BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
Tujuan membentuk
keluarga
adalah untuk memperoleh putera, y a k n i putera utama. Nilai antara
menurut
agama
terutama yang
Hindu suputera,
seorang putera yang suputera
lain dilukiskan dalam
kitab
slokantara
sebagai
ber ikut : Kupasatad wai paraman sarati, sarah satad wai parama pi yajnah, y a j n a h satad wai parama p i putrah Kalinganya, hana pwekang megawe sumur satus, alah ika dening megawe telaga tunggal, lwih ikang megawe telaga. Hana pwekang megawe telaga satus, alah ika phalanya dening wang gumawe yadna pisan. Ananta lwih ing gumawe aken yajna, kunang ikang wenang meyajna ping satus, alah ika phalanya den i n g k a n g w a n g m e a n a k t u n g g a l , y a n a n a k ika wisesa. Kalinganya ikang manak aneka, ta lwih phalannya. (dalam Warta Hindu Dharma No. 251).
.
Artinya : Membuat sebuah telaga untuk umum lebih baik dari pada membuat seratus sumur. Melakukan yadnya (korban) sekali lebih baik daripada membuat seratus telaga untuk umum. Mempunyai seorang putera utama (suputera) lebih tinggi pahalanya daripada melakukan seratus yadnya.
Dalam salah satu bait kekawin Nitisastra, disebutkan sebagai berikut:
Sang Hyang Candera Tranggana pinaka dipa memadangi ri kalaning wengi. Sang Hyang Surya sedeng prebase pinake dipa memadangi ri bhumi mandala. Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuwana sumena prabhaswara. Yan ring putera, suputera sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhana. Artinya: Bulan dan bintang sebagai pelita yang menerangi di waktu malam, Matahari yang sedang terbit, sebagai pelita menerangi bumi, Ilmu pengetahuan dan sastera, sebagai pelita menerangi dunia secara sempurna Kalau di kalangan putera, putera utama (suputera) sebagai pelita menerangi seluruh keluarga.
Berdasarkan kedua sumber, Slokantara dan Nitisastera tersebut, dapat ditafsirkan bahwa dalam keluarga
Hindu,
sebenarnya bukan banyaknya anak yang dipentingkan, melainkan kualitas anak. Anak yang berkualitas baik, dapat memberikan kebahagiaan bagi orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Sebaliknya, anak yang berkualitas jelek dapat membawa kehancuran dunia. Berbicara masalah kualitas anak, sebagai ilustrasi dapat diambil
ceritera pewayangan Mahabrata.
Pandhu yang berjumlah 5 orang
Putra Prabu
(Pendawa Lima) dikenal
sebagai putra yang berkualitas baik. Mereka adalah penegak dharma (kebenaran). Sebaliknya, putra-putra Prabu Drestarata yang berjumlah seratus
(Seratus Korawa) , dikenal
sebagai putra-putra yang berkualitas buruk, yang membawa mala petaka.
Apabila seseorang tidak mempunyai putra yang baik, putra yang tidak baikpun dapat menggantikan
kedudukan
putra yang baik bagi leluhur yang menderita di akhirat. Hal itu disebutkan dalam ayat 161 Menawa Dahrmasastra bab I X , yang bunyinya sebagai berikut:
juya yang diperoleh sebagai pahala dalam Apapun mengarungl lautan dengan memakai perahu yang tidak aman, demikianlah umpamanya anak yang tidqk baik dimaksudkan menggantikan kedudukan anak yang baik bagi keluarga yang menderita di akhirat .
Bagi seseorang, bukan hanya mempunyai putra yang penting, akan tetapi supaya putranya itupun mempunyai putra yang akan menyambung keturunannya. Melahirkan dan memelihara keturunan merupakan salah satu card untuk membayar hutang kepada orang tua
(BKKBN, 1985) karena
dengan melahirkan anak orang tua akan mempunyai cucu dan add anggapan
bahwa setelah mempunyai cuculah seseorang
baru mencapai tujuan hidupnya. diungkapkan dengan pernyataan menyelamatkan si kakek).
Di masyarakat Bali ha1 ini
I cucu nyupat I kaki. (Cucu
Penjelasan terhadap ha1 ini
dapat disimak dari ceritera mitos si Jaratkarul) yang menceriterakan tentang pertemuan si Jaratkaru dengan arwah leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Dalam pertemuannya itu, roh leluhurnya berkata sebagai berikut: 1) Periksa Adiparwa bab V. Dapat dibaca pula I.G.K. Jelantik "Putra Sesana" dalam majalah Warta Hindu Dharma No.60 tahun 1972. hal. 3 .
Mahante hetu mamin pegat sakeng pitra loka, meqantungan petung sawulih hanken tibeng neraka loka, tattwa nihang petung sawulih hana wangsa mami asiki, Jaratkaru ngaranya, adan moksa witha ya mahyun luputeng sarwa janma bandana, tatan pastri, ya cukla brahmacari. Terjemahan:
Beginilah akibatnya mengapa saya putus hubungan pada sebilah dengan dunia atman kini terqantung bambu, hampir jatuh ke neraka. Adanya sebilah bambu ini karena saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, tetapi berkeinginan untuk tidak kawin, ia menjalankan cukla bhrahmacari. Jawaban si Jaratkaru: Hanan pwa margantha, muliheng swargha, tan sangcaya rahadyan sangnulun kabeh, marya nghulun bhrahma carya ametanah bi panaka ni nghulun. Artinya: Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah ragu dan takut, hamba akan berhenti menjalankan bhrahmacari. Hamba akan kawin dan memperoleh anak
.
Beberapa sumber tersebut menunjukkan betapa pentinqnya peranan yang dimainkan oleh keturunan dalam kehidupan orang tua di dunia dan setelah di akhirat.
Oleh karena
itu jika seseorang tidak berhasil memperoleh keturunan dalam
perkawinannya, suami istri berupaya mendapatkannya
dengan mengangkat anak (mengadopsi) dari keluarga lain yang ada hubungan kerabat dengan mereka. Upaya tersebut diatur dalam
Menawa Dharmasastra IX : 141.
Keturunan yang dimaksud di sini adalah keturunan laki-laki. Fungsi keturunan laki-laki disebutkan dalam Menawa Dharmasastra IX : 137, yaitu sebagai berikut:
Melalui anak laki-laki ia menundukkan dunia, melalui cucu laki-laki ia mencapai kekekalan dan melalui anak dari cucu itu ia mencapai alam matahari . Maksudnya: melalui keturunan laki-lakilah tujuan hidup orang tua tercapai.
Seseorang yang tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam perkawinannya, dapat mengangkat anak perempuannya sendiri sebagai s e n t a n a r a j a g
yang kedudukannya sama
seperti anak laki-laki. Hal tersebut di atur dalam Menawa Dharmasastra IX : 127-140. Peranan yang bersifat keagamaan yang dimainkan oleh keturunan, khususnya keturunan laki-laki dalam kehidupan orang tua di dunia maupun di akhirat itu, memberi corak patrilineal pada hukum adat yang berlaku secara positip di masyarakat Bali.
Corak patrilineal tersebut tampak antara
lain dalam kaidah-kaidah pewarisan, Pewarisan menurut hukum adat Bali meliputi pewarisan atas hak berupa harta kekayaan material maupun pewarisan kewajiban yang bersifat adat dan keagamaan, seperti pewarisan tanggungjawab/kewajiban memelihara dan melakukan upacara ritual di tempat pemujaan leluhur (sanggah) serta pewarisan ayahan (kewajiban adat) ke masyarakat banjar dan desa adat. Menurut hukum adat Bali, yang tergolong sebagai ahli waris adalah :
(Pangkat, 1972;
Paneca, 1986).
1)
Setiap laki-laki dalam hubungan purusa')
selama tidak
terputus haknya untuk menerima warisan. 2)
Setiap
sentana
rajeg
selama
tidak terputus haknya
untuk menerima warisan. Seorang anak laki-laki terputus haknya untuk menerima warisan antara lain apabila :1) diangkat anak (diadopsi) oleh keluarga lain, 2) kawin keluar menjadi suami sentana rajeg, 3) pindah agama.
