1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang: Komunitas Kecil Beraneka Isu
Komunitas, mengutip Laksono (2009: 24), berisi para individu (di luar struktur) yang berjuang dan seringkali melawan otoritas umum masyarakat (terstruktur). Saya menggunakan pengertian ini merujuk komunitas Mbah Kerto yang terdiri dari 16 keluarga penganut Buddha subyek riset saya yang tinggal secara berdekatan dan berinteraksi secara guyub, di sebuah dusun yang berlokasi di dalam wilayah buffer zone sebuah taman nasional di Jawa Timur. Berdasarkan hasil riset participatory rural appraisal yang dilakukan oleh Wahyu Ahfi Hidayat untuk Konphalindo1 (Konsorsium Perlindungan Hutan Seluruh Indonesia) bersama masyarakat sekitar taman nasiobal tersebut pada akhir tahun 2010 hingga awal 2011 dan hasil kunjungan pertama saya pada akhir Juni 2011, saya menyimpulkan bahwa para penganut Buddha di tepi hutan ini -- yang untuk kepentingan tesis ini saya sebut dengan komunitas Mbah Kerto -- adalah sebuah komunitas kecil dengan berbagai kondisi yang menarik untuk saya pilih sebagai subyek riset tesis saya. Kondisi yang menarik itu antara lain adalah:
1
Konphalindo (Konsorsium Perlindungan Hutan Seluruh Indonesia) adalah organisasi nonpemerintah yang bergerak meningkatkan kesadaran lingkungan menuju transformasi sikap melalui informasi, edukasi, fasilitasi advokasi dan membangun organisasi komunitas.
2
1. Anggota pria komunitas Mbah Kerto ketika hadir dalam pertemuan warga, selalu tampil dengan ciri khas mereka, yaitu mengenakan penutup kepala khas Jawa yang disebut blangkon di kepala mereka. Gabungan antara agama Buddha dan blangkon ini memberikan citra yang unik, yang mengesankan bahwa mereka adalah sisa-sisa penganut Budhojawi2 dari masa lalu. 2. Oleh masyarakat setempat, komunitas Mbah Kerto sempat dianggap sebagai penganut kebatinan (bukan agama yang diakui sah oleh negara) yang berimplikasi pada registrasi pernikahan dan pemakaman: Pernah ada anggota komunitas yang sempat mengalami kesulitan ketika hendak melaksanakan pernikahan karena dianggap tidak sah, dan ketika ada yang meninggal jazadnya sempat ditolak dikubur di makam desa. 3. Komunitas Mbah Kerto tinggal di pinggir hutan yang dianggap sakral oleh orang Jawa, yang sering digunakan untuk tirakat dan berkomunikasi dengan para leluhur Tanah Jawa (Sang Hyang Ismoyo), selain juga adanya keyakinan bahwa hutan tersebut juga merupakan latar depan dari Keraton Kanjeng Ratu Ayu Kidul yang dipercaya melindungi Tanah Jawa dari arah laut di selatan. Kemungkinan karena dianggap sakral inilah maka di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika rakyat menjarah tandas hutan di seluruh Pulau Jawa sebagai akibat dari krisis ekonomi dan
2
Kata budho dalam Budhojawi menggunakan satu huruf ‘d’, sementara untuk istilah Buddha yang merujuk ajaran Sidharta Gotama, saya menggunakan dua huruf ‘d’ sebagaima standar yang berlaku secara internasional (kendati di Indonesia sering ditulis dengan satu huruf ‘d’).
