BAB II DASAR TEORI Aeroelastis merupakan ilmu yang mempelajari interaksi diantara aerodinamik dan struktur. Parameter struktur yang berhubungan yaitu inersia dan stiffness. Sehingga 3 aspek ini akan saling mempengaruhi. Pada bidang ini dikaji antara lain ketidakstabilan statik dan dinamik. Sehingga dalam initial design dibutuhkan prediksi yang tepat untuk mendapatkan karakteristik ketidakstabilan baik statik maupun dinamik. Untuk itu didapatkan cara untuk memodifikasi baik struktur yang mampu menahan ketidakstabilan yang timbul dan juga adanya bentuk dari struktur yang menghasilkan aspek aerodinamika yang menguntungkan.
2.1
Persamaan aeroelastik
Persamaan gerak aeroelastik diturunkan dengan prinsip perubahan energi, yang didekati dengan persamaan energi Lagrange d ⎛⎜ ∂T ⎞⎟ ∂U ∂D + + =Q dt ⎜ ∂ q. ⎟ ∂q ∂ q. ⎝ ⎠
(1)
dimana q = h, α , β T = energi kinetik pada benda U = energi potensial pada benda D = damping osilasi h = osilasi heaving
α = osilasi torsi β = osilasi torsi pada control surface Jika dijabarkan pada salah satu osilasi heaving yaitu
..
..
..
M h + Sα α + S β β + M ωh h + 2
g hωh M 2
ω
..
h = Qh
(2)
5
atau dalam bentuk umum dalam discrete coordinate
[M ]
{} {} ..
.
u + [C ] u + [ K ]{u} = { F (t )}
(3)
dimana [M] = mass matrik [C] = discrete damping matric [K]= stiffness matric {u}= vector gerak benda
{F (t )} = gaya luar / aerodinamik force Dengan menggunakan asumsi vektor perpindahan tiap titik atau nodal merupakan kombinasi linear dari beberapa nm dari modus getaran frekuensi rendah yaitu
{u} = [φ ] q
(4)
dengan kata lain bahwa koordinat gerak struktur dapat dinyatakan terpisah menjadi bidang spatial [φ ] dan temporer q dimana [φ ] modus gerak struktur , yang berukuran (n x m ) dengan n menyatakan jumlah titik yang ditinjau dan m menyatakan modus yang digunakan. Dengan memsubtitusi persamaan (4) ke (3) dan mengalikannya dengan [φ ] , maka persamaan aeroelastik pada persamaan T
(3) dapat ditulis menjadi
[M s ]
{ } [ ]{ } [ ..
.
q + C s q + K s ]{q} = { Fs (t )}
(5)
dimana
[ M s ] = [φ ] [ M ][φ ] = matrik massa rampat T
[ K s ] = [φ ] [ K ][φ ] = matrik kekakuan rampat T
[Cs ] = [φ ] [C ][φ ] = T
matrik damping
(6)
6
{Fs (t )} = [φ ] {F (t )} = gaya luar / aerodinamik rampat T
q(t) = vector koordinat general Matrik massa dan matrik kekakuan mempunyai ukuran [m x m] dengan m adalah jumlah modus. 2.1.1
Beban Aerodinamik Tak Tunak
Persamaan flutter adalah persamaan tidak homogen, dikarenakan adanya beban aerodinamik tak tunak. Persamaan untuk menyelesaikan load dan momen yang terjadi pada persamaan aeroelastik ini akan diselesaikan dengan persamaan DLM (Doublet Lattice Method). Dengan metode ini, lifting surface dibagi menjadi beberapa segment yaitu panel trapezoidal. Panel trapezoidal memiliki sisi yang sejajar dengan arah streamwise. Biasanya juga dipakai panel coplanar yaitu panel yang mempunyai lebar yang sama. Metode doublet Lattice ini biasanya juga digunakan pada finite elemen structural codes, tetapi tidak mungkin digunakan secara identik pada
grid struktur dan aerodinamik grid. Dengan demikian
diperlukan adanya splining tehnik yang digunakan untuk menghubungkan antara dua grid tersebut.
Gambar 2.1. Panel pada Doublet Lattice Method Ref [10]
Pada metode ini, distribusi pressure yang belum diketahui diasumsikan seragam pada panel panel yang telah dibagi. Sehingga tekanan tersebut dapat diintegralkan pada persamaan : ΔC pj w( x, y ) =∑ K ( x − x0 , y − y0 , M , k ) dS V 8π ∫∫ j
(7)
7
dimana j = sending panel S = luas permukaan panel W(x,y) = downwash pada panel V = kecepatan K = fungsi kernel M= bilangan Mach
Pada persamaan diatas bahwa suku kiri menunjukan pengaruh kecepatan secara eksplisit. Fungsi Kernel diintegrasikan pada arah aliran (streamwise) dengan menempatkan efek tekanan pada garis dari tekanan doublet pada ¼ chord line pada masing-masing panel. Sehingga persamaan diatas menjadi
ΔC pj w( x, y ) C j cos β j ∫ K ( x − xo , y − yo , M , k )dl =∑ V 8π j lj
(8)
dimana l = garis integral (l) dihitung pda ¼ cord panel jth panel , Cj = mean (tengah) chord dari jth panel
β j = sweep angle paa ¼ cord line pada jth panel dS = c cos β dl
Pada persamaan integral ini, kondisi batas normalwash w(x,y) diketahui jika tekanan pj pada tiap panel tidak diketahui. Ketika kondisi batas pada normal wash terpenuhi pada beberapa point (collocation point) maka dihasilkan persamaan aljabar linear pada tiap panel. Collocation point ini diletakan pada tengah span, 3/4 cord tiap panel. Kondisi batas yang lain yang harus dipenuhi yaitu kondisi Kutta. Kondisi kutta ini dipenuhi pada titik control point. Secara simultan, integral pada metode doublet lattice dapat diselesaikan dengan persamaan
{a} = ⎧⎨
w( x, y ) ⎫ ⎬ = [ D ] {Δ C p } ⎩ V ⎭
(9)
8
Dimana :
α = vektor normal wash non dimensional [D] = matrik persegi dari aerodynamic influence coefficient pada panel ijth Dij =
c j cos β j 8π
∫ K dl
(10)
ij
lj
{ΔC } = vector dari complex pressure coeficient p
Untuk mendapatkan gaya aerodinamik, yaitu dengan mensubstitusikan persamaan aerodinamik pada persamaan aeroelastik, diperlukan gaya aerodinamik dalam bentuk generalized forces yang digunakan pada persamaan Lagrange seperti pada persamaan (1) yaitu variable Q. Prosedur umum yang biasa digunakan yaitu menuliskan kedua bentuk energi yaitu energi kinetik dan potensial dalam bentuk structural mode shape, w(x,y), dimana dapat diperoleh dengan menggunakan finite elemen model. Prinsip virtual work digunakan untuk menghitung gaya Q. Matrik gaya ini Q, dihitung untuk masing-masing mode yang saling berpengaruh yaitu dalam bentuk aerodinamik. Kerja yang dilakukan pada gerak struktur mode shape wi ( x, y ) dikarenakan adanya osilasi dalam modus wi ( x, y ) yaitu
∫∫ δ w ( x, y ) p ( x, y ) dS i
j
(11)
s
dimana mode shape wi ( x, y ) dapat ditulis sebagai
wi ( x, y ) = li fi ( x, y )
(12)
dimana li adalah amplitude dari mode shape yang sifatnya undertemined dan fi ( x, y ) adalah nondimensional shape function (bentuk geometri dari suatu mode). li adalah generalized coordinate (biasanya qi = li ) yang digunakan pada i th mode. Oleh karena itu
δ wi ( x, y ) = δ li fi ( x, y )
(13)
9
Biasanya untuk menyatakan generalized forces , yaitu dalam hal ini Qi , digunakan non dimensional variable. Sehingga untuk menyatakan tekanan p ( x, y ) , ditulis dalam bentuk koefisien tekanan ΔC p ( x, y ) , maka p j ( x, y ) = ρV 2 ΔC p j ( x, y )
(14)
Sehingga kerja virtual yang dilakukan oleh gaya aerodinamik yaitu
δ li ρV 2 ∫∫ fi ( x, y ) ΔC p ( x, y ) dS j
(15)
s
Dengan melakukan keseimbangan pada virtual work yang dilakukan oleh generalized force, maka diperoleh persamaan
δ li Pij = δ li d 2Qij
(16)
dimana : d = refensi panjang
Qij =
1 d2
∫∫ f ( x, y)ΔC i
pj
( x, y )dS
(17)
s
Dengan asumsi yang digunakan pada Doublet Lattice Method, bahwa pressure diasumsikan konstan untuk setiap panel, maka persamaan (17) dapat ditulis menjadi
n
Qij = ∑ f i k ΔC pk j Ak
(18)
k =i
dimana : fi k = nondimensional displacement pada titik ¼ cord ditengah-tengah
tiap
panel pada i th mode ΔC pk j = nondimesional tekanan pada k th panel pada j th mode d 2 Ak = area pada k th panel.
Sehingga jumah semua panel yang digunakan merupakan model permukaan aerodinamik.
10
2.1.2
Finite Elemen Model
Pada tesis ini digunakan elemen pelat, dengan berbagai property dan sifat material. Dengan menggunakan Metode elemen hingga, maka diperoleh persamaan pada sisi struktur. Dibawah ini gambar model pada Software Nastran45 dengan pemodelan finite elemen.
gambar 2.2 finite elemen model T tail
Pada pemodelan finite elemen ini, akan diperoleh variable atau matrik yang diperlukan untuk menyelesaikan persamaan gerak (1). Dengan adanya batasan derajat kebebasan dan nilai kekakuan material tertentu maka akan didapat matrik yang sesuai dengan batasan tersebut. Pada metode finite elemen ini akan diperoleh matrik massa [M] dan matrik kekakuan [K]. Sedangkan untuk matrik damping [C] akan tergantung dalam pemodelan, yaitu kita butuhkan atau tidak. Sehingga dalam penyelesaian persamaan gerak akan terpengaruh dengan ada atau tidaknya nilai damping tersebut. Penjelasan finite elemen untuk Nastran dapat dilihat pada lampiran A.
11
2.2
Persamaan aeroelastik 2 D (Typical wing section)
Konsep 2 dimensi ini sangat penting untuk memberikan hitungan atau gambaran awal pada aeroelastik analisis. Metode ini digunakan untuk menurunkan tingkat komplektisitas, sehingga biasa digunakan pada awal perhitungan untuk eksperimen dalam skala laboratory.
Tipe wing section ini (2D) mempunyai karakterisitik yang sama pada sayap dengan aturan bahwa kondisi 2 D ini diambil pada 70-75% pada sayap 3 D. Asumsi yang biasa digunakan yaitu : Small swept angle (wing is almost straight). •
Sayap homogen , baik kekakuan dan distribusi massa
•
Sayap mempunyai aspek ratio yang besar
Ada beberapa alasan 2D ini digunakan : •
Analisis cenderung mudah
•
Typical wing section tidak membutuhkan perhitungan yang komplek.
•
Tipe ini akan tetap digunakan untuk mewakili kasus 3 D khusus untuk syap dengan struktur dengan aspek rasio yang besar.
Parameter sayap seperti geometri , kekakuan dan aerodinamik pada tipe wing section ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.3 . Typical Wing Section [13]
12
Dimana •
Center of gravity (c.g, centre of mass), adalah titik acuan masa dari sayap.
•
Elastic axis (e.a), titik referensi untuk vibrasi
•
Aerodynamic center (a.c), adalah titik dimana momen aerodinamik bekerja dan tetap, tidak tergantung pada sudut serang sayap.
•
h, defleksi yang disebabkan oleh bending
•
α, sudut serang atau defleksi puntir cenderung pada elastik axis.
•
Kh, Kekakuan bending.
•
Kα, Kekakuan torsi
•
m, adalah masa dari typical wing section.
•
Iα, adalah momen inersia ( I α = m.xα .b ).
•
Sα, Momen statik pada sumbu elastis. ( S α = m.xα .b )
•
rα, radius dari giration pada sumbu elastik. ( rα = I α
•
U, kecepatan free stream.
•
L, gaya aerodinamik.
•
Mac, adalah momen aerodinamik pada aerodynamic centre.
•
c (chord), adalah garis yang mengubungkan leading edge and trailing
m.b 2
)
edge dari typical wing section. Parameter b adalah didefinisikan pada semi chord, dimana b = c/2. •
e, eccentricity factor or chord fraction yaitu yang menyatakan jarak diantara a aerodynamic centre dan elastic axis, dimana nilai positif untuk a.c terletak didepan e.a.
•
xα, semi chord fraction yaitu menyatakan jarak diantara elastic axis dan centre of mass, dimana nilai positif untuk e.a terletak didepan c.g.
•
a, semi chord fraction dengan
yaitu menyatakan jarak diantara mid-chord
elastic axis (e.a dimana nilai positif untuk e.a, a terletak
dibelakang mid-chord point. •
μ adalah rasio masa. ( μ = m πρb 2 )
13
2.2.1 Steady Aerodinamik Model Pada kasus ini diasumsikan bahwa sudut serang sama dengan inidence angle. Aliran dianggap steady state. Dengan memperhatikan gambar (2) maka untuk kasus binary system yaitu sistem dimana hanya bending dan torsi yang menginduksi gaya aerodinamik.