4)
durhaka kepada pewaris. Seorang
sentana rajeg terputus haknya menerima warisan, apabila: 1) pindah ke agama lain, 2) tidak melaksanakan kewa-
jibannya sebagai sentana rajeg, misalnya apabila kawin keluar meninggalkan statusnya sebagai sentana rajeg). Kedudukan keturunan laki-laki sebagai ahli waris sudah pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indo- nesia antara lain dalam yurisprudensi tertanggal
24
No.32
K/Sip/1971,
Maret 1971. Dalam yurisprudensi tersebut
dengan tegas disebutkan bahwa ahli
waris menurut hukum
adat Bali adalah keturunan laki-laki. Kaidah-kaidah hukum adat yang bercorak patrilineal tersebut, mempengaruhi perilaku anggota masyarakat (dalam ha1 ini
suami istri) dalam
membentuk keluarga.
Pengaruh
tersebut tampak dalam ha1 adanya kecenderungan mereka lebih mengharapkan lahirnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. 1) Pengertian purusa lebih luas dari pengertian laki-laki. Didalamnya termasuk laki-laki dan perempuan yang berstatus laki-laki (sentana rajeg).
Suami istri dalam keluarga tradisional cenderung ingin menambah anak laki-laki,
atau,
apabila
mereka belum memperoleh anak
mereka hanya mempunyai anak
ingin menambah
seorang, masih Konsekuensinya,
laki-laki
anak laki-laki lagi.
mereka cenderung membentuk keluarga
besar. Kecenderungan ini dipengaruhi pula oleh adanya kepercayaan di masyarakat tentang "banyak anak banyak
.
rejekiww Suami istri dalam masyarakat dewasa ini telah mengikuti program KB,
yang umumnya
tidak memperhatikan lagi
kepercayaan seperti itu. Mereka umumnya telah membentuk keluarga kecil.
Hal ini dapat diketahui dari beberapa
hasil penelitian di bawah ini. Hasil penelitian Tim Peneliti Fakultas Hukum sitas Udayana di Kabupaten
Univer-
Tabanan dan Badung, tahun
1988, mengungkapkan bahwa para orang tua responden pria,
cenderung mempunyai anak rata-rata 4,8 (di Tabanan) dan 5,l (di Badung)
.
Para orang tua responden wanita, cende-
rung mempunyai anak rata-rata 5,l (di Tabanan, dan 5,2 (di Badung).
Generasi responden cenderung mempunyai anak
rata-rata 2,3 (Tabanan) dan 2,7 (Badung). Kenyataan tersebut memberi petunjuk bahwa antara dua generasi telah terjadi perubahan dalam rata-rata jumlah anak. Generasi orang tua responden masih mempunyai anak rata-rata lima (5) orang
(keluarga besar),
sedangkan
generasi responden cenderung telah membentuk keluarga kecil mengarah ke anak dua. Kecenderungan seperti ini ditunjang oleh data lain yang mengungkapkan bahwa lebih dari 50
%
Kenyataan
responden menyatakan ingin punya anak dua saja. ini diperkuat oleh hasil penelitian Sirtha
(1988) di Kabupaten
Gianyar.
responden 120 orang dan
Penelitian ini memakai
dari mereka
takan ingin punya anak dua saja.