3
moneter yang menjatuhkan Presiden Suharto, hutan ini (termasuk ring pelindung berupa hutan tanaman produksi dengan kebun jati dan mahoni) adalah satu-satunya yang tersisa dalam keadaan relatif utuh. Selamatnya hutan ini menarik mengingat lokasinya berada di dataran rendah, yang secara transportasi tidaklah sulit untuk mengangkut balok-balok kayu keluar dari sana. Keyakinan takut kualat apabila memerusak hutan tampaknya masih kuat dalam masyarakat sekitar alas Tirtoarum. 4. Anggota komunitas Mbah Kerto, sebagaimana penduduk lainnya di dusun yang sama berstatus magersari yang tidak memiliki hak atas tanah melainkan semata-mata hak pakai dan hak kelola atas sepetak lahan yang ditempati kendati hak tersebut bisa diturunkan kepada para ahli waris mereka, mengingat mereka menempati areal Perhutani sebagai pengelola hutan tanaman produksi. 5. Sebagai bagian dari masyarakat peramu yang telah bertahun-tahun hidup dari memunguti hasil hutan, komunitas Mbah Kerto kini tidak lagi bebas mencari penghidupan di dalam hutan sehubungan dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.60 Tahun 2009 yang melarang siapapun mengambil apapun dari hutan lindung kecuali di wilayah hutan tanaman produksi. 6. Secara historis wilayah Tirtoarum merupakan benteng Hindu sisa-sisa Majapahit, namun kemudian berkembang berkat migrasi dari daerah Mentaraman (Mataram) dan Madura, yang mana hal ini membuat
4
penduduk tepi alas Tirtoarum secara etnoreligio beraneka (beragama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, serta dari etnis Jawa Mentaraman, Madura dan Using). Pada saat ini mereka menunjukkan sikap hidup inklusif, mampu tinggal berdampingan secara cukup guyub-rukun dengan tingkat toleransi yang baik, saling bergotong-royong, dan saling menghadiri undangan selamatan tanpa menunjukkan sikap risih. 7. Masyarakat Tirtoarum masih menyimpan ingatan buruk tentang pasca G30S3 di tahun 1965, yaitu misalnya ketika KAMI/KAPPI4 dinilai memiliki kekuasaan yang lebih superior bahkan dibandingkan tentara sekali pun karena telah bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat. Ini adalah peristiwa kekerasan yang telah mengakibatkan sebagian masyarakat memilih bergabung dengan (atau tepatnya berlindung di bawah) institusi agama Hindu dan Buddha, sebagaimana dikisahkan oleh seorang pria: Sebelum G30S di dusun ini tidak ada warga yang beragama Hindu. Warga beragama Hindu mulai ada pada tahun 1967, dengan angka yang langsung mencapai sekitar 350 kepala keluarga. Namun kemudian jumlah umat Hindu habis, dan yang bersedia bersembahyang hanya pemangku dan keluarganya saja. Ketika
3
G30S: Gerakan 30 September, yaitu istilah yang dikaitkan dengan gerakan makar yang gagal di tahun 1965 yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). 4
KAMI/KAPPI: Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia/Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, yaitu kesatuan aksi anti-komunis yang dbentuk pasca G30S 1965 dan mempelopori Tri Tuntutan Rakyat, yaitu: pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi.
5
dibentuk Parisadha Desa, jumlah umat Hindu naik lagi, dan sekarang jumlah umat Hindu di dusun ini ada 42 kepala keluarga, “Tapi mboten purun sembahyang,” lanjutnya. (Tetapi tidak ada yang mau sembahyang). Pria tersebut mengaku bahwa sebelum Gestapu 5 sebetulnya ia menganut agama Islam, tetapi sejak kecil ia tidak pernah ke langgar6. Ketika memutuskan masuk Hindu, pada mulanya ada yang melarang. Demikian ia berkisah: “Karepe mboten oleh mlebu Hindu…. Dadi wong Hindu pancen susah. Mati mawon mboten oleh dikubur. Kudu golek kuburan dhewe…. Hindu Jawa mboten enten ngaben-ngabenan, karena biayanya mahal. Lebih baik untuk bekal hidup….” (“Agaknya saya tidak boleh masuk Hindu…. Jadi orang Hindu memang susah. Mati saja tidak boleh dikubur. Harus mencari makam sendiri…. Hindu Jawa tidak ada yang diaben, karena biayanya mahal. Lebih baik uangnya untuk bekal hidup….”) “Dasar PKI telukan…,” ujarnya (mengomentari dirinya sendiri). “Teluk niku tunduk karo peraturane wong Islam…. Podho ngaji nang langgar, masjid, tapi malah diusir…. PKI kathah. Okeh PKIne karo orane. PNI, Muhammadiyah, NU, arang kadhing. Kula sakjane PNI tapi mboten gadhah gambar bantheng,” katanya. Ia melanjutkan, “Kathah salah paham biyen. Ajeng blajar ngaji teng langgar utowo mesjid, tapi wedi diculik, wong bekas PKI…. Dados
5
6
Gestapu: Gerakan September Tiga Puluh, istilah lain untuk G30S.
