BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sikap dan perilaku merupakan unsur pokok dalam memahami situasi konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seringkali kita mengalami kesulitan untuk mengenal pandangan atau tindakan tentang suatu konteks atau peristiwa penting. Masing-masing pihak akan berpegang terhadap asumsi dan kerangka pikir masing-masing. Hal ini pula menyebabkan konflik terus terjadi karena masingmasing pihak sulit untuk menerima sikap dan pandangan yang berbeda. Hal ini pula yang mendorong sebagian kelompok tetap pada pendiriannya tanpa melihat kepentingan orang lain, bisa saja memberikan nilai positif tentang sesuatu yang dipertentangkan. Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktek komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefenisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh dari sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menempatkan diri dalam pola-pola bahasa dan
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkaitan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek- objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial. Globalisasi ternyata bukan suatu keniscayaan, setidaknya dalam konteks budaya negara-negara Eropa yang budayanya berdekatan ternyata tetap otonom. Masing-masing menunjukkan kekhasannya, seperti identitas kolektif, bahasa verbal, dan nonverbal mereka. Perbedaan identitas kolektif itu berwujud antara lain oto-stereotip terhadap bangsa lainnya. Contoh stereotip ini misalnya, orang Inggris tidak ramah, orang Amerika ramah tapi bersuara keras, orang Italia emosional, dan orang Jerman kaku. Stereotip akan semakin kuat bila terdapat sejarah peperangan atau pertentangan atau ketidaksetaraan antara kedua kelompok, misalnya yang dialami orang kulit putih dan orang kulit hitam (Mulyana, 2004: 265). Cara pandang yang berubah bukan persoalan yang mudah tetapi tidak sesulit yang dibayangkan. Persoalannya terletak bagaimana seseorang itu melakukan fungsi komunikasi dan interkoneksitas terhadap berbagai pihak, adapun caranya adalah dengan membuka ruang dialog dan keterbukaan terhadap
Universitas Sumatera Utara
cara pandang masing-masing serta membuka sekat-sekat sempit tentang sesuatu yang diperdebatkan. Dinamika suatu masyarakat dapat dipacu karena adanya pengakuan akan perbedaan. Memang tidak dapat dihindari bahwa dalam beberapa hal perbedaan yang muncul itu tentu dapat saja menimbulkan konflik sosial yang akan mengganggu kestabilan kehidupan masyarakat. Akan tetapi, menurut Coser (1956) (dalam Sairin, 2002) disisi lain konflik yang muncul dari suatu perbedaan akan menumbuhkan dan mendorong dinamika kehidupan masyarakat untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat hadir secara dinamis, suatu kesatuan sosial, membutuhkan sebuah ‘instrumen’ yang mampu mengikat setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda itu dalam sebuah sistem, dan sistem inilah yang kemudian disebut dengan kebudayaan. Berbicara mengenai dinamika budaya jelas harus memahami kebutuhan perubahan budaya dalam kaitannya dengan stabilitas. Misalnya, dalam judul buku "Kebudayaan adalah dinamis", Melville Herskovits (1948:635. Dalam artikel :\DINAMIKA\translate2_files\translate_p.edisi Khusus Budaya Dynamics, MAK Halliday, Issue Editor.htm) menyatakan: Dinamika adalah konstan dalam kebudayaan manusia. Akan tetapi, selalu harus mempelajari stabilitas latar belakang budaya. Meskipun perubahan mungkin tampak jauh sampai ke anggota masyarakat di mana mereka berada, mereka jarang mempengaruhi bagian yang relatif kecil dari keseluruhan budaya di tempat di mana orang-orang tersebut hidup. Itu masalah dinamika budaya sehingga terlihat untuk mengambil yang positif dan pada saat yang sama waktu aspek negatif. Perubahan, yaitu, harus selalu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan penolakan terhadap perubahan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut
Purwasito
(2003)
komunikasi
bersifat
dinamik,
artinya
komunikasi adalah aktivitas orang-orang yang berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi dan mengalami perubahan-perubahan pada pola, isi dan salurannya. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan
dan
menafsirkan
pesan.
Sebenarnya
seluruh
perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula peraktek-peraktek komunikasi. Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dahulu harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat diperbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut. Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi
antarbudaya.
komponen-komponen
Fungsi-fungsi
komunikasi
juga
dan
hubungan-hubungan
berkenaan
dengan
antara
komunikasi
antarbudaya. Namun apa yang terutama menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimaannya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja memadai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik
Universitas Sumatera Utara
yang harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya (Dedi Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, 2005:20). Di Jerman, untuk menunjukkan istimewa (excellent), yang lebih dari pada sekadar bagus, mereka menggunakan isyarat yang sama dengan isyarat “oke” Amerika yakni dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuk (membentuk lingkaran) dengan membiarkan ketiga jari lainnya berdiri, demikian juga dengan masyarakat Kota Medan memaknainya sama dengan orang Jerman maupun Amerika. Sedangkan bila kita melakukannya di Paris, jangan-jangan kita dipukuli banyak orang, karena di Paris isyarat itu berarti “kamu tidak berharga” (Mulyana, 2005). Dengan memahami berbagai perangkat nilai yang dianut bangsa lain dan perwujudannya dalam praktek komunikasi, masyarakat menjadi peka terhadap perbedaan budaya, untuk mempersiapkan pesan-pesan (komunikasi), dan mengantisipasi bagaimana orang-orang asing menanggapi pesan dan perilaku kita dalam era global, dan bagaimana masyarakat itu sendiri memberikan respons yang layak kepada mereka. Inti dari kegagalan komunikasi adalah kesulitan-kesulitan untuk memahami etika komunikasi yang harus dihadapi masyarakat, yang diakibatkan perbedaan dalam ekspektasi budaya masing-masing. Perilaku manusia memang tidak bersifat acak. Semakin mengenal budaya orang lain, semakin terampillah kita memperkirakan ekspektasi orang itu dan memenuhi ekspektasinya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Ekspektasi ini dan cara memenuhinya didasarkan pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Setelah terjadi banyak pengulangan biasanya dapat dipastikan apa yang terjadi, sehingga kita tidaklah mungkin untuk melanggar aturan atau norma itu (Hopper dan Whitehead, 1979). Para ilmuan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Masyarakat Medan Kota merupakan masyarakat yang majemuk, yaitu terdiri dari berbagai kelompok ras atau etnis yang berada dibawah satu sistem pemerintahan. Menurut Bart, kemajemukan itu berarti terdapat keanekaragaman unsur masyarakat menurut suku bangsa, agama dan golongan lainnya. Ciri nyata dari
keanekaragaman
adalah
adanya
kecenderungan
yang
kuat
untuk
mempertahankan identitas masing-masing. Masyarakat Kota Medan yang multi kultur (plural culture) secara demografis maupun sosiologis potensial terjadinya konflik, karena masyarakat terbagi (devided) ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultur mereka. Menurut Ting Toey (1999:30), identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Raharjo, 2005:3). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana sikap dan perilaku wisatawan mancanegara dan masyarakat Kota Medan dalam kajian dinamika komunikasi antarbudaya. Karena para wisatawan mancanegara
Universitas Sumatera Utara
tersebut memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara Indonesia khususnya di wilayah Kota Medan, kemudian secara empiris penulis mengetahui bahwa beberapa wisatawan mancanegara ini memiliki kedekatan pengaruh dengan berbagai etnis yang ada di Indonesia khususnya dengan etnis-etnis yang ada di Sumatera utara dan kajian kultural dalam tindakan komunikasi dengan masyarakat lokal Kota Medan belum pernah diteliti. Maka dari itu, penulis akan melakukan penelitian ini Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Kota Medan terdapat wisatawan mancanegara yang cukup memadai sebagai objek penelitian dan begitu pula dengan masyarakat lokal di Medan Kota yang sering berhadapan dan berkomunikasi dengan wisatawan mancanegara. Karena letaknya yang strategis dan mudah dijangkau, hal ini juga menjadi alasan penulis memilih wilayah Kota Medan menjadi lokasi penelitian.
1.2 Perumusan Masalah Dari adanya permasalahan ini juga maka akan dapat diarahkan pembahasan-pembahasan yang akan dilakukan dengan tujuan dasarnya yaitu untuk memecahkan masalah yang diajukan tersebut. Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah : “Sejauhmana
dinamika
komunikasi
antarbudaya
berperan
dalam
komunikasi antara wisatawan mancanegara dengan masyarakat Kota Medan,
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya?”
1.3 Ruang Lingkup Kajian Penelitian Untuk memudahkan klarifikasi, maka perlu ditetapkan batas ruang lingkup kajian penelitian. Oleh karena itu, peneliti melakukan pengkajian dalam satu bidang fenomena komunikasi yaitu: 1. Subjek penelitian adalah wisatawan mancanegara dari berbagai negara. Subjek penelitian telah menetap selama sekurang-kurangnya satu hari di wilayah Kota Medan. 2. Penelitian bersifat analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan situasi secara apa adanya mengenai variabel, gejala atau keadaan yang berkaitan dengan penilaian terhadap variabel tanpa mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistika. 3. Studi yang digunakan adalah emic research yang bertujuan untuk menelaah makna kultural dari “dalam”, analisisnya bersifat idiografik, jadi hasilnya tidak akan dikuantifikasikan dan tidak akan digeneralisasikan kepada seluruh masyarakat di wilayah Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.4 . Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai pernyataan mengenai ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang akan dirumuskan (Jalaluddin Rakhmat, 1998: 313). Untuk lebih jelasnya tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memahami perbedaan persepsi warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut tentang etnik, tentang pesan-pