BAB II BAHAN RUJUKAN
2.1 Pajak Secara Umum 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak secara umum adalah iuran masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang tanpa mendapatkan jasa timbal balik langsung dapat ditarik dari pembayaran tersebut dan oleh negara digunakan untuk membiayai pembangunan atau untuk melaksanakan tugas negara dalam menjalankan pemerintahan serta pajak dipungut karena keadaan , kejadian, dan perbuatan. Banyaknya pengertian dan definisi yang berbeda dari para ahli mengenai pajak yang tidak merubah arti dari pajak itu sebenarnya karena setiap definisi mempunyai arti dan tujuan yang sama. Sekedar untuk perbandingan , berikut ini disajikan definisi dari beberapa ahli, sebagai berikut: 1.
Menurut Soemitro(2009:1)
yang dikutip oleh Siti Resmi definisi pajak
sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. 2. Menurut Djajadiningrat (2009:1) yang dikutip oleh Siti Resmi definisi pajak sebagai berikut: “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum”.
5
6
3. Menurut Feldmann (2009:2) yang dikutip oleh Siti Resmi definisi pajak sebagai berikut: “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran umum”. 4. Menurut definisi diatas, maka Penulis dapat menyimpulkan definisi pajak sebagai berikut: ”Pajak adalah pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat yang sifatnya dapat dipaksakan dan mempunyai fungsi untuk membiayai pengeluaran umum serta alat untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi”. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak, adalah: 1. Iuran dari rakyat kepada negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yakni pengeluaranpengeluaran pemerintah, yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgetair, yaitu regulerend (mengatur).
2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Suandy (2005:2) ada dua fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Budgetair (Financial) Fungsi budgeter yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
7
2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Fungsi regulerend yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur baik masyarakat di bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu. Contoh : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia. Berdasarkan fungsi pajak tersebut Penulis menyimpulkan fungsi pajak bagi pemerintah kota Bandung yaitu digunakan untuk berbagai keperluan pemerintah
daerah serta akan memberikan pemasukan (revenue) khususnya
kepada pemerintah daerah untuk pembangunan kota Bandung dan pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur).
2.1.3 Dasar Hukum Perpajakan Dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah pasal 23 ayat 2 undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “Segala pajak untuk keperluan kas negara berdasarkan undang-undang”. Hal ini berarti beban pajak harus berdasarkan undang-undang, tidak boleh berbentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden. Berdasarkan dasar hukum pajak diatas Penulis menyimpulkan bahwa pemungutan pajak di Indonesia telah dibuat sesuai dengan situasi di negara ini dan sah untuk diterapkan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali karena semua telah di tetapkan dengan jelas dan tanpa memberatkan siapapun karena telah diukur dengan kapasitas masyarakat Indonesia.
8
2.1.4 Pengelompokkan Pajak 1. Menurut golongannya a. Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Tidak langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berdasarkan kedua penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa pembagian pajak menurut golongannya dapat dikelompokan menjadi dua yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung merupakan pajak yang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain dan harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak, sedangkan pajak tidak langsung merupakan pajak yang dapat dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut lembaga pemungutnya atau kewenangan memungutnya a. Pajak Negara atau Pusat Pajak negara atau pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. b. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak daerah terdiri atas: •
Pajak Provinsi : pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
•
Pajak Kabupaten/Kota: pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan.
9
Berdasarkan kedua penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutnya dapat digolongkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Sedangkan pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah yang akan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
3. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak Objektif Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Berdasarkan kedua penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa pengelompokan pajak menurut sifatnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif yaitu pajak yang dalam pengenaannya disesuaikan dengan keadaan dan kondisi Wajib Pajak. Jika penghasilan Wajib Pajak besar maka pajaknya pun akan besar begitu pula sebaliknya. Jadi tarif pajak disesuaikan dengan kondisi Wajib Pajak. Sedangkan pajak objektif yaitu tarif pajak ditentukan berdasarkan nilai dari objek pajak tersebut dan tidak memperhatikan keadaan dan kondisi Wajib Pajak.
10
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2008:7) beberapa sistem pemungutan pajak di Indonesia yang diberlakukan oleh pemerintah diantaranya : a. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. 2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirinya yaitu wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada dipihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak. Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan dan pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
11
2.2 Pajak Bumi dan Bangunan 2.2.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Darwin (2009:6) mendefinisikan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai berikut: ”Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak gerak berupa bumi dan atau bangunan”. Menurut para ahli pajak Penulis menyimpulkan definisi Pajak Bumi dan Bangunan sebagai berikut: ”Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek pajak yaitu bumi dan bangunan”.
2.2.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Menurut Mardiasmo (2008:315) asas Pajak Bumi dan Bangunan telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu: 1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan 2. Adanya kepastian hukum 3. Mudah dimengerti 4. Menghindari pajak berganda Berdasarkan asas tersebut Penulis menyimpulkan asas Pajak Bumi dan Bangunan telah ditentukan oleh undang-undang serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.2.3 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah undangundang No.12 tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.12 tahun 1994 perubahan tersebut menyangkut terhadap peraturan pelaksanaannya, yang dalam hal ini berupa keputusan Menteri Keuangan No.1007/KMK/04/1985, keputusan bersama Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat
Jenderal
No.Kep.30/PJ.7/1986,
Pemerintahan No.973-562
Umum
yang
isinya
dan
Otonomi
pelaksanaan
Daerah
pelimpahan
12
kewenangan Menteri Keuangan dalam hal penagihan pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. Berdasarkan dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan diatas Penulis menyimpulkan perubahan atas dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan mengenai pelaksanaan pelimpahan kewenangan Menteri Keuangan dalam hal penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur/Walikota.
2.2.4 Objek dan Subjek Pajak 2.2.4.1 Objek Pajak Menurut Mardiasmo (2008:315) yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan bangunan. ”Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi
meliputi
tanah
dan
perairan
pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia”. Yang dimaksud
dengan
klasifikasi bumi dan
bangunan
adalah
pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
”Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan”.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan
13
b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan b. Jalan tol c. Kolam renang d. Pagar mewah e. Tempat olah raga f. Galangan kapal, dermaga g. Taman mewah h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan selain tanah, perairan juga merupakan objek pajak sehingga tidak heran bahwa objek-objek yang ada di perairan seperti tambang minyak lepas pantai, budidaya mutiara di laut merupakan objek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan.
1. Pengecualian objek Pajak Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang: a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain: 1) Di bidang tanah, contoh: masjid, gereja, wihara 2) Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit 3) Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren 4) Di bidang sosial, contoh: panti asuhan 5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
14
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak. d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 2. Objek
pajak
yang
digunakan
oleh
negara
untuk
penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang memiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi atau bangunan milik perseorangan
atau
bukan
yang
digunakan
oleh
negara,
kewajiban
perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan. 3. Pemerintah menaikkan batas Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari Rp. 12.000.000,- menjadi Rp. 24.000.000,-. NJOPTKP terbaru ini, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2011 yang ditetapkan paling tinggi Rp. 24.000.000,-. Angka tersebut naik jika bandingan NJOPTKP yang diatur Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 201/KMK.04/2000 yakni Rp. 12.000.000,-. NJOPTKP terbaru ini, berlaku 1 Januari 2012. sehingga, semua transaksi jual- beli tanah dan rumah atau bangunan setelah 1 Januari 2012 dapat diperhitungkan besaran PBB-nya dengan menggunakan NJOPTKP Rp. 24.000.000,-
15
2.2.4.2 Subjek Pajak Menurut pasal 4 ayat (1) undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.12 Tahun 1994 subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas tanah dan atau bangunan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau bangunan serta memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas subjek pajak sebagaimana dimaksud di atas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undangundang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam hal atas suatu objek pajak yang belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan seseorang yang memiliki tanah atau bangunan merupakan subjek pajak, penyewa atas tanah dan bangunan tersebut juga merupakan subjek pajak karena kedua pihak tersebut sama-sama memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan yang dimiliki atau disewanya.
2.2.5
Tarif Dasar Pengenaan, Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan
2.2.5.1 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Pasal 5 undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 (lima persepuluh persen). Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah tarif tunggal sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). Pajak yang dibayar selalu akan berubah sesuai dengan jumlah yang dikenakannya.
2.2.5.2 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo (2008:321) dasar pengenaan pajak adalah: 1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
16
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat. 3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 4. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Untuk perkembangan sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu: 1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk: a. Objek pajak perkebunan b. Objek pajak kehutanan c. Objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk: a. Objek pajak pertambangan
17
b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2.2.5.3 Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Faktor-faktor penting dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut: 1. Tarif Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan No.12 tahun 1985 yang diubah dengan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan No.14 tahun 1994 menyatakan bahwa tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak (bumi dan bangunan) adalah sebesar 0,5% Tarif yang sebesar 0,5% tersebut, efektifnya adalah: -
0,5% x 40% = 0,2%
-
0,5% x 20% = 0,1%
2. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau dengan nilai perolehan baru. Yang dimaksud dengan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah, suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkan dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah diketahui harga jualnya. Sedangkan nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. 3. Nilai Jual Kena Pajak Merupakan dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan yang ditetapkan oleh pemerintah serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%.
Besarnya
persentase
NJKP ditetapkan berdasarkan peraturan
18
pemerintah dengan memperhatikan keadaan perekonomian pada umumnya terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan khususnya bagi Pemerintah Daerah dan tidak ditentukan jangka waktu masa berlakunya, tergantung pada kondisi ekonomi nasional. 4. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Adalah batasan nilai jual objek pajak yang tidak kena pajak dan bertujuan untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak. NJOPTKP yang ditetapkan adalah sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah). Setelah diketahui faktor-faktor sebagaimana disebutkan diatas, maka penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang dilakukan dengan formula sebagai berikut: •
NJOP Tanah
= luas x nilai jual/m2 = Rp.
•
NJOP Bangunan
= luas x nilai jual/m2 = Rp.
•
NJOP dasar pengenaan
= Rp.
•
NJOPTKP
= Rp.
•
NJOP untuk penghitungan PBB
= Rp.
+
-
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan NJKP.
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5% [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
2.2.6 Tahun, Saat dan Tempat Pajak Terutang 2.2.6.1 Tahun Pajak Menurut pasal 8 ayat (1) 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.12 Tahun 1994, tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
19
Berdasarkan penjelasan diatas Penulis dapat menyimpulkan bahwa tahun pajak telah ditetapkan menurut undang-undang dan tanpa membebankan wajib pajak karena disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
2.2.6.2 Saat Pajak Terutang Menurut Pasal 8 ayat (2) No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang. Contoh: a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2008 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar. b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 Agustus 2008 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri satu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2008 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2008. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pajak pada tahunn 2009.
2.2.6.3 Tempat Pajak Terutang Menurut Pasal 8 ayat (3) N0.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tempat pajak yang terutang adalah sebagai berikut: a. Untuk Daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah tingkat II atau Kotamadya Daerah Tinngkat II yang meliputi letak objek pajak.
20
2.3
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
2.3.1 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Menurut Mardiasmo (2008:316) definisi surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) sebagai berikut: ”Surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan”. Menurut Mardiasmo(2008:316) definisi surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) sebagai berikut: ”Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang) berdasarkan SPOP ( surat pemberitahuan objek pajak) wajib pajak”. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak. Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah: Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri. Benar berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanah atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada surat pemberitahuan objek pajak (SPOP). Dirjen
Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP
yang
diterimanya. SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib
21
pajak SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
2.3.2 Surat Ketetapan Pajak (SKP) Surat ketetapan pajak adalah surat keputusan kepala kantor Pelayanan Pajak Pratama atau kepala kantor pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada wajib pajak. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP yang telah diberikan dan harus dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Menurut Waluyo (2009:163) surat ketetapan pajak dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal: 1. SPOP tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran. 2. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
2.4
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
2.4.1 Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Mardiasmo (2008:328) tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagai berikut: 1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. 2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak. 3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen)
22
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang bayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang bayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam No.3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang bayar ditagih dengan surat tagihan pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak. Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti dalam No.3 diatas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut. 5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri. 7. Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan surat tagihan pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak. 8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa. Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan undang-undang No.19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Berdasarkan penjelasan diatas, maka Penulis menyimpulkan pembayaran PBB dapat dilakukan oleh setiap wajib pajak melalui 4 (empat) cara diantaranya, pembayaran langsung ke Bank / kantor pos tempat pembayaran, pembayaran menggunakan mekanisme pengiriman uang / transfer, pembayaraan PBB melalui petugas pemungut, dan pembayaran PBB secara elektronik melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
23
2.4.2 Pembagian Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Waluyo (2009:165) pembagian Pajak Bumi dan Bangunan sebagai berikut: Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan Daerah yang bersangkutan, sedangkan sisanya 10% merupakan bagian Pemerintah Pusat. Dengan memperhatikan pembagian tersebut terlihat bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II. Imbangan pembagian hasil penerimaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka Penulis menyimpulkan hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan negara dan disetor sepenuhnya ke rekening kas negara. Hasil penerimaan PBB dibagi untuk Pemerintah Pusat 10% dan 90% untuk Pemerintah Daerah.
2.5
Sanksi
2.5.1 Sanksi Administrasi Menurut Waluyo (2009:163) sanksi administrasi dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan meliputi kondisi: 1. Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP walaupun telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% (dua puiuh lima persen) dihitung dari pokok pajak. 2. Wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
SPOP,
maka
selisih
pajak
yang
terutang
tersebut
ditambah/dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terutang. 3. Wajib pajak tidak membayar atau kurang membayar. Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
24
sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Berdasarkan penjelasan diatas Penulis dapat menyimpulkan apabila wajib pajak tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan, maka akan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.
2.5.2 Sanksi Pidana Menurut Waluyo (2009:164) sanksi pidana diatur sebagai berikut: 1. Barang siapa karena kealpaannya: a. Tidak mengembalikan/menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. b. Menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan melampirkan keterangan yang tidak benar. Sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang. 2. Barang siapa dengan sengaja: a. Tidak mengembalikan/menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. b. Menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterngan yang tidak benar. c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya. e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
25
Sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. 3. Terhadap kategori bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d dan e, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Pengertian bukan wajib pajak diatas adalah pejabat yang bertugas dan pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak atau pihak lainnya. Ancaman pidana pada angka 2 dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda. Selanjutnya tindak pidana tidak dapat dituntut setelah lampau 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan barang siapa dengan sengaja tidak menyampaikan SPOP, menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau lengkap atau tidak melapirkan keterangan yang tidak benar, memperlihatkan surat palsu, tidak memperlihatkan atau meminjamkan surat atau dokumen lainnya, dan tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggu-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang.