BAB III AKIBAT HUKUM PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE AHLI WARIS OLEH PEWARIS MENURUT KUHPERDATA
A. Hibah dan Hibah Wasiat Sebagai Peristiwa Hukum Anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan antara satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kepentingannya sehingga menimbulkan berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtfeit).176 Namun tidak setiap peristiwa dikategorikan peristiwa hukum, melainkan hanyalah suatu peristiwa, misalnya A mengambil sepeda motor miliknya sendiri. Contoh peristiwa yang menggerakkan hukum untuk bekerja yaitu apabila A mengambil sepeda orang lain. Peristiwa yang terakhir disebut peristiwa hukum karena hukum digerakkan bekerja untuk memberikan perlindungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan disebut sebagai peristiwa hukum.177 Tindakan penghibahan dan penghibahwasiatan sendiri dikategorikan sebagai suatu peristiwa hukum karena tindakan tersebut tercantum dalam hukum dan menimbulkan suatu akibat hukum. Dalam hukum dikenal dua macam peristiwa hukum yaitu : 1. Peristiwa hukum yang bukan tindakan manusia yakni kelahiran, kematian, dan daluwarsa;
176 177
C.S.T. Kansil, Op.cit., hal. 121. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti), hal. 35-36.
69
Universitas Sumatera Utara
70
2. Peristiwa hukum yang merupakan tindakan manusia yang terbagi menjadi: a. Perbuatan subjek hukum Perbuatan subjek hukum dapat dibedakan antara perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat yang dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat hukum dari suatu perbuatan itu tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum ada yang bersegi satu (eenzijdig), misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah (hibah), dan lain sebagainya; dan ada yang bersegi dua (tweezijdig), misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. b. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum Perbuatan bukan subjek hukum dapat dibedakan menjadi : 1) Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun oleh hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Contohnya perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk memperhatikan kepentingannya (zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata; 2) Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Akibat dari perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur oleh hukum namun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu. 178
Dari penggolongan peristiwa hukum di atas, dapat diketahui bahwa hibah dan hibah wasiat termasuk perbuatan subjek hukum yang bersegi satu (eenzijdigi). Hal ini artinya perbuatan penghibahan dan penghibahwasiatan adalah perbuatan hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). Dengan begitu, prestasi hanya dilakukan oleh orang menghibahkan atau pewaris tanpa menuntut kontraprestasi dari orang yang menerima hibah atau hibah wasiat.
178
C.S.T. Kansil, Op.cit., hal. 121-122.
Universitas Sumatera Utara
71
Secara umum, akibat hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum dapat berwujud tiga hal yaitu sebagai berikut : 1. Lahir, berubah atau hilangnya suatu keadaan hukum, misalnya : a. Menurut KUHPerdata, sejak seseorang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia dianggap cakap menurut hukum (lahirlah keadaan hukum yang baru); b. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, maka ia telah kehilangan kecakapan hukum (hilangnya keadaan hukum); dan c. Sejak suatu hal dinyatakan daluwarsa atau lewat waktu atau verjaring, maka seseorang bisa mendapatkan hak (Pasal 584 KUHPerdata) serta bisa juga kehilangan hak; 2. Lahir, berubah atau hilangnya sesuatu hubungan hukum, misalnya dalam perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara penjual dan pembeli. Setelah barang telah dibayar lunas oleh pembeli dan barang telah dilepaskan oleh penjual, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap; dan 3. Adanya sanksi apabila dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum, misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan di pencuri tersebut yang mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum. 4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan wajar, tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya dalam keadaan terbakar di mana seorang sudah terkepung api sehingga merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu, dan lain-lain untuk jalan keluar menyelamatkan diri. 179
Terkait hibah dan hibah wasiat, maka akibat hukum yang ditimbulkan adalah lahirnya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum bersegi satu antara orang yang menghibahkan atau pewaris dengan orang yang menerima hibah atau hibah wasiat. Artinya dari hubungan hukum bersegi satu hanya timbul hak dan kewajiban pada satu pihak saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). 179
Edy Mayor, Jurnal Hukum Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Dalam Etnis Tionghoa di Kota Medan, hal 48-49, (http://123dok.com/document/2015kedudukan-anak-angkat-perempuan-terhadap-harta-warisan-di-kalangan-etnis-tionghoa-sukuhainan-di-kota-medan.htm?page=4), diakses tanggal 2 April 2016.
Universitas Sumatera Utara
72
B. Bagian Mutlak atau Legitime Portie Sebagai Batasan Dalam Hibah dan Hibah Wasiat 1.
Pengertian Bagian Mutlak atau Legitime Portie Bagian mutlak atau legitime portie sebagai batasan dalam pembuatan
hibah dan hibah wasiat, sangat penting untuk diperhatikan agar suatu hibah atau hibah wasiat tidak menimbulkan suatu akibat hukum yang tidak diinginkan oleh orang yang menghibah atau pewaris. Untuk itu, perlu diketahui secara jelas apa yang dimaksud dengan bagian mutlak atau legitime portie. Ada beberapa ahli hukum yang mengemukakan definisi atau pengertian dari bagian mutlak atau legitime portie, yaitu sebagai berikut : a. Menurut Idris Ramulyo, “bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat”.180 b. Menurut Subekti, “legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak atas legitime portie barulah timbul apabila seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal ini yang berhak atas suatu legitime portie dinamakan legitimaris. Ia dapat meminta pembatalan setiap testamen yang melanggar haknya dan berhak menuntut dilakukan pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling maupun legaat, atau bersifat schenking yang mengurangi haknya”.181 c. Menurut Pitlo, ”legitime portie/wettlijk erfdel merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechte lijn) dan merupakan ahli waris ab-intestato saja yang berhak atas bagian yang dimaksud”.182 180
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 36. R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Op.cit., hal. 113. 182 Komar Andhasasmita, Notaris III : Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut KUHPerdata, (Jawa Barat : Ikatan Notaris Indonesia, 1997), hal. 143. 181
Universitas Sumatera Utara
73
Sebenarnya, ada dua sistem tentang legitime portie yakni sebagai berikut : a. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bahwa bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian tertentu dari seluruh warisan yang tidak dapat dilanggar dengan suatu ketetapan dalam testamen. Oleh karena itu, berdasarkan sistem ini, warisan seseorang dibagi dua yaitu :183 1) Bagian bebas yang merupakan bagian dari warisan, atas bagian mana pewaris mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mengambil ketetapan-ketetapan. Wewenang pewaris pada bagian ini meliputi baik tindakan-tindakan semasa hidupnya pewaris maupun sesudah pewaris meninggal (melalui surat wasiat). Pewaris berhak untuk membebani maupun memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain; dan 2) Bagian yang tidak bebas merupakan bagian tertentu dari seluruh warisan diperuntukkan bagi para ahli waris dalam bentuk bagian mutlak atau legitime portie. Dalam bagian ini, pewaris tidak bebas dan seakan-akan bagian legitime ini diberikan secara kolektif (collectief) kepada para ahli waris mutlak atau legitimaris. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie demikian disebut cara negatif. b. Sistem Romawi, menetapkan bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak dikurangi dengan testamen. Jadi, menurut sistem ini, bagian mutlak atau legitime portie ditetapkan secara individual sehingga tidak ada pembagian warisan ke dalam dua bagian yang pasti seperti di dalam sistem Prancis-Jerman. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie yang demikian disebut sistem positif. 184
Dari kedua uraian sistem di atas, dapat diketahui perbedaan sistem Prancis-Jerman dengan sistem Romawi. Dalam sistem Prancis-Jerman, bagian bebas dan bagian tidak bebas (legitime portie) telah ditentukan secara tegap (bagian tetap) sehingga tidak bergantung pada banyaknya ahli waris mutlak atau legitimaris. Konsekuensinya adalah jika ada seorang ahli waris 183 184
J. Satrio, Op.cit., hal. 271. Ali Afandi, Op.cit., hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
74
mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris, maka bagian ahli waris tersebut tetap berada pada bagian tidak bebas (legitime portie) dan menjadi hak kawan ahli waris mutlak atau legitimaris yang lain. Lain halnya dengan sistem Prancis-Jerman, sistem Romawi menjamin bagian mutlak atau legitime portie secara individual kepada tiap-tiap ahli waris, bukan kepada para ahli waris sebagai keseluruhan atas satu bagian bersama-sama. Konsekuensinya jika ada ahli waris mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris, maka bagian legitimaris yang bersangkutan jatuh ke dalam bagian bebas warisan, bukan kepada bagian legitimaris yang lain.185 KUHPerdata sendiri menganut sistem Romawi dan memberikan definisi bagian mutlak atau legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata yang berbunyi : “Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”. 186
Jadi, ada dua unsur penting dari uraian pasal di atas yaitu bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testamen serta bagian mutlak atau legitime portie harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.
185 186
Ibid., hal. 272-274. Pasal 913 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
75
2.
Ketentuan Umum Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Pewarisan Tidak dapat dipungkiri, pada asasnya seseorang atau pewaris
mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan hartanya semasa hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Namun atas kebebasan atau kemerdekaan seseorang atau pewaris ini, Undang-undang membuat beberapa pengecualian, yang tak lain berarti pembatasan-pembatasan. Caranya adalah memberikan suatu jaminan bagi ahli waris tertentu bahwa suatu bagian tertentu dari hak waris ab-intestato mereka, tidak dapat diganggu gugat oleh pewaris, baik melalui tindakan semasa hidup maupun melalui suatu testamen, kecuali atas persetujuan oleh yang bersangkutan (Pasal 913 KUHPerdata).187 Dengan mengacu pada Pasal 913 KUHPerdata, legitime portie merupakan suatu hak yang Undang-undang berikan kepada ahli waris tertentu yang tidak dapat disingkirkan sama sekali oleh pewaris dari pewarisannya.188 Namun, hak atas bagian mutlak atau legitime portie hanya diberikan jika yang bersangkutan menyatakan menggunakan haknya yakni hak untuk menuntut legitime portie. Hak tuntut bagian mutlak atau legitime portie diberikan kepada masing-masing ahli waris tertentu (ahli waris mutlak) untuk sebesar legitime portie-nya, sehingga jika ada beberapa ahli waris mutlak, tetapi hanya ada satu yang menuntut bagian mutlak atau legitime portie, maka
187 188
J. Satrio, Op.cit., hal. 242. A. Pitlo, Op.cit., hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
76
yang kembali dalam warisan hanya bagian mutlak atau legitime portie satu ahli waris mutlak saja.189 Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga bagian mutlak atau legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang berhak atasnya dan ahli waris mutlak berhak atas apa. 190 Tujuan dari adanya lembaga bagian mutlak atau legitime portie adalah agar harta warisan sebagai harta keluarga, jatuh ke tangan keluarga. Jadi dasarnya adalah harta keluarga sedapat-dapatnya tetap berada dalam keluarga. Secara tidak langsung, bagian mutlak atau legitime portie mempunyai fungsi pemerataan di antara anakanak sebagai ahli waris. Hal ini berarti dengan adanya bagian mutlak atau legitime portie tidak mungkin ada pewarisan mayorat, di mana anak yang satu memperoleh seluruh warisan dan yang lain sama sekali tidak menerima apaapa.191 Ditinjau dari calon penerima warisan, maka tujuan bagian mutlak atau legitime portie adalah untuk melindungi kepentingan ahli waris tertentu dengan mewujudkan keadilan di antara mereka. Hal ini dapat disimpulkan dari pengaturan dalam Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi : “Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilaman warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka.
