BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat khususnya di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah perkotaan. Pada tahun 2012, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 90.245 kasus dengan kematian 816 orang (Incidence Rate/Angka Kesakitan = 37,11 per 100.000 penduduk) dan jumlah kabupaten/kota terjangkit 417 (83,9%). Peningkatan ini menunjukkan semakin luasnya penyebaran DBD. Target rencana strategi Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2014 sebesar < 35 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Penyakit DBD dapat menyerang manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Pencegahan gigitan nyamuk menjadi strategi utama untuk menghindari terjangkitnya penyakit DBD karena belum ada obat yang efektif dan vaksin dengue yang spesifik (Tawatsin dkk., 2006). Pengendalian dilakukan terhadap stadium larva melalui Abatesasi dan untuk nyamuk dewasa dengan fogging. Larvasida yang paling luas digunakan di Indonesia adalah Abate® SG-1 (Istiana dkk., 2012). Beberapa keluhan dalam penggunaan Abate® sebagai pembasmi larva nyamuk adalah bau tidak enak, timbulnya karatan dalam drum penampung air, kemungkinan dampak resistensi terhadap nyamuk dan tingginya resiko yang berdampak terhadap kesehatan manusia apabila digunakan terus-menerus (Rumengan, 2010). Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu insektisida
1
2
alami yang lebih aman terhadap lingkungan dan mempunyai potensi resistensi yang lebih rendah. Insektisida alami tersebut dapat diperoleh dari metabolit sekunder beberapa jenis tanaman yang dapat mengendalikan populasi nyamuk. Kandungan racun dari metabolit sekunder dapat memberi tekanan pada insekta, dengan mempengaruhi sistem saraf dan tingkah lakunya (Sharma dkk., 1998). Penggunaan tanaman sebagai larvasida alami, terutama tanaman-tanaman lokal akan sangat bermanfaat bagi peningkatan potensi sumber daya alam lokal. Salah satu tanaman lokal yang dapat digunakan sebagai larvasida alami adalah jahe merah. Minyak atsiri jahe merah memiliki aktivitas sebagai larvasida Ae. aegypti dengan Lethal Concentration 50 % (LC50) sebesar 3,94 ppm (Prasetyo, 2009). Komponen kimia dalam minyak atsiri jahe adalah monoterpenoid [β-felandren, (+)-kamfen, limonen, 1,8-sineol, sitronelol, geranial, geraniol, kurkumen, mirsen, α-pinen,
geranilasetat,
linalool,
neral,
sitral,
terpineol,
borneol]
dan
seskuiterpenoid [α-zingiberen (30-70%), β-seskuifelandren (15-20%), β-bisabolen (10-15%), (E-E)- α-farnesen, α-kurkumen, zingiberol] (BPOM RI, 2011). Sifat minyak yang tidak larut dalam air menjadi permasalahan baru karena akan membuat perubahan rasa, warna dan bau pada air serta membentuk dua lapisan yang tidak saling campur. Minyak akan berada di atas permukaan air dikarenakan berat jenis minyak lebih kecil daripada berat jenis air. Oleh karena itu, minyak atsiri jahe merah tidak dapat diaplikasikan secara langsung pada tempat penampungan air. Bentuk formulasi yang dipilih dalam penelitian ini
3
adalah granul dengan bahan tambahan laktosa yang larut dalam air dan tidak membuat perubahan rasa, warna dan bau pada air. Larva Ae. aegypti biasa bergerak lincah dan aktif memperlihatkan gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar mencari makanan secara berulangulang. Pada saat granul diaplikasikan, granul akan mengendap di dasar penampungan air dan bahan aktif akan terdispersi secara merata ke dalam air sedikit demi sedikit. Komponen minyak atsiri tersebut akan masuk ke dalam organ larva yang dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu granul minyak atsiri jahe merah efektif membunuh larva Ae. aegypti pada saat di permukaan air maupun pada saat turun di dasar penampungan air untuk mencari makan. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas granul minyak atsiri jahe merah sebagai larvasida terhadap Ae. aegypti dengan melihat nilai LC50 dan LC90.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah granul minyak atsiri jahe merah berpotensi sebagai larvasida terhadap Ae. aegypti ? 2. Berapakah konsentrasi minyak atsiri jahe merah dalam granul yang dapat mematikan larva Ae. aegypti sebesar 50 % (LC50) dan sebesar 90 % (LC90)?
