BAB II BAHAN RUJUKAN
2.1
Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap orang yang berada di suatu negara dan
yang berada di seluruh dunia, oleh karena itu pajak merupakan suatu permasalahan yang umumnya selalu ada setiap melakukan aktivitas kapan dan dimanapun kita berada. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota masyarakat suatu negara harus
mengetahui segala permasalahan yang
berhubungan dengan pajak, baik mengenai asas-asasnya, jenis atau macammacam pajak yang berlaku pada setiap negara, tata cara pembayaran pajak serta hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak. Penghasilan negara berasal dari rakyatnya melalui pungutan pajak dan/atau dari hasil kekayaan alam (natural resources) yang ada di dalam negara itu. Dua sumber itu merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan Negara tersebut digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Pungutan pajak
mengurangi penghasilan/kekayaan individu tetapi
sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaranpengeluaran pembangunan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat, baik yang membayar pajak maupun yang tidak.
2.1.1
Pengertian Pajak Terdapat beberapa pengertian atau definisi dari pajak berdasarkan
pendapat para ahli yang nampak berbeda namun mempunyai inti dan tujuan yang sama.
Menurut Rochmat Soemitro, (1990;5) yang dikutip oleh Mardiasmo (2001;1) pajak adalah : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Soeparman Soemahamidjaja yang dikutip oleh Erly Suandy (2005;1) pajak adalah : “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Menurut P. J. A. Andriani yang diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo, (1991;2) dan dikutip oleh Waluyo, (2005;2) pajak adalah : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya melalui peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”. Dari beberapa definisi di atas yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu pajak merupakan iuran wajib yang dikeluarkan oleh wajib pajak berupa sejumlah uang yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan timbal balik atas pembayaran pajak tersebut, apabila wajib pajak melanggar akan terkena sanksi berupa denda. Pajak dipungut oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat berdasarkan undangundang untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah itu sendiri.
2.1.2
Dasar Hukum Pajak Di Negara kita, landasan pemungutan pajak telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (2) yang berbunyi : “segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang”.
2.1.3
Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalan kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran pembangunan. Menurut Erly Suandy (2005;14) fungsi pajak dibagi 2, yaitu : 1.
Fungsi Budgetair (penerimaan) Pajak
sebagai
sumber
dana
bagi
pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluarannya. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2.
Fungsi Regulerend (Mengatur) Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang ekonomi, sosial maupun politik dengan tujuan tertentu. Contoh : a. Dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Dikenakannya pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah dengan tujuan untuk mengurangi gaya hidup yang konsumtif. c. Tarif pajak 0% untuk ekspor dengan tujuan mendorong ekspor produk dalam negeri di pasar dunia. Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat
dalam contoh sebagai berikut : 1. Pemberian fasilitas bebas pajak terhadap pengusaha yang membuka lapangan usaha di daerah terpencil. 2. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. 3. Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2006;7) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3, yaitu :
1.
Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kapada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : a.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang berada pada fiskus.
b.
Wajib pajak bersifat pasif.
c.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2.
Self assessment system Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenag kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri pajak yang terutang. Ciri-cirinya : a.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak ada pada wajib pajak sendiri.
b.
Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c. 3.
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.5
Aturan Pelaksanan Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2006;7) dijelaskan mengenai tatacara pemungutan
pajak yang dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stesel, yaitu : 1.
Stesel Nyata (Riil Stesel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stesel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui ) .
2.
Stesel Anggapan (Fictive Stesel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-Undang , sebagai contoh, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.Tanpa harus menunggu akhir tahun.Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3.
Stesel Campuran Stesel ini merupakan kombinasi antara stesel nyata dan stesel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, wajib pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya.apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diambil kembali. Tetapi pada pajak daerah ,tata cara pemungutan pajak ditetapkan oleh kepala daerah masing-masing.
2.1.6
Asas-asas Pemungutan Pajak Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-
asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya.Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Menurut Mardiasmo (2006;7) asas-asas pemungutan pajak tersebut,yaitu :
1.
Asas Domisili (Asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya.baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2.
Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
3.
Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
2.1.7
Pembagian Jenis Pajak Pembagian pajak dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang
pemungut, dan sifatnya, yang diuraikan menurut Erly Suandy (2005;37) sebagai berikut : 1.
Berdasarkan Golongan a. Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut juga sebagai pajak tidak langsung. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2.
Berdasarkan Sifat a. Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasanalasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya. Contoh : Pajak Penghasilan (Pph) b. Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memperhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
3.
Berdasarkan Wewenang Pemungut a. Pajak
Pusat/Pajak
Negara
adalah
pajak
yang
wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui
Direktorat Jendral
Pajak. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Contoh :
b.
¾
Pajak penghasilan,
¾
Pajak Bumi dan Bangunan, dan
¾
Bea materai
Pajak Daerah Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan.