89
orang menya-
Kedua hasil penelitian
tersebut ternyata mempunyai kesesuaian mengenai jumlah anak yang diinginkan oleh para responden, yaitu dua orang. Sebelum kedua penelitian ini dilakukan,
Tim Fakultas
Hukum Universitas Udayana pada tahun 1987/1988, telah melakukan penelitian di seluruh kabupaten di Bali dengan sampel 32 desa. Hasilnya mengungkapkan bahwa 90 % dari 503 jawaban responden,
menyatakan setuju terhadap Norma
Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) yang dianjurkan oleh pemerintah. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa keluarga kecil, cenderung dapat diterima oleh anggota masyarakat Bali dewasa ini. Hal ini memberi petunjuk bahwa telah terjadinya perubahan dalam pandangan, sikap, dan perilaku anggota
masyarakat tentang hesarnya
keluarga ideal. Persepsi anggota masyarakat Bali mengenai jumlah anak ideal, antara lain dapat dibandingkan
dengan persepsi
anggota masyarakat Jawa dan Sunda yang dikemukakan dalam hasil penelitian
Masri Singarimbun, dkk. (1977). Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa anggota kedua kelompok masyarakat itu, baik yang di kota maupun yang di desa, mempunyai
konsep yang sama tentang keluarga ideal,
yakni 4 orang, dua orang laki-laki dua orang perempuan. Selain mengungkapkan tentang
jumlah anak ideal,
hasil penelitian tersebut juga mengemukakan
bahwa nilai
anak yang terpenting bagi responden adalah untuk memberi jaminan di hari tuanya dan para orang tua mengharapkan agar anaknya memenuhi nilai tersebut. Berbeda dengan masyarakat Bali, di mana nilai anak yang paling penting adalah anak sebagai penerus keturunan. Hal ini
dapat
digali dari jawaban para responden mengenai alasan mereka ingin punya anak khususnya anak laki-laki,
adalah supaya
ada penerus keturunan. Adanya
perbedaan antara masyarakat Bali di satu
pihak, dengan masyarakat Jawa dan Sunda di pihak lain, mengenai nilai anak,
mungkin disebabkan karena perbedaan
latar belakang kebudayaan (patrilineal pada masyarakat Bali dan parental pada masyarakat Sunda dan Jawa),
perbe-
daan instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data maupun perbedaan sudut pandang antara peneliti. Para orang tua (suami istri) di Bali,
kelihatannya
tidak begitu khawatir apabila anaknya tidak memberikan
jaminan
di hari tuanya.
Adanya sifat kekeluargaan yang
relatif masih kuat dilaksanakan
di lingkungan kerabat dan
masyarakat, merupakan jaminan bagi orang tua bahwa hidupnya tidak akan terlantar.
Para orang tua (suami istri) di
Bali lebih merasa khawatir,
apabila mereka tidak
mem-
punyai anak yang akan meneruskan keturunannya, karena anak (keturunan) mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang tua, baik di dunia maupun setelah di akhirat.
Kepercayaan tentang adanya arwah yang
menderita
di akhirat karena tidak punya keturunan, secara relatif masih mempengaruhi perilakunya dalam membentuk keluarga. Masalah nilai anak (value of children), yakni peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orang tua dan masalah besarnya keluarga
(family size),
bukan saja
dipersoalkan di Indonesia, akan tetapi juga banyak dibicarakan di negara-negara
lain di Asia Tengggara seperti
Singapura, Thailand, India dan China. Cheung
(1989) mengungkapkan
bahwa pada masyarakat
Singapura nilai psikologis anak lebih tinggi dibandingkan nilai ekonomisnya bagi keluarga. Penurunan fertilitas yang terjadi sangat cepat di negara ini, menyebabkan mereka kembali menempuh politik kependudukan baru, yakni, kembali k e pola keluarga besar dengan menganjurkan kepada penduduknya supaya mempunyai tiga anak atau lebih.
Di Thailand
ada suatu konsensus untuk
membentuk
keluarga dengan dua orang anak dan lebih disukai apabila ada satu anak untuk masing-masing jenis kelamin. Walaupun demikian pemerintahnya masih memberikan kemungkinan
bagi
keluarga untuk mempunyai anak tiga orang, apabila dalam keluarga tersebut dua orang anaknya pertama jenis kelaminnya sama (Knodel et al. 1988)
.
Monica das Gupta (1987) mengatakan
bahwa
di Asia
Tenggara umumnya para orang tua secara tegas menyatakan mereka menginginkan anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Sikap memilih anak berjenis kelamin laki-laki pada masyarakat Punyab India, lebih ditentukan oleh adanya struktur hak pemilikan, pengambilan keputusan, bantuan ekonomi dan bantuan-bantuan lainnya terhadap orang tua mereka, yang umumnya lebih dibatasi pada anak perempuan
. Menurut Yagya dan Kaiki (1988) pilihan terhadap anak
laki-laki di India dan Nepal tidak hanya berkaitan dengan sistern kekerabatan tetapi
juga dengan kepercayaan.
Di
Nepal anak laki-laki selain mempunyai nilai sosial juga mempunyai nilai keagamaan yang menonjol karena hanya anak laki-laki yang boleh melakukan upacara kematian dan upacara-upacara
lainnya untuk orang tua setelah meninggal.
Upacara-upacara tersebut merupakan upacara yang berfungsi membuka
pintu
akhirat.
Keadaan
seperti tersebut di atas tampaknya tidak
jauh berbeda dengan masyarakat Bali yang sama-sama menganut sistem kekerabatan patrilineal dan mayoritas penduduknya beragama Hindu.
Namun demikian, terdapat perbedaan
yang menyolok antara India dan Bali dalam keberhasilan melaksanakan program KB.
Pelaksanaan program KB di India
termasuk kurang berhasil, terbukti dari reit pertumbuhan penduduk India dari perioda ke perioda
masih terus men-
ingkat. Dalam perioda tahun 1951-1961, reit pertumbuhan penduduknya 1 2 , 5 % ,
perioda 1961-1970 naik menjadi 13,3 %,
perioda 1971-1980 naik lagi menjadi 14 %. penghambat dalam menerima gagasan
Faktor-faktor
baru di India, antara
lain disebabkan karena pelaksaanaan kebudayaannya kurang peka terhadap lingkungan masyarakat, diwariskan umumnya
negatif
etos kerja yang
dan bersifat menekan, pola
berfikir anggota masyarakat yang bersifat meniru, pola perilaku anggota masyarakat yang bersifat kaku
(susah
menyesuaikan diri), dan keterikatan dengan masa tinggi.
lalu
(Dube, dalam W-Schramm dan D. Lerner, 1976).
Penduduk
India
yang sangat padat itu sudah tentunya
menimbulkan masalah kependudukan yang kompleks, antara lain kemiskinan dan kebodohan.
Kemiskinan dan kebodohan
penduduk tampak antara lain dengan adanya kepercayaan yang begitu kuat terhadap tahyul yang berhubungan dengan perilaku seks dan fertilitas serta kepercayaan lain yang
dijadikan alasan penolakan metoda Keluarga Berencana. Selain itu, di India
masih banyak dilaksanakan kebiasaan-
kebiasaan tradisional dalam penggunaan metoda pencegahan kehamilan yang menyebabkan masyarakat India kurang berhasil menurunkan jumlah penduduk (Poffenberger and Poffenberger
dalam
Pawcet (ed), 1973).
Di Malaysia, anak dipandang
mempunyai nilai ekonomPs
dan psikologis. Hal ini dikatakan oleh Djamour:. (dalam Population and Development, 1989). Children are a source of joy and delight when small, and a security to their parents when they grow older. (Anak-anak merupakan sumber kegembiraan dan kesenangan di waktu kecil, dan jaminan orang tua ketika menjadi dewasa).
Sekitar tahun 1960-an di negara ini keluarga besar masih diperlukan untuk tenaga kerja di tanah pertanian. Kondisi demikian menyebabkan ketiadaan anak dalam keluarga dianggap suatu tragedi. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak menjadi obyek belas kasihan orang.
Seba-
liknya anak yang banyak dipandang membawa rejeki. Pandangan ini tercermin dalam peribahasa
Malaysia yang mengata-
kan : "ulat dalam batupun ada rejekinyaw. Peribahasa ini menunjukkan bahwa adanya banyak anak dalam keluarga tidak menimbulkan kekhawatiran orang-orang terhadap masa depannya, karena punya anak banyak dipandang menguntungkan.
orang-orang Cina di Malaysia pada umumnya menginginkan anak puan.
laki-laki lebih
banyak dibandingkan anak perem-
Menurut sistem kekerabatan patrilineal Cina, mem-
punyai anak perempuan dipandang sebagai suatu kerugian dan pemborosan,
karena mereka akan kawin keluar dan akan
menjadi milik keluarga si suami. Anak
laki-laki lebih
dipentingkan, karena pertimbangan untuk mengabadikan
nama
keluarga. Seorang wanita yang tidak melahirkan sekurangkurangnya seorang anak laki-laki, dipandang tidak punya anak.