4
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui potensi granul minyak atsiri jahe merah terhadap larva Ae. aegypti. 2. Mengetahui konsentrasi minyak atsiri jahe merah dalam granul yang dapat mematikan larva Ae. aegypti sebesar 50% (LC50) dan sebesar 90 % (LC90).
D. Tinjauan Pustaka 1.
Larvasida Larvasida merupakan golongan dari pestisida yang dapat membunuh larva pra dewasa atau sebagai pembunuh larva. Larvasida berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 suku kata, yaitu Lar berarti larva pra dewasa dan sida berarti pembunuh. Jadi larvasida dapat diartikan sebagai pembunuh larva pra dewasa atau pembunuh larva. Pemberantasan nyamuk menggunakan larvasida merupakan metode terbaik untuk mencegah penyebaran nyamuk. Parameter aktivitas larvasida suatu senyawa kimia dilihat dari kematian larva. Senyawa bersifat larvasida juga bisa digunakan sebagai sediaan insektisida untuk membasmi larva yang belum dewasa dan larva dewasa (Sudarmo, 1989).
2.
Granul Granul merupakan kumpulan partikel kecil menjadi gumpalan partikel tunggal yang lebih besar sedangkan partikel awal masih dapat diidentifikasi.
5
Umumnya granul dibuat dengan cara melembabkan yaitu menyalurkan adonan dari bahan serbuk yang ditekan melalui mesin pembuat granul. Granulasi adalah proses pembesaran ukuran partikel individual atau campuran serbuk untuk menghasilkan campuran obat dan eksipien dalam bentuk granul yang lebih besar dan lebih kuat daripada ukuran awal (Parikh, 2005). Prinsip pembuatan granul ada 4 tahap yaitu agregasi campuran serbuk dengan penambahan suatu cairan penggranul, pembagian massa, pengeringan granul dan mengayak bagian yang halus dan sekaligus menyiapkan granul, artinya melonggarkan butiran granul yang masih melekat bersama-sama dari proses pengeringan melalui gerakan yang hati-hati di atas ayakan sehingga terbentuk butiran granul. Granul disebar dalam lapisan tipis dan dikeringkan (Voigt, 1994).
3.
Jahe a. Klasifikasi Jahe diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Zingiberales
Familia
: Zingiberaceae
6
Genus
: Zingiber
Spesies
: Zingiber officinale Roscoe
(BPOM RI, 2011) b. Nama 1. Nama ilmiah : Zingiber officinale Linn. Var. rubrum 2. Nama daerah : Halia barah (Aceh); jahe sunti (Jawa) 3. Nama asing : red ginger (Inggris); Chiang (Cina) (Herlina dkk., 2002). c. Deskripsi Habitus : Herba, semusim, tegak, tinggi 40 – 50 cm Batang : Semu, beralur, membentuk rimpang, hijau Daun
: Tunggal, bentuk lanset, tepi rata, ujung runcing, panjang 3–5
cm, lebar 1,5–2 cm, tangkai panjang ± 2 cm, hijau merah. Bunga : Kelopak bentuk tabung, bergigi tiga, mahkota bentuk corong, panjang 2 – 2,5 cm, ungu. Buah
: Kotak, bulat panjang, cokelat.
Biji
: Bulat, Hitam.
Akar
: Serabut, putih kotor.
(Syamsuhidayat & Hutapea, 1991) d. Kandungan kimia dan efek farmakologis Jahe merah memiliki rasa pedas dan bersifat hangat. Beberapa bahan kimia dalam jahe diantaranya glukosida, sulfonat, minyak atsiri, gingerol, gingerdion, gingerdiol, paradol, shogaol, fenil alkaloid, dan
7
enzim proteolitik zingibalin (BPOM RI, 2011). Efek farmakologis yang dimiliki oleh jahe merah diantaranya merangsang ereksi, penghambat keluarnya enzim 5-lipoksigenase dan siklo-oksigenase serta meningkatkan aktivitas kelenjar endokrin, memperlambat proses penuaan, merangsang regenerasi sel kulit, dan bahan pewangi (Herlina dkk., 2002). 4.