2.2
Pajak Daerah Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
dengan peraturan daerah (PerDa), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan daerah.
2.2.1
Pengertian Pajak Daerah Pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Peraturan
daerah
dapat
menetapkan
jenis
pajak
Kabupaten/Kota lainnya dengan kriteria sebagai berikut: 1.
Bersifat pajak dan bukan retribusi;
2.
Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilisasi yang cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat
di
wilayah
daerah
Kabupaten/Kota
yang
bersangkutan; 3.
Objek dan dasar pengenaan tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
4.
Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak pusat;
5.
Potensinya memadai;
6.
Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7.
Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan
8.
Menjaga kelestarian linkungan.
2.2.2
Dasar Hukum Pajak Daerah
1.
Pasal 23 ayat (2) Undang-undang dasar 1945.
2.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.
3.
Peraturan Pemerintah Nomr 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Pajak Daerah belum dapat diberlakukan sebelum diterbitkan dan ada peraturan daerah yang disetujui Menteri Dalam Negeri.
2.2.3
Jenis Pajak Daerah
Pajak daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdiri dari : 1.
Pajak Daerah Tingkat I a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air
d.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2.
Pajak daerah Tingkat II a.
Pajak Hotel
b.
Pajak Restoran
c.
Pajak Hiburan
d.
Pajak Reklame
e.
Pajak Penerangan Jalan
f.
Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C
g.
Pajak Parkir
h.
Pajak Sewa Menyewa/Kontrak Rumah dan/atau Bangunan.
Dibandingkan dengan reformasi pajak pusat yang sudah dimulai sejak tahun 1983 reformasi pajak daerah relatif terlambat karena baru dimulai tahun 1997 dengan disahkannya Undang-undang Pajak dan Retribusi Daerah. Namun tidak berarti pajak daerah dianggap kurang penting dibandingkan dengan pajak pusat apalagi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
2.3
Pajak Penerangan Jalan
2.3.1
Pengertian Penerangan Jalan dan Pajak Penerangan Jalan Penerangan jalan adalah penggunaan tenaga listrik untuk penerangan jalan
umum yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.Tenaga listrik yang dimaksud adalah tenaga listrik atau arus bolak balik yang berasal dari PLN
maupun bukan dari PLN. Tenaga listrik yang berasal bukan dari PLN adalah tenaga listrik yang dibangkitkan oleh generator diesel, genset, captive power, turbin gas dan sejenisnya milik orang pribadi atau badan untuk keperluan industri dan/atau niaga/bisnis sebagai tenaga pembangkit murni dan cadangan baik yang tersambung atau tidak/belum tersambung dengan daya PLN. Sedangkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung No.28 Tahun 2002, pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik dengan ketentuan bahwa di daerah tersebut tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
2.3.2
Dasar Hukum Pajak Penerangan Jalan
1. Undang-undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimna telah dirubah menjadi Undang-undang No.34 Tahun 2000. 2. Peraturan Daerah No. 28 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan Jalan
2.3.3 Objek Pajak, Subjek Pajak dan Wajib Pajak Objek pajak adalah setiap penggunaan tenaga listrik di Daerah berasal dari PLN maupun non PLN yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah Daerah. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik baik yang berasal dari PLN maupun yang berasal dari bukan PLN.Subjek pajak untuk pajak penerangan jalan terbagi kedalam beberapa golongan,antara lain sebagai berikut : 1. Golongan Tarif Sosial yang selanjutnya disebut golongan tarif S adalah golongan yang diperuntukan bagi kepentingan sosial yang terdiri dari : a. S-1 dengan konsumsi daya sampai dengan 200 (dua ratus) VA b. S-2 dengan konsumsi daya 900 (sembilan ratus) VA sampai dengan 200 KVA c. S-3 dengan konsumsi daya diatas 200 kVA
2.
Golongan Tarif Rumah Tangga yang selanjutnya disebut Golongan Tarif R adalah Golongan tarif yang diperuntukan bagi kepentingan rumah tangga yang terdiri dari : a. R-1 dengan konsumsi daya 450 (empat ratus lima puluh) VA sampai dengan 2.200 VA b. R-2 dengan konsumsi daya 2.201 VA sampai dengan 6.600 VA c. R-3 dengan konsumsi daya diatas 6.600 VA
3.
Golongan Tarif Bisnis yang selanjutnya disebut dengan golongan tarif B adalah Golongan Tarif diperuntukan bagi kepentingan bisnis yang terdiri dari : a. B-1 dengan konsumsi daya 450 (empat ratus lima puluh) VA sampai dengan 2.200 VA b. B-2 dengan konsumsi daya 2.200 (dua ribu dua ratus) VA sampai dengan 200 (dua ratus) kVA c. B-3 dengan konsumsi daya diatas 200 (dua ratus) kVA
4.