Keinginan mempunyai anak
laki-laki lebih banyak
juga dilandasi oleh adanya peribahasa cina sebagai berikut: (dalam Population and Developmen, 1989). One son is no son, two sons are undependable sons and only three sons can be counted as real sons (Satu anak laki-laki belum berarti anak, dua anak laki-laki belum dapat diandalkan, tiga orang anak laki-laki barulah dapat dikatakan sebagal anak yang nyata)
.
Setelah program Keluarga Berencana diterima di negeri ini, keadaan sudah berubah terutama sikap anggota masyarakat terhadap besarnya keluarga ideal yang cenderung mengecil.
C.W. Kammeyer
(1981) mengemukakan suatu kerangka
pemikiran bahwa keinginan seseorang untuk mempunyai sejumlah anak dan memilih jenis kelamin anak
tertentu,
ber-
kaitan erat dengan proses pengambilan keputusan. Ia menya-
takan bahwa pada tahap-tahap awal pembentukan keluarga, pengambilan keputusan dipengaruhi oleh tekanan budaya umum untuk mempunyai anak.
Tahap-tahap berikutnya, pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan
khusus,
dan akhirnya faktor-faktor keadaan khusus inilah yang menentukan besarnya keluarga akhir bagi suatu pasangan suami istri. Keinginan seseorang untuk memperoleh anak sejumlah tertentu
(banyak atau sedikit) ada hubungannya dengan
terjadinya perubahan aliran kekayaan antara keluarga sejalan dengan berubahnya masyarakat dari tradisional (pertanian) ke modern (industri). Berdasarkan "kin hyphotesis", dalam masyarakat tradisional, kekayaan keluarga mengalir dari individu yang tingkat fertilitasnya
rendah
k e individu yang tingkat fertilitasnya tinggi
(dalam
Turke, 1989). Hal ini menjadi alasan bagi orang-orang pada masyarakat tradisional untuk mempunyai banyak anak, karena keluarga yang mempunyai anak banyak akan mendapat bantuan ekonomi dari keluarga yang mempunyai anak sedikit.
Turke
telah menguji hubungan ini pada masyarakat Ifaluk Mikronesia. Ia mengemukakan skema aliran kekayaan sebagai berikut :
with children
-.....A-
I
without children
with children e
r
Sibling
Gambar 6. Aliran Kekayaan dalam Keluarga
Caldwell dalam teorinya tentang "Aliran Kekayaan Antar Generasiw (Intergenerational Wealth Flow Theory) mengemukakan bahwa dalam masyarakat tradisional
sumberda-
yakeluarga dan pelayanan mengalir dari generasi yang lebih muda ke generasi yang lebih tua. Bagi orang tua, anak merupakan asset ekonomi. (Turke, 1989).
Apabila mengikuti
pemikiran teori ini, maka keluarga yang mempunyai anak banyak akan lebih untung.
Hal ini dapat mendorong
seseorang mempunyai anak banyak. Teori ini
telah digunakan oleh J.
melakukan penelitiannya Bali.
C.
Edmondson dalam
di Desa Gunung Dayuh, Karangasem,
Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa:
I.
Struktur sosial masyarakat Bali menggambarkan adanya sejumlah
kewajiban ekonomi dari anak terhadap
tua dan kerabat.
orang
Tidak ada bukti-bukti bahwa anak
memutuskan kewajiban tersebut disebabkan karena menerima nilai Barat tentang hubungan orang tua anak
atau
aspek-aspek modernisasi lainnya. 2.
Perbaikan
ekonomi orang Bali yang disebabkan karena
diperkenalkannya
teknologi
pertanian
dan pendidikan
yang berhubungan dengan kesempatan kerja sebagai pegawai negari dan dalam bidang kepariwisataan membawa pengaruh yang dramatis terhadap ekonomi rumahtangga dan sekaligus memberikan arti finansial yang penting bagi pendidikan anak-anak, dan jaringan aliran kekayaan dari anak-anak berpendidikan kepada orang tua tetap berlangsung. Para orang tua
memandang
jaminan ekonomi mereka lebih baik dengan adanya jumlah anak lebih sedikit. Biaya pendidikan untuk anak lebih besar, tetapi anak-anak yang berpendidikan memberikan sumbangan 3.
lebih besar terhadap rumahtangga orang tua.
Orang-orang Bali secara sistematis menyesuaikan ekonomi rumahtangga mereka dan strategi reproduksi dan menerima perubahan ekonomi pedesaan, sementara juga tetap mempertahankan kewajiban-kewajiban batan.
itu
kekera-
4.
Tidak
ada petunjuk bahwa suatu perubahan ukuran
keluarga
menjadi lebih kecil, dicapai tanpa disertai
perbaikan ekonomi dalam masyarakat Bali.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat dilihat adanya pandangan tentang untung ruginya mempunyai anak banyak atau sedikit di satu pihak dan di pihak lain ada pula pandangan tentang untung ruginya mempunyai anak lakilaki atau perempuan. Pertimbangan mengenai untung
ruginya
mempunyai anak atau tidak mempunyai anak, punya anak banyak atau sedikit, punya anak laki-laki atau anak perempuan, merupakan persoalan nilai anak bagi orang
tua.
Studi nilai anak telah banyak dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, di antaranya para ahli ntropologi dalam
melakukan penelitian
nilai anak dengan
melakukan survei mengenai sikap orang tua terhadap anak. Pengukuran nilai dan beban anak ditinjau dari segi ekonomi,
sosial, dan psikologi, antara lain telah dilakukan
dalam Proyek Nilai Anak Internasional (Value of Children/VOC).
Proyek ini di Indonesia dilaksanakan oleh
Lembaga Kependudukan Universitas ini telah mencoba dalam kerangka
GajahMada. Penelitian
mengembangkan sistem nilai Hoffman k e
kerja yang lebih luas, dengan cara mema-
sukkan semua dimensi nilai anak, termasuk di
dalamnya
manfaat dan beban ekonomi, biaya alternatif, manfaat dan beban
psikologis,
emosional
dan
sosial,
jenis kelamin (M. Singarimbun, dkk.,
Hoffman.
Kerangka kerja
nilai
berdasarkan
anak dengan
kerangka kerja
ini mengkatagorikan
menjadi 4 katagori, yaitu,
pilihan
1977).
Para ahli menggolong-golongakan beberapa card, di antaranya,
serta
nilai anak
1) nilai positif umum
atau
manfaat meliputi manfaat emosional, ekonomi, ketenangan, memperkaya dan mengembangkan diri sendiri keluarga;
2)
nilai
negatif
umum
dan kerukunan
atau biaya, meliputi
biaya emosional, ekonomi dan alternatif, kobutuhan fisik, 3) nilai ke-
pengorbanan kehidupan pribadi sehari-hari; luarga besar
(alasan mempunyai
hubungan sanak saudara, hidup anak, 4) nilai
keluarga besar) mencakup
pilihan kelamin, kelangsungan
keluarga kecil termasuk kesehatan (David Lucas et al,
ibu, dan beban masyarakat
1984; Bula-
tao, 1975) . M. ri
Singarimbun, dkk.,
nilai anak,
yaitu:
(1977) mengemukakan dua katago-
1)
nilai positif
meliputi
anak
melanjutkan garis keturunan, sebagai pengikat suami istri, membawa kebahagiaan dan merasa dari sebagai orang tua, 2)
lebih matang karena aenya-
nilai negatif meliputi biaya
membesarkan dan menyekolahkan, gangguan karena anak yang nakal, merepotkan dan keinginan punya anak laki-laki dan perempuan agar lengkap.