Minyak Jahe Minyak jahe merupakan minyak atsiri yang dihasilkan dari jahe melalui proses penyulingan. Minyak atsiri jahe merah berwarna kuning cokelat hingga kemerah-merahan, sedikit kental, dan merupakan senyawa yang memberi aroma yang khas pada jahe. Berat jenis minyak atsiri lebih kecil dibandingkan dengan air. Dari setiap rimpang jahe umumnya dapat dihasilkan 1-3 % minyak atsiri. Dalam istilah perdagangan internasional minyak jahe dikenal dengan nama ginger oil. Kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin tua umur jahe, kandungan minyak semakin banyak sampai mencapai umur optimal (12 bulan). Namun, selama dan sesudah pembungaan, persentase kandungan minyak atsiri tersebut berkurang, sehingga dianjurkan tidak melakukan pemanenan pada saat itu. Oleh karena itu, selain umur tanaman kandungan minyak atsiri jahe juga dipengaruhi oleh umur panen (Herlina dkk., 2002). Kandungan minyak atsiri jahe merah sekitar 2,58-2,72% dihitung berdasarkan berat kering. Komponen kimia minyak atsiri jahe adalah monoterpenoid [β-felandren, (+)-kamfen, limonen, 1,8-sineol, sitronelol, geranial, geraniol, kurkumen, mirsen, α-pinen, geranilasetat, linalool, neral,
8
sitral, terpineol, borneol] dan seskuiterpenoid [α-zingiberen (30-70%), βseskuifelandren (15-20%), β-bisabolen (10-15%), (E-E)- α-farnesen, αkurkumen, zingiberol] (BPOM RI, 2011). 5.
Minyak atsiri Minyak atsiri yang dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang (essential oil, volatil oil) merupakan minyak yang dihasilkan tanaman. Minyak atsiri mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, berasa getir, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Minyak atsiri bagi tanaman berfungsi untuk: a. Membantu proses penyerbukan dengan cara menarik larva atau hewan tertentu. b. Mencegah rusaknya tanaman karena larva atau hewan. c. Cadangan makanan dalam tanaman. Sisa dari metabolisme tanaman dapat berupa minyak atsiri. Minyak atsiri yang terbentuk merupakan hasil dari reaksi berbagai persenyawaan kimia dalam tanaman dengan adanya air. Sintesis minyak atsiri dapat terjadi di dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman atau dalam pembuluh resin. Variasi komposisi dalam minyak atsiri dapat disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman penghasil, iklim, keadaan tempat tumbuh, umur pemanenan, metode ekstraksi, dan cara penyimpanan (Ketaren, 1985).
9
6.
Aedes aegypti a. Taksonomi Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Hexapoda/insecta
Ordo
: Diptera
Familia
: Culicidae
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes aegypti
(Boror dkk., 1989) b. Morfologi Telur Ae. aegypti berbentuk lonjong, panjangnya ± 0,6 mm dan beratnya 0,0113 mg. Pada waktu diletakkan telur berwarna putih, 15 menit kemudian telur menjadi abu-abu dan setelah 40 menit menjadi hitam. Pada dindingnya terdapat garis-garis menyerupai kawat kasa atau sarang tawon (Sungkar, 2005).
Gambar 1. Telur Ae. aegypti (CDC Public Health Image Library, 2008)
Larva Ae. aegypti melalui 4 stadium larva dari instar I, II, III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong
10
pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva instar III berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna cokelat kehitaman. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen). Larva instar IV mempunyai tanda khas yaitu pelana yang terbuka pada segmen anal, sepasang bulu siphon dan gigi sisir yang berduri lateral pada segmen abdomen ke-7 (Sungkar, 2005).
Gambar 2. Larva Ae. aegypti (Cutwa, 2008)
Sebagaimana larva, pupa juga membutuhkan lingkungan akuatik (air). Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap
membutuhkan
oksigen
untuk
bernafas.
Untuk
keperluan
pernafasannya pupa berada di dekat permukaan air. Lama fase pupa tergantung dengan suhu air dan spesies nyamuk yang lamanya dapat berkisar antara satu hari sampai beberapa minggu (Supartha, 2008).
11
Gambar 3. Pupa Ae. aegypti (Zettel, 2008)
c. Siklus hidup Telur nyamuk Ae. aegypti di dalam air dengan suhu 20- 400C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto, 2004).