Golongan Tarif Industri yang selanjutnya disebut Golongan Tarif I adalah Golongan yang diperuntukan bagi kepentingan industri yang terdiri dari : a. I-1 dengan konsumsi daya 450 (empat ratus lima puluh) VA sampai dengan 14 (empat belas) kVA b. I-2 dengan konsumsi daya 14 kVA sampai dengan 200 kVA c. I-3 dengan konsumsi daya diatas 200 kVA d. I-4 dengan konsumsi daya diatas 30.000 (tiga puluh ribu) kVA Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan
listrik dan/atau pengguna listrik.
2.3.4
Pengecualian Objek Pajak
Objek pajak penerangan jalan yang dikecualikan adalah : a.
Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
b.
Penggunaan listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat,perwakilan asing dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbale balik,
c.
Penngunaan listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitas lebih kecil dari 35 (tiga puluh lima) kVa,
d.
Penggunaan tenaga listrik untuk kepentingan Sosial dengan daya listrik sampai dengan 200(dua ratus) kVa, dan
e.
Penggunaan tenaga listrik untuk kepentingan rumah tangga dengan daya listrik sampai dengan 450 (empat ratus lima puluh) VA
2.3.5
Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Penerangan Jalan
1.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Tenaga Listrik, terdiri atas : a.
Dalam hal Tenaga Listrik yang berasal dari PLN dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban.
b.
Dalam hal tenaga Listrik yang berasal bukan dari PLN dengan tidak dipungut bayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik atau taksiran penggunaan listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di Daerah.
c.
Khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik ditetapkan sebesar 30 % (tiga puluh persen).
2.
Tarif Pajak ditetapkan sebagai berikut : a.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk golongan S-3 sebesar 3 % (tiga persen).
b.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk golongan R-1 dengan daya 900 VA ke atas serta golongan R-2 dan R-3 sebesar 5% (lima persen)
c.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk golongan B-1 sampai dengan B-3 sebesar 5% (lima persen)
d.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk golongan I.1I.2 sebesar 10% (sepuluh persen)
e.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari PLN untuk golongan I.3 sampai dengan I.4 sebesar 8,3%(delapan koma tiga persen)
f.
Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN sebesar 9% (sembilan persen)
2.3.6
Cara Penghitungan Pajak Penerangan Jalan Cara perhitungan pajak penerangan jalan ditetapkan oleh peraturan
daerah.Umumnya peraturan daerah akan menetapkan bahwa pajak penerangan jalan ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II dan berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri. Besarnya pokok pajak dihitung dengan
mengalikan tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dengan dasar pengenaan pajak.Sesuai dengan Peraturan Daerah No. 28 Tahun 2002 : 1.
Untuk tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan memasang alat ukur, penghitungan biaya pemakaian sama dengan hasil perkalian jumlah kWH pemakaian tenaga listrik dengan harga satuan listrik dengan rumus sebagai berikut: BIAYA = Jumlah kWH x Rupiah per kWH
2.
Untuk tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan tidak memasang alat ukur,penghitungan biaya pemakaian ditetapkan dengan rumus sebagai berikut : BIAYA = kVA x Faktor Daya x Jam Nyala x Rupiah per kWH
2.3.7
Masa Pajak dan Saat Terutangnya Pajak Penerangan Jalan Masa pajak adalah 1 (satu) bulan takwin atau jangka waktu lain yang
ditetapkan oleh Walikota. Untuk tenaga listrik yang berasal dari PLN, pajak yang terutang pada masa pajak terjadi pada saat diterbitkannya rekening listrik oleh
PLN.Sedangkan untuk tenaga listrik yang berasal bukan dari PLN, wajib pajak harus mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) diisi dengan jelas dan lengkap. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) ini harus disampaikan kepada Walikota sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Walikota, bentuk isi dan tata cara pengisian SPTPD ditetapkan lebih lanjut oleh Walikota.
2.3.8
Aturan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penerangan Jalan Sesuai dengan Peraturan Daerah No. 28 tahun 2002 Tentang Pajak
Penerangan Jalan, tenaga listrik yang disediakan oleh PLN pemungutan pajaknya dilakukan
oleh
PLN
pada
saat
pembayaran
rekening
listrik
oleh
pelanggan.Sedangkan untuk tenaga listrik yang disediakan bukan dari PLN, pajak dipungut berdasarkan penetapan Walikota atau dibayar sendiri oleh wajib pajak. Kewajiban pajak tersebut dipungut dengan menggunakan SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah). Wajib pajak yang memenuhi kewajiban pajaknya dengan membayar sendiri menggunakan SPTPD (Surat Pemberitahuan Pajak Daerah) dalam menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak terutang. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak,Walikota atau pejabat berwenabg yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKP (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain,pajak yang terutang tidak atau kurang bayar. Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak, Walikota atau pejabat berwenang yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPBKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) apabila ditemukan data baru/data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.