BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Program imunisasi merupakan program yang memberikan sumbangan yang sangat bermakna dalam rangka penurunan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh berbagai Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Cakupan program imunisasi rutin yang tinggi dengan kualitas program yang baik, terbukti mempercepat penurunan angka kematian dan angka kesakitan bayi. Program imunisasi rutin harus dipertahankan secara terus-menerus dengan cakupan yang tinggi selama masih ada bibit penyakitnya. Pengalaman membuktikan, bahwa walaupun jumlah kasus suatu PD3I tidak tinggi, sehingga penyakit tersebut tidak diperhitungkan sebagai masalah kesehatan yang serius, tetapi bila cakupan imunisasi di suatu daerah rendah dalam beberapa tahun, akan terjadi peningkatan kasus PD3I bahkan bisa terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Imunisasi atau vaksinasi sebagai suatu tindakan memberikan kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit dengan memasukkan vaksin seharusnya membuat daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit tertentu menjadi baik. Satu hal yang perlu dicermati dalam hal ini adalah pengelolaan rantai vaksin (cold chain). Pengelolaan vaksin sama halnya dengan pengelolaan rantai vaksin, yaitu suatu prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu tertentu yang telah ditetapkan agar vaksin memiliki potensi yang baik sampai pada saat diberikan kepada
Universitas Sumatera Utara
sasaran. Untuk menjamin penyimpanan, pengiriman dan penanganan vaksin secara baik, sistem cold chain terdiri dari tiga elemen utama yaitu personil, peralatan dan manajemen prosedur yang efisien (WHO, 2002). Menurut Parslow (2003) vaksin merupakan produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Semua vaksin merupakan produk biologis yang rentan, memiliki karakteristik tertentu, sehingga memerlukan penanganan khusus. Menurut Centers For Disease Control and Prevention (2003) penyimpangan ketentuan yang ada dapat mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga potensi vaksin akan berkurang atau bahkan hilang. Sekali potensi vaksin berkurang atau hilang tidak dapat diperbaiki. Kualitas vaksin tidak hanya ditentukan dengan tes laboratorium (uji potensi vaksin), namun juga sangat tergantung pada kualitas pengelolaannya. Kualitas vaksin tidak semata-mata hanya ditentukan dari bagaimana cara vaksin atau serum tersebut diproduksi tetapi hal lain yang sangat menentukan, yaitu bagaimana vaksin atau serum tersebut diperlakukan selama penyimpanan, pengepakan dan selama pengiriman (Depkes RI, 2005). Vaksin dapat lebih cepat mengalami kehilangan potensi jika terpapar oleh temperatur yang tidak sesuai dengan temperatur penyimpanan yang ditentukan. Kehilangan potensi pada vaksin bersifat permanen dan irreversible. Oleh sebab itu penyimpanan vaksin pada kondisi temperatur yang ditentukan merupakan hal vital yang sangat penting agar potensi
Universitas Sumatera Utara
vaksin tetap terjaga sampai dengan vaksin diberikan (Centers for Disease Control and Prevention, 2012). Kehilangan potensi pada vaksin dan bila diberikan kepada sasaran dapat menimbulkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak diinginkan. Kerusakan vaksin juga dapat mengakibatkan kerugian sumber daya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya vaksin, maupun biaya-biaya lain yang terpaksa dikeluarkan guna menanggulangi masalah KIPI atau kejadian luar biasa. Menurut Riskesdas tahun 2013 persentase imunisasi dasar pada anak umur 12-23 bulan di Provinsi Sumatera Utara adalah (HB-0=63,0%, BCG=78,1%, DPTHB-3=63,1%, Polio-4=67,5%, Campak=70,1%) dan persentase imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yaitu 39,1% (lengkap), 44,5% (tidak lengkap) dan 16,4% (tidak imunisasi). Persentase imunisasi dasar lengkap di perkotaan lebih tinggi (64,5%) daripada di perdesaan (53,7%) dan terdapat 11,7 persen anak umur 1223 bulan di perdesaan yang tidak diberikan imunisasi sama sekali (Kemenkes RI, 2013). Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, IOM (Institute of Medicine USA) menyatakan bahwa sebagian besar kejadian KIPI adalah akibat kesalahan prosedur dan kinerja petugas dalam penatalaksanaan vaksin. Selama ini masih banyak petugas kesehatan yang beranggapan bahwa bila ada pendingin maka vaksin sudah aman, bahkan ada yang berpikir kalau semakin dingin maka vaksin semakin baik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Depkes RI (2013) vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu yang sudah ditentukan. Pemantauan suhu vaksin sangat penting untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan dan beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan adalah paparan
vaksin
terhadap
panas,
masa
kadaluwarsa
vaksin,
waktu
pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin. Menurut WHO (2002) agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran maka vaksin harus disimpan pada sarana penyimpanan (cold chain) pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah ditentukan. Standar penyimpanan vaksin pada lemari pendingin berguna untuk melakukan pemantauan suhu rantai dingin (cold chain) vaksin dilengkapi dengan alat pemantau suhu berupa lampu alarm yang akan menyala bila suhu di dalamnya melampaui suhu yang ditetapkan. Sebagai dasar pertimbangan dalam memilih cold chain antara lain meliputi jumlah sasaran, volume vaksin yang akan dimuat, sumber energi yang ada, sifat, fungsi serta stabilitas suhu sarana penyimpanan, suku cadang dan anjuran WHO atau hasil penelitian atau uji coba yang pernah dilakukan. Sarana cold chain di tingkat puskesmas dan poliklinik merupakan sarana penyimpanan vaksin terakhir sebelum mencapai sasaran. Tingginya frekuensi pengeluaran dan pengambilan vaksin dapat menyebabkan potensi vaksin cepat menurun.
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme perjalanan vaksin dari Dinas Kesehatan sampai ke puskesmas memiliki alur secara berjenjang. Pengambilan vaksin ke kabupaten/kota dari puskesmas menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan seperti cold box atau vaccine carrier. Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator vaksin VVM (Vaccine Vial Monitor) kemudian dimasukkan cool pack ke dalam alat pembawa dan dibagian tengah diletakkan thermometer, untuk jarak jauh bila freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan ke dalam alat pembawa, selama perjalanan dari kabupaten/kota ke puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung. Sampai di puskesmas data vaksin dicatat dalam buku stok vaksin: tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Penerapan prosedur tersebut untuk memperkecil risiko kerusakan pada vaksin (WHO, 2003). Permasalahan yang kerap dihadapi petugas kesehatan adalah ketika distribusi vaksin sampai ke posyandu di daerah terpencil. Kondisi yang tidak kondusif sering merusak kualitas vaksin. Semua vaksin secara kontinu harus disimpan dalam suhu yang tepat sejak saat dibuat sampai digunakan untuk mempertahankan mutu. Sekali potensi vaksin hilang atau rusak, tidak dapat diperoleh kembali atau diperbaiki. Tanpa penanganan yang tepat, setiap vaksin menjadi tidak efektif untuk memberikan perlindungan terhadap sasaran. Pada beberapa kasus, hilangnya potensi dapat pula menyebabkan vaksin lebih mudah menimbulkan reaksi (reactogenic) (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Studi terhadap klinik yang melayani imunisasi di wilayah Vancouver tahun 2006, menyebutkan dari 170 klinik yang ada hanya 12% yang memantau suhu vaksin secara rutin 2 kali sehari (BCCDC, 2006). Studi oleh PATH (Program Appropiate Technology in Health) dan Departemen Kesehatan RI tahun 2001-2003 menyatakan bahwa 75% vaksin di Indonesia telah terpapar suhu beku selama distribusi. Suhu beku dijumpai selama transportasi dari provinsi ke kabupaten (30%), penyimpanan di lemari es kabupaten (40%) dan penyimpanan di lemari es puskesmas (30%) (Nelson et al., 2004). Salah satu faktor yang terkait dengan pengelolaan vaksin adalah kepatuhan petugas vaksin terhadap tata cara atau prosedur pengelolaannya. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012) secara teoritis kepatuhan atau ketidakpatuhan dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh perilaku seseorang. Dalam hal ini adalah kepatuhan petugas kesehatan terhadap anjuran atau aturan dalam mengelola vaksin. Menurut Depkes RI (2013) program imunisasi akan bermutu apabila petugas kesehatan khususnya petugas cold chain dan vaksin patuh terhadap standard yang ditetapkan. Kepatuhan petugas cold chain dimulai dari cara menangani vaksin, yaitu mulai dari pabrik pembuat vaksin sampai dilapangan dan pemeliharaan sarana tempat penyimpanan yang memadai dan dapat berfungsi dengan benar disemua tempat. Pengetahuan menjadi dasar terbentuknya sikap seseorang serta melakukan tindakan. Sikap positif petugas kesehatan menjadi dasar kecenderungan untuk melakukan tindakan atau praktik yang berkenaan dengan objek sikapnya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Green dalam Notoatmodjo (2012), determinan perilaku seseorang dalam melakukan serangkaian tindakan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu karakteristik individu yang bersangkutan dan faktor eksternal, yaitu faktor lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Hasil survei awal pemantauan pengelolaan vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan tahun 2013 menunjukkan sebagian besar petugas pengelola vaksin puskesmas belum sepenuhnya patuh terhadap SOP (standar operasional prosedur) dalam mengelola vaksin, yakni suhu penyimpanan vaksin harus stabil pada kisaran 2-8oC. Pemantuan berdasarkan VVM pada 2 unit puskesmas di Kabupaten Labuhanbatu Selatan ditemukan vaksin DPT 1 unit dan vaksin HB sebanyak 2 unit mengalami perubahan warna, sehingga tidak bisa digunakan. Salah satu penyebab belum optimalnya pengelolaan vaksin ini adalah secara internal pengetahuan petugas yang masih rendah tentang pengelolaan vaksin, sebagian besar belum mengikuti pelatihan dan secara eksternal minimnya supervisi dari pimpinan serta fasilitas pendukung yang belum sepenuhnya dioperasikan dengan baik. Hasil penelitian Mavimbe dan Bjune (2007) di Mozambique terhadap 44 petugas pengelola vaksin menunjukkan bahwa sebagian besar petugas memiliki pengetahuan yang kurang mengenai penyimpanan vaksin. Sebanyak 40 petugas (91%) tidak mengetahui tentang uji kocok (shake test) dan sebanyak 21 petugas (48%) tidak mengetahui kisaran suhu yang dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Kristini (2008) menyimpulkan bahwa kepatuhan seperti pengetahuan dan sikap petugas pengelola vaksin merupakan salah satu faktor efektf tidaknya kinerja petugas dalam pengelolaan vaksin dan ditemukan sebagian besar (65,9%) petugas pengelola vaksin memiliki pengetahuan kurang mengenai penyimpanan vaksin. Hasil penelitian Suryanti (2008) menyimpulkan bahwa kepatuhan petugas meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan dalam pengelolaan vaksin belum sepenuhnya sesuai dengan prosedur. Petugas kesehatan yang belum sepenuhnya patuh terhadap penerapan standar operasional prosedur dalam mengelola vaksin maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang ”Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan"
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Hipotesis Faktor Internal dan Eksternal berpengaruh terhadap Kepatuhan Petugas Kesehatan dalam Mengelola Vaksin di Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
1.5 Manfaat Penelitian 1.
Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, sebagai bahan masukan dalam hal pengelolaan vaksin guna perbaikan kualitas pelayanan terkait dengan vaksinasi.
2.
Penelitian ini memberi masukan bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat dan bagi peneliti selanjutnya khususnya tentang pengelolaan vaksin.
3.
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan vaksin.
Universitas Sumatera Utara