L( M ) (t ) = qSClα α (t )
(19)
M (ACM ) (t ) = 0
(20)
dengan demikian M EA = 2 Leb + M AC = 2qSebC Lα
(21)
Sehingga persamaan fluter menjadi mh&& + Sα α&& + K h h + qSCLα α = 0 Sα h&& + Iα α&& + Kα α − 2qSebCLα α = 0
(22)
atau dalam bentuk matrik
[ M ]{&&x} + ([ K ] − q [ A0 ]) { x} = {0}
(23)
dengan
⎡m
(Inertia )
(24)
α
Sα ⎤ Iα ⎥⎦
⎡ Kh ⎣ .
. ⎤ K h ⎥⎦
(structural stiffness)
(25)
[M ] = ⎢S ⎣
[K ] = ⎢
⎡
.
⎣
.
[ A0 ] = ⎢
− SCLα ⎤ (aerodynamic stiffness) −2SebCLα ⎥⎦
(26)
Dengan melihat ketiga matrik diatas ternyata aerodinamik matrik mempunyai karakteristik dengan bentuk asymmetric matric. Dengan mengasumsikan bahwa solusi dari persamaan flutter (22) ˆ pt h = he
α = αˆ e pt
(27)
atau dalam bentuk matrik
{ x} = { xˆ} e pt
(28)
dengan mensubstitusi persamaan (28) ke dalam (22) maka diperoleh
14
( mp
2
(
)
+ K h ) hˆ + Sα p 2 + qsCLα αˆ = 0
(
(29)
)
Sα p 2 hˆ + Iα p 2 + Kα − 2qsebCLα αˆ = 0
Sehingga solusi nontrivial hˆ dan αˆ dapat diperoleh dari determinan persamaan
[ M ] p 2 + ([ K ] − q [ A0 ]) = 0
(30)
Dengan mereduksi persamaan diatas maka diperoleh persamaan karakteristik a4 p 4 + a2 p 2 + a0 = 0
(31)
dengan
a4 = mIα − Sα
2
a2 = m( Kα − 2qSebCLα ) + Iα K h − qSSα CLα
(32)
a0 = K h ( Kα − 2qSebCLα ) sehingga diperoleh akar akar dari persamaan karakteristik diatas (31)
P1..4 = ( G + iω )1..4 = ±
(
1 − a2 ± a22 − 4a4 a0 2a4
( tipe tipe dari solusi tersebut { x j } = { xˆ j } e
)
G j + iω t
)
(33)
G t iω t = { xˆ j } e j e j dimana j = 1..4
G j = damping
ω j = frekuensi
{ xˆ } = mode shape j
Stabiliti dari gerak dapat diindikasikan dari nilai G (damping) : G>0
tidak stabil (amplitude naik)
G=0
netral (constant amplitude)
G<0
stable (menurunnya amplitude)
Sehingga dapat dilihat tipe instability dari typical section sebagai berikut
15
Gambar 2.4. tipe instability wing section pada steady model Ref [8]
2.2.2 Low Frequency Aerodynamic Model
Pada model ini ,model aerodinamik tidak sama dengan model steady. Persamaan yang digunakan yaitu A. α dyn ( t ) = B. α dyn ( t ) =
h& ( t ) + α (t ) U h& ( t ) U
+ α (t ) −
(34) x − ab α& ( t ) U
(35)
atau bisa dilihat dari gambar berikut :
Gambar 2.5. tipe wing section pada low frekuensi aerodinamik model
16
Sehingga persamaan (19) dan (20) menjadi
⎛ h& ⎞ L(t ) = qSClα ⎜ + α ⎟ ⎝U ⎠
(36)
⎛ h& ⎞ M EA ( t ) = 2qSebCLα ⎜ + α ⎟ ⎝U ⎠
(37)
dengan mengulang prosedur pada steady aerodynamic model maka penyelesaian persamaannya sebagai berikut :
[ M ]{&&x} + [ B ]{ x&} + ([ K ] − q [ A]) { x} = {0}
(38)
⎡ q ⎢ U SCLα [ B] = ⎢ ⎢ −2 q SebC Lα ⎢⎣ U
(39)
. .
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥⎦
Dengan solusi yang sama
{ x} = { xˆ} e pt
(40)
maka diperoleh persamaan karakteristik sebagai berikut : a4 p 4 + a3 p 3 + a2 p 2 + a1 p1 + a0 = 0
(41)
Dimana a4 = mIα − Sα
2
q SCLα + ( 2ebSα + Iα ) U a2 = mKα + Iα K h − ( 2meb + Sα ) qSCLα a3 =
(42)
q SCLα Kα U a0 = K h ( Kα − 2qSebCLα ) a1 =
17
dengan menyelesaikan persamaan diatas sesuai dengan prosedur yang dilakukan pada steady aerodynamic model, maka diperoleh type dari ketidakstabilan sebagai berikut :
Gambar2.6a. tipe instability model A. Ref [8]
Gambar2.6b.tipe nstability model [8]
2.3 Material Komposit
Pada tesis ini akan digunakan material komposit dengan dengan beberapa model yaitu bahwa penggunaan material komposit ini akan ditujukan untuk menambah efek damping pada osilasi yang terjadi pada efek T tail. Untuk kasus aeroelastik dibutuhkan hanya kekakuan ekuivalen dari bahan komposit ini. Sehingga ada beberapa batasan yang timbul dengan pemakaian komposit ini. Unsur pembentuk material komposit adalah fiber dan matrix yang umumnya bersifat keras dan getas misalnya serat carbon , Kevlar dan gelas dan matrik yang umumnya bersifat lunak (seperti plastic dan logam-logam lunak). Serat merupakan unsur utama material yang sangat menentukan karakteristik atau sifatsifat material komposit, seperti kekakuan dan kekuatannya. Serat menahan sebagian besar gaya-gaya yang bekerja pada material komposit. Sedangkan matrik bertugas mengikat dan melindungi serat agar berfungsi dengan baik.
18
Material komposit menggabungkan kekuatan dan kekakuan serat dengan massa jenis matriks yang rendah, sehinga dihasilkan material yang ringan tetapi kuat dan kaku (high specific modulus and specific strength). Material komposit diklasifikasikan berdasarkan goemetri dan jenis seratnya. Secara garis besar, material komposit dibedakan atas material partikel( particulate composite) yang bahan penguatnya terdiri atas partikel-partikel dan material komposit serat (fibrous composit) yang bahan penguatnya berupa serat. Dalam istilah komposit istilah lamina dan laminat (laminate). Lamina adalah sekelompok serat-serat searah (unidirectional fibers) atau sekelompok anyaman serat-serat (woven fibers) yang disusun dan diikat olah matriks. Sumbu material utama adalah lamina sejajar arah serat (sumbu serat, arah longitudinal atau arah 1) dan tegak lurus arah serat (arah matriks, arah ternsversal, atau arah -2). Sedangkan laminat adalah setumpukan lamina yang disusun dengan orientasi sumbu utama almina berbeda untuk memebentuk elemen struktur yang menyatu sedimikian rupa sehingga didapat sifat-sifat kekuatan dan kekakuan yang diinginkan. Laminat dibuat agar elemen struktur mampu menahan beban multiaksial, sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan lamina tunggal yang cocok untuk menahan beban uniaksial. Lapisan-lapisan laminat yang bervariasi itu diikat menjadi satu oleh material matrik yang sama dengan yang digunakan pada lamina. Proses peletakan seratserat dalam lamina seperti juga proses peletakan lamian-lamina dalam laminat dikenal sebagai proses lay-up. Proses curing dilakukan dengan mengeringkan serat-serat dalam lamina atau lamina-lamina dalam laminat untuk membuat ikatan antar serat atau lamina.
2.3.1 Hubungan Tegangan-Regangan Material Komposit
Material komposit termasik dalam kelompok material anisotrop yaitu material yang sifat-sifatnya
berubah terhadap perubahan arah. Karena itu material
komposit mempunyai sifat yang berbeda dengan material konvensional lain, sehingga material komposit mempunyai hubungan tegangan-regangan khusus. Bentuk hubungan tegangan-regangan material anisotropic yang paling umum :
σ ij = Cijkl ε kl
I,j= 1,2,3
(43)
19
dimana :
σ ij = tensor tegangan linier
ε kl = tensor regangan linier Cijkl = tensor modulus elastic berderajat empat
Umumnya σ ij , memiliki 9 komponen, ε kl
memiliki 9 komponen, dan
Cijkl memiliki 81 komponen. Hubungan simetri pada σ ij dan ε kl menjadikan
σ ij memiliki 8 komponen, ε kl memiliki 6 komponen dan Cijkl memiliki 36 komponen. Adanya fungsi energi regangan atau simetrisitas Cijkl menjadikan Cijkl memiliki
21
komponen.
Dengan
menuliskan
σ 1 = σ 11 , σ 2 = σ 22 , σ 3 = σ 33 , σ 4 = σ 29 , σ 5 = σ 31 dan σ 6 = σ 12 , demikian juga untuk regangan serta menggunakan notasi Cij untuk Cijkl , maka diperoleh hubungan tegangan regangan sebagai berikut
σ i = Cij ε j
Persamaan
(2)
i,j = 1,2 …..,6
menunjukan
(44)
adanya
(σ 1 , σ 2 , σ 3 ) dengan regangan geser
kopel
antara
tegangan
normal
(ε 4 , ε 5 , ε 6 ) dan antara tegangan geser
(σ 3 , σ 4 , σ 6 ) dengan regangn normal (ε1 , ε 2 , ε 3 ) , yang secara fisik berarti bila material ditarik uniaksial akan terjadi regangan geser disamping regangan tarik Untuk material ortotropik yang menjadi dua bidang simetri sifat yang orthogonal relative
terhadap
⎧σ 1 ⎫ ⎡ C11 C12 ⎪σ ⎪ ⎢ C ⎪ 2 ⎪ ⎢ 21 C22 ⎪⎪σ ⎪⎪ ⎢ C C32 : ⎨ 3 ⎬ = ⎢ 31 0 ⎪σ 4 ⎪ ⎢ 0 ⎪σ 5 ⎪ ⎢ 0 0 ⎪ ⎪ ⎢ 0 ⎩⎪σ 6 ⎭⎪ ⎣⎢ 0
bidang
orthogonal
C13
0
0
C23
0
0
C33
0
0 0
0 C44 0
0 C55
0
0
0
ketiga
tegangan-regangan
0 ⎤ ⎧ ε1 ⎫ 0 ⎥⎥ ⎪⎪ε 2 ⎪⎪ 0 ⎥ ⎪⎪ε 3 ⎪⎪ ⎥⎨ ⎬ 0 ⎥ ⎪ε 4 ⎪ 0 ⎥ ⎪ε 5 ⎪ ⎥⎪ ⎪ C66 ⎥⎦ ⎩⎪ε 6 ⎭⎪
menjadi
(45)
Ada 9 konstanta bebas dalam hubungan tegangan-regangan diatas. Untuk benda-benda tipsi seperti pelat (material ortotropik 2-D), dapat dianalisis dengan kondisi plane stress (tegangan bidang), :
20
σ 3 = 0, σ 4 = 0, danσ 5 = 0 dengan menuliskan σ 6 = σ 12 danε 6 = ε12 , maka hubungan tegangan regangan dalam arah sumbu utama material pada pers (3) menjadi :
⎧ σ 1 ⎫ ⎡C11 C12 ⎪ ⎪ ⎢ ⎨ σ 2 ⎬ = ⎢C12 C22 ⎪σ ⎪ ⎢ 0 0 ⎩ 12 ⎭ ⎣ dimana C11 =
C12 =
E1
1 − υ12υ 21
, C 22 =
0 ⎤ ⎧ε11 ⎫ ⎪ ⎪ 0 ⎥⎥ ⎨ε 22 ⎬ C66 ⎥⎦ ⎩⎪ε12 ⎭⎪
(46)
E2
1 − υ12υ 21
υ 21 E1 , C 66 = G12 1 − υ12υ 21
υ 21 = υ12
(47)
E2 E1
Dengan demikian ada 4 konstanta bebas dalam hubungan di atas. Bila sumbu-sumbu utama material membentuk sudut θ terhadap sumbu x, matriks elastisitas harus ditransformasikan pada sumbu (x,y,z) tersebut. Gambar 2.2 menunujukan sumbu (1,2,3) yang membentuk sudut θ terhadapa sumbu (x,y,z). Sumbu z berhimpit dengan sumbu 3, yang merupakan poros perputaran sudut. Sudut θ positif jika berarah melawan arah jarum jam (counter clockwise). Dapat
ditunujukan
bahwa
persamaan
transformasi
tegangan
untuk
mentransformasikan tegangan-tegangan dari system koordiant 1-2 ke system koordinat X-Y dinyatakan sebagai: ⎧σ x ⎫ ⎧ σ1 ⎫ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎨ σ y ⎬ = [U ] ⎨ σ 2 ⎬ ⎪σ ⎪ ⎪σ ⎪ ⎩ 12 ⎭ ⎩ xy ⎭
(48)
dimana U ⎡ cos 2 θ ⎢ 2 ⎢ sin θ ⎢sin θ cos θ ⎣
sin 2 θ cos θ 2
− sin θ cos θ
−2sin θ cos θ ⎤ ⎥ 2sin θ cos θ ⎥ cos 2 θ − sin 2 θ ⎥⎦
21
gambar 2.7 sumbu (x-y membentuk sudut
θ
terhadap sumbu utama (1,2).
Dapat pula ditunjukan bahwa hubungan tegangan-regangan dalam system koordinat X-Y yang berubah-ubah dinyatakan sebagai ⎧σ x ⎫ ⎧εx ⎫ ⎪ ⎪ ⎡ _ ⎤⎪ ⎪ ⎨ σ y ⎬ = ⎢C ⎥ ⎨ ε y ⎬ ⎪σ ⎪ ⎣ ⎦ ⎪ε ⎪ ⎩ xy ⎭ ⎩ xy ⎭
(49)
− T dimana ⎡⎢C ⎤⎥ = [U ] [C ][U ] ⎣ ⎦
⎡ C11 C12 [C ] = ⎢⎢C12 C22 ⎢⎣ 0 0
0 ⎤ 0 ⎥⎥ C66 ⎥⎦
(50)
2.3.2 Teori Laminat Klasik
Pelat berlapis atau laminat merupakan material komposit yang terbentuk dari penyusunan beberapa buah lamina dengan orientasi sudut tertentu. Pelat berlapis dibuat agar suatu struktur mampu menahan beban multiaksial. Susunan laminat yang terdiri dari beberapa buah lamina dengan tebal dan orientasi struktur yang berbeda-beda diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
22
Gambar 2.8 Susunan lamina komposit.
Laminat komposit dapat dianalisis dengan menggunakan teori pelat berlapis klasik (classical lamination theory). Teori pelat berlapis klasik, dibangun dengan beberapa buah asumsi penting, yaitu : 1. Setiap lapisan dalam pelat berlapis terekat satu sama lain dan bahan perekat sangat tipis, sehingga tidak mempengaruhi kekuatan pelat berlapis secara keseluruhan, serta tidak teregang geser (non-shear deformable). Dengan anggapan seperti ini, berarti tidak ada slip antar lapisan dan deformasi pelat dianggap kontinyu. 2. Benda yang dikaji tipis, sehingga garis yang semula tegak lurus dan rata bidang tengah pelat dianggap tetap rata dan tegak lurus, bila pelat tersebut teregang atau terlentur (perhatikan gambar di bawah ini). Dengan demikian asumsi plane stress tetap berlaku.
Gambar 2.9 Deformasi pelat komposit
23
Berdasarkan asumsi yang telah ditentukan dan pengamatan terhadap deformasi laminat yang diberi beban, diketahui bahwa tegangan lamina pada lapisan ke k dari laminat merupakan fungsi dari regangan dan kelengkungan bidang tengah. Hubungan tersebut dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : ⎡ ' ⎧σ ⎫ ⎢C 11 ⎪ x⎪ = ⎢C ' 12 ⎨σ y ⎬ ⎢ ' ⎪ ⎪ ⎩τ xy ⎭ k ⎢⎣C 16
'
C C' C'
12 22 26
⎡⎧ ⎤ ⎫ ' ⎤ ⎢ ⎪ o ⎪ ⎧ χ ⎫⎥ C 16 ⎥ ⎢⎪ ε x ⎪ ⎪⎪ x ⎪⎪⎥ C ' 26⎥⎥ ⎢⎨⎪ ε o y ⎬⎪ + z ⎨⎪ χ y ⎬⎪⎥ ⎢ ⎥ C ' 66⎥⎦ K ⎢⎣⎪⎩γ o xy ⎪⎭ ⎪⎩χ xy ⎪⎭⎥⎦
(51)
Matriks C’ij pada persamaan di atas berbeda antara lapisan satu dengan lainnya, sehingga terjadi variasi tegangan, regangan dan modulus elastisitas. Variasi regangan yang terjadi pada laminat umumnya linear, tetapi variasi tegangan pada laminat tersebut tidak harus linear. Resultan gaya dan momen yang bekerja pada pelat berlapis diperoleh melalui integrasi tegangan yang terjadi pada setiap lapisan, sepanjang arah ketebalan pelat berlapis. Resultan gaya dan momen diberikan sebagai berikut : ⎧ N x ⎫ 1 / 2 ⎧σ x ⎫ ⎧σ x ⎫ n zk ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎨ N y ⎬ = ∫ ⎨σ y ⎬dz = ∑ ∫ ⎨σ y ⎬dz k =1 z k −1 ⎪ ⎪ N ⎪ −1 / 2 ⎪τ ⎪ ⎪ ⎩ xy ⎭ ⎩ xy ⎭ ⎩τ xy ⎭ ⎧σ x ⎫ ⎧ M x ⎫ 1 / 2 ⎧σ x ⎫ n zk ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ ⎪ dan ⎨ M y ⎬ = ∫ ⎨σ y ⎬ zdz = ∑ ∫ ⎨σ y ⎬zdz k =1 z k −1 ⎪ ⎪M ⎪ −1 / 2 ⎪τ ⎪ ⎪ ⎩ xy ⎭ ⎩τ xy ⎭ ⎩ xy ⎭
(52)
atau dalam bentuk lain, ⎧ N x ⎫ ⎧ A11 ⎪N ⎪ ⎪ ⎪ y ⎪ ⎪ A12 ⎪⎪ N xy ⎪⎪ ⎪⎪ A16 ⎬=⎨ ⎨ ⎪ M x ⎪ ⎪ B11 ⎪ M y ⎪ ⎪ B12 ⎪ ⎪ ⎪ ⎪⎩M xy ⎪⎭ ⎪⎩ B16
A12 A22 A26
A16 A26 A66
B11 B12 B16
B12 B22 B26
B12 B22 B26
B16 B26 B66
D11 D12 D16
D12 D22 D26
B16 ⎫⎧ ε x0 ⎫ ⎪ ⎪ B26 ⎪⎪⎪ ε y0 ⎪ B66 ⎪⎪⎪⎪ γ xy0 ⎪⎪ ⎬⎨ ⎬ D16 ⎪⎪ χ x ⎪ D26 ⎪⎪ χ y ⎪ ⎪⎪ ⎪ D66 ⎪⎭⎩⎪ χ xy ⎭⎪
(53)
dengan: Nx, Ny dan Nxy = gaya – gaya bidang persatuan panjang.
24
Mx, My dan Mxy = momen bidang persatuan panjang n
Aij = ∑ C ij' k ( z k − z k −1 ) k =1
Bij =
1 n ' ∑ Cij ( z k2 − z k2−1 ) 2 k =1 k
Dij =
1 n ' 3 C ijk ( z k − z k3−1 ) ∑ 3 k =1
(54)(a, b dan c)
Gambar 2.10 Pembebanan pada pelat komposit.
Matriks Aij disebut sebagai matriks kekakuan panjang (extensional stiffness matrix). Matriks Bij adalah matriks kekakuan kopel (couple stiffness matrix), sedangkan matriks Dij adalah matriks kekakuan lentur (bending stiffness matrix). Suku-suku A16 dan A26 menunjukkan adanya kopel antara tegangan normal dan regangan geser, atau tegangan geser dan regangan normal. Hal ini berarti apabila pelat seperti ini diberi beban tarik uniaksial maka akan timbul juga regangan geser, demikian juga sebaliknya. Suku-suku ini akan hilang bila susunan lapisan dibuat balans, dimana bila terdapat lapisan dengan arah serat bersudut θ , harus ada lapisan dengan sudut sebesar − θ dengan ketebalan dan jenis bahan yang sama.
25
Matriks
Bij
menggambarkan
adanya
kopel
atara
gaya-gaya
bidang
( N x , N y , danN xy ) dengan lenturan atau puntiran ( χ x , χ y , danχ xy ). Bila pelat tersebut diberi gaya-gaya bidang, bidang tengah pelat tersebut juga akan melengkung atau memuntir. Suku-suku pada matriks Bij ini akan menjadi nol, bila susunan lapisan simetri. Sedangkan suku-suku D16 dan D26 pada matriks kekakuan lentur Dij menunjukkan adanya kopel antara lenturan dan puntiran.
2.3.3
Modulus Elastisitas Ekuivalen
Pada bidang tertentu, seperti aeroelastisitas diperlukan data modulus elastisitas ekuivalen pelat berlapis. Ini berarti pelat berlapis dianggap sebagai bahan homogen dengan harga modulus elastisitas tertentu. Untuk susuan yang simetri seimbang, harga modulus elastisitas ekivalen ini dapat dicari dengan mudah, yaitu dengan persamaan-persamaan :
⎛ A11 A22 − A122 ⎞ Ex = ⎜ ⎟ A22 h ⎝ ⎠
(55)
⎛ A A − A122 ⎞ E y = ⎜ 11 22 ⎟ A11h ⎝ ⎠
(56)
υ xy =
A12 A A υ yx = 12 Gxy = 66 A22 A11 h
(57)
dimana Ex = modulus elastisitas ekivalen dalam arah longitudinal Ey
= modulus elastisitas ekivalen dalam arah transversal
υ xy
= nisbah poison rasio dalam arah longitudinal
υ yx
= nisbah poison rasio dalam arah transversal
Gxy
= modulus geser
h
= tebal pelat berlapis total
Sedangkan pada pelat berlapis tidak seimbang, maka penentuan modulus elastis ekivalen menjadi lebih rumit, yaitu dengan menginverskan lebih dulu persamaan (53) sehingga diperoleh matrik
26
⎧ ε x0 ⎫ ⎧ H11 ⎪ 0⎪ ⎪ ⎪ ε y ⎪ ⎪ H12 ⎪⎪ γ xy0 ⎪⎪ ⎪⎪ H13 ⎨ ⎬=⎨ ⎪ χ x ⎪ ⎪ H14 ⎪ χ y ⎪ ⎪ H15 ⎪ ⎪ ⎪ ⎪⎩ χ xy ⎪⎭ ⎩⎪ H16
H12 H 22
H13 H 23
H14 H 24
H15 H 25
H 23 H 24
H 33 H 34
H 34 H 44
H 35 H 45
H 25 H 26
H 35 H 36
H 45 H 46
H 55 H 56
H16 ⎫ ⎧ N x ⎫ ⎪ ⎪ H 26 ⎪⎪ ⎪ N y ⎪ H 36 ⎪⎪ ⎪⎪ N xy ⎪⎪ ⎬⎨ ⎬ H 46 ⎪ ⎪ M x ⎪ H 56 ⎪ ⎪ M y ⎪ ⎪⎪ ⎪ H 66 ⎭⎪ ⎪⎩ M xy ⎪⎭
(58)
dimana Ex = ( hH11 )
−1
E y = ( hH 22 )
(59)
−1
(60)
υ xy = −
H12 H 22
(61)
υ yx = −
H12 H11
(62)
Gxy = ( hH 33 )
−1
(63)
2.4 Pemodelan pada NASTRAN
Pemodelan pada Nastran, digunakan beberapa kartu yang berhubungan dengan parameter yang digunakan. Pada tesis ini digunakan solusi 145 yaitu solusi untuk flutter. Pada Tesis ini ada 3 pembagian kartu-kartu yang digunakan : 1. Kartu Struktur Kartu yang digunakan pada bagian sturktur meliputi •
Kartu GRID
•
Kartu CQUAD4
•
Kartu CBEAM
•
Kartu PBEAM
•
Kartu CONM
•
Kartu MAT
2. Kartu Aerodinamik •
Kartu AERO
•
KArtu PAERO
•
Kartu MKAERO
27
3. Kartu penghubung aerodinamik dan struktur •
Kartu SPLINE
•
Kartu SET
4. Kartu penyelesaian flutter •
Kartu EIGR
•
Kartu EIGC
•
Kartu FLFACT
•
Kartu PARAM
Semua penjelasan kartu diatas dapat dilihat pada Lampiran A.
2.4.1 Analisis Material Komposit dalam Nastran
Sejak versi 81, MSC NASTRAN menyediakan analisis material komposit laminat, yang mentransformasikan elemen pelat dan elemen SHELL menjadi elemen berlapis-lapis
.
Komposit
laminat
dapat
dimodelkan
langsung
dengan
menggunakan kartu PCOMP dan MAT8 pada bulk data. Kartu PCOMP mendefinisikan bentuk secara fisik laminat, yaitu orientasi lamina dan tebalnya. Setiap lapisan didefiniskan mulai dari permukaan bawah sampai permukaan atas. Untuk setiap lapisan, material ID (nomor identifikasi material) pada kartu MAT8, ketebalan, orientasi lamina dan output tegangan harus didefinisikan. Kartu PCOMP juga membutuhkan input Z0, jarak dari bidang grid ke permukaan bawah laminat(Z0 selalu negative). Melalui kartu PCOMP, MSC/NASTRAN
menyediakan
output
kekakuan
ekuivalen,
regangan-
kelengkungan tegangan normal dan tegangan geser, tegangan inter laminar dan kriteria kegagalan untuk setiap lapisan, pada setiap elemen, setiap sub kasus.Dengan PCOMP pemakai dapat meminta penggunaan kriteria kegagalan untuk menguji apakah elemen sudah gagal atau belum. NASTRAN akan menampilkan indeks kegagalan untuk setiap lamina jika output tegangan diminta.Indeks kegagalan baik untuk tegangan bidang/ inplane (FP) maupun tegangan interlaminar (FB) akan ditampilkan untuk setiap lamina. Juga indeks kegagalan maksimum setiap elemen. Teori kegagalan yang disediakan MSC?NASTRAN adalah teori Hill, Hoffman, Tsai-Wu dan regangan maksimum.
28
Sedangkan kartu MAT8 mendefinisikan property material ortotropik lamina (data kekakuan ortotropik) dan tegangan material yang diijinkan. Kartu MAT8 mengacu pada kartu PCOMP dan sebaliknya. Material komposit laminat secara konseptual dapat dipandang sebagai tumpukan lamina dengan orientasi arah material yang berbeda. Gambar (2.11) menunjukan 3 pelat laminat jenis cross-ply.
Gambar2.11 laminate model
Lamina ke-n (n=1,2,3,4) dari setiap konfigurasi adalah tegak lurus terhadap sumbu-z system koordinat. Sumbu-1 dan sumbu-2 pada tiap lamina menunjukan arah sumbu material. Bidang xy didefinisikan sebagai bidang tengah lamina. Sejumlah tumpukan lamina dapat dimodelkan dengan sebuah pelat tungal atau elemen shell kaena property material ‘tumpukan’ tercermin secara lengkap pada matriks kekakuan elemen. MSC/NASTRAN menyediakan elemen shell
dan
elemen pelat seperti QUAD4, QUAD8, TRIA3, dan TRIA6 untuk menyatakan komposit laminat dalam model elemen hingga. MAtriks kekakuan elemen secara otomatis dihitung dalam MSC/NASTTRAN dari definisi ketebalan, property material dan orientasi setiap lamina yang dimasukan pemakai dalam Bulk data. Kemampuan penggambaran komposit laminat otomatis ini tersedia dengan analisa aeroelastis maupun optimasi struktur.
29
2.4.1.1 Perbedaan Cara Analisis NASTRAN dengan teori Laminat Classic
Ada perbedaan antara cara analisis NASTRAN dengan Teori CLT sehingga untuk elemen pelat ada 2 hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, definisi gaya aksial dan gaya geser adalah adalah sama, baik pada NASTRAN maupun CLT, sedangkan momen didefinisikan secara berlawanan. Pada NASTRAN, kompresi adalah pada permukaan Z positif. Kedua, pada NASTRAN matriks kekakuan kopel didefiniskan berbeda pada CLT. CLT mendefinisikan matriks kekakuan kopel sebagai − ⎛ − ⎞ Bij = ∑ ⎜ Cij ⎟ tk Z k ⎠k k =1 ⎝ N
(64)
Sedangkan NASTRAN mendefinisikan sebagai : 1
[G4 ] = 2 ∫ ( − Z ) [Ge ] dz t − dapat dibuktikan bahwa [Ge ]k = ⎡⎢C ⎤⎥ ⎣ ⎦k
(65) (66)
dan integrasi dari –t/2 sampai t/2 pada persamaan diatas menjadi
⎛ − ⎞ − t 2G4ij = −∑ ⎜ Cij ⎟ tk zk ⎠k k =1 ⎝ N
(67)
Ini menunjukkan bahwa matrik kekakuan kopel didefinisikan tepat berlawanan tanda satu dengan yang lain. Tetapi laminat didefinisikan sama, sehingga penomeran layer tetap dimulai dari dasar laminat ke atas seperti ditunjukan pada gambar dibawah ini
Gambar 2.12 Susunan laminate
30
Karena itu, pada MSC/NASTRAN hubungan gaya-regangan untuk elemen QUAD4 maupun TRIAD3 didefinisikan sebagai : ⎧ F ⎫ ⎡ tG1 ⎪ ⎪ ⎢2 ⎨ M ⎬ = ⎢t G4 ⎪Q ⎪ ⎢ 0 ⎩ ⎭ ⎣
t 2G4 0 ⎤⎧ε ⎫ ⎥⎪ ⎪ IG1 0 ⎥ ⎨X ⎬ Ts G3 ⎥⎦ ⎪⎩ γ ⎪⎭ 0
(68)
dimana : ⎧ Fx ⎫ ⎪ ⎪ F = ⎨ Fy ⎬ , gaya pada membrane perunit panjang ⎪F ⎪ ⎩ z⎭
⎧M x ⎫ ⎪ ⎪ M = ⎨ M y ⎬ , momen lentur per unit panjang ⎪M ⎪ ⎩ z⎭ ⎧Qx ⎫ Q = ⎨ ⎬ , gaya geser transversal per unit panjang ⎩Qy ⎭ ⎧εx ⎫ ⎪ ⎪ ε = ⎨ ε y ⎬ , regangan membran ⎪ε ⎪ ⎩ zy ⎭ ⎧ χx ⎫ ⎪ ⎪ χ = ⎨ χ y ⎬ , kelengkungan (curvature) ⎪χ ⎪ ⎩ zy ⎭
⎧γ x ⎫ γ = ⎨ ⎬ , regangan geser transversal ⎩γ y ⎭ t= tebal membrane (elemen QUAD4, TRIA3) I = factor inersia (T3/12), NASTRAN Computed Homogeneous inertia, yang dimasukan pada SHELL Ts= [TS/T}(T), factor geser transversal, dimasukan pada PSHELL [G1]= matrik membran 3x 3 [G2]= matrik lentur 3x3 [G4]=matrik kopel silang aksial/lentur 3x3
31
[G3]=matrik geser transversal 3 x 3 dan F dalam lb/in , M dalam in.-lb/in , dan Q dalam lb./in. Persamaan tersebut serupa dengan persamaan gaya-regangan pada CLT, dimana tG1=A t2G4=B IG2=D MSC NASTRAN tidak hanya mengimplementasikan teori laminat klasik. MSC/NASTRAN
mampu
memperhitungkan
tegangan
inter
laminer τ yz
dan τ xz yang pada CLT tidak dapat ditentukan karena adanya asumsi tegangan bidang. Untuk itu MSC/NASTRAN menggunakan teknik pendekatan dengan dasar asumsi antara komponen x dan y dari tegangan tidak terjadi kopel satu sama lain.
2.4.2
Penyelesaian persamaan flutter Nastran
Untuk penyelesaian kasus flutter pada T tail ini dipilih dengan menggunakan metode P-K yaitu dipilih pada kartu FLUTTER. Persamaan solusi flutter pada nastran yaitu ⎡ 1 1 ⎛ ⎞ ⎛ 2 I 2 R ⎞⎤ ⎢ M hh p + ⎜ Bhh − 4 ρ cVQhh / k ⎟ p + ⎜ K hh − 2 ρV Qhh ⎟ ⎥ {uh } = 0 ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎦ ⎣
(69)
Dimana QhhI = Modal aerodynamic damping matrik yaitu fungsi dari M (mach number )
dan k (reduced frekuensi) QhhR = Modal aerodynamic stiffness matrik yaitu fungsi dari M (mach number )
dan k (reduced frekuensi) p =eigenvalue = ω ( γ ± i )
γ = koefisien rata-rata transient ( g = 2γ )
Bentuk matrik dalam persamaan (69) adalah real. QhhI dan QhhR adalah bagian real dan imaginer dari Qhh ( m, k ) . Untuk circular frekuensi dan reduced frekuensi adalah tidak tergantung pada k = ωc / 2V tetapi tergantung
32
⎛ c k =⎜ ⎝ 2V
⎞ ⎟ Im p ⎠
(70)
Pada metode P-K persamaan (69) ditulis dalam bentuk state space
[ A − pI ]{uh } = 0
(71)
dimana A adalah real matrik o I ⎡ ⎤ ⎢ [ A] = ⎢− M −1 ⎡ K − 1 ρV 2Q R ⎤ − M −1 ⎡ B − 1 ρV 2Q I / k ⎤ ⎥⎥ hh ⎢ hh hh ⎥ hh ⎢ hh hh ⎥⎦ ⎥ ⎢⎣ 2 2 ⎣ ⎦ ⎣ ⎦
(72)
dimana {uh } adalah vector modal displacement dan velocities. Hasil eigenvalue dari matrik A mempunyai real dan pasangan komplek conjugate. Akar-akar real mengindikasi kekonvergenan atau kedivergenen yaitu ketika kasus rigid body atau (torsi ) divergensi mode.Untuk akar real, damping menunjukan sebagai koefisien rata penundaaan yaitu jarak pergerakan (dihitung dari panjang cord) sampai setengah (double) amplitude. g = 2γ =
2ρc ( ln 2 )V
(73)
Bagaimanapun, akar dari eigen value akan menghasilkan pasangan komplek conjugate. Solusi osilasi yang terjadi sebagai solusi persamaan (69) membutuhkan solusi iterative yang persamaan (70) selalu terpenuhi pada persamaan (69). Pada kasus static atau divergence akar-akar tidak membutuhkan iterasi yaitu dengan menyeting k = 0.Untuk kasus akar-akar osilasi rigid body dicapai dengan algoritma diatas. Algoritma ini didasarkan pada kemampuan untuk menentukan kestabilan dengan diberikannya kecepatan yang tidak tergantung pada kecepatan rendah maupun tinggi. Persamaan (69) adalah persamaan yang bervariasi terhadap reduced frekuensi. Interasi dimulai pada k=0 ( QhhI dan QhhR diekstrapolasi terhadap k=0 dari nilai
Qhh ( m, k ) dan akar real memenuhi persamaan (70) tetapi untuk akar komplek tidak. Untuk iterasi akar omplek mengikuti proses sebagai berikut : secara umun akar pasangan komplek dapat ditulis sebagai berikut
33
prs( j ) = ωrs( j ) ( γ rs( j ) ± i )
(74)
dimana r menunjukan angka urutan modes tertentu dengan frekuensi (ω1s < ω2 s < ......) dan s menunjukan angka dari mode osilasi yang dicari dan j menunjukan iterasi sehingga untuk nonzero reduced frekuensi yaitu ⎛ c ⎞ k s( j ) = ωss( j ) ⎜ ⎟ ⎝ 2V ⎠
(75)
Untuk menemukan akar akar pertama osilasi nonzero reduced frekuensi yaitu ⎛ c ⎞ k1(0) = ω11 ⎜ ⎟ ⎝ 2V ⎠
diambil dari
(76)
Dan konvergen untuk akar yang pertama yaitu dengan syarat ( j) 1
k
( j −1) 1
−k
ε _ for _ k1( j −1) < 1.0 ε k1( j −1) _ for _ k1( j −1) ≥ 1.0
(77)
dimana ε adalah input dengan default angka 0.001.Sehingga eigenvalue komplek konvergen dengan syarat prs( c ) = ωrs( c ) ( γ rs( c ) ± i )
(78)
dimana hanya pss( c ) harus memenuhi syarat pada persamaan (69) dan (72). Kemudian untuk mencari modus osilasi berikutnya mulai dengan menaikan nilai s dengan angka 1 , dan estimasi pertama dari next reduce frekuensi adalah ⎛ c ⎞ k s( c ) = ωs(,cs)−1 ⎜ ⎟ ⎝ 2V ⎠
(79)
dan iterasi akan dilanjutkan sampai k s( j ) − k s( j −1) < ε _ for _ k s( j −1) atau < ε k s( j −1) _ for _ k s( j −1) ≥ 1.0 terpenuhi. (80)
Persamaan (78) dan (79) digunakan lagi untuk modus gerak yang lebih tinggi lagi.
2.5
Dasar Struktur Beam
Pada tesis ini material beam digunakan untuk momodelkan fuselage. Karena pada tesis ini ditujukan untuk mengetahui ketidakstabilan dinamik khususnya flutter, maka pada kasus ini sangat dekat dengan efek getaran.
34
2.5.1
Persamaan defleksi dan torsi pada beam
Pada kasus bending pada beam diperoleh bahwa hubungan antara load, shear dan momen sebagai berikut :
2.13 Gambar bending Beam
σ=
Mη I
(81)
radius curvature R terjadi dalam hubungan
1 M = R EI
dimana E adalah young modulus, sehingga dapat diperoleh
(82) d2y M = dx 2 EI
d ⎡ S ( x ) ⎤⎦ dx ⎣ d S ( x) = ⎡ M ( x ) ⎤⎦ dx ⎣
(83)
p ( x) =
p ( x) =
(84)
d2 ⎡ M ( x ) ⎤⎦ dx 2 ⎣
(85)
Sehingga dapat diperoleh hubungan untuk distribusi gaya dan defleksi beam
d2 p ( x) = 2 dx
⎡ d2y⎤ ⎢ EI dx 2 ⎥ ⎣ ⎦
(86)
Untuk kasus torsi juga diperoleh dθ =
Tdx GJ
(87)
35
2.5.2 Getaran Lateral pada Beam Homogen
Persamaan (86) adalah persamaan differential yang menghubungkan antara gaya dengan defleksi untuk beam dengan kekakuan EI. Jika beam bergetar pada getar bebas, beam dapat diperhatikan terkena gaya yang bervariasi terhadap panjang beam.Sehingga persamaan tersebut menjadi
∂2 ⎡ ∂2 y ⎤ ∂2 y EI = −m 2 ∂x 2 ⎢⎣ ∂x 2 ⎥⎦ ∂t
(88)
dimana m= masa perunit panjang y= lateral defleksi E= modulus young I= momen inersia dari struktur
Dengan beam homogen maka persamaan (88) menjadi ∂2 y ∂4 y EI 4 = − m 2 ∂x ∂t
(89)
dengan mengasumsikan bahwa normal mode dari vibrasi beam pada setiap posisi x sepanjang beam , defleksinya diasumsikan berosilasi harmonik , maka dengan frekuensi harmonik ω , maka y ( x, t ) = y ( x ) sin ω t
(90)
dengan mensubstitusi (87) ke (88) diperoleh d 4 y mω 2 = y = k2 y 4 dx EI dimana k 2 = ω /
(91)
EI m
Dengan prosedur yang sama untuk torsi diperoleh bahwa GJ
∂ 2θ ∂ 2θ m = − ∂x 2 ∂t 2
(92)
36