189
J. Satrio, Op.cit., hal. 243. Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984), hal. 109. 191 J. Satrio, Op.cit., hal. 244. 190
Universitas Sumatera Utara
77
Namun demikian, para ahli waris mutlak tidak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal”. 192
Ketentuan Pasal 913 KUHPerdata mengenai bagian mutlak atau legitime portie bersifat hukum pemaksa, tetapi perlu ditegaskan bahwa hal ini bukan demi kepentingan umum. Ketentuan tersebut ada mempertegas bahwa fungsi bagian mutlak atau legitime porite adalah demi kepentingan ahli waris tertentu dan bukan kepentingan umum. Oleh karena itu, ahli waris tertentu tersebut dapat saja membiarkan haknya dilanggar serta pelaksanaan hibah dan hibah wasiat tetap dijalankan saja.
3.
Ahli Waris yang Berhak Atas Legitime Portie dan Bagiannya KUHPerdata tidak memperlakukan semua ahli waris ab-intestato
secara
sama,
melainkan
terdapat
sebagian
daripadanya
yang
oleh
KUHPerdata diberikan jaminan hak atas bagian tertentu (legitime portie) dari bagian warisan. Terkait dengan kebebasan pewaris dalam membagikan hartanya, hak yang diberi oleh KUHPerdata terkait bagian mutlak atau legitime portie sering dilanggar, dengan adanya tindakan-tindakan pewaris yang memboroskan hartanya, baik melalui tindakan yang pelaksanaannya selagi hidup atau pada saat kematiannya. Ahli waris yang diberikan hak oleh KUHPerdata atas bagian tertentu (legitime portie) dinamakan ahli waris mutlak atau legitimaris.
192
Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
78
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ahli waris mutlak atau legitimaris yaitu sebagai berikut : a. b.
c.
d.
e.
f.
g. h.
i.
Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat; Bagian mutlak harus selalu dituntut. Apabila tidak dituntut tidak diperoleh bagian mutlak atau legitime portie itu. Jadi, kalau ada tiga legitimaris dan yang menuntut hanya satu, maka yang menuntut itu saja yang dapat, sedangkan yang dua lagi (yang tidak menuntut) tidak dapat; Seorang legitimaris berhak menuntut atau melepaskan bagian mutlak atau legitime portie-nya tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris lainnya; Penuntutan atas bagian mutlak atau legitime portie baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkuranhnya bagian mutlak atau legitime portie dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka; Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling (pengangkatan sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian yang dilakukan oleh pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah); Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntut itu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu; Orang yang dinyatakan tidak patut mewaris atau menolak warisan, akan kehilangan bagian mutlak atau legitime portie; Ahli waris yang dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris atau onterfd, tetap berhak atas bagian mutlak atau legitime portienya. Ketentuan bagian mutlak atau legitime portie diadakan oleh KUHPerdata untuk melindungi ahli waris legitimaris, agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris; dan Menurut Pasal 902 KUHPerdata, kepada suami atau istri kedua atau selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibandingkan bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah ¼ (seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya. 193
Ahli waris yang dapat menuntut bagian mutlak atau legitime portie atau legitimaris (Pasal 913 KUHPerdata) harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu : 193
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
79
a. Mereka harus ahli waris dalam garis lurus. Garis lurus tersebut berarti keluarga dalam garis lurus ke atas (ascendent) atau keluarga dalam garis lurus ke bawah (decendent). Jadi, dapat diketahui bahwa legitime portie hanya diberikan kepada ascendent dan decendent pewaris; b. Mereka harus benar-benar terpanggil untuk mewaris berdasarkan Undang-undang, pada saat matinya pewaris (ahli waris ab-intestato); dan194 c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab-intestato.195
Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian mutlak atau legitime portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis lurus ke atas yakni orang tua dan semua leluhurnya, serta ahli waris garis lurus ke bawah yakni anak-anak dan keturunannya serta anak luar kawin yang diakui secara sah. Dalam hal ini, istri atau suami, saudara-saudara (paman atau bibi) tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie.196 Istri atau suami yang hidup lebih lama tidak termasuk dalam kelompok ahli waris yang bagian mutlak atau legitime portie sekalipun berdasarkan Pasal 852 a KUHPerdata, hak waris istri atau suami yang hidup lebih lama dipersamakan dengan seorang anak. Ketentuan tersebut adalah mengenai pewarisan karena kematian (abintestato), sehingga tidak berlaku bagi pewarisan berdasarkan wasiat atau testamen.197 Dengan melihat pada syarat kedua, maka harus diingat asas yang mengatakan bahwa golongan ahli waris yang lebih dekat menutup golongan ahli waris yang lebih jauh dan dalam tiap-tiap golongan, ahli waris yang lebih
194
J. Satrio, Op.cit., hal.260. Komar Andhasasmita, Op.cit., hal. 309. 196 Ali Afandi, Op.cit., hal. 45. 197 J. Satrio, Loc.cit. 195
Universitas Sumatera Utara
80
dekat menutup yang lebih jauh. Namun mengingat bagian mutlak atau legitime portie tidak berlaku untuk semua golongan ahli waris, maka dekatnya hubungan perderajatan dengan si pewaris, bukanlah faktor yang menjamin bahwa seseorang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa
orang
yang hubungan
perderajatannya dengan si pewaris lebih jauh malah mempunyai bagian mutlak atau legtime portie, sedangkan yang lebih dekat tidak.198 Misalnya, pewaris yang meninggal dunia meninggalkan saudara dan kakek buyut, maka ahli waris yang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie adalah kakek buyut bukan saudara-saudara, meskipun saudara derajatnya lebih dekat dengan pewaris daripada kakek buyut. Besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke bawah diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan, yang mana oleh si anak itu dalam pewarisan sedianya harus diperolehnya. Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua per tiga dari apa yang sedianya harus diwariskan oleh mereka masing-masing dalam pewarisan. Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga per empatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisnya, dalam pewarisan. Dalam sebutan anak, termasuk juga di dalamnya sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam warisanwarisan si mewariskannya”. 199
198 199
Ibid. Pasal 914 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
81
Untuk lebih jelasnya, isi Pasal 914 KUHPerdata dapat dilihat dalam uraian berikut : a. Jika hanya ada seorang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagian yang sebenarnya yang akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang; b. Jika ada dua orang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah 2/3 (dua per tiga) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang; c. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ¾ (tiga per empat) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh ahli waris menurut Undang-undang; dan d. Jika si anak sebagai ahli waris menurut Undang-undang meninggal dunia lebih dahulu, maka hak bagian mutlak atau legitime portie beralih kepada sekalian anak-anaknya bersama-sama sebagai penggantian. 200
Selanjutnya, pada Pasal 915 KUHPerdata diatur mengenai besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke atas yang berbunyi sebagai berikut ”Dalam garis lurus ke atas, bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.201 Artinya pasal tersebut bahwa garis lurus ke atas adalah orang tua atau nenek atau seterusnya ke atas sehingga jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undangundang. Sebagai salah satu legitimaris, besarnya bagian mutlak atau legitime portie anak luar kawin diatur dalam Pasal 916 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Bagian mutlak seseorang anak luar kawin yang telah diakui
200 201
Maman Suparman, Op.cit., hal. 93. Pasal 915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
82
dengan sah adalah setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.202 Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian anak luar kawin yang diakui sah, jumlah bagian mutlak atau legitime portie-nya adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undang-undang, baik ada atau tidak ada anak sah dari si pewaris. Terkadang, muncul keadaan di mana pewaris sama sekali tidak memiliki ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pewaris di sini dapat memberikan seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah semasa hidup atau hibah wasiat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 917 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Dalam hal tak adanya keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tak adanya anak-anak luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau dengan surat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan”.203 Dengan tidak adanya ahli waris mutlak atau legitimaris, maka secara otomatis tidak ada pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie yang dilakukan oleh pewaris. Hal tersebut memberikan kepada pewaris kesempatan untuk secara bebas mengatur pembagian seluruh hartanya sendiri. Dalam kondisi ahli waris mutlak atau legitimaris sama sekali tidak menuntut, maka pelaksanaan hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie yang meliputi seluruh harta peningga lan tetap dapat dijalankan dan berlaku.
202 203
Pasal 916 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
83
Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan (onwaardigheid) terkait dengan perhitungan bagian mutlak atau legitime portie, maka penyelesaiannya secara konsekuensi seharusnya tidak turut dihitung menentukan pecahan bagian mutlak atau legitime portie.204 Hal ini sesuai dengan isi Pasal 1058 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Si waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi waris”.205 Apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak mutlak atau legitime portie-nya, maka ia tetap tidak kehilangan kedudukannya sebagai ahli waris. Kedudukannya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan cara seperti diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata yang berbunyi “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”.206
C. Akibat Hukum Adanya Hibah dan Hibah Wasiat yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam hukum waris menurut KUHPerdata, berlaku asas kebebasan berwasiat (testeervrijheid). Dengan asas ini, seseorang bebas menentukan kepada siapakah harta kekayaannya jatuh baik selama ia masih hidup (hibah) atau pada saat
ia
meninggal
penghibahwasiatan
dunia
(hibah
wasiat).
Tindakan
penghibahan
atau
yang dilakukan seseorang atau pewaris harus memenuhi
batasan bagian mutlak atau legitime portie sehingga bagian ahli waris mutlak atau 204
J. Satrio, Op.cit., hal. 270. Pasal 1058 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 206 Pasal 1057 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 205
Universitas Sumatera Utara
84
legitimaris tidak terlanggar. Oleh karena itu, hibah dan hibah wasiat yang mungkin dilakukan tersebut dapat dibagi dua macam yakni hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris serta hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris. Untuk hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris tentu saja tidak ada masalah dan dapat dilaksanakan sepenuhnya. Namun sebaliknya untuk hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris, akan menimbulkan suatu permasalahan dalam pelaksanaannya. Bagi ahli waris mutlak atau legitimaris yang bagian mutlak atau legitime portie-nya terlanggar, terbuka dua kemungkinan untuk ditempuh. Kemungkinan pertama ialah menerima kenyataan itu tanpa mengajukan keberatan (zich berusten). Artinya, ia tidak mengadakan suatu usaha atau tindakan agar bagian mutlak atau legitime portie-nya dipenuhi sehingga ia bermaksud merelakan bagian mutlak atau legitime portie-nya yang terlanggar.207 Alasan ahli waris mutlak atau legitimaris bersikap seperti ternyata dalam kemungkinan pertama bisa bermacam-macam. Mulai dari adanya rasa enggan menimbulkan suasana ribut di antara sesama keluarga dengan mengajukan tuntutan. Selanjutnya, mungkin juga hal tersebut terjadi karena adanya keinginan untuk tunduk dan menaruh hormat sepenuhnya pada apa yang sudah ditetapkan oleh pewaris melalui surat wasiatnya dan melalui perbuatan-perbuatan hibah
207
M.U. Sembiring, Op.cit., hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
85
yang telah dilakukannya selagi hidup. Tindakan menuntut bagian mutlak atau legitime portie berarti melawan kehendak pewaris, hal mana dianggap tidak etis dan menunjukkan tipisnya sikap hormat kepada pewaris. Alasan lain yang lebih positif mungkin juga terjadi yakni keinginan untuk menguntungkan orang lain sesama ahli waris.208 Sikap berdiam diri (zich berusten) ahli waris mutlak atau legitimaris tidak dilarang oleh Undang-undang karena dikenal prinsip hak adalah hak, jadi terserah ahli waris mutlak atau legitimaris apakah ia mau mempergunakan atau tidak mempergunakan haknya. Kemungkinan kedua yang dapat ditempuh oleh ahli waris mutlak atau legitimaris yang terlanggar bagian mutlak atau legitime portie adalah mengajukan perlawanan (gugatan) dengan meminta kepada sesama ahli waris dan penerima hibah agar bagian mutlak atau legitime portie-nya dipenuhi.209 Dengan adanya gugatan dari para ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pada prinsipnya tuntutan bagian mutlak atau legitime portie harus dipenuhi, kalau perlu dengan memotong hibah atau hibah wasiat. Pemenuhan bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan berapa besarnya bagian mutlak atau legitime portie yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 921 KUHPerdata, besarnya bagian mutlak atau legitime portie dihitung dengan cara yaitu sebagai berikut: 1.
Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya, termasuk hibah yang diberikan kepada salah seorang atau para ahli waris mutlak atau legitimaris; 208 209
Ibid. Ibid., hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
86
2. 3. 4.
Jumlah tersebut ditambahkan dengan aktiva warisan yang ada; Kemudian, dikurangi utang-utang pewaris; dan Dari hasil penjumlahan dan pengurangan di atas, kemudian dihitung besarnya bagian mutlak atau legitime portie dari ahli waris mutlak atau legitimaris yang menuntut bagiannya. Besarnya bagian mutlak atau legitime portie yang didapat tersebut adalah jumlah yang benar-benar diterima ahli waris mutlak atau legitimaris yang bersangkutan. 210
Dari ketentuan di atas, terkait dengan hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris, maka bagian yang diterima oleh penerima hibah dan hibah wasiat dapat dikurangi untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie yang terlanggar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penerima hibah mempunyai kewajiban untuk mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan guna memenuhi bagian mutlak atau legitime porie ahli waris mutlak atau legitimaris, dengan memperhatikan Pasal 1086 KUHPerdata, tentang hibah-hibah yang wajib inbreng (pemasukan).211 Inbreng merupakan suatu istilah dalam hukum perdata yang berasal dari bahasa Belanda, yang artinya hibah yang wajib diperhitungkan.212 Para ahli hukum memberikan beragam definisi terkait inbreng atau pemasukan,yaitu sebagai berikut : 1. Menurut J.D. Vegeens dan J. Oppenheim, “inbreng adalah pengembalian akan apa yang telah diterima oleh seorang ahli waris dari pewarisnya, sebagai hibah atau hibah wasiat ke dalam boedel, baik dalam wujudnya (in natura), baik hanya nilainya atau dengan cara memperhitungkannya”.213
210
Maman Suparman, Op.cit., hal. 94. Anisitius Amanat, Op.cit., hal. 1. 212 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1977), hal. 455. 213 J. Satrio, Op.cit., hal. 348. 211
Universitas Sumatera Utara
87
2. Menurut Pitlo, ”inbreng adalah memperhitungkan apa yang diterima oleh seorang ahli waris dari penghibahnya”.214 3. Menurut Oemar Salim, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan, pada waktu ia masih hidup, terhadap para ahli warisnya”.215 4. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian barang-barang yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli waris”.216 5. Menurut Soerojo Wongsowidjojo, ”inbreng adalah semua hibah yang pernah diberikan oleh pewaris kepada para ahli waris dalam garis lurus ke bawah (anak cucu, dan seterusnya) kecuali pewaris secara tegas membebaskan mereka dari pemasukan. Hal ini seakan-akan merupakan persekot (uang muka) atas bagian para ahli waris dalam harta peninggalan pewaris”.217
KUHPerdata sendiri tidak merumuskan secara konkrit tentang apa yang dimaksudkan dengan inbreng atau pemasukan, tetapi hanya mengaturnya dalam beberapa pasal yakni Pasal 1086 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1099 KUHPerdata. Dari ciri-ciri yang ada dalam ketentuannya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan inbreng adalah memperhitungkan kembali hibahhibah yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar pembagian waris di antara para ahli waris menjadi lebih merata.218 Adapun fungsi inbreng yaitu untuk menjamin tercapainya keadilan dan kesamaan di antara anakanak dalam menerima bagian dari segala pemindahan harta kekayaan orang tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu hibah atau pemindahan setelah mati dengan cara pembagian warisan, terutama yang berkaitan dengan bagian mutlak atau legitime portie yaitu bagian yang harus diterima sehingga setiap anak 214
Ibid. Oemarsalim, Op.cit., hal, 183. 216 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 115. 217 Maman Suparman, Op.cit., hal. 151. 218 J. Satrio, Op.cit., hal. 348. 215
Universitas Sumatera Utara
88
mendapatkan bagiannya masing-masing.219 Oleh karena itu, dapat disimpulkan secara singkat bahwa ketentuan inbreng adalah untuk melindungi hak legitimaris.220 Yang terkena kewajiban inbreng menurut Pasal 1086 KUHPerdata yang berbunyi : “Dengan tidak mengurangi kewajiban sekalian ahli waris untuk membayar kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di akla hidupnya orang ini, harus dimasukkan : 1. Oleh para waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, baik mereka itu telah menerima warisannya secara murni maupun dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu, kecuali apabila pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari pemasukan, ataupun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik, atau dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan; 2. Oleh semua waris lainnya, baik waris karena kematian maupun wasiat, namun hanyalah dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan. 221
Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus inbreng adalah para ahli waris dalam garis lurus ke bawah baik sah maupun di luar perkawinan, termasuk juga penggantinya kecuali dengan tegas dibebaskan dari pemasukan serta para ahli waris lainnya (pihak lain juga), baik ab-intestato atau testamentair apabila kepada mereka diharuskan secara tegas melakukan pemasukan.222 Pewaris dalam hal ini harus bebas untuk menentukan apakah penerima hibah diharuskan 219
Ahmad Budinta Rangkuti, Pembatalan Hibah dan Akibat Hukumnya Terhadap Sertifikat Hasil Peralihan Hak, hal. 49-50, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57810/6/babII.pdf), diakses tanggal 5 April 2016 220 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 144. 221 Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 222 Maman Suparman, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
89
memasukkan yang telah diterimanya atau tidak, demikian juga dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam Pasal 921 KUHPerdata.223 Menurut Pasal 1087 KUHPerdata, bagi ahli waris yang menolak warisan tidak diwajibkan memasukkan apa yang telah diterimanya sebagai hibah, kecuali untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie.224 Selanjutnya, dalam Pasal 1088 KUHPerdata diatur bahwa untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie, jumlah yang harus dimasukkan tidak boleh lebih dari bagian mutlaknya sendiri.225 Jika seorang kakek (nenek) melakukan pemberian kepada cucunya, maka jika ia meninggal, orang tua dari cucu itu tidak perlu memperhitungkan pemberian itu (Pasal 1089 KUHPerdata). Demikian juga terhadap orang tua tersebut juga tidak perlu memperhitungkan bagian yang jatuh kepada anaknya, jika anak tersebut menjadi ahli waris si kakek (dengan cara pengangkatan ahli waris dengan wasiat). Sebaliknya jika seorang anak tampil ke muka sebagai pengganti dari orang tuanya, maka anak itu harus memperhitungkan segala pemberian yang telah dilakukan kepada orang tuanya meskipun anak itu telah menolak warisan dari orang tua itu sendiri.226 Apabila penghibahan dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri, maka penghibahan itu mesti diperhitungkan. Lain halnya jika penghibahan dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan. Apabila penghibahan dilakukan kepada suami istri, maka penghibahan itu harus diperhitungkan sebagian saja. Dalam Pasal 1091 KUHPerdata, ditegaskan bahwa
223
H.M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 126. Pasal 1087 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 225 Pasal 1088 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 226 Ali Afandi, Op.cit., hal. 77. 224
Universitas Sumatera Utara
90
perhitungan inbreng hanya dilaksanakan untuk keperluan ahli waris lain, tidak untuk keperluan legataris atau para kreditur dari orang yang meninggalkan harta warisan.227 Menurut Pasal 1096 KUHPerdata, selain hibah-hibah yang harus diperhitungkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut : 1. Segala ongkos untuk memberi suatu kedudukan pekerjaan, atau perusahaan kepada seorang ahli waris; 2. Pembayaran utang-utang dari ahli waris; dan 3. Segala sesuatu yang diberikan kepada seorang ahli waris sebagai bekal hidup setelah ia kawin. 228
Sebaliknya, dalam Pasal 1097 KUHPerdata dikatakan apa yang tidak perlu diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut : Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris; Biaya untuk belajar guna perdagangan, kerajinan tangan, dan perusahaan; Biaya untuk menuntut ilmu atau pengajaran; Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah nikah (huwelijks ultzet); dan 5. Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib dalam pertahanan negara. 229 1. 2. 3. 4.
Inbreng dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sebagai berikut : 1. Inbreng dalam wujud (in natura) ialah menyerahkan barang-barang hibah seperti wujudnya semula; 2. Inbreng dengan uang tunai ialah menyerahkan nilai barang dalam uang ke dalam harta peninggalan; 3. Inbreng dengan cara perhitungan, yaitu memperhitungkan apa yang telah diterima sebagai hibah dengan bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang bersangkutan, misalnya apabila bagian A dalam warisan adalah Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan ia telah menerima hibah rumah tinggal seharga Rp. 4.000.000,- (empat juta Rupiah), maka ia
227
Oemarsalim, Op.cit., hal. 185-186. Maman Suparman, Op.cit., hal. 152. 229 Ibid. 228
Universitas Sumatera Utara
91
tinggal menerima Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah) jika rumah itu diperhitungkan sebagai bagiannya. 230
Cara-cara yang dapat dipilih di atas tergantung pada siapa yang harus inbreng. Selain itu, juga dengan melihat keadaan, misalnya hibah tadinya adalah tanah dan di atasnya telah dibangun rumah, maka wajarlah bila dipilih cara perhitungan.231 Sehubungan dengan cara melakukan inbreng, perlu diperhatikan beberapa pasal yakni sebagai berikut : 1.
Menurut Pasal 1093 KUHPerdata yang menyatakan : Benda tak bergerak boleh dimasukkan dengan cara mengembalikan dalam wujudnya pada saat diterima maupun dengan diperhitungkan harganya menurut harga pada saat diberikan. Kalau dipilih cara pengembalian dalam wujud semula maka si penerima hibah bertanggung jawab atas kemunduran nilai benda itu, apabila kemunduran itu karena salahnya serta si penerima hibah harus membersihkan beban-beban (misalnya sewa, hipotik) atas benda itu. Dalam hal yang sama, penerima hibah juga harus memberikan penggantian segala biaya yang perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan benda yang bersangkutan, termasuk biaya pemeliharaan. 232 2. Menurut Pasal 1094 KUHPerdata yang berbunyi : “Pemasukkan uang tunai dilakukan atas pilihan si yang memasukkan, yaitu boleh membayar jumlah uang tersebut, atau menyuruh mengurangi bagian warisannya dengan jumlah tersebut”. 233 3. Menurut Pasal 1095 KUHPerdata yang berbunyi : “Pemasukkan benda-benda bergerak dilakukan atas pilihan si yang memasukkan ialah dengan mengembalikan harganya di kala pemberian dilakukan, atau dengan mengembalikan benda-benda tersebut dalam wujudnya”. 234
Adapun akibat hukum yang timbul terkait hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris adalah dapat dilakukan
230
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 165. Ibid. 232 Pasal 1093 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 233 Pasal 1094 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 234 Pasal 1095 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 231
Universitas Sumatera Utara
92
pemotongan (inkorting) terhadap hibah dan hibah wasiat tersebut. Dasar hukum dapat dilihat pada Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi : “Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiatnya mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak (legitime portie) dalam warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak atau pengganti mereka”. 235
Pemotongan atas hibah-hibah dilakukan secara berjenjang yakni dimulai dengan memotong hibah yang paling muda usianya. Kalau tidak cukup, barulah dipotong hibah yang usianya setingkat lebih tua, demikian seterusnya, jika perlu sampai pada hibah yang paling tua usianya.236 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 924 KUHPerdata yang berbunyi : “Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masih harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dari hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua, dan demikian selanjutnya.” 237 Menurut Soerojo Wongsowidjojo, “pemotongan (inkorting) terjadi bila bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, kejadian ini bertentangan dengan kemauan pewaris”. Hal ini untuk melindungi hak-hak para ahli waris yang berhak atas bagian mutlak atau legitime portie. Undang-undang memberi wewenang kepada para legitimaris untuk menuntut, agar diadakan pemotongan terhadap
235
Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. M.U. Sembiring, Op.cit., hal. 85. 237 Pasal 924 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 236
Universitas Sumatera Utara
93
hibah-hibah dan hibah wasiat, yang menyinggung bagian mutlak atau legitime portie.238 Pemotongan (inkorting) dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal 914 KUHPerdata sampai dengan Pasal 916 a KUHPerdata. Urutan-urutan dari pemotongan (volgorde der inkorting) adalah sebagai berikut : 1. Pemotongan dilakukan terhadap sisa harta peninggalan yang tidak ditegaskan oleh pewaris, yang tidak disebut dalam wasiat (perolehan secara ab-intestato) dengan mempergunakan asas perimbangan; 2. Apabila belum cukup, kekurangan dipotong dari perolehan secara testamentair,baik berupa hibah wasiat (legaat) maupun pengangkatan sebagai ahli waris (erfstelling). Pemotongan ini dilakukan dengan asas perimbangan; dan 3. Kalau pemotongan kesatu dan kedua belum mencukupi menutup bagian mutlak atau legitime portie, maka dilakukan pemotongan dari hibah-hibah yang telah dilakukan oleh pewaris pada waktu pewaris masih hidup. Pemotongan dilakukan bukan dengan asas perimbangan, melainkan berdasarkan jenjang usia hibah. Ini berarti pemotongan hibah dilakukan berurutan mulai dari hibah yang tanggalnya terdekat dengan pewaris pada waktu meninggalnya terus berlanjut sampai kekurangan legitime portie terpenuhi. 239
Adapun terkait pemberian harta oleh seseorang atau pewaris kepada pihak ketiga ada diatur pembatasannya dalam Pasal 916 a KUHPerdata. Oleh karena itu perlu diketahui lebih rinci isi Pasal 916 a KUHPerdata yakni berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa ahli waris, yang kendati menjadi ahli waris karena kematian, namun bukan ahli waris mutlak, maka apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami pemotongan238 239
R.H. Soeroso Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 16. Maman Suparman, Op.cit., hal. 160.
Universitas Sumatera Utara
94
pemotongan yang demikian sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan untuk itu haus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para ahli waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka”. 240
Batasan yang diatur dalam Pasal 916 a KUHPerdata tersebut di atas adalah bahwa pihak ketiga dikatakan tidak boleh menerima harta peninggalan yang melanggar atau menyinggung bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris. Pewaris hanya boleh memberikan harta peninggalannya dengan cara hibah, hibah wasiat, ataupun pengangkatan sebagai ahli waris dengan jumlah yang tidak melebihi besarnya bagian mutlak atau legitime portie. Apabila jumlah yang telah dihibahkan, dihibahwasiatkan kepada pihak ketiga melebihi besar bagian mutlak atau legitime portie, maka jumlah tersebut dapat dipotong (inkorting). Perlu diperhatikan bahwa menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk menerapkan Pasal 916 a KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris, yakni ahli waris ab-intestato legitimaris, ahli waris ab-intestato bukan legitimaris, dan pihak ketiga. Hal ini berarti pasal 916 a KUHPerdata hanya relevan jika ketiga jenis ahli waris tersebut mewaris sekaligus.241 Selanjutnya Pasal 921 KUHPerdata menentukan bahwa benda yang dihibahkan itu harganya ditaksir menurut keadaan benda itu ketika hibah terjadi, akan tetapi menurut harga pada saat kematian. Ketentuan ini memerlukan penjelasan lebih jauh terutama jika keadaan benda tersebut telah mengalami perubahan. Misalnya benda yang dihibahkan berupa satu hektar tanah belukar yang pada waktu dihibahkan berharga Rp 100.000,-. Kemudian, pada saat 240 241
Pasal 916 a Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Effendi Perangin, Op.cit., hal. 114-115.
Universitas Sumatera Utara
95
kematian penghibah atau pewaris, tanah tersebut karena diolah dan dikerjakan oleh penerima hibah telah berubah menjadi tanah kebun buah-buahan yang berharga Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah). Taksiran harga tanah untuk menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie bukan Rp 100.000,(seratus ribu Rupiah) ataupun Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah), melainkan harga tanah harus ditaksir pada saat kematian sekiranya tanah itu belum berubah menjadi tanah kebun, tetapi masih tetap berupa tanah belukar. Hal ini berarti perubahan yang diadakan oleh penerima hibah tidak diperhatikan dalam melakukan penaksiran harga. Harga tanah ditaksir seakan-akan tanah belum mengalami perubahan.242 Lain halnya jika perubahan status benda yang dihibahkan bukan karena aktivitas penerima hibah, melainkan karena faktor-faktor eksternal (luar) diri penerima hibah, maka harga benda yang dihibahkan mengikuti perubahan status benda tersebut. Misalnya suatu bidang tanah karena keputusan pemerintah dalam rangka perluasan kota telah dimasukkan dalam wilayah kotamadya dan statusnya telah berubah menjadi tanah tapak perumahan. Harga tanah melambung tinggi menjadi Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah), padahal pada saat dihibahkan harga tanah tersebut hanya Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta Rupiah). Terkait dengan hal ini, patokan harga yang digunakan dalam menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie adalah harga tanah perumahan pada saat kematian yakni Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah). Dasar pemikirannya karena
242
M.U. Sembiring, Op.cit., hal 82-83.
Universitas Sumatera Utara
96
sekiranya tanah itu tidak dihibahkan akan terjadi juga perubahan status sehingga tanah tersebut akan diwarisi sebagai tanah perumahan.243 Pemotongan atau inkorting dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut : 1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) disebut juga pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat seperti hibah wasiat atau pengangkatan sebagai ahli waris. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) dibagi dua yaitu :244 a. Pemotongan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie; dan b. Hibah wasiat yang sudah dihitung tetapi belum diberikan, karena bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, maka hibah wasiat itu dipotong dan jumlah potongan itu dipersamakan untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie. 2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan, seperti pemotongan hibah yang telah diberikan dan telah diterima. Si penerima hibah tersebut harus mengembalikan suatu jumlah untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie. 245
Dari kedua jenis pemotongan di atas, pemotongan terhadap hibah termasuk jenis pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting). Hal ini karena bendabenda yang dihibahkan telah diberikan atau dalam penguasaan penerima hibah pada waktu penghibah masih hidup, sedangkan penuntutan ahli waris mutlak atau legitimaris muncul pada saat penghibah meninggal dunia. Oleh karena itu, diperlukan
pemotongan
yang
sungguh-sungguh
dilaksanakan
dengan
pengembalian sejumlah tertentu untuk menutup bagian mutlak. 243
Ibid, hal. 83. Maman Suparman, Loc.cit. 245 Effendi Perangin, Op.cit., hal. 114. 244
Universitas Sumatera Utara
97
Lain halnya dengan hibah wasiat, pemotongan terhadap hibah wasiat termasuk pemotongan semu karena barang-barang yang dihibahwasiatkan belum diberikan atau belum berada dalam penguasaan penerima hibah wasiat (mengingat hibah wasiat dilaksanakan pada saat pewaris meninggal dunia, sama waktunya dengan penuntutan ahli waris mutlak atau legitimaris). Oleh karena itu, pemotongan terhadap hibah wasiat dapat dilakukan dengan pemotongan terlebih dahulu untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris baru diberikan sisanya (jika ada) kepada penerima hibah wasiat. Jadi, penerima wasiat di sini tidak benar-benar mengembalikan bagian yang diterimanya, melainkan menerima sisa bagiannya (jika ada) setelah dipotong bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERTIMBANGAN DAN PUTUSAN HAKIM TERKAIT PENGHIBAHAN HARTA WARISAN YANG MELANGGAR BAGIAN MUTLAK ATAU LEGITIME PORTIE
A. Disposisi Kasus Pelaksanaan Pemberian Hibah yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg Mengamati pencatatan di Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa masalah tentang warisan maupun pembagian harta seringkali disengketakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini terbukti dari munculnya lebih dari 1500 (seribu lima ratus) sengketa waris dalam kurun waktu 2003-2015 dan lebih dari 70 (tujuh puluh) sengketa pembagian harta dalam kurun waktu 2007-2015 yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.246 Baik masalah waris maupun masalah pembagian harta termasuk dalam ruang lingkup sengketa perdata. Secara umum, definisi “sengketa perdata adalah suatu perkara perdata yang terjadi antara pihak yang bersengketa yang di dalamnya mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak”.247 Dari sekian banyak sengketa perdata terkait warisan dan pembagian harta, yang akan diteliti dalam tesis ini adalah putusan sengketa perdata yang memiliki relevansi dengan masalah hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris (putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg). Secara garis besar, kedudukan para pihak dalam putusan tersebut dirinci dalam skema berikut ini : 246
“Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”, (http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/direktori/perdata), diakses tanggal 5 Mei 2016. 247 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 7.
98
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
100
Pewaris dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg bernama Ko Bing Nio (selanjutnya disebut Almarhum), meninggal dunia di Semarang pada tanggal 13 Februari 2011. Semasa hidupnya, Almarhum pernah kawin dengan Go A Sing dan dari perkawinannya, Almarhum dikaruniai 4 (empat) orang anak yakni Lany Wibowo (selanjutnya disebut Penggugat II), Hendra Gunawan (selanjutnya disebut Penggugat III), Go Kiem Lan (selanjutnya disebut Penggugat IV), dan Sutadi Goyono (selanjutnya disebut Tergugat I). Go A Sing sendiri berstatus Warga Negara Asing dan telah meninggal dunia sejak lama. Sebelum kawin dengan Go A Sing, Almarhum sudah mempunyai seorang anak yang bernama Ko Pien Tjoe (selanjutnya disebut Penggugat I). Penggugat I tersebut kedudukannya telah diakui secara sah dengan Almarhum sebelum Almarhum kawin dengan Go A Sing.246 Diketahui pula Almarhum meninggalkan satu anak kandung lagi yang bernama Ratna Utomo (selanjutnya disebut Turut Tergugat II). Turut Tergugat II tersebut diasuh dan dirawat (dibesarkan) oleh orang lain yang masih ada hubungan keluarga dengan Almarhum. Selain itu, Almarhum ternyata juga ada mengangkat seorang anak yang bernama Sugunto Komarudin (selanjutnya disebut Turut Tergugat I).247 Objek sengketa dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg adalah tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana tercantum dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat
246
“Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg”, (http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bf61598b39662f97651ef3ef3963c063), diakses tanggal 23 Januari 2016, hal. 3. 247 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
101
kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Lebih rinci, tanah dan rumah di atas tanah tersebut berbatasan dengan tembok kantor Taspen dan Hak Guna Bangunan 197 (sebelah utara), tembok Hak Guna Bangunan 40 (sebelah timur), tembok Hak Guna Bangunan 93 (sebelah selatan), dan Jalan MT. Haryono/Jalan Mataram (sebelah barat).248 Selanjutnya, tanah tersebut diketahui berukuran seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi dan merupakan satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh Almarhum. Dari keterangan Para Penggugat dan Para Tergugat, diketahui bahwa objek sengketa dikuasai atau ditinggali oleh Tergugat I dan anaknya yang bernama Hendri Goyono (selanjutnya disebut Tergugat II) sejak mereka kecil. Semasa hidup, Almarhum datang menghadap Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang dan membuat satu akta hibah wasiat terkait objek sengketa yakni akta Nomor 9 tertanggal 6 Maret 1999, yang berisi : 1. Almarhum menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelumnya dengan tidak ada yang dikecualikan; 2. Almarhum sebelum menikah dengan Go A Sing telah melahirkan dan mengakui Penggugat I dan dari perkawinannya dengan Go A Sing telah mempunyai anak yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I; dan 3. Almarhum memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat I diangkat sebagai ahli waris tunggal, serta Penggugat III sebagai pelaksana hibah wasiat atau legaat. 249
248 249
Ibid., hal. 3-4. Ibid., hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
102
Akta hibah wasiat tersebut dibuat berbarengan dengan akta Nomor 10 tertanggal 6 Maret 1999 yang isinya adalah pernyataan persetujuan dan pelepasan hak atas objek sengketa oleh Para Penggugat. Selanjutnya, sebelum meninggal dunia, Almarhum membuat lagi akta hibah wasiat di hadapan Alexander Wahyu Permana, (selanjutnya disebut Turut Tergugat III), notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang, yakni akta Nomor 1 tertanggal 29 Maret 2003. Akta hibah wasiat tersebut isinya adalah sebagai berikut : 1. Menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen dan aktaakta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelum testamen ini, dengan tidak ada yang dikecualikan; 2. Memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat II terhadap objek sengketa; dan 3. Mengangkat Penggugat III sebagai pelaksana testamen. 250
Sekitar bulan Mei 2012, terjadi perselisihan mengenai pembagian harta peninggalan Almarhum antara Para Penggugat (khususnya Penggugat III) dengan Tergugat I, karena Tergugat I berniat menjual objek sengketa kepada pihak lain. Para Penggugat di sini menghendaki jika objek sengketa akan dijual, maka salah satu ahli waris dapat membelinya bukan oleh pihak lain. 251 Dari sini, Para Penggugat beranggapan bahwa Tergugat I bertindak seenaknya saja seolah ia berhak sepenuhnya atas objek sengketa. Oleh karena itu, Para Penggugat kemudian menyatakan keberatan atas akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dan berniat menuntut pembatalan atas akta hibah wasiat tersebut.
250 251
Ibid., hal. 30-31. Ibid., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
103
Tergugat I dan Penggugat III sepakat untuk menyerahkan sertifikat atas objek sengketa kepada Turut Tergugat II sambil menunggu musyawarah mufakat seluruh keluarga dari Almarhum. Turut Tergugat II dianggap sebagai pihak yang netral serta dapat dipercaya oleh Tergugat I dan Para Penggugat. Bagi Tergugat I, Turut Tergugat II adalah kakak kandung yang banyak menolong Tergugat I dan keluarganya berada dalam keadaan yang baik dari masalah keuangan, kesehatan, dan masalah lainnya.252 Selanjutnya pada bulan Juni 2012, setelah beberapa kali melakukan musyawarah, maka keluarga Almarhum mencapai kata sepakat atas pembagian harta peninggalan Almarhum. Hasilnya adalah harta peninggalan Almarhum dibagi seluruhnya kepada keluarga besar Almarhum yakni Para Penggugat, Para Tergugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II dengan pembagian Tergugat I dan Tergugat II mendapatkan 40% (empat puluh persen), sedangkan Para Penggugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II masing-masing mendapat 10% (sepuluh persen). Hal tersebut dinyatakan secara tegas di bawah sumpah di hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang, sebagaimana ternyata dalam akta Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan.253 Pada bulan Februari 2013, Tergugat I berubah pikiran sehingga ia menghendaki seluruh harta peninggalan Almarhum serta meminta kembali sertifikat atas objek sengketa dari Turut Tergugat II. Menanggapi perbuatan Tergugat I, Penggugat III menyatakan keberatan jika sertifikat atas objek sengketa diserahkan kepada Tergugat I dan menghendaki kalau sertifikat atas objek 252 253
Ibid., hal. 6. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
104
sengketa tetap berada pada Turut Tergugat II. Oleh karena itu, pada tanggal 27 Maret 2013, Tergugat I melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota Besar Semarang, dengan sangkaan melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal 27 Maret 2013. Dengan laporan Tergugat I, Penggugat III dan Turut Tergugat II dipanggil polisi untuk diperiksa.254 Para Penggugat dan Para Turut Tergugat telah berusaha menyelesaikan perkara dengan sebaik-baiknya dengan Para Tergugat, namun tidak berhasil, sehingga cara terakhir yang dapat ditempuh oleh Para Penggugat adalah dengan mengajukan
gugatan
perdata
ke
Pengadilan
Negeri
Semarang.
Untuk
mengantisipasi tindakan Para Tergugat yang secara nyata berusaha untuk menjual atau mengalihkan objek sengketa kepada pihak lain, maka Penggugat memohon juga agar terhadap objek sengketa diletakkan sita jaminan sehingga gugatan yang diajukan Para Penggugat tidak sia-sia. Dalam gugatannya, Para Penggugat meminta petitum yaitu sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya; 2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas objek sengketa yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Nomor 318/Peterongan, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi; 3. Menyatakan batal demi hukum testamen Almarhum yang dibuat oleh atau di hadapan Turut Tergugat III, notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang sebagaimana akta Nomor 1 tertanggal 29 Desember 2003 mengenai testamen dan akta Nomor 10 tertanggal 6 Maret 1999 tentang menyatakan persetujuan dan pelepasan hak atas Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum; 254
Ibid., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
105
4. Menyatakan Para Penggugat, Tergugat I, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II adalah ahli waris dari Almarhum; 5. Menyatakan sah dan berdasar hukum keterangan Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang sebagaimana ternyata dalam akta Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan; 6. Menyatakan objek sengketa, yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi adalah satu-satunya harta peninggalan Almarhum yang belum dibagi; 7. Menyatakan sah dan berdasar hukum Para Penggugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II berhak atas bagian objek sengketa masing-masing 10% (sepuluh persen) sedangkan bagian Para Tergugat 40% (empat puluh persen) dari objek sengketa; 8. Menyatakan sah dan berdasar hukum keberadaan sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dikuasai oleh Turut Tergugat II; 9. Menyatakan tindakan Tergugat I yang menyatakan satu-satunya yang berhak atas objek sengketa dan meminta sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dari Turut Tergugat II dengan melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota Besar Semarang sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal 27 Maret 2013 adalah perbuatan melawan hukum; 9a. Menghukum Para Tergugat atau pihak ketiga yang mendapatkan hak dari Para Tergugat untuk mengosongkan objek sengketa dan selanjutnya dibagi sebagaimana bagian dalam petitum 7; 10. Menghukum Para Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh atas putusan ini; 11. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali (uit voerbaar bij voorraad); dan 12. Menghukum Para Tergugat untuk membayar semua biaya perkara. 255
Inti dari petitum yang diminta Para Penggugat adalah meminta pembatalan dua akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum serta mendapat bagian dari harta warisan Almarhum. Terkait dengan dalil-dalil gugatan Para Penggugat di atas, Para Tergugat mengajukan beberapa jawaban. Dalam eksepsi, Para Tergugat menyatakan bahwa 255
Ibid., hal. 9-11.
Universitas Sumatera Utara
106
gugatan Para Penggugat tidak jelas dan kabur (obscuur libel). Hal ini karena menurut teori dan asas hukum acara perdata, suatu gugatan diajukan harus ada kepentingan dari pihak Penggugat sehingga disimpulkan penempatan para pihak dalam gugatan tidak sinkron dengan petitum 4 (empat). Dalam hal ini, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II dimohonkan untuk ditetapkan sebagai ahli waris Almarhum sehingga seharusnya juga berkedudukan sebagai pihak Penggugat. Posisi Turut Tergugat I dan Tutut Tergugat II dalam gugatan Penggugat berarti mereka tidak mempunyai kepentingan hukum dan pasif.256 Selanjutnya terkait dengan petitum 9 (sembilan), tindakan Para Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat I melakukan perbuatan melawan hukum karena melaporkan Turut Tergugat II ke polisi dianggap Para Tergugat sangat berlebihan (overbodig). Menurut Para Tergugat, seharusnya yang berhak mendalilkan tindakan Tergugat I adalah Turut Tergugat II bukan Para Penggugat. Kemudian, judul gugatan Penggugat berdasarkan jawaban Para Tergugat adalah gugatan pembatalan testamen, tetapi di dalam gugatan terjadi pembiasan masalah dengan perkara perbuatan melawan hukum yang menurut Para Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat.257 Selain itu, perbuatan melawan hukum yang didalilkan Para Penggugat tidak dijadikan alasan atau tidak ada korelasinya dengan permohonan pembatalan testamen. Dalam pokok perkara (verweer ten principale), jawaban Para Tergugat menyatakan berdasarkan logika hukum, Para Penggugat pasti telah sadar dan melakukan pertimbangan yang matang saat menandatangani akta pelepasan hak 256 257
Ibid., hal. 13-14. Ibid., hal. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
107
atas objek sengketa Nomor 10 tanggal 6 Maret 1999258 sehingga sangatlah janggal apabila Para Penggugat masih menyatakan tidak dan/atau belum menerima warisan dari Almarhum. Tindakan Para Tergugat yang menyerahkan sertifikat atas objek sengketa kepada Turut Tergugat II dimaksudkan untuk diamankan karena terus ditekan dan diminta oleh Penggugat III sehingga jelas bukan karena kesepakatan.259 Selanjutnya, Para Tergugat membantah dengan tegas keabsahan akta Nomor 1 tanggal 29 Juni 2012 tentang surat keterangan kesepakatan pembagian harta peninggalan Almarhum dikarenakan Para Tergugat merasa tidak mengerti isi dari akta tersebut. Oleh karena itu, terjadi tekanan-tekanan dan itikad buruk yang dilakukan Penggugat III terhadap Para Tergugat dalam pembuatan akta tersebut. Para Tergugat juga menolak dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa Para Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan melaporkan Turut Tergugat II kepada polisi. Para Tergugat menegaskan bahwa tindakannya yang dilakukannya merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan.260 Para Penggugat malah menyatakan bahwa Turut Tergugat II yang melakukan perbuatan melawan hukum karena telah menguasai sertifikat atas objek sengketa tanpa adanya alas hak yang sah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya akta hibah wasiat Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003 yang secara nyata menyatakan bahwa Para Tergugat yang mempunyai hak atas objek sengketa. Berkaitan dengan hal tersebut, Para Tergugat juga memohon agar dalil Para
258
Ibid., hal. 20. Ibid., hal. 21. 260 Ibid., hal. 21-22. 259
Universitas Sumatera Utara
108
Penggugat tentang permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) atas objek sengketa haruslah ditolak dan dikesampingkan karena tidak beralasan.261 Dalam jawabannya, Para Tergugat juga meminta kepada Pengadilan Negeri Semarang untuk : 1.
2.
Dalam eksepsi, dimohon agar dapat menerima dan mengabulkan seluruh eksepsi Para Penggugat serta menyatakan bahwa gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); dan Dalam pokok perkara, dimohon agar menolak gugatan Para Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) serta membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Para Penggugat. 262
Dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa Almarhum melakukan tindakan penghibahwasiatan kepada salah satu anak kandungnya berupa satusatunya harta yang dipunyainya. Dengan begitu, secara otomatis ahli waris lain (anak kandung Almarhum yang lain) yang seharusnya berkedudukan sama dengan penerima hibah tidak dapat apa-apa dari bagian harta peninggalan. Dari kasus ini, dapat dilihat bahwa ada bagian mutlak atau legitime portie sebagian ahli waris mutlak atau legitimaris yang terlanggar. Para ahli waris mutlak atau legitimaris dalam kasus ini tidak berdiam diri namun menggunakan hak tuntutnya untuk membatalkan akta hibah wasiat Almarhum. Hal ini dibuktikan dengan adanya sengketa
perdata
waris
yang
diputuskan
dalam
putusan
Nomor
188/Pdt.G/2013/PN.Smg.
261 262
Ibid., hal. 23. Ibid., hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
109
A. Pertimbangan dan Putusan Hakim Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg Terkait Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Ahli Waris Atas gugatan Para Penggugat dan jawaban Para Tergugat, majelis hakim mempunyai pertimbangannya sendiri untuk memutuskan perkara perdata waris Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg. Setelah mencermati gugatan Para Penggugat, majelis hakim berpendapat gugatan Para Penggugat telah jelas baik mengenai posita maupun petitum dan berhak menentukan siapa yang akan digugat sehingga eksepsi dari Para Tergugat menjadi ditolak. Untuk mendukung dalil-dalil dalam gugatan dan jawaban, baik Para Penggugat dan Para Tergugat mengajukan beberapa surat bukti yang telah dicocokkan dengan aslinya dan bermeterai cukup. Secara
garis
besar,
pertimbangan
hakim
dalam
putusan
188/Pdt.G/2013/PN.Smg ini terbagi menjadi dua masalah yakni masalah keabsahan akta hibah wasiat yang dibuat Almarhum dan masalah pembagian harta peninggalan Almarhum. Mengacu pada Pasal 875 KUHPerdata yang berbunyi “surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia mati dan olehnya dapat dicabut kembali”,263 maka tindakan Almarhum yang membuat akta hibah wasiat adalah sah menurut hukum. Hal ini karena wasiat atau testamen sebenarnya bersifat sepihak atau perbuatan pribadi dari si pembuat wasiat atau testamen serta merupakan kebebasan atau hak Almarhum untuk menentukan kepada siapa serta besar harta miliknya akan dibagikan. Almarhum dalam putusan ini ada membuat dua akta hibah wasiat terkait harta peninggalannya yang menjadi objek sengketa
263
Ibid., hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
110
yakni akta Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 dan akta Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003. Lebih detail, dalam akta Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003 terdapat klausul “menarik kembali dan menghapuskan testamen-testamen dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelum testamen ini, tidak ada yang dikecualikan” sehingga secara otomatis kedudukan akta Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 telah dicabut. Meskipun akta hibah wasiat atau testamen yang dibuat Almarhum sah berdasarkan Pasal 875 KUHPerdata, namun perlu diteliti lebih lanjut pada pasal-pasal berikutnya yakni Pasal 913 KUHPerdata yang menentukan bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada ahli waris menurut garis lurus menurut Undangundang, terhadap mana si meninggal tidak boleh menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat dan Pasal 881 ayat 2 KUHPerdata menentukan dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah dari yang mewariskan tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak atau legitime portie.264 Kedua pasal tersebut merupakan batasan kebebasan atau batasan hak yang harus dipatuhi oleh Almarhum dalam membagikan hartanya. Oleh karena tindakan Almarhum bertentangan dengan kedua pasal tersebut sebelumnya, maka majelis hakim berpendapat bahwa baik akta Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 maupun akta Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak sah. Berkenaan dengan kedudukan akta pelepasan hak
264
Ibid., hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
111
atas objek sengketa oleh Para Penggugat sebagaimana ternyata dalam akta Nomor 10 tanggal 6 Maret 1999 yang dibuat berbarengan dengan akta hibah wasiat Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999, majelis hakim menyatakan bahwa oleh karena akta Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 telah dinyatakan tidak sah, maka akta pelepasan tersebut juga menjadi tidak sah. Selanjutnya,
terkait
masalah
pembagian
warisan,
majelis
hakim
berpendapat bahwa pembagian harta peninggalan Almarhum (objek sengketa) dilakukan kepada ahli warisnya yakni Para Penggugat dan Tergugat I, masingmasing mendapat 1/5 (seperlima) bagian harta peninggalan tersebut. 265 Hal ini mengacu pada Pasal 852 KUHPerdata di mana anak-anak mewaris dari harta orang tua mereka. Kedudukan Turut Tergugat II sebagai anak kandung Almarhum dan Turut Tergugat I selaku anak angkat Almarhum tidak dapat dibuktikan oleh Para Penggugat sehingga hakim memutuskan untuk tidak membagikan harta warisan Almarhum kepada mereka. Hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya beberapa bukti surat yang diajukan Para Penggugat yakni Akta Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999, akta Nomor 10 tanggal 6 Maret 1999, dan akta Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003 di mana tidak ada yang menunjukkan atau menguatkan posisi Turut Tergugat II dan Turut Tergugat I.266 Beberapa bukti surat tersebut hanya menyatakan bahwa anak-anak Almarhum adalah Para Penggugat dan Tergugat I. Dari serangkaian pertimbangan di atas, majelis hakim kemudian menjatuhkan putusan sebagai berikut : 1. Dalam eksepsi 265 266
Ibid., hal. 37. Ibid., hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
112
a. Menolak eksepsi Para Tergugat seluruhnya. 2. Dalam pokok perkara a. Mengabulkan gugatan Para Penggugat sebagian; b. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap objek sengekta berupa tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya sebagaimana dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, terkenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi; c. Menyatakan batal demi hukum wasiat atau testamen Almarhum yang dibuat di hadapan Turut Tergugat III, notaris pengganti pada Kantor Notaris Tan Bian Tjong, sebagaimana akta Nomor 1 tanggal 29 Desember 2003 mengenai testamen dan akta nomor 10 tanggal 6 Maret 1999 tentang akta pelepasan hak atas Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum; d. Menyatakan Para Penggugat dan Tergugat I ahli waris dari Almarhum; e. Menyatakan objek sengketa, tanah, dan rumah yang berdiri di atasnya sebagaimana dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat dikenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, luas 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi adalah satu-satunya harta warisan Almarhum yang belum terbagi; f. Menyatakan Para Penggugat dan Tergugat I berhak atas bagian yang sama atas objek sengketa masing-masing 1/5 (seperlima) bagian; g. Menyatakan sah dan berdasar hukum keberadaan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dikuasai oleh Turut Tergugat II; h. Menyatakan tindakan Tergugat I yang menyatakan satu-satunya yang berhak atas objek sengketa dan meminta Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dari Turut Tergugat II adalah perbuatan melawan hukum; i. Menghukum Para Tergugat atau pihak ketiga yang mendapatkan hak dari Para Tergugat untuk mengosongkan objek sengketa dan selanjutnya dibagi rata yaitu masing-masing 1/5 (seperlima) bagian atas objek sengketa; j. Menghukum Para Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini; k. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selebihnya; l. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.800.000,- (dua juta delapan ratus ribu Rupiah). 267
267
Ibid., hal. 38-40.
Universitas Sumatera Utara
113
B. Analisis Putusan Hakim Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg Terkait Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Ahli Waris Secara garis besar, putusan hakim terkait penghibahan seluruh harta warisan oleh Almarhum yang melanggar bagian
mutlak atau legitime portie
legitimaris sebagaimana ternyata dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg adalah membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dan kemudian membagi seluruh harta warisan Almarhum secara merata kepada ahli waris abintestato. Hal ini karena gugatan dari Para Penggugat bukanlah meminta bagian mutlak atau legitime portie melainkan meminta pembatalan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum. Mengacu pada ketentuan dalam KUHPerdata yakni Pasal 920 KUHPerdata, putusan hakim yang membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dianggap kurang tepat.268 Hal ini karena KUHPerdata sendiri memberikan solusi penggunaan inkorting atau pemotongan bagi hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie bukan dengan ancaman kebatalan seperti yang diputuskan oleh hakim. Kebatalan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu kebatalan mutlak dan kebatalan relatif. R. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa : “Suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid) adalah pembatalan yang terjadi tanpa diminta oleh suatu pihak dan harus dianggap tidak pernah ada sejak semula dan terhadap siapapun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid) yaitu pembatalan yang hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.” 269
268
Hasil Wawancara dengan Rosniaty Siregar, Notaris di Medan, dilakukan tanggal 1
Juni 2016. 269
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
114
Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) dan
pembatalan relatif (relatief
nietigheid) secara berurutan dalam praktik lebih dikenal dengan sebutan batal demi hukum (nietigheid) dan dapat dibatalkan (vernietigbaarheid). Pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie tidak mengakibatkan hibah wasiat menjadi batal demi hukum (nietigheid), melainkan hanya dapat dimintakan pembatalannya (vernietigbaarheid) secara sederhana sehingga akta hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tetap dianggap sah sampai legitimaris menggugatnya. Dalam putusan hakim, meskipun akta hibah wasiat dinyatakan batal demi hukum, namun dalam tataran praktik pembatalan akta hibah wasiat perlu diajukan gugatan pembatalannya ke pengadilan. 270 Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pembatalan akta hibah wasiat dengan sendirinya atau otomatis sehingga timbul kerusuhan (chaos) antara para ahli waris. Permintaan pembatalan secara sederhana suatu akta hibah wasiat artinya apabila legitimaris menuntut haknya (bagian mutlak atau legitime portie) dalam hibah wasiat dan tidak menerima pelanggaran yang termuat dalam hibah wasiat, maka ketetapan-ketetapan dalam hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie–nya tidak dapat dijalankan. Lebih detail, hibah wasiat yang dimaksud bukannya batal dan legitimaris kemudian berhak atas semua harta warisan dan pihak-pihak yang mewaris dalam hibah wasiat juga batal, melainkan pihak-pihak yang mewaris dengan hibah wasiat tetap berkedudukan sebagai ahli 270
Hery Shietra, Akta Wasiat/Hibah Wasiat yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitime Portie), Tetap Sah Sepanjang Tidak Terdapat Pembatalan Dari Ahli Waris Sah yang Haknya Atas Warisan Berdasarkan Hukum Berkurang Akibat Akta Tersebut, (https://heryshietra.blogspot.com/2015/07/akta-wasiat-hibah-wasiat-yang-melanggar.html), diakses tanggal 11 Februari 2016.
Universitas Sumatera Utara
115
waris, yang batal hanyalah ketetapan-ketetapan terhadap bagian dalam hibah wasiat yang telah melanggar bagian mutlak atau legitime portie.271 Setelah ketetapan-ketetapan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tersebut dibatalkan, legitimaris mendapatkan bagian mutlak atau legitime portie-nya dengan cara melakukan inkorting atau pemotongan terhadap bagian yang diberikan kepada pihak-pihak yang mewaris dalam hibah wasiat. Agar sesuai dengan peraturan yang berlaku (Pasal 920 KUHPerdata), seharusnya hakim memutuskan penggunaan inkorting atau pemotongan untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie para legitimaris. Sebagai tambahan, penggunaan inkorting atau pemotongan juga dianggap lebih memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersangkutan yakni penerima hibah wasiat dan para legitimaris. Bagi para legitimaris akan didapat bagian tertentu yang merupakan bagian mutlak atau legitime portie-nya, sedangkan bagi penerima hibah wasiat akan didapat sisa bagian setelah dipotong bagian mutlak atau legitime portie legitimaris. Tindakan pembatalan semata-mata jika dicermati lebih dalam hanya mempertimbangkan kepentingan salah satu pihak yakni legitimaris, sedangkan di sisi lain penerima hibah wasiat menjadi dirugikan karena tidak mendapatkan sama sekali harta yang seharusnya diwasiatkan untuknya. Terkait masalah pembagian harta warisan Almarhum, hakim memutuskan bahwa oleh karena akta hibah wasiat dibatalkan, maka warisan hanya dibagikan kepada ahli waris ab-intestato yakni Para Penggugat dan Tergugat I dengan besar 271
Andreas Prasetyo Senoadji, Tesis Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata : Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 148/PK/Perd/1982,(https://core.ac.uk/download/files/379/11716308.pdf), diakses tanggal 1 Maret 2016, hal. 77.
Universitas Sumatera Utara
116
masing-masing 1/5 (seperlima) bagian. Adapun menurut pertimbangan hakim, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II yang masing-masing berkedudukan sebagai anak angkat dan anak kandung tidak mendapat pembagian warisan karena tidak adanya bukti yang cukup untuk membuktikan keterkaitannya dengan Almarhum. Pertimbangan hakim seperti itu sudah tepat melihat tindakan pihak Para Penggugat yang tidak memberikan bukti yang lengkap dan kuat seperti dengan melampirkan akta kelahiran, akta pengangkatan anak, dan lain sebagainya yang terkait sehingga sudah seharusnya hakim meragukan kedudukan Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II sebagai anak Almarhum. Konsekuensinya adalah Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II tidak dapat dianggap berkedudukan sebagai ahli waris Almarhum. Jika seandainya ada bukti yang lengkap, maka kedudukan Turut Tergugat II yang merupakan anak sah Almarhum pasti berhak atas warisan Almarhum. Begitu juga dengan Turut Tergugat I meskipun berkedudukan sebagai anak angkat tetapi memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung (Pasal 12 jo Pasal 14 Staatsblad 1917 Nomor 129)272, begitu pula dengan hak mewaris. Perlu dipahami meskipun kedudukan hukum anak angkat sama dengan anak kandung, namun anak angkat tidak dikatakan memiliki hak atas bagian mutlak atau legitime portie. Hal ini karena untuk memiliki hak atas bagian mutlak atau legitime portie, seseorang harus memiliki hubungan darah lurus ke atas atau ke bawah dengan
272
Pasal 12 jo Pasal 14 Staatsblad 1917 Nomor 129.
Universitas Sumatera Utara
117
Almarhum (berdasarkan Pasal 914 KUHPerdata, Pasal 915 KUHPerdata, dan Pasal 916 KUHPerdata). Syarat inilah yang tidak dimiliki oleh anak angkat.273 Jika dikaitkan dengan penerapan inkorting atau pengurangan, maka hakim seharusnya memutuskan untuk membagi harta warisan Almarhum kepada legitimaris yakni Para Penggugat sebesar bagian mutlak atau legitime portie-nya saja dan sisa harta tersebut diberikan kepada penerima hibah wasiat (Tergugat I dan Tergugat II).274 Lebih detail untuk mengetahui berapa besar bagian mutlak atau legitime portie para legitimaris, maka terlebih dahulu perlu diteliti secara jelas kedudukan atau keterkaitan para legitimaris dengan Almarhum. Dalam uraian putusan terdapat beberapa kelemahan di mana tidak diketahui secara jelas bagaimana status perkawinan antara Almarhum dengan suaminya (Go A Sing) yang merupakan Warga Negara Asing275 sehingga untuk menganalisisnya diperlukan perumpamaan menjadi 2 (dua) kondisi. Jika perkawinan keduanya tidak didaftarkan sehingga tidak sah, maka kedudukan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, Tergugat I sama dengan kedudukan Penggugat I yaitu sebagai anak luar kawin yang diakui (selanjutnya disebut kondisi I). Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, oleh karena Almarhum mengakui anak luar kawinnya, maka timbul hubungan perdata antara Almarhum dengan anak tersebut sehingga anak luar kawin yang diakui tersebut berkedudukan sebagai ahli waris yang berhak atas warisan Almarhum. Dalam kasus, jika diumpamakan sesuai
273
Hasil Wawancara dengan Rosniaty Siregar, Notaris di Medan, dilakukan tanggal 1
Juni 2016. 274 275
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
118
kondisi I, berdasarkan Pasal 873 KUHPerdata, anak luar kawin berhak mendapatkan seluruh harta warisan apabila Almarhum tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I sampai IV). Dengan begitu, secara ab-intestato, harta warisan Almarhum dibagi kepada masing-masing anak luar kawin yang diakui dengan bagian yang sama besar. Lain halnya jika perkawinan Almarhum dengan suaminya (Go A Sing) sah terdaftar di Kantor Catatan Sipil di Indonesia (selanjutnya disebut kondisi II), maka yang menjadi ahli waris Almarhum adalah anak-anak sah Almarhum yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, Tergugat I serta anak luar kawin yang diakui yakni Penggugat I. Dasar hukum penetapan ahli waris Almarhum dapat dilihat pada Pasal 280 KUHPerdata dan Pasal 852 KUHPerdata. Besar bagian abintestato anak luar kawin yang diakui dari Almarhum berdasarkan Pasal 863 KUHPerdata adalah 1/3 (sepertiga) dari bagian yang didapat seandainya ia adalah anak sah. Selanjutnya, besar bagian ab-intestato anak-anak sah Almarhum adalah sisanya dibagi rata per kepala setelah dikurangi bagian anak luar kawin yang diakui. Dalam perumpamaan kondisi I, besar bagian ab-intestato anak luar kawin yang diakui (Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I) masing-masing adalah 1/5 (seperlima) bagian (berdasarkan Pasal 873 KUHPerdata). Berbeda dengan perumpamaan kondisi I, untuk perumpamaan kondisi II, bagian ab-intestato anak luar kawin yang diakui dari Almarhum (Penggugat I) adalah 1/3 (sepertiga) kali 1/5 (seperlima) menjadi sebesar 1/15 (satu per lima belas) bagian (berdasarkan Pasal 863 KUHPerdata). Besar bagian
Universitas Sumatera Utara
119
ab-intestato anak sah Almarhum (Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I) masing-masing adalah 14/15 (empat belas per lima belas) dibagi 4 (empat) yakni sebesar 14/60 (empat belas per enam puluh) bagian (berdasarkan Pasal 852 KUHPerdata). Almarhum dalam kasus ternyata membuat akta hibah wasiat Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 yang telah dicabut dengan akta hibah wasiat Nomor 10 tanggal 29 Desember 2003 yang isinya menghibahkan objek sengketa yang merupakan harta satu-satunya dari Almarhum kepada anak kandung (Tergugat I) dan cucunya (Tergugat II) dan menunjuk Penggugat III sebagai pelaksana wasiat atau testamen. Tindakan Almarhum dikategorikan sebagai tindakan mewaris yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris dan ternyata beberapa dari legitimaris tersebut menuntut haknya agar dipenuhi (Pasal 913 KUHPerdata). Legitimaris dalam kasus tersebut adalah Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I. Jika dikaitkan dengan perumpamaan kondisi I, maka legitimaris yang menuntut adalah Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, dan Penggugat IV, kesemuanya berkedudukan sebagai anak luar kawin yang diakui. Mengacu pada Pasal 916 KUHPerdata, maka besar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris masing-masing adalah ½ (setengah) kali 1/5 (seperlima) menjadi sebesar 1/10 (sepersepuluh) bagian. Kemudian, besar bagian Tergugat I dan Tergugat II maingmaing sebagai penerima hibah wasiat adalah sisa harta setelah dikurangi bagian mutlak atau legitime portie legitimaris yang menuntut yaitu sebesar 6/20 (enam per dua puluh) bagian.
Universitas Sumatera Utara
120
Jika dikaitkan dengan perumpamaan kondisi II, maka legitimaris yang menuntut adalah sama dengan legitimaris dalam perumpamaan kondisi I. Namun legitimaris yang menuntut dalam kondisi II kedudukannya ada yang tidak sama yakni Penggugat I (anak luar kawin yang diakui) serta Penggugat II, III, IV (anak kandung). Besar bagian mutlak atau legitime portie Penggugat I adalah ½ (setengah) kali 1/15 (seperlima belas) menjadi sebesar 1/30 (sepertiga puluh) bagian (berdasarkan Pasal 916 KUHPerdata). Selanjutnya besar bagian mutlak atau legitime portie Penggugat II, III, dan IV masing-masing adalah ¾ (tiga per empat) kali 14/60 (empat belas per enam puluh) menjadi sebesar 14/80 (empat belas per delapan puluh) bagian (berdasarkan 914 KUHPerdata). Sisa harta setelah dikurangi bagian mutlak atau legitime portie merupakan hak Tergugat I dan Tergugat II sebagai penerima hibah wasiat Almarhum, dengan masing-masing mendapatkan 53/240 (lima puluh tiga per dua ratus empat puluh) bagian. Oleh karena objek sengketa merupakan sebidang tanah yang merupakan barang tidak bergerak, maka penerima hibah wasiat bisa saja memberikan uang tunai sebagai pengganti bagian mutlak atau legitime portie legitimaris.276 Terkait dengan hal ini, objek sengketa perlu ditaksir terlebih dahulu nilainya agar dapat dibagi sesuai porsi masing-masing. Pemberian uang tunai untuk memenuhi porsi legitimaris dalam rangka diterapkannya inkorting atau pengurangan dilakukan dengan tujuan agar tanah warisan (barang tidak bergerak) tidak seenaknya saja dibagi-bagi sesuai porsi para legitimaris sehingga mungkin saja mengakibatkan terganggunya rencana tata ruang yang berlaku. Perlu diketahui bahwa pemecahan
276
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
121
atau pemisahan tanah (barang tidak bergerak) harus berpedoman pada Pasal 48 dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 serta Pasal 133 dan Pasal 134 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.277
277
Pasal 48 dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 serta Pasal 133 dan Pasal 134 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka selanjutnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaturan hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata dapat dijumpai dalam Buku yang berbeda. Hibah dalam KUHPerdata dikategorikan dalam hukum perikatan yakni Buku Ketiga Bab X, terdiri dari ketentuan umum (Pasal 1666-1675); tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah, dan untuk menikmati keuntungan suatu hibah (Pasal 1676-1681); tentang cara menghibahkan sesuatu (Pasal 1682-1687); serta tentang penarikan dan penghapusan hibah (Pasal 1688-1693). Berbeda dengan hibah, hibah wasiat dalam KUHPerdata dikategorikan dalam hukum kebendaan yakni Buku Kedua Bab XIII Bagian VI (Pasal 957-972). Beberapa ketentuan tersebut perlu disempurnakan lagi agar lebih jelas dan adil dalam pelaksanaannya, misalnya tentang batasan maksimal harta peninggalan yang boleh dihibah atau dihibahwasiatkan oleh pewaris, 2. Akibat hukum yang dapat ditimbulkan terkait hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ada 2 (dua) jenis tergantung pada tindakan legitimaris. Jika legitimaris tidak mengajukan keberatan, maka tindakan hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie dianggap tetap sah dan dijalankan. Lain halnya jika legitimaris menuntut haknya, maka ketetapan dalam hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tidak dapat dijalankan dan mengacu pada Pasal 920 KUHPerdata, bagian yang diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
penerima hibah atau hibah wasiat dapat di-inkorting atau dipotong untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie legitimaris. 3. Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg merupakan salah satu putusan sengketa perdata yang memiliki relevansi dengan masalah hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris. Dalam kasus tersebut, hakim memutuskan untuk membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dan kemudian membagi harta warisan Almarhum hanya kepada ahli waris ab-intestato saja. Putusan seperti itu dianggap kurang tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 920 KUHPerdata yang memberikan solusi penggunaan inkorting atau pemotongan untuk hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie. Sebaiknya, hakim memutuskan untuk dilakukan inkorting atau pengurangan dalam rangka menerapkan ketentuan Pasal 920 KUHPerdata serta untuk memenuhi rasa keadilan pihak penerima hibah wasiat dan legitimaris. Keadilan pihak penerima hibah wasiat tidak akan terpenuhi bahkan lebih parahnya dirugikan jika diputuskan pembatalan akta hibah wasiat karena penerima hibah wasiat secara otomatis sama sekali tidak mendapat bagian yang seharusnya diterimanya dengan hibah wasiat. B. Saran Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka selanjutnya dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Dalam memutus sengketa pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris, sebaiknya hakim menerapkan penggunaan inkorting atau pemotongan agar sesuai dengan Pasal 920 KUHPerdata serta memenuhi rasa keadilan dari pihak penerima hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie secara
Universitas Sumatera Utara
khusus dan pihak lainnya yang terkait secara umum. Hal ini karena seringkali putusan hakim tidak menerapkan inkorting atau pemotongan, melainkan hanya membatalkan akta hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie sehingga efeknya merugikan pihak penerima hibah atau hibah wasiat tersebut. 2. Terkait dengan banyaknya tindakan pewaris yang melakukan pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris, maka sebaiknya notaris yang berperan membantu pembuatan akta hibah dan akta wasiat, dapat memberikan edukasi kepada kliennya terlebih dahulu. Hal ini karena kadang klien yang datang ke notaris tidak memahami ketentuan pewarisan yang diatur oleh peraturan yang berlaku. Dengan demikian, di sinilah peran penting notaris untuk menyadarkan kliennya sehingga ke depannya dapat mengurangi munculnya akta pewarisan yang melanggar ketentuan yang berlaku. 3. Notaris sebaiknya lebih cermat dan hati-hati menghadapi kliennya yang terkadang beritikad buruk menipu notaris sehingga muncullah akta pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie. Dengan demikian, pihak notaris dapat terhindar dari kemungkinan pembatalan akta yang dibuatnya serta pihak-pihak terkait lainnya tidak berselisih dan dirugikan haknya.
Universitas Sumatera Utara