BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Purwanto, 2012). Dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik sama dengan atau lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik sama dengan atau lebih dari 90 mmHg (Anna dan Bryan, 2007). Tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri, yang terkadang berlangsung tanpa gelaja, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Purwanto, 2012). Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang membutuhkan perhatian khusus, karena merupakan faktor utama penyebab kematian di negara-negara maju dan berkembang. Menurut survey yang dilakukan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000, jumlah penduduk dunia yang menderita hipertensi untuk pria sekitar 26,6% dan wanita sekitar 26,1% dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya akan terus meningkat hingga menjadi 29,2% (Apriany, 2012).
1
2
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah tangga (SKRT) pada tahun 2000 sebesar 21%, dan meningkat menjadi 26,4% dan 27,5% pada tahun 2001 dan 2004. Selanjutnya diperkirakan meningkat menjadi 37% pada tahun 2015 dan menjadi 42% pada tahun 2025. Prevalensi kasus hipertensi di Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,87% pada tahun 2006, menjadi 2,02% pada tahun 2007 dan naik lagi menjadi 3,30% pada tahun 2008, dengan prevalensi tertinggi adalah di Kota Surakarta yakni sebesar 0,75% (Depkes, 2008). Dari data epidemiologi prevalensi hipertensi di Indonesia diperkirakan mencapai 6-15% dan diperkiran mencapai 1 miliar orang diseluruh dunia mempunyai tekanan darah tinggi dan 7,1 juta kematian terkait dengan hipertensi (Darnindro dan Muthalib 2008). Berdasarkan etiologinya hipertensi dibedakan menjadi 2 yakni hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer yaitu hipertensi yang penyebabnya multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan dan angka kejadiannya mencapai 90% dari kasus hipertensi. Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya diketahui, yakni pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal, sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu, misalnya : pil KB (Aziza, 2007). Hipertensi menjadi masalah bila kondisinya persisten dan membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai darah (termasuk jantung dan otak)
3
menjadi tegang, bila hipertensi tidak dikontrol dengan baik maka akan menimbulkan komplikasi serius dan penyakit kardiovaskular, seperti angina dan serangan jantung, stroke, gagal jangtung, kerusakan ginjal, dan masalah mata (Anna dan Bryan, 2007). Penatalaksaan yang ditunjukkan bagi penderita hipertensi dibagi menjadi farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi antara lain, mengurangi asupan garam, perubahan pola makan, olah raga teratur, menghentikan rokok dan alkohol dan mengurangi berat badan (Mancia, 2013). Sedangkan untuk terapi farmakologi terdapat beberapa golongan obat anti hipertensi yaitu : diuretik, antagonis kalsium, ACE inhibitor, antagonis angiotensin II, beta bloker, antagonis reseptor alfa, simpatolitik, dan vasodilator langsung (Benowitz, 2007). World Health Organization (WHO) merekomendasikan 5 macam golongan obat sebagai terapi hipertensi yaitu diuretik, beta bloker, ACE inhibitor, antagonis kalsium dan antagonis resptor angiotensin (WHO, 2003). Namun sering kali penggunaan obat modern justru akan menimbulkan masalah dikemudian hari, karena umumnya setiap obat modern memiliki efek samping yang terkadang tidak diinginkan, ditambah lagi dibutuhkan kepatuhan dan ketaatan pasien yang merupakan syarat untuk keefektivan terapi hipertensi (Halpern et al., 2006). Diuretik adalah obat yang meningkatkan laju aliran urin, namun secara klinis diuretik juga memiliki manfaat untuk meningkatkan laju ekskresi natrium (natriuresis) dan amnion yang menyertainya (Katzung, 2005).
4
Diuretik biasanya diindikasikan untuk edema, hipertensi, diabetes insipidus, batu ginjal, dan hiperkalsemia (Beggs S, 2006). Penggunaan diuretik mampu mencegah komplikasi hipertensi dibandingkan dengan obat antihipertensi lain (Darnindro dan Muthalib, 2008). Secara umum diuretik dibagi menjadi dua yaitu penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubuli ginjal dan diuretik osmotik (Katzung, 2005). Diuretik saat ini masih disarankan sebagi obat hipertensi pada orang tua karena tidak ada perbedaan signifikan dalam menurunkan mortalitas, serta dari segi biaya penggunaan diuretik lebih murah (Darnindro dan Muthalib, 2008). World Health Organization (WHO) merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker serta mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003). Masyarakat Indonesia, sudah memanfaatkan tanaman obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun-temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanaman obat merupakan suatu komponen penting dalam pengobatan tradisional, karena masih merupakan alternatif dalam pengobatan penyakit (Sari, 2006). Penggunaan obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Faktor pendorong terjadinya peningkatan
5
penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat. (Supriyatna dan Moelyono, 2014) Keunggulan dari pengobatan herbal adalah bahan dasarnya yang bersifat alami sehingga efek sampingnya dapat ditekan seminimal mungkin (Utami, 2008). Selain itu, obat dari bahan alam lebih mudah dijangkau oleh masyarakat luas, dari segi ekonomi maupun ketersediaannya (Mustarichie dan Anggraini, 2011). Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah tanaman Pepaya (Carica papaya L.). Pepaya merupakan tanaman yang memiliki berbagai manfaat dari tiap bagiannya, mulai dari akar, batang, bunga, buah, daun, dan bijinya (Moehd dan Baga 2008). Pepaya mengandung minyak biji Pepaya yang berwarna kuning diketahui mengandung 71,60 % asam oleat, 15,13 % asam palmitat, 7,68 % asam linoleat, 3,60% asam stearat, dan asam-asam lemak lain dalam jumlah relatif sedikit atau terbatas. Selain mengandung asam-asam lemak, biji Pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin (Warisno, 2003). Flavonoiod yang terdapat didalam biji Pepaya adalah golongan flavonol (Khrisna et al., 2008). Flavonoid dapat menyebabkan efek diuresis dengan cara meningkatkan ekskresi elektrolit, seperti ion natrium dan klorida bersama urin (Chadera et al., 1991).
6
Berdasarkan penelitian Isnania (2014) ekstrak biji pepaya (Carica papaya L.) mempunyai efek diuresis. Oleh karena itu, dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui berbagai dosis ekstrak biji pepaya pada tikus putih jantan. B. Rumusan Masalah Apakah berbagai dosis ekstrak biji Pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek diuresis terhadap tikus putih jantan (Rattus norvegicus) ? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efek diuresis berbagai dosis ekstrak biji Pepaya (Carica papaya L.) terhadap tikus putih jantan (Rattus norvegicus). D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Ilmiah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data ilmiah mengenai efek diuresis berbagai dosis ekstrak biji Pepaya (Carica papaya L.).
2.
Manfaat Aplikatif Jika pada penelitian ini terbukti terdapat efek diuresis ekstrak biji Pepaya (Carica papaya L.), diharapkan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya untuk menentukan dosis biji Pepaya (Carica papaya L.) yang tepat digunakan sebagi diuresis.