BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Novel merupakan karya sastra yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh
yang berperan memainkan cerita yang dirancang oleh penulis. Dalam penceritaanya, pastilah setiap tokoh memunculkan emosi-emosi dan konflik batin yang terjadi akibat dari permasalahan yang terjadi antar tokoh atau lingkungan dalam cerita. Salah satu bentuk emosi dan konflik batin yang dapat terlihat seperti rasa takut yang mengarah pada rasa pesimisme tokoh. Sumber Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pesimisme adalah sikap yang tidak mempunyai harapan untuk masa depan; selalu melihat masa depan tanpa harapan (Badudu dan Zain, 1994: 1052). Penelitian ini mengangkat tema pesimisme sebagai pokok bahasan dengan menggunakan objek material novel Notre Cœur. Novel ini memunculkan banyak emosi batin dan konflik batin yang mengarah pada rasa pesimisme yang terlihat dari masing-masing tokohnya. Notre Cœur merupakan novel terakhir yang ditulis oleh Guy de Maupassant pada abad ke-19. Guy de Maupassant lahir pada 5 Agustus 1850 di Normandy, Prancis1. Maupassant hanya tinggal bersama ibunya setelah orang tuanya bercerai. Maupassant menyelesaikan sekolahnya di Rouen boarding school sebelum melanjutkan sekolahnya di Universitas Paris pada bidang hukum. Sayangnya, sekolahnya segera terhenti dikarenakan terjadi perang Prancis-Prusia dan 1
http://www.online-literature.com/maupassant/ (12 Oktober 2012, pukul 10.33 WIB)
1
Maupassant menjadi tentara di Normandy. Setelah selesai perang, Maupassant tidak kembali lagi ke Universitas, melainkan bekerja sebagai petugas di Departemen Pendidikan. Maupassant tidak tahan bekerja sebagai petugas Departemen Pendidikan, dia memutuskan untuk keluar dan mulai menulis dengan mengikuti gaya tulisan Gustave Flaubert. Guy de Maupassant menjadi penulis terkenal dalam cerita pendek maupun novel. Karya yang telah dibuat berjumlah lebih dari 300 cerita pendek, 3 laporan perjalanan, 1 syair, dan 6 novel. Novel pertamanya berjudul Une Vie terbit pada tahun 1883, lalu pada tahun 1885 novel keduanya keluar dengan judul Bel-Ami, novel ketiganya berjudul Mont-Oriol terbit pada tahun 1887, novel keempat yang berjudul Pierre et Jean terbit pada tahun 1888, Fort Comme La Mort terbit pada tahun 1889, dan novel keenamnya adalah Notre Cœur pada tahun 1890. Novel Notre Cœur yang digunakan sebagai objek material, bercerita mengenai kehidupan percintaan dari dua tokoh sentral yang bernama André Mariolle dan Mme. de Burne yang banyak mengalami gejolak batin dengan didukung oleh tokoh-tokoh lainnya. Dalam ceritanya, André Mariolle merupakan laki-laki yang berasal dari keluarga yang cukup kaya, sangat menyukai seni, tetapi dia tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Suatu hari dia diajak oleh salah seorang temannya untuk bertemu dengan Mme. de Burne yang merupakan seorang perempuan pecinta seni. Mme. de Burne sering mengundang kenalan-kenalannya untuk datang ke rumah dan melakukan diskusi mengenai seni ataupun untuk berpesta dengan pertunjukkan-pertunjukkan seni yang didatangi oleh seniman-seniman terkenal. Setelah bertemu dengan Mme. de Burne, Mariolle mulai merasakan perasaan yang 2
lain karena melihat sosok wanita yang dipandangnya sangat berbeda dengan yang lain. Sejak saat itulah dia jatuh cinta dan hubungannya menjadi semakin dekat dengan Mme. de Burne. Dalam perjalanan cintanya, banyak muncul konflik-konflik batin yang mendominasi cerita. Mariolle mulai merasa kehidupannya merasa berbeda dengan kekasihnya itu padahal dia sangat mencintai perempuan itu, hal berkebalikan terjadi dengan Mme. de Burne yang sebenarnya menyukai Mariolle, tetapi dia tidak bisa memberikan apapun karena dia merasa takut dengan rasa cemburu. Hal itu didasari oleh trauma yang dimiliki Mme. de Burne pada pernikahannya terdahulu. Tokoh-tokoh
lain
yang
muncul
juga
memberikan
pandangan-
pandangannya dan bagaimana perasaan yang muncul saat menghadapi suatu keadaan, seperti ayah Mme. de Burne yang merasa ragu dengan pilihan anaknya untuk menjalani hubungan dengan Mariolle. Ada ketakutan tersendiri dalam diri seorang ayah dan juga perasaan yang muncul dari teman-teman Mariolle saat mereka menjelaskan bagaimana kehidupan seperti ini untuk mereka. Banyak perasaan-perasaan yang dimunculkan dalam cerita novel Notre Cœur ini. Dalam penceritaannya, Maupassant banyak mengungkapkannya dalam bentuk perasaan-perasaan dari masing masing tokoh bukan dengan konflikkonflik tertentu yang biasanya menjadi titik perhatian dari sebuah novel. Bentukbentuk konflik yang ditampilkan dalam Notre Cœur lebih cenderung ke dalam konflik yang berasal dari dalam diri masing-masing tokohnya. Dengan munculnya konflik yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam cerita, menjadikan novel ini sarat 3
dengan emosi-emosi dari awal hingga akhir ceritanya. Emosi yang dimunculkan bermacam-macam seperti putus asa, rasa takut, dan rasa cemas. Dengan melihat banyaknya konflik-konflik batin yang banyak mengarah ke perasaan-perasaan seperti
khawatir, takut, dan putus asa maka berakibat
munculnya suatu pandangan pesimis dalam diri tokoh maupun suasana dalam cerita. Dengan melihat hal itu, maka permasalahan yang akan dipilih untuk penelitian ini adalah pesimisme. Pesimisme adalah suatu paham yang memandang sesuatu dari sudut buruknya saja2. Dapat juga disebut sebagai kerangka pikiran yang mengarahkan untuk menghadapi sisi negatif, selalu berfikir yang terburuk dari suatu peristiwa, kondisi, pemikiran, dan hal-hal lain. Kata pesimisme sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “ pessimum” yang berarti “yang terburuk”3. Dari sudut pandang psikologis dan moralitas, pesimis adalah suasana hati atau keadaan pikiran di mana subjek merasakan sub ratione mali (dalam sifat jahat) semua fenomena di sekitarnya. Dalam psikologi dan psikiatri murni khususnya, pesimisme adalah salah satu manifestasi yang paling umum atau gejala penyakit depresi eksogen yang sumber depresi ini berasal dari faktor-faktor eksternal/ psikologis seperti konflik dan stres dan depresi endogen yang sumbernya berasal dari faktor-faktor internal/ fisiologis seperti tingkat-tingkat neurotransmiter yang rendah4 , atau dysthymia5.
2
http://kbbi.web.id/ (14 Februari 2013,pukul 11.55 WIB)
3
http://www.merriam-webster.com/dictionary/pessimum (14 Maret 2013, pukul 20.08 WIB)
4
Semiun. Kesehatan Mental 2. 2006: 407
4
Dengan banyaknya gejolak batin yang diungkapkan melalui tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, sangat memungkinkan dapat ditemukan pesimismepesimisme yang secara tersurat disampaikan kepada pembaca. Pesimisme tidak hanya dimunculkan oleh dua tokoh sentral yang ada dalam cerita, tetapi tokohtokoh lain yang memiliki hubungan erat dengan kedua tokoh sentral ini. Rasa pesimis dalam novel Notre Cœur banyak diungkapkan dalam bentuk ketakutan, keputusasaan, kesedihan, dan juga keadaan lingkungan yang menjurus pada rasa pesimisme. Dengan banyaknya ungkapan emosi dalam novel Notre Cœur seperti telah dijelaskan di atas, tema pesimisme menjadi objek penelitian yang menarik untuk ditelaah.
1.2
Rumusan Masalah Berbagai masalah yang terjadi dalam hidup seseorang sangat memungkinkan
untuk membuat orang merasa cemas, takut, atau bahkan putus asa dan semuanya menuju satu titik yaitu rasa pesimis yang muncul dalam diri seseorang. Dalam pesimisme, hasil akhirnya adalah sebuah pandangan negatif bahwa segala hal yang akan terjadi dalam diri kita akan berbentuk hal yang negatif. Pesimisme merupakan hasil refleksi dari emosi baik dari tokoh dalam cerita maupun keadaan di sekeliling tokoh. Melalui emosi-emosi yang muncul, dapat dilihat bagaimana keterkaitan emosional antar tokoh maupun keadaan di sekeliling tokoh dalam novel Notre Cœur dalam menimbulkan rasa pesimisme. Dengan penjelasan yang 5
Dysthymia adalah suatu kondisi kronis yang ditandai dengan gejala depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, lebih banyak depresi daripada dalam keadaan normal, dan setidaknya berlangsung selama dua tahun. (kamuskesehatan.com/arti/dstimia)
5
dituliskan di atas, dapat dituliskan beberapa permasalahan yang dapat dibahas dalam penelitian ini. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah : 1. Bagaimana analisis struktural tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang mempengaruhi cerita dalam novel Notre Cœur karya Guy de Maupassant ini ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pesimisme tokoh dalam novel Notre Cœur dan apa maknanya ? 3. Apa peran pesimisme dalam novel Notre Cœur ?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ada dua yaitu teoritis dan praktis. Tujuan teoritis
penelitian ini adalah melakukan analisis novel Notre Cœur untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk pesimisme yang muncul pada seluruh tokoh dalam cerita dan mengetahui peran dari pesimisme dalam novel tersebut. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan yang terbentuk antara teori yang digunakan dengan bentuk-bentuk pesimisme yang terdapat dalam novel Notre Cœur karya Guy de Maupassant.
1.4
Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sudah terdapat tiga
mahasiswa yang mengambil tema mengenai pesimisme. Penelitian pertama dilakukan oleh Rini Sugiyanti pada tahun 1996 dengan judul “Pesimisme dalam 7 Cerpen Fantastik Karya Guy de Maupassant: Sebuah Analisis StrukturalSemiotik” yang dibahas dalam penelitian itu adalah tentang struktur yang ada 6
dalam novel dan bentuk-bentuk dari pesimisme yang muncul dalam tujuh cerpen tersebut. Penelitian lain mengenai pesimisme dibuat pada tahun 2000 oleh Ari Erta Kumala Hidayati dengan judul “Pesimisme Déséspére dalam Drama Tueur Sans Gages Karya Eugene Ionesco (Sebuah Tinjauan Struktural-Semiotik) ”. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini mengenai peran struktur drama berperan dalam menggambarkan pesimisme désespéré dan apa makna pesimisme désespéré dalam drama Tueur Sans Gages sebenarnya. Dalam penelitian tersebut digunakan dua teori yaitu teori struktural dan semiotika Pierce, dan kesimpulan yang dihasilkan yaitu pertentangan antara optimisme dan pesimisme merupakan sebuah kesia-siaan, karena optimisme yang ada ternyata hanya sebuah ilusi dan yang sebenarnya ada hanyalah pesimisme. Pesimisme yang ditampilkan oleh tokoh utamanya muncul karena keinginan untuk balas dendam, tetapi selalu mengalami kegagalan. Tokoh utama memiliki keinginan untuk berjuang, tetapi terbentur oleh ke-tiada-an dan hal itu membuatnya semakin pesimis dalam dirinya. Penelitian dengan tema yang sama pada tahun 2005 berjudul “Pesimisme dalam Novel Monsieur Des Lourdines Karya Alphonse Châteaubriant Tinjauan Struktural-Semiotik” yang dibuat oleh Lily Aliansi Johar Rahayu. Permasalahan yang diteliti adalah struktur dari novel Monsieur Des Lourdines dan tanda-tanda apa saja yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan pesimisme dalam novel. Teori yang digunakan dalam penelitiannya adalah teori struktural dan semiotika Pierce. Kesimpulan yang dihasilkan adalah pemahaman pertama 7
tarhadap novel dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik novel. Unsur-unsur yang digunakan yaitu alur, penokohan, latar, dan tema. Dari unsurunsur itu dapat dilihat inti cerita adalah pesimisme dan masing-masing unsur memiliki hubungan yang sangat erat dan saling melengkapi sehingga membentuk suatu kesatuan yang bulat dan utuh. Analisis secara semiotik yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa tanda yang ditonjolkan adalah indeks. Tidak hanya struktur dan tanda pesimisme yang akan dianalisis dalam penelitian ini, tetapi juga peran dari pesimisme dalam cerita. Dapat terlihat bagaimana pesimisme berperan dalam cerita novel Notre Cœur. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, tema pesimisme menjadi hal yang menarik untuk dibahas sebagai bahan penelitian. Dalam novel Notre Cœur juga ditampilkan pesimisme-pesimisme baik dalam tokoh maupun lingkungannya. Dengan pertimbangan ini, dianggap bahwa penelitian mengenai pesimisme dengan objek material novel Notre Cœur karya Guy de Maupassant layak untuk dilakukan.
1.5
Landasan Teori Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai tanda-tanda pesimisme yang
muncul dalam novel menggunakan teori-teori di bawah ini : 1.5.1 Pesimisme Dalam sudut pandang psikologis dan moralitas, pesimis adalah suasana hati atau keadaan pikiran di mana subjek merasakan sub ratione mali (dalam sifat jahat) semua fenomena di sekitarnya (Semiun, 2006 : 407). Definisi pesimisme di atas mengindikasikan bahwa pesimisme adalah suatu 8
rasa yang negatif, maka efek yang dihasilkan dari rasa pesimisme pun memang sangat buruk bagi semua orang yang merasakannya. Pesimisme selalu dikaitkan dengan optimisme yang pada nyatanya memiliki pengertian berkebalikan. Dalam pandangan psikologi, orang yang optimis adalah orang yang mengharapkan hasil positifnya. Seorang yang optimis berharap untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, sebaliknya orang yang pesimis adalah mereka yang mengharapkan hasil negatif dan tidak berharap untuk mengatasi masalah dengan berhasil (Scheier dan Carver, 2009 : 176). Menurut Seligman, seseorang berada dalam keadaan pesimis saat mereka memiliki kecenderungan berpikir bahwa hal-hal buruk akan terjadi dalam waktu yang lama, dan akan mengganggu apapun yang mereka lakukan, dan semua itu adalah kesalahan
mereka sendiri (Seligman,
2006 :5) Seligman juga membedakan bagaimana perbedaan antara orang optimis dan pesimis melalui gaya penjelasan individu (Seligman, 2006 : 44). Terdapat tiga pembedaan gaya penjelasan : a. Permanensi, merupakan gaya penjelasan masalah yang berhubungan dengan waktu temporer dan permanen. Orang yang pesimis akan menjelaskan kegagalan atau
peristiwa dengan cara menghadapi
peristiwa yang tidak menyenangkan dengan menggunakan kata seperti "selalu", dan "tidak pernah", sebaliknya orang yang optimis akan melihat peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang terjadi 9
secara temporer, yang terjadi dengan kata-kata "kadang-kadang", dan melihat sesuatu yang menyenangkan sebagai sesuatu yang permanen atau tetap. b. Pervasivitas, merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan dimensi ruang lingkup, secara spesifik dan universal. Orang yang pesimis akan mengungkap pola pikir dalam menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan cara universal, sedangkan orang yang optimis dengan cara spesifik. Dalam menghadapi peristiwa yang menyenangkan, orang yang optimis melihatnya secara universal atau keseluruhan, sedangkan orang yang pesimis memandang peristiwa menyenangkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. c. Personalisasi, merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab, intenal dan eksternal. Orang yang optimis memandang masalah-masalah yang menekan dari sisi masalah lingkungan (eksternal) dan memandang peristiwa yang menyenangkan berasal dari dalam dirinya (internal). Sebaliknya, orang yang pesimis memandang masalah-masalah
yang menekan bersumber dan dalam
dirinya (internal) dan menganggap keberhasilan sebagai akibat dari situasi diluar dirinya (eksternal).
10
1.5.2 Strukturalisme Strukturalisme merupakan cara berfikir tentang dunia yang fokus pada persepsi dan gambaran dari sebuah struktur (Hawkes, 1977: 17). Struktur yang digambarkan dalam strukturalisme meliputi berbagai bidang, salah satunya adalah strukturalisme dalam karya sastra. Dalam karya sastra, analisis struktural ini merupakan prioritas pertama sebelum yang lain-lain (Teeuw, 1983:61), tanpa itu kebulatan makna intrinsik hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antar unsur menjadi berubah. Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Sementara itu, metode analisis struktural karya sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Unsur- unsur karya sastra yang dimaksud dapat saja berupa prosa, puisi, dan drama, baik lisan maupun tulis. Unsur11
unsurnya meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan, dan padahan, suasana, pusat pengisahan serta gaya bahasa. 1.5.2.1 Tema Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah untuk ditunjukkan. Tema haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data atau unsurunsur pembangun cerita yang lain dan hal ini merupakan kegiatan yang sering tidak mudah untuk dilakukan. Kesulitan itu juga sejalan dengan kesulitan yang sering kita hadapi jika kita diminta untuk mendefinisikan tema (Nurgiyantoro, 1998:66). Dalam sebuah karya sastra, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu dan memiliki generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Proses pembentukan tema dalam sebuah karya sastra yaitu dengan melakukan penyaringan motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu (Nurgiyantoro, 1998 :68). Dengan bentuk tema yang tergambar seperti itu, maka untuk menemukan tema dari sebuah karya fiksi haruslah dengan menyimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita karena sifat dari tema sendiri yang menjiwai seluruh bagian cerita (Nurgiyantoro, 1998 :68). Dengan tema yang menjadi dasar dari suatu cerita dan yang secara sengaja memang disembunyikan dalam penceritaan 12
karya sastra oleh penulisnya, maka terdapat cara-cara yang dapat dilakukan untuk menemukan tema yang tersembunyi di balik sebuah cerita. Cara yang dapat dilakukan untuk menetukan tema dari sebuah karya fiksi dengan mulai memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa atau konflik, dan latar. Tema dapat pula ditafsirkan melalui konflik sentral yang ada di dalam cerita, karena konflik merupakan salah satu unsur pokok dalam pengembangan ide cerita dan plot yang pada umunya berkaitan erat dengan tema. Dengan begitu, usaha untuk menemukan dan memahami konflik sentral yang dihadapi oleh tokoh utama merupakan cara khusus untuk dapat menemukan sebuah tema cerita fiksi (Nurgiyantoro, 1998:86). 1.5.2.2 Penokohan Istilah “tokoh” sendiri merujuk pada orangnya, pelaku cerita yang ada di dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1998: 165). Kata penokohan sering juga disamakan dengan perwatakan atau karakterisasi. Penggunaan istilah penokohan lebih sering dipergunakan karena arti yang dikandung dalam kata penokohan mencakup makna yang lebih luas, seperti masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan 13
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1998: 165). Dalam sebuah cerita tiap-tiap peran yang muncul memiliki kuantitas yang berbeda, ada tokoh yang mendominasi dan ada juga yang hanya muncul sedikit dalam sebuah cerita. Oleh karena itu, dalam penokohan juga terdapat pengklasifikasian tokoh. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan sudut pandang yaitu peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, fungsi penampilan tokoh, perwatakan, berkembang atau tidaknya perwatakan, dan pencerminan tokoh (Nurgiyantoro, 1998: 176). Berdasarkan tingkat pentingnya tokoh, terbagi dalam tokoh utama dan tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang sering ditampilkan dalam sebuah cerita atau mendominasi hampir keseluruhan cerita, sedangkan tokoh tambahan hanya tokoh yang muncul hanya pada saat-saat tertentu saja dan tidak dalam keseluruhan cerita dari sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1998: 176-177). Berdasarkan sudut pandang penampilan, tokoh terbagi dua yaitu tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma atau nilainilai yang ideal sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik
atau
posisinya
sangat
berkebalikan
dengan
protagonis
(Nurgiyantoro, 1998: 178-179). 14
Berdasarkan sudut pandang perwatakan, tokoh terbagi dua yaitu tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca, bersifat datar, monoton, dan hanya mencerminkan satu watak tertentu, sehingga sifatnya dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat, atau bahkan frase saja, sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Ia dapat menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumya sulit dideskripsikan secara tepat (Nurgiyantoro, 2000: 183). Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, terdapat tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau tidak terpengaruh dengan adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena ada hubungan antar manusia. Sedangkan tokoh berkembang diposisikan berkebalikan dengan tokoh statis. Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata, tokoh cerita dapat dibedakan dalam tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya. Sedangkan tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi dalam cerita 15
itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan bereksistensi dalam cerita itu sendiri. Untuk melakukan pengklasifikasian tokoh berdasarkan kriteria diatas, kita tidak dapat langsung melakukannya tanpa menggunakan teknik-teknik pelukisan tokoh. Teknik pelukisan tokoh berguna untuk mempermudah pengklasifikasian tokoh. Banyak teknik yang berguna untuk pelukisan tokoh. Salah satunya adalah Altenbernd dan Lewis yang membagi teknik penggambaran atau pelukisan tokoh meliputi fisik, sifat, watak, sikap, tingkah laku, dan hal lain yang berhubungan dengan tokoh dalam dua teknik yaitu teknik ekspositori/analitis dan teknik dramatik (Nurgiyantoro, 1998:194). Teknik ekspositori adalah pendeskripsian tokoh secara langsung, bersifat sederhana dan cenderung ekonomis, serta berwujud penuturan deskriptif (Nurgiyantoro, 1998: 195). Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca tidak berbelit-belit dan langsung disertai deskripsi kediriannya.
Teknik dramatik adalah pendeskripsian
tokoh secara implisit melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1998: 198). Kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang diceritakan tidak sekedar menunjukkan perkembangan plot saja, tetapi juga sekaligus menunjukkan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya. Wujud dari teknik dramatik ini bermacam- macam seperti cakapan, tingkah laku, pikiran dan 16
perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik. 1.5.2.3 Plot Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lain (Stanton, 1965:14). Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Nurgiyantoro, 1998: 110). Plot tidak dapat ditentukan hanya dengan penampilan peristiwa-peristiwa berdasarkan waktu saja, tetapi peristiwa-peristiwa yang muncul harus diolah, sehingga hasil pengolahannya menjadi indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan. Untuk menentukan plot dalam sebuah cerita, dapat dilihat dari unsur-unsur yang terkandung dalam cerita. Terdapat tiga unsur paling penting yaitu peristiwa, konflik, dan klimaks. Peristiwa adalah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain (Luxemburg dkk, 1989: 150), dan tidak semua peristiwa dalam cerita dapat dijadikan dasar bagi penentuan plot. Unsur kedua yaitu konflik, konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren, 1989: 17
285). Unsur ketiga adalah klimaks yang merupakan konflik yang sudah mencapai puncak, dan adanya klimaks sangat tergantung dengan konflikkonflik yang muncul, karena klimaks tidak akan ada jika tidak terdapat konflik (Nurgiyantoro, 1998: 127). Eksistensi plot sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut karena ketiganya memiliki keterkaitan hubungan. Dalam penentuan plot dalam cerita, perlu dilakukan tahapan yang berfungsi untuk pembedaan situasi yang muncul. Dengan menggunakan tahapan, alur dari pembentukan plot akan terlihat jelas. Penggambaran tahapan dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur yang sesuai dengan tahapan. Tahapan plot yang rinci dikemukakan oleh tasrif (dalam Mochtar Lubis via Nurgiyantoro, 1998: 149). Ada lima tahapan yaitu: Tahap
situation/
tahap
penyituasian,
pada
tahap
ini
berisi
penggambaran dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini adalah tahap pemberian informasi awal, dan lain-lain yang berguna sebagai dasar dari terbentuknya cerita selanjutnya. Tahap generating circumstances/ tahap pemunculan konflik, pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang mulai mengakibatkan timbulnya konflik mulai dimunculkan, dan konflik-konflik itu akan berkembang seiring cerita. Tahap rising action/ tahap peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang dan muncul peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita makin menjadi.
18
Tahap climax/ tahap klimaks, pada tahap ini konlik yang terjadi pada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Tahap denouement/ tahap penyelesaian, pada tahap ini konflik yang ada dalam titik puncak/klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain juga mengalami hal yang sama yaitu diberi penyelesaian .
klimaks
Konflik muncul
pemecahan
Awal------------------Tengah-----------------Akhir 1.5.2.4 Latar Latar/setting disebut juga sebagai landas tumpu, merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams via Nurgiyantoro, 1998 : 216). Latar sendiri memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, sehingga pembaca terkesan bahwa cerita yang ada dialamnya realistis/ sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan hal itu, pembaca dengan mudah dapat berimajinasi. Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasilokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku 19
di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 219). Dengan banyaknya unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar bagi pembuatan latar, maka dibuatlah tiga pembedaan dalam latar.Unsur- unsur itu disebut sebagai unsur pokok, yang terdiri dari latar tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 1998 : 227). Latar tempat Latar tempat adalah tempat terkaitnya konflik-konflik/kejadiankejadian yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1998: 227). Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu , inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis merupakan hal yang penting untuk memberi kesan kepada pembaca seolah-olah hal yang ada dalam cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi dan yang harus diperhatikan juga adalah penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis yang bersangkutan. Latar
tempat dalam
sebuah novel biasanya terdiri dari berbagai lokasi, dan dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1998 : 230). Semua hal yang menyangkut masalah 20
waktu, pastilah sangat berkaitan erat dengan waktu sejarah yang menjadi acuan dalam penentuan latar waktu. Bukan hanya dengan sejarah yang bersangkutan, tetapi masalah waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lama waktu yang dipergunakan dalam cerita. Novel yang membutuhkan waktu cerita panjang tidak berarti menceritakan semua peristiwa yang dialami tokoh, melainkan dipilih keadaan-keadaan tertentu dan memiliki pertalian secara plot. Untuk menghasilkan analisis yang jelas, latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat karena keadaaan suatu hal yang diceritakan, mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu karena tempat itu akan berubah sejalan dengan berubahnya waktu (Nurgiyantoro, 1998 : 233). Latar sosial Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro. 1998 : 233). Hal-hal yang digambarkan dalam latar sosial biasanya berupa tata cara kehidupan masyarakat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual dan juga yang berhubungan dangan status sosial tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998 : 234). Sama dengan latar-latar sebelumnya, latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan atau memiliki keterkaitan dengan unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur tersebut dalam satu kepaduan yang jelas akan 21
merujuk pada makna yang lebih falid dan meyakinkan daripada diteliti secara terpisah/ sendiri-sendiri. 1.5.2.5 Sudut Pandang Sudut pandang atau nama lainnya adalah point of view merujuk pada cara sebuah cerita dikisahkan dan merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams via Nurgiyantoro, 1998: 248). Sudut pandang sebenarnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Kegunaan dari sudut pandang juga tidak dapat dipungkiri, karena ia berfungsi mempermudah pembaca untuk memahami sebuah karya fiksi karena keterkaitan karya dan pembaca secara psikologis (Nurgiyantoro, 1998 : 251) . Dalam pengkajian fiksi, sudut pandang terbagi menjadi beberapa macam, semuanya tergantung dari sudut mana ia di pandang dan seberapa rinci ia dibedakan (Nurgiyantoro, 1998 : 256). Biasanya banyak digunakan pembedaan yang telah umum dilakukan dalam penelitian seperti pembagian di bawah ini : Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau
22
kata gantinya ia, dia, mereka (Nurgiyantoro, 1998: 256). Sudut pandang ini masih dibagi beberapa lagi yaitu:
“Dia” Mahatahu Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang atau narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya (Nurgiyantoro, 1998: 257).
“Dia” Terbatas Dalam sudut pandang ini pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton, 1965: 26). Tokoh yang terdapat di dalam cerita bisa saja banyak, tetapi tokoh-tokoh tersebut tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.
Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku” Dalam sudut pandang “aku”, narator bersifat mahatahu bagi diri sendiri, dan tidak berharap tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam cerita. Sudut pandang ini juga masih di bagi dalam beberapa bentuk yaitu: “Aku” Tokoh Utama Dalam sudut pandang ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik secara batin maupun fisik hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya 23
(Nurgiyantoro, 1998: 263). Tokoh “aku” beperan sebagai tokoh utama dalam cerita yang juga membuatnya menjadi pusat cerita. Karena tokoh “aku” menjadi pusat cerita, maka segalanya hanya difokuskan pada tindakan-tindakan si “aku”, sedangkan tokoh di luar “aku” hanya bisa dicantumkan jika tindakan atau peristiwa yang terjadi berkaitan dengan si “aku. “Aku” Tokoh Tambahan Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan tokoh tambahan atau first-person peripheral (Nurgiyantoro, 1998: 264). Dengan begitu tokoh “aku” hanya menjadi saksi
terhadap berlangsungnya cerita yang
ditokohi oleh orang lain. Dalam teknik ini, tokoh “aku” dapat memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh utama, namun sifatnya hanya terbatas. Sudut Pandang Campuran Penggunaan
sudut
pandang
dalam
sebuah
novel
sangat
memungkinkan menggunakan lebih dari satu teknik, karena pengarang memiliki kebebasan untuk berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain agar tercipta jalan cerita yang menarik untuk di baca. Penggunaan sudut pandang dengan menggunakan lebih dari satu teknik disebut sudut pandang campuran. Sudut pandang yang bersifat campuran di dalam sebuah karya dapat berupa percampuran antara penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” 24
mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, atau sudut pandang persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama “aku” dan ketiga “dia” sekaligus (Nurgiyantoro, 1998: 266). 1.5.3 Semiotika Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika adalah ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan Van Zoest, 1992:vii). Tanda adalah sesuatu yang mewakili hal lain yang wujudnya bisa berbentuk pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan dan lain sebagainya. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni: sastra, lukis, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita (Nurgiyantoro, 1998: 40). Terdapat dua ahli yang memiliki keterkaitan khusus dengan lahirnya semiotika modern, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Sausssure. Pierce mengusulkan kata semiotika sebagai sinonim kata logika dan menurut Pierce, logika adalah mempelajari bagaimana orang bernalar. Pierce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Pierce menghendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pada segala macam tanda.
25
1.5.3.1 Semiotika Pierce Teori Pierce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Dalam teorinya, Pierce mengatakan terdapat tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima (Luxemburg dkk, 1989: 46). Antara tanda awal yang dirasakan oleh manusia dengan hal yang ditandai memiliki hubungan representasi dan disebut represent (mewakili), sedangkan unsur dari kenyataan yang diwakili oleh tanda itu disebut obyek atau denotatum (sesuatu yang konkret) (Luxemburg dkk, 1989 :46). Saat obyek yang berupa tanda dan represent atau acuan dihubungkan, maka muncullah interpretasi. Interpretasi adalah suatu tanda baru, yaitu sesuatu yang dibayangkan oleh penerima tanda bila menerima atau mengamati tanda pertama. Hasil yang muncul dari proses interpretasi dinamakan interpretant. Hubungan yang ada antara tanda dan intrepretant-nya bermacam-macam. Ada tanda yang bertitik tolak dari ground yang sangat individual, sedangkan interpretant-nya kabur bukan bentuk kebahasaan. Dalam penerapan semiotik Pierce terhadap ilmu sastra sering juga disebut ikonisitas. Ikonisitas dapat ditemukan dalam banyak kegiatan dan keseharian manusia dalam bentuk apapun. Dari ikonisitas itu, Pierce mendasari tipologinya tentang tanda dan kemudian membagi tanda dalam tiga jenis hubungan yaitu ikon, indeks, dan simbol (Luxemburg dkk, 1984 :46). 26
Ikon adalah tanda yang dirancang untuk merepresentasikan sumber acuannya melalui simulasi atau persamaan (Danesi, 2011: 34). Tanda yang termasuk dalam ikon adalah foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan di bagian awal atau depan. Indeks adalah tanda yang dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau saling menghubungkan sumber acuan (Danesi, 2011: 34). Tanda yang termasuk dalam indeks seperti asap hitam tebal membumbung menandai kebakaran, wajah yang terlihat muram menandai hati yang sedih, sudah berkali-kali ditegur tetapi tidak mau bergantian menegur menandakan sifat yang sombong, jari yang menunjuk mengindikasikan keterangan di sini atau di sana dan penggunaan kata ganti seperti aku. Simbol adalah tanda yang dirancang untuk mengukuhkan sumber acuan melalui kesepakatan atau persetujuan (Danesi, 2011: 34). Tanda yang termasuk dalam simbol adalah banyak hal yang sudah mencakup kesepakatan dalam masyarakat. Simbol juga bisa dicontohkan dengan anggukan, semua orang menyetujui bahwa anggukan adalah tanda dari persetujuan, jadi simbol dari persetujuan adalah anggukan. Ketiga aspek yaitu ikon, indeks, dan simbol merupakan aspek yang sulit untuk dipisahkan. Jika dalam suatu hal sebuah tanda dikatakan sebagai ikon, maka harus dipahami bahwa tanda tersebut memiliki penonjolan/ yang mencirikan bahwa tanda itu lebih menjurus ke ikon daripada dua jenis yang lain yaitu indeks dan simbol, begitupun sebaliknya.
27
1.6
Metode dan Analisis Data Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Notre
Coeur karya dari Guy de Maupassant dan permasalahan yang akan diangkat adalah mengenai pesimisme tokoh yang ada dalam cerita novel tersebut. Ada beberapa tahapan yang akan dilakukan untuk menganalisis novel ini, pada tahapan pertama dilakukan pembacaan teks secara heuristik yaitu metode pembacaan berdasarkan struktur bahasanya. Pada tahap ini pembacaan heuristik juga dapat dilakukan secara struktural (Pradopo, 1991 :7). Tahap selanjutnya adalah pembacaan secara hermeneutik. Cara kerja dari tahap pembacaan hermeneutik adalah dengan bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik, dengan itu pembaca dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang ada di dalam teks sastra. Pembahasan pertama dilakukan dengan melihat struktur dasar dari novel Notre Coeur, karena penelitian paling awal dari sebuah karya fiksi adalah strukturnya. Analisis struktur ini digunakan sebagai analisis dasar penelitian dan dari penelitian itu juga dapat terlihat bagaimana sifat,sikap,maupun emosi yang mendukung dan berkaitan dengan rasa pesimisme yang menjadi tema pembahasan.
Tahapan
selanjutnya
adalah
pengidentifikasian
dan
pengklasifikasian data bentuk-bentuk pesimisme yang muncul dari semua tokoh yang ada dalam novel Notre Cœur dengan menggunakan teori semiotika. Dalam penelitian ini akan dianalisis gejolak batin dari masing-masing tokoh yang nantinya akan dilihat bagaimana bentuk-bentuk pesimisme dan jenis-jenisnya yang muncul dari semua tokoh yang ada dalam cerita melalui kalimat-kalimat dan 28
dialog-dialog yang dikutip dari novel. Tanda pesimisme yang muncul juga digunakan untuk menentukan peran pesimisme dalam novel tersebut. Untuk mempermudah proses pengklasifikasian, data yang terkumpul disusun dalam sebuah tabel data. Pada bagian akhir akan disajikan kesimpulan dari hasil analisis.
1.7
Sistematika Penyajian
Urutan penyajian analisis dalam penelitian ini akan dibagi dalam beberapa bab sebagai berikut: BAB I Dalam bab ini berisi latar belakang penelitian dari objek material yang telah ditentukan, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pusataka, landasan teori, dan metode analisis data yang akan digunakan sebagai dasar pembuatan penelitian. BAB II Dalam bab ini berisi analisis untuk menjawab pertanyaan pertama mengenai struktur keseluruhan dari novel Notre Cœur. BAB III Dalam bab ini berisi analisis untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga dalam rumusan masalah. BAB IV Dalam bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis pada Bab II dan Bab III.
29