Yang dimaksud dengan ini mungkin adalah Islam Abangan yang secara formal disebut Islam namun tidak menjalankan Syariah secara ketat.
6
ngaji teng omah mawon. Tapi malah didobrak KAMI/KAPPI. Kekuasaane meraja-lela. ABRI mawon dipangan….” (“Dasar PKI taklukan…,” ujarnya selanjutnya, mengomentari dirinya sendiri. “Takluk itu tunduk pada peraturan orang Islam…. Ketika semua orang mengaji di mushola, masjid, tapi malah diusir…. PKI (di sini) itu banyak. Banyak PKI-nya daripada yang bukan. PNI, Muhammadiyah, NU, sangat jarang. Saya sebetulnya PNI, tapi tidak punya gambar banteng,” katanya. Ia melanjutkan, ”Banyak salah paham dulu itu. Mau belajar mengaji di mushola atau masjid, tapi takut diculik, namanya juga bekas PKI…. Jadi, mengaji di rumah saja. Tapi malah didobrak KAMI/KAPPI, yang kekuasaannya meraja-lela. ABRI saja dimakan….”)
I.A.1. Ex-Budhojawi/Wisnu Pada tanggal 30 Juni 2011 saya melakukan kunjungan kulanuwun ke komunitas Mbah Kerto. Dalam perjalanan mendekati kota kecamatan, secara tidak sengaja saya diarahkan seseorang untuk bertemu dengan seorang guru Agama Buddha yang mengajar di pinggir hutan. Guru muda ini memberikan keterangan yang melengkapi pemahaman awal saya tentang komunitas Mbah Kerto, sebagai berikut: Sebelum G30S banyak sekali penduduk kecamatan ini, juga beberapa kecamatan tetangga lainnya, yang menganut Budhojawi/Wisnu7. Namun sesudah Budhojawi/Wisnu dilarang, banyak yang beralih menganut agama Hindu atas ajakan salah seorang tokohnya, sementara sebagian lainnya
7
Penamaan lembaga ini mengalami perubahan setidaknya tiga kali. Pertama adalah Budhojawi Wisnu, lantas pendirinya (R. Kusumodewo) menggantinya menjadi Budho Wisnu, dan kemudian disebut Budhojawi, dan terakhir ditulis Budhojawi/Wisnu.
7
memilih bergabung dengan agama Buddha. Saat ini, di seluruh kabupaten ini terdapat 19 wihara Buddha tradisi Theravada, yang seluruh umat dari generasi pertamanya adalah penganut Budhojawi/Wisnu. Theravada secara harafiah bermakna tradisi para sesepuh. Disebut demikian karena biksu-biksu Theravada-lah yang melanjutkan tradisi ajaran sedemikian rupa dianggap paling ketat menjaga tradisi sejak masa Buddha Gotama hidup. Sangha (pasamuhan) biksu Theravada pula yang menyusun Kanon Pali (khotbah Buddha dalam Bahasa Pali) ke dalam “tiga keranjang” atau “tiga bakul” yang disebut Tipitaka (Pali) atau Tripitaka (Sanskerta) yang juga dikenal sebagai kitab-kitab suci agama Buddha. Budhojawi/Wisnu adalah sinkretisme antara Buddhisme, Kejawen dan Hinduisme, yang menurut hematnya lebih dekat ke tradisi Hinduisme daripada tradisi Buddhisme. Kejawen adalah kepercayaan atau ritual yang dilakukan orang Jawa. Ajaran Kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terjadap kekuatan alam (Suyono, 2007: 2). Guru muda itu melanjutkan: Saat ini seluruh umat Buddha di seluruh kabupaten, termasuk komunitas Mbah Kerto yang berada di pinggir hutan, sudah mempraktikkan ritual keagamaan sesuai tradisi Theravada, namun komunitas Mbah Kerto tetap ingin
mempertahankan
ciri
khusus
mereka,
antara
lain
ketika
melaksanakan ritual di wihara mengenakan pakaian adat Jawa. Pakaian adat Jawa ini berupa kain bebetan/jarit dengan beskap atau surjan atau celana panjang dengan baju batik, dan tutup kepala blangkon bagi kaum
8
prianya,
serta
kain
bebetan/jarit
dan
blus
kebaya
bagi
kaum
perempuannya. Selain itu, sebagai sesepuh, Mbah Kerto juga menekankan pentingnya memilih hari baik berdasarkan kalender Jawa dalam menentukan hari-hari penting, misalnya pembangunan wihara, hal mana tidaklah bersifat Buddhistis.
Mbah
Kerto
juga
sering merujuk pada
kisah-kisah
pewayangan, yang oleh guru muda itu dinilai sebagai konsep yang secara historis Hinduistis. Usai berbincang-bincang, Guru muda ini berkenan mengantar saya menemui Mbah Kerto. Singkat kata sampailah kami di sebuah pemukiman setelah melewati hutan jati. Pemukiman di sini berbeda dari pemukiman di luar hutan jati yang jarak antar rumah lebih rapat, melainkan tiap rumah dikelilingi tanah tegalan dengan berbagai tanaman. Jalan tidak lagi beraspal, melainkan makadam berbatubatu. Di pojok depan halaman rumah Mbah Kerto terpasang papan kayu bercat putih yang sudah usang bertuliskan: Vihara Damaloka. Digunakannya kata dama, barangkali adalah versi lisan dari kata dhamma dalam Bahasa Pali yang merupakan padanan kata dharma dalam Bahasa Sanskerta. Ini mengindikasikan bahwa wihara tersebut di bawah naungan Sangha 8 Theravada, bukan Mahayana. Mbah Kerto adalah pria berusia sekitar 70-an dengan perawakan kurus agak tinggi. Ia mengenakan celana panjang lusuh dengan kaos oblong yang sudah pudar dengan blangkon usang di kepalanya. Ia sedang melinting rokok. Pak Guru
8
Sangha adalah pasamuhan (komunitas) biksu.
9
memperkenalkan saya. Baru saja saya duduk, muncullah pria sekitar 40 tahun, yang langsung menjabat tangan saya dan bertanya ada kepentingan apakah saya datang ke kediaman mereka. Saya tanggap. Pada pria inilah, bukan dengan Mbah Kerto, saya harus bicara. Dalam Bahasa Jawa halus, kusampaikan niat saya, bahwa saya ingin diperkenankan tinggal bersama komunitas mereka untuk beberapa bulan lamanya dan hidup mengikuti tata-cara setempat, demi kepentingan tesis saya. Tapi saya tidak ingin menunjukkan sikap mendesak, dan mengatakan bahwa mereka tidak harus memberikan jawaban saat itu, dan juga saya bisa mengerti andaikata permohonan saya ditolak. Saya ditanya, bagaimana saya bisa mengenal Pak Guru. Saya jelaskanlah bahwa sebetulnya menurut rencana, saya akan menemui kepala desa terlebih dahulu, namun di jalan kebetulan saya bertemu dengan Pak Guru. Tak sampai dua jam, izin itu keluar. Pria lebih muda yang menanyai saya, yang adalah menantu Mbah Kerto itu, mengatakan bahwa saya diperkenankan untuk tinggal bersama mereka, karena ia juga ingin agar orang di luar sana tahu tentang tradisi yang mereka pertahankan. Tapi Mbah Kerto memberikan pernyataan yang berbeda. “Bila tadi bertemu kepala desa terlebih dahulu, ceritanya bisa lain…,” ujarnya dalam Bahasa Jawa. Ia tampaknya tidak begitu bisa berbahasa Indonesia. Saya merasa bahwa kebetulan yang mempertemukan saya dengan Pak Guru dimaknai sebagai pertanda baik oleh mereka berdua. Karena ternyata Pak Guru bukanlah orang lain bagi mereka. Selain sebagai guru agama Buddha di pinggir hutan itu, guru muda itu juga adalah ketua panitia renovasi wihara yang sedang mereka kerjakan.
10 Nusya Kuswantin
Setelah makan siang yang sangat bersahaja – nasi, kuah sayur bening dengan sedikit sayuran, kerupuk dan sambal -- Mbah Kerto mengajak saya ke bagian belakang rumahnya dan menunjukkan simbol senjata cakra yang sedang diturunkan dari bangunan sanggar pamujan lama – yang katanya dibangun tahun 1980 -- yang sedang dibongkar dan akan dipasang kembali di atas bangunan wihara yang baru. Ya, komunitas Mbah Kerto memasang simbol senjata cakra di atap wihara. Ini adalah hal yang menarik bagi saya karena janggal atau aneh. Mengapa senjata cakra? Saya menduga ini bukanlah sekedar hiasan, melainkan simbol yang dianggap penting. Apalagi Mbah Kerto menyebut wihara dengan istilah sanggar pamujan…. Menurut Mbah Kerto, membangun sanggar pamujan mensyaratkan laku. Pada saat menaikkan bubungan hingga senjata cakra selesai dipasang, selama itu pula seluruh anggota komunitas yang mengerjakannya harus menjalankan laku tapa mbisu atau puasa wicara, yaitu tidak boleh bicara barang sedikit pun, kecuali pimpinan yang memberikan arahan.
I.A.2. Pertanyaan Tesis Bila tugas antropologi adalah menjelaskan relasi dalam konteks, berbekal data awal sebagaimana di atas, maka untuk tesis ini saya telah melakukan riset dengan metode participant observation guna mencari jawaban atas pertanyaanpertanyaan: 1. Dengan simbol senjata cakra yang bertengger di atas atap wihara bernama Theravada, serta identitas blangkon yang dikenakan kaum pria dewasanya,
11 Nusya Kuswantin
apakah kira-kira yang ingin dikatakan oleh oleh komunitas Mbah Kerto di tepi alas Tirtoarum ini? 2. Bagaimanakah proses sinkretisasi yang terjadi di dalam komunitas ini? 3. Mengapa komunitas Mbah Kerto melakukan sinkretisasi keyakinan? Apakah fenomena sinkretisasi yang ditunjukkan komunitas ini merupakan “penyesuaian-diri-secara-damai” terhadap politik standarisasi agama yang diterapkan oleh negara menyusul prahara politik di tahun 1965?
I.B. Tinjauan Pustaka Saya bermaksud menyusun tesis saya yang berjudul “Senjata Cakra di Atap Wihara Theravada: Proses Sinkretisasi Pasca 1965 di Tirtoarum” ini dalam bentuk etnografi’.
I.B.1. Apakah Etnografi? Dalam Reading Ethnography (1991: 1) David Jacobson (bersepakat dengan Marcus and Cushman 1982, Boissevain 1985, Van Maanen 1988) menulis bahwa: Etnografi adalah penjabaran perilaku budaya yang partikular, khususnya yang dihasilkan dari kerja lapangan. Etnografi (mengutip Geertz 1973:25, Edgerton and Langness 1974:64, Thornton 1983) biasanya berbentuk esai, diterbitkan sebagai artikel dalam jurnal profesional atau -- dalam bentuk yang lebih panjang -- sebagai monograf, laporan akademik tentang budaya atau beberapa aspek dari budaya. Selanjutnya, Jacobson (1991: 2) menulis bahwa etnografi sehari-hari melibatkan penafsiran (interpretasi) dan termasuk pilihan data, yang membuatnya kurang lebih eksplisit di dalam kerangka retorika. Maka gambaran masyarakat, orang atau budaya, yang disajikan oleh etnografi haruslah
12 Nusya Kuswantin
