Fiqh Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Tahun 2002..
-
Drs. Fatchur Rahman. Ilmu Waris. Bandung? Al-Ma’arif, tahun 1981,
-
Syekh Sayid Sabiq. Fiqh al Sunah. Bairut.Libanon: Daar al-Fikr. Tahun 1983, Jilid 3.
-
Departeman Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah Press. Tahun 1992.
-
Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-keputusan Musyawarah Nasional, Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, th. 1980.
-
Muhammad Daud Ali. Sikap negara dalam mewujudkan perlindungan hukum warganegara dan perekawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Mimbar hukum: nomor 5, th. 1992,
20
-
Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahidin, dalam terjemahan Abd. Rahman dan A.Haris Abdullah, Semarang: Asy-Syifa, tt.
-
Mohammad Ismail as-San’ani, Subu al-Salam. Bandung: Dahlan Zuj 3, tt.,
-
Muhammad Ali Al- Shobuni Rawa’i al—Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam. M uassasah Manahi al-Irfan: Bairut. Libanon. Cet III.Jilid I. Th. 1981.
-
Bakar Ahmad bin Ali al-Rozi al-Jashosh, Ahkam Al-Qur’an. Isa al-Bari al-Halabi. Kairo, Mesir: Jilid I, th. 1953.
-
Ikatan Hakim Indonesia. Varia Peradilan , M ajalah Hukum tahun XVI nomor 192 September 2001, Jakarta.
-
Moh. Rifai. Perbandingan Agama . Wicaksana : Semarang. Tahun 1984
-
Abdul Azis Dahlan…(et al).Ensiklopedi Hukum Islam , PT.Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta : 1996, Jilid 3, tahun1996.
-
Ahmad musthafa al-M araghi, Tafsir al-Maraghi, M akatul M ukaramah : M aktabah Tijariyah, zuj 6, hal. 59