1. Telur
2. Larva
4. Nyamuk dewasa 3. Pupa
Gambar 4. Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti (CDC, 2012)
12
7.
Kromatografi Lapis Tipis-Densitometri Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengelusi analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen / analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pengecatan. Pada KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium, atau lempeng plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar & Rohman, 2012). Densitometri
merupakan
metode
analisis
instrumental
yang
mendasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT. Posisi dan identifikasi tiap bercak zat terlarut ditunjukkan oleh faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan antara pusat bercak dan garis awal dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak dihitung dari garis awal tempat penotolan. Nilai Rf dipengaruhi oleh kelembaban zat penjerap, penjenuhan bejana kromatografi, suhu, pH fase diam, ukuran sampel dan parameter pelarut. Beberapa Keuntungan KLT adalah: (1) KLT banyak digunakan untuk tujuan analisis; (2) identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresens, atau dengan radiasi menggunakan ultra violet; (3) dapat dilakukan elusi secara mekanik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi; (4)
13
ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Gandjar & Rohman, 2012). KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik baik untuk analisis secara kuantitatif atau secara kualitatif. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar kecil, yang telah dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT. Penggunaan KLT antara lain adalah untuk: menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi dan menentukan efektivitas pemurnian (Gandjar & Rohman, 2012). 8.
Kromatografi Gas - Spektrometri Massa Kromatografi Gas - Spektrometri Massa atau dikenal GC-MS (Gas Chromatography - Mass Spectrometry) merupakan gabungan 2 sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain tetapi dapat saling melengkapi dan menguntungkan. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai komponen senyawa dalam sampel, sedangkan spektrometer massa berfungsi mendeteksi masing-masing molekul komponen yang telah dipisahkan menggunakan GC. Pemisahan menggunakan GC dapat menghindari atau menghilangkan efek dari penguapan. Keuntungan menggunakan GC-MS adalah cepat dan akurat dalam memisahkan campuran yang rumit, mampu menganalisis cuplikan dalam jumlah sangat kecil, dan menghasilkan data yang berguna mengenai struktur serta identitas senyawa organik. Sistem pengolahan data yang digunakan adalah dengan komputerisasi. Informasi
14
yang diperoleh dari GC-MS ada 2 macam, yaitu informasi hasil GC berbentuk kromatogram dan hasil MS berbentuk spektrum massa. Kromatogram dapat memberikan informasi mengenai jumlah komponen kimia yang terdapat dalam campuran, sedangkan spektrum massa memberikan informasi tentang jenis dan jumlah fragmen molekul (Agusta, 2000).
E. Landasan Teori Minyak atsiri jahe merah berpotensi sebagai larvasida alternatif yang lebih aman untuk kesehatan dan ramah lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas larvasida minyak atsiri jahe merah dengan 5 variasi kadar didapatkan nilai LC50 sebesar 3,94 ppm (Prasetyo, 2009). Komponen kimia dalam minyak atsiri jahe adalah monoterpenoid [β-felandren, (+)-kamfen, limonen, 1,8-sineol, sitronelol, geranial, geraniol, kurkumen, mirsen, α-pinen, geranilasetat, linalool, neral, sitral, terpineol, borneol] dan seskuiterpenoid [α-zingiberen (30-70%), βseskuifelandren (15-20%), β-bisabolen (10-15%), (E-E)- α-farnesen, α-kurkumen, zingiberol] (BPOM RI, 2011). Aktivitas insektisida dari senyawa murni yang berasal dari alam dengan LC50 ≤ 1 mg/ml merupakan senyawa yang potensial sebagai insektisida hayati (Mc Laughlin & Rogers, 1999). Sihuincha dkk. (2005) melaporkan bahwa formulasi larvasida berbentuk granul melepaskan zat aktifnya ke dalam penampungan air selama 5 bulan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, granul akan melepaskan zat aktif secara perlahan-lahan dan efektif untuk membunuh larva Ae. aegypti.
15
F. Hipotesis 1.
Granul minyak atsiri jahe merah berpotensi sebagai larvasida alami terhadap Ae. aegypti.
2.
Nilai LC50 dan LC90 granul minyak atsiri jahe merah ≤ 1 mg/ml.