dipahami dari perspektif: 1. Pertanyaan atau permasalahan yang diajukan; 2. Jawaban, penjelasan, atau interpretasi yang diberikan; 3. Data yang dicantumkan sebagai bukti adanya permasalahan, untuk interpretasi, atau keduanya; 4. Dan pengorganisasian dari unsur-unsur ini (permasalahan, interpretasi dan bukti) menjadi sebuah argumen. Argumen etnografi terdiri dari klaim (pendakuan), yaitu kesimpulan, assertion (pernyataan yang tegas), proposisi, penjelasan, interpretasi tentang tingkah-laku orang (atau budaya atau masyarakat) dan data (dasar, fakta) yang merupakan bukti terhadapnya. Oleh karena itu membaca etnografi, untuk sebagian, berarti mengidentifikasi klaim-klaim etnografi dan mengevaluasinya dengan referensi data yang disajikan guna mendukungnya (Ibid: 8). Sementara itu, Paloma Gay y Blasco dan Huon Wardle dalam How to Read Ethnography (2007: 98) menulis bahwa etnografi adalah argumen. Belajar membaca etnografi adalah memahami argumen-argumen etnografis yang dibangun di dalam sebuah konteks dari debat antropologis. Argumen-argumen etnografi tergantung pada model-model dan skema-skema untuk menyajikan klaim-klaim yang disederhanakan menyangkut bukti yang lebih kompleks. Dan model-model etnografi menghasilkan gambaran ‘seolah-olah’ dari realitas sosial yang sedang diciptakan. Adalah argumen sentralnya atau argumen-argumen dari etnografinya yang memberikan koherensi menyeluruh terhadap model yang dikumpulkan dan bukti narasinya (Ibid:101-102). Kepekaan partikularistik merupakan unsur penting dalam etnografi (sama halnya dalam sejarah). Seperti dikatakan oleh Clifford Geertz, etnografi yang baik mensyaratkan agar secara teoritis harus “sangat dekat dengan interpretasi yang
13 Nusya Kuswantin
dikendalikannya” sehingga tidak menimbulkan berbagai makna atau kepentingan yang terlepas dari teori itu (Geertz 1973b: 25). Secara apa adanya, etnografi (interpretif) seringkali menolak untuk “membuat generalisasi antar kasus, tetapi (hanya) mau di dalam kasus-kasus itu” (Geertz 1973b: 26). Dan menurut The Sage’s Handbook of Ethnography dinyatakan bahwa: Anthropologists reflect upon field-notes: how they are constructed, used and managed. They are grounded in a commitment to the first-hand experience and exploration of a particular social or cultural setting on the basis of (though not exclusively by) participant observation. Observation and participation (according to circumstance and the analytic purpose at hand) remain the characteristic features of the ethnographic approach. Dan tujuan penelitian etnografi, menurut Malinowski, adalah to grasp the native’s point of view, his relation to life, to realise his vision and his world, dan menurut Radcliffe-Brown adalah membangun a complex network of social relations atau social structure (Marzali dalam Spradley, 1997: xxi). James F. Spradley, ahli antropologi kognitif, tidak lagi menganggap antropologi sebagai ilmu tentang other cultures, tentang masyarakat kecil yang terisolasi, dan hidup dengan teknologi sederhana. Antropologi, atau etnografi, menurut Spradley telah menjadi alat yang fundamental untuk memahami masyarakat kita sendiri dan masyarakat multikultural di seluruh dunia (Marzali dalam Spradley, 1997: xxi). Selaras dengan pernyataan Clifford Geertz (1973b) dalam Jacobson (1991: 1) bahwa: “If you want to understand what a science is, you should look in the first instance not at its theories or its findings, and
14 Nusya Kuswantin
certainly not at what its apologists say about it; you should look at what the practitioners of it do”. And in social anthropology “what the practitioners do is ethnography”.
I.C. Metodologi & Kerangka Pemikiran I.C.1. Metode Riset Saya melakukan riset etnografi dengan metode participant observation sebagaimana definisi Jorgensen (1989: 23), yang memfokuskan pada interaksi antar manusia dan makna-makna dilihat dari cara pandang orang dalam (insiders) dalam situasi dan seting kehidupan sehari-hari. Selama riset ini saya lebih banyak mengandalkan pengamatan dan pendengaran saya, dan wawancara saya lakukan tidak secara terstruktur, terkadang sambil lalu, dalam suasana santai sambil istirahat dan minum teh atau kopi. Nara sumber utama saya untuk mempelajari mantra dan ajaran Budhojawi/Wisnu adalah Mbah Kerto, yang merupakan sesepuh komunitas ini. Sedangkan untuk konteks relasi eksternal, saya belajar pada menantu Mbah Kerto yang menjadi pemimpin muda dan sering mewakili komunitas berhadapan dengan negara. Sedangkan nara sumber penting yang memberikan perspektif ‘orang luar’ terhadap komunitas ini adalah Pak Guru muda yang mengajar Agama Buddha di sekolah dasar di tepi hutan, dianggap bukan orang lain oleh anggota komunitas, namun ia tinggal di kota kecamatan yang agak jauh. Anggota komunitas yang lain, secara tidak langsung dan tidak semata-mata, merupakan nara sumber yang
15 Nusya Kuswantin
sangat berharga, yang sifatnya memverifikasi maupun melengkapi data yang saya kumpulkan.
I.C.2. Jadwal Riset Riset ke-
Durasi (hari)
Tanggal
1 2 3
1 3 6
30/6/2011 20-22/1/2012 4-9/5/2012
4
12
5 6
27 23
7 8
2 3
Total
77 hari bersama komunitas Mbah Kerto
Aktivitas & Peristiwa Penting
Berkenalan & mohon izin. Peresmian wihara hasil renovasi. Waisak se-kabupaten & mendhet tirta suci. 9-20/11/2012 Hari Raya 1 Suro, mendhet tirta suci, belajar mantra. 7/1–3/2/2013 Mengajar anak-anak & belajar mantra. 14/2-9/3/2013 Mengajar anak-anak, belajar mantra, ngasak ke sawah, ada mantenan. 23-24/3/2013 Ritual Sedekah Bumi. 26-28/3/2015 Final update sejak Maret 2013. Dalam jeda dua tahun saya melihat perubahan yang cukup signifikan: Anggota komunitas Mbah Kerto sudah memiliki seperangkat gamelan sederhana dan mengalami Theravadic mainstreaming (mereka menjalankan praktik pujabakti yang lebih Theravada). dalam kurun Saya melakuan riset dengan metode 2011-2015 participant observation selama 77 hari, tidak termasuk riset di luar komunitas guna pengkayaan data dan cross check, antara lain di kota kecamatan, di kecamatan-kecamatan tetangga, di kabupaten lain serta di Pertapaan Indrokilo di Gunung Arjuno.
I.C.3. Metode Analisa Berdasarkan pemetaan yang dibuat oleh Ahimsa-Putra (2007), secara keseluruhan untuk tesis ini bisa dikatakan saya menggunakan metode analisa historis-kausal, yaitu mengkaitkan peristiwa pembantaian di tahun 1965-1966
16 Nusya Kuswantin
dengan sikap resistensi komunitas Mbah Kerto terhadap pandangan negara dan masyarakat umum menyangkut keberagamaan. Namun saya juga menggunakan metode analisa interpretif untuk melihat simbol cakra yang dipasang oleh komunitas Mbah Kerto di wihara Damaloka. Adapun terhadap identitas blangkon, saya menggunakan metode analisa komparatif-korelasional, yaitu dengan menyandingkan kebiasaan menggunakan blangkon dengan fakta bahwa para pengguna blangkon menolak khitan. Sementara menyangkut kekhusyukan doa, saya
menggunakan
metode
analisa
komparatif-fungsional,
dengan
mengkorelasikan antara fungsi laku puasa terhadap manjingnya mantra. Manjing adalah kondisi mantra yang internalized pada diri seseorang sehingga dengan demikian mantra mengalami embodiment.
I.C.4. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran (frame of thinking) adalah istilah lain untuk kerangka teori (theoretical framework), yaitu seperangkat pernyataan tentang hakikat, cara memandang, cara merumuskan, dan cara menjawab suatu persoalan dengan menggunakan cara dan tata-urut tertentu, yang akan dapat menghasilkan pernyataan tertentu tentang persoalan tersebut. -- Ada berbagai istilah yang digunakan oleh para ilmuwan utuk menyebut ‘kerangka teori’ ini, diantaranya adalah: perspektif (perspective), sudut pandang (point of view), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), aliran pemikiran (school of thought) dan yang kini populer adalah paradigma (paradigm). (Ahimsa-Putra 2007: 5)
17 Nusya Kuswantin
Saya bermaksud memaparkan hasil riset tesis saya dalam bentuk etnografi. Etnografi – dalam hal ini etnografi analitis (Ahimsa-Putra: 1997) – adalah interpretasi yang mencoba ‘memahami’ suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih luas. Di dalam menyusun tesis ini saya berangkat dari dasar pemikiran bahwa sila pertama falsafah negara Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah dalih bagi negara untuk melakukan standarisasi agama dengan hanya mengakui lima agama saja, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Sebagai konsekuensinya, agama-agama lokal yang sudah ada di Indonesia sejak lama, seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Samin (Sedulur Sikep), serta agama-agama lainnya termasuk yang lebih baru seperti Sapto Darmo, Pangestu, Subud, dan Sumarah, dikategorikan ke dalam aliran kepercayaan atau kelompok penghayat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila koordinasi dan pembinaan agama-agama berada di bawah Kementerian Agama, maka yang dikategorikan sebagai aliran kepercayan berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Ditjen Kebudayaan) dan Kesbangpolinmas Kemendagri (sebelumnya di bawah Tim PAKEM atau Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Sementara itu, negara melakukan kontrol terhadap warga negaranya dengan mewajibkan mengisi kolom agama dalam kartu tanda penduduk. Dampaknya adalah para penganut agama-agama yang tidak diakui negara dipaksa memilih salah satu dari lima agama yang diakui negara. (Sejak tahun 2000 agama yang direstui negara ada enam dengan ditambah Konghucu yang mendapatkan
18 Nusya Kuswantin
pengakuan berdasarkan Keputusan Presiden – waktu itu Abdurrahman Wahid -Nomer 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat-Istiadat Cina). Artinya, mendasarkan pada konstitusi, negara telah menelantarkan hingga mati agama-agama lokal. Pembinasaan agama-agama lokal ini mendapatkan momentumnya ketika komunisme dilarang pasca kudeta gagal di tahun 1965 yang dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia. Kekalahan komunis yang diidentikkan dengan ateis ini mengakibatkan orang Jawa yang pada kurun itu banyak yang menganut Agami Jawi banyak bergeser ke arah Islam yang lebih dogmatis. Menurut Koentjaraningrat (1994: 312), bentuk agama Islam orang Jawa ada dua macam, yaitu Agami Jawi atau Kejawen dan Agami Islam Santri. Yang pertama, Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Bila dikontraskan dengan varian Agami Islam Santri yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Buddha, yang kedua ini lebih dekat pada dogma-dogma ajaran Islam yang sebenarnya. Salah satu contoh sebagai mana tercantum di dalam Geger Tengger, dimana Robert W. Hefner menulis: Hanya dua tahun setelah pembantaian berdarah, orang-orang Islam Jawa meningkat perhatiannya terhadap kegiatankegiatan di masjid karena dengan cara itu tuduhan sebagai komunis menjadi berkurang (Hefner, 1999: 359). Dan ini adalah kecenderungan umum pasca 1965.
19 Nusya Kuswantin
Setelah itu agama-agama lokal – yang dikategorikan sebagai kelompok penghayat itu – banyak yang dibubarkan atau dilarang, dan Budhojawi/Wisnu termasuk yang hilang dari daftar PAKEM. Bersamaan dengan itu, pada tahun 1970 gerakan-gerakan Islam ortodoks mulai muncul di daerah-daerah yang dikuasai Kejawen (Hefner 1987c). Berangkat dari sanalah saya mencoba memahami daya ‘kreativitas’ komunitas Mbah Kerto dalam mempertahankan keyakinan lamanya demi melawan gelombang besar pengarus-utamaan (mainstreaming) melalui simbol cakra yang dipasang di atap wihara mereka, serta dalam identitas blangkon yang dikenakan pria dewasa anggota komunitas itu, dan juga dalam mantra-mantra yang mereka tebus dengan laku asketis. ***