BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada balita. ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty, 2010). ISPA merupakan suatu penyakit yang terbanyak dan tersering diderita oleh balita karena sistem pertahanan tubuh masih rendah, terjadi baik di negara berkembang negara yang sudah mampu (Klinikita, 2007). ISPA yang terjadi pada balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Gambaran klinik yang jelek dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh infeksi virus pada balita yang belum memperoleh kekebalan alamiah (Alasagaff dan Mukty, 2010). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) Tahun 2005 menyatakan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19% atau berkisar 1,6–2,2 juta, di mana sekitar 70% terjadi di negara-negara berkembang terutama di Afrika dan Asia Tenggara. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei,
nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Berdasarkan hasil konferensi internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia pada Bulan Juli Tahun 1997, dinyatakan bahwa empat juta balita di negaranegara berkembang meninggal tiap tahun akibat pneumonia. Data yang dihimpun WHO memperkirakan insiden ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% per tahun pada golongan usia balita. ISPA meliputi infeksi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah (Klinikita, 2007). Salah satu yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian atas adalah batuk pilek biasa, sakit telinga, radang tenggorokan, influenza, bronchitis dan sinusitis sedangkan infeksi yang menyerang bagian bawah saluran napas seperti paru itu salah satunya adalah pneumonia. Pneumonia merupakan predator balita nomor satu di negara berkembang. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia pada balita berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007). Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk kasus pneumonia pada balita pada Tahun 2006 dengan jumlah penderita mencapai enam juta jiwa. ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok balita, selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 balita dengan pneumonia atau 21,52% dari jumlah seluruh balita di
Indonesia. Proporsinya 35,02% pada usia di bawah satu tahun dan 64,97% pada usia satu hingga empat tahun (Djelantik, 2008). ISPA di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Sekitar 40%-60% dari kunjungan di puskesmas adalah penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30% kematian, yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada balita berumur kurang dari 2 bulan (Klinikita, 2007). Pneumonia sempat dijuluki sebagai pembunuh utama balita di Indonesia. Hal ini merujuk pada kematian akibat pneumonia pada akhir Tahun 2000 yang mencapai lima kasus di antara 1000 balita, artinya pneumonia menyebabkan sekitar 150 ribu balita meninggal tiap tahunnya atau sebanyak 12.500 korban per bulan atau 416 kasus per hari atau 17 anak per jam atau seorang balita tiap lima menit (Silalahi, 2004). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2001, kematian balita akibat pneumonia 5 per 1000 balita per tahun. Ini berarti bahwa pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 100.000 balita setiap tahun atau hampir 300 balita setiap hari atau 1 balita setiap 5 menit. Sekitar 80%-90% dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia. Tingginya mortalitas balita karena pneumonia menyebabkan penanganan penyakit pneumonia menjadi sangat penting artinya. Kondisi ini disadari oleh pemerintah sehingga dalam Program Pemberantasan ISPA (P2ISPA) telah menggariskan untuk menurunkan angka kematian balita akibat
pneumonia dari 5/1.000 balita pada Tahun 2000 menjadi 3/1.000 balita pada Tahun 2005 dan menurunkan angka kesakitan pneumonia balita dari 10%–20% balita pada
Tahun 2000 menjadi 8%–16% balita pada Tahun 2005. Pada Tahun 2007 yang lalu ditargetkan bahwa cakupan penemuan balita penderita pneumonia sebesar 66% dan pada Tahun 2011 sebesar 100%. Target cakupan balita dengan pneumonia yang ditangani pada Tahun 2007 dengan Tahun 2011 sama yaitu sebesar 100% (Depkes 2004). Jumlah kasus ISPA di masyarakat diperkirakan 10% dari populasi. Target cakupan program ISPA nasional pada pneumonia balita sebesar 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun pada Tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,81% (Depkes, 2009). Menurut data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008, bahwa jumlah balita penderita pneumonia di Indonesia ada sebanyak 392.923. Di Sumatera Utara, pneumonia merupakan penyakit ketujuh dari 10 pola penyakit terbanyak di puskesmas Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara selama Tahun 2007 ditemukan 41.291 balita menderita pneumonia dengan cakupan penemuan 32,4%, sedangkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) Tahun 2008 cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada Tahun 2011 (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008). Kabupaten Dairi merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara yang juga mengalami kasus pneumonia balita yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2008, tercatat bahwa dari 40.292 balita terdapat kasus pneumonia balita sebanyak 5.682 dan menempati urutan tertinggi dari 10 besar
penyakit. Adapun jumlah penderita
pneumonia balita di Kabupaten Dairi berdasarkan puskesmas Tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 1.1. di bawah ini:
Tabel 1.1.
Jumlah Penderita Pneumonia Balita di Kabupaten Dairi Berdasarkan Puskesmas Tahun 2008
No.
Kecamatan
Nama Puskesmas
1
Sidikalang
2
Sumbul
Hutarakyat Batangberuh Sumbul Pegagan Julu II Tiga Baru
3
Jumlah Jumlah Penderita Insidens Balita Pneumonia Balita Rate (%) 2.840 3.098 4.061 3.256 2.376
215 1.022 633 360 233
Pegagan Hilir 4 Siempat Km 11 2.434 390 Nempu Hulu 5 Siempat Sopo Butar 2.346 155 Nempu Hilir 6 Siempat Buntu Raja 2.628 345 Nempu 7 Silima Parongil 1.736 184 punggaBakal Gajah 1.426 216 pungga 8 Berampu Berampu 1.296 140 9 Lae Parira Kentara 2.610 120 10 Parbuluan Sigalingging 2.112 472 11 Tigalingga Tigalingga 2.191 195 12 Tanah Kuta Buluh 2.678 428 Pinem 13 Gunung Gunung 1.018 229 Stember Stember 14 Silahisabun Silalahi 812 65 gan 15 Sitinjo Sitinjo 1.374 280 Jumlah 40.292 5.682 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi Tahun 2008
7,5 32,9 15,5 11,1 9,8 16,0
6,6
13,1 10,5 15,1 10,8 4,5 22,3 8,9 15,9 22,4 8,1 20,3 14,1%
Berdasarkan hasil laporan dari 18 puskesmas yang berada di Kabupaten Dairi, Puskesmas Batangberuh merupakan puskesmas yang memiliki jumlah balita penderita pneumonia tertinggi yakni sebanyak 1.022 balita dan memiliki jumlah populasi balita sebanyak 3.098 balita (Profil Kesehatan Kabupaten Dairi, 2008).
Wilayah kerja Puskesmas Batangberuh terdiri dari 7 kelurahan. Berikut rincian jumlah penderita pneumonia di wilayah kerja di Puskesmas Batangberuh. Tabel 1.2. Jumlah Penderita Pneumonia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Batangberuh Tahun 2008 No Kelurahan Jumlah Ibu Jumlah Balita Jumlah Balita Balita Penderita Pneumonia 1 Batangberuh 571 813 296 2 Sidiangkat 602 860 275 3 Bintang 201 319 93 4 Marsada 231 297 97 5 Bintang Hulu 62 98 26 6 Kalangsimbara 411 521 178 7 Perumnas 130 190 57 Jumlah 2.208 3.098 Sumber : Profil Puskesmas Batangberuh Tahun 2008
1.022
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, Kelurahan Batangberuh berada di Kecamatan Sidikalang yang terletak di wilayah pegunungan. Mempunyai tingkat pendidikan masyarakat mayoritas Sekolah Dasar. Penghasilan penduduk mayoritas dari bertani dan berdagang dengan pendapatan rendah. Pendapatan keluarga yang rendah tersebut telah menuntut ibu turut bekerja di luar rumah, sehingga ibu hanya memiliki sedikit waktu untuk mengurus balitanya. Dikarenakan berada di daerah pegunungan suhu udara dingin pada malam hari hal ini mengakibatkan kebiasaan ibu untuk menghangatkan diri dan balitanya dengan duduk di dekat tungku perapian dan pada keesokan harinya tungku perapian dibiarkan begitu saja sampai dingin dan menjadi lembab selain itu akibat dari suhu udara yang dingin ini ketika seorang ibu melahirkan ada kebiasaan untuk menghangatkan ibu dan bayi dengan membuat perapian dari arang dibawah tempat tidur selama sebulan yang mengakibatkan sejak hari pertama bayi lahir sudah diperkenalkan dengan asap
tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kebiasaan ibu menggendong anak sambil memasak juga masih banyak hal ini disebabkan mereka beranggapan anak akan menangis jika ditinggalkan ibunya untuk memasak. Beberapa keluarga juga mempunyai kebiasaan untuk menggunakan anti nyamuk bakar ketika akan tidur. Kondisi perumahan yang sempit masih banyak belum permanen dan terbuat dari dinding papan. Kepala keluarga kebanyakan adalah perokok yang sering merokok di dalam rumah. Beberapa kebiasaan tersebut mempunyai peran dalam peningkatan kejadian pneumonia pada balita di Kelurahan Batangberuh. Ibu balita tidak paham betul bagaimana cara mencegah pneumonia, mereka hanya tahu mencari pengobatan ketika balita mereka telah terkena pneumonia. Dari hasil wawancara dengan petugas Puskesmas di Batangberuh, faktorfaktor yang memengaruhi tingginya kejadian pneumonia pada balita adalah tingkat pengetahuan ibu balita akan penyakit pneumonia masih rendah sehingga menyebabkan ibu kurang mengerti cara pencegahan pneumonia pada balitanya. Faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada balita adalah tingkat pendapatan keluarga rendah yang menyebabkan ibu bekerja seharian di luar rumah sehingga ibu kurang memerhatikan balitanya, selain itu pendapatan yang rendah ini juga mengakibatkan ibu tidak memberikan asupan makanan bergizi yang cukup sehingga balita cenderung mempunyai daya tahan tubuh yang rendah. Menurut Blum dalam Notoatmodjo (1996), faktor-faktor yang memengaruhi derajat kesehatan antara lain: faktor lingkungan (seperti kualitas udara), faktor
perilaku (seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah), faktor pelayanan kesehatan (seperti status imunisasi) dan faktor keturunan. Asap dapur dan faktor perilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat berpengaruh karena asap tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan akibat terhirup asap rokok yang umumnya adalah anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007). Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah lingkungan perumahan, di mana kualitas rumah berdampak terhadap kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar masak yang dipakai. Faktor-faktor di atas diduga sebagai penyebab terjadinya ISPA (Yuswianto, 2007). Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalamannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan, sebagaimana diketahui pengetahuan merupakan pangkal dari sikap, sedangkan sikap akan mengamalkan tindakan seseorang. Pengetahuan dan sikap yang baik diharapkan mampu menumbuhkembangkan tindakan yang positif (Sarwono, 1997). Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: faktor predisposing atau faktor pemudah (mencakup: pengetahuan, sikap, tradisi, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya), faktor enabling atau faktor pendukung (mencakup: ketersediaan sarana
atau fasilitas kesehatan) dan faktor reinforcing atau faktor penguat (mencakup: perilaku dari petugas kesehatan dan tokoh masyarakat). Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosio-ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor lingkungan (kualitas udara), sedangkan Depkes (2002) menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi lahir rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada Tahun 2007, prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%), ISPA cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok ibu dengan pendidikan dan tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah. Kemudian Notosiswoyo dkk (2003) menambahkan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia dikarenakan rendahnya pengetahuan ibu balita mengenai penyakit pneumonia yang menimpa anaknya sehingga mereka terlambat membawa anak balitanya berobat ke puskesmas. Pemilihan ibu sebagai kelompok sasaran karena pada umumnya ibu merupakan orang yang paling dekat dengan anaknya dan seringkali ibu berperan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan pengobatan dini bagi anaknya yang sakit, dengan kata lain tindakan ibu sangat menentukan derajat kesehatan keluarga. Menurut Sibarani (1996), perilaku ibu mempunyai peranan dalam pencegahan penyakit pneumonia, sehubungan dengan itu kerjasama antara petugas kesehatan dengan ibu perlu ditingkatkan terutama dalam pencegahan pneumonia, misalnya cara
mencari pengobatan ke puskesmas terdekat, menjauhkan anak dari asap rokok, kayu bakar, anti nyamuk bakar, memberikan gizi yang baik untuk anak dan lain-lain. Penelitian Nur (2004), menambahkan faktor sosio demografi yang melekat pada ibu (meliputi: pendidikan, penghasilan keluarga, pekerjaan dan pengetahuan) berhubungan dengan pencegahan ibu dalam penyakit pneumonia. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor predisposing (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga dan pengetahuan), faktor enabling (meliputi: ketersediaan serta jarak sarana kesehatan) dan faktor reinforcing (meliputi: dukungan petugas kesehatan) ibu balita terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita di Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukakan di atas maka yang
menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh faktor predisposing (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga, dan pengetahuan), faktor enabling (meliputi: ketersediaan serta jarak sarana kesehatan) dan faktor reinforcing (meliputi: dukungan petugas kesehatan) ibu balita terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita di Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011.
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh faktor
predisposing (meliputi: tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga dan pengetahuan), faktor enabling (meliputi: ketersediaan serta jarak sarana kesehatan) dan faktor reinforcing (meliputi: dukungan petugas kesehatan) ibu balita terhadap pencegahan penyakit pneumonia pada balita di Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang tahun 2011.
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi dalam penyusunan kebijakan Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) khususnya pneumonia yang ditujukan pada kelompok usia balita. 2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Batangberuh dalam upaya pencegahan, penatalaksanaan kasus dan manajemen pemberantasan penyakit pneumonia. 3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian selanjutnya. 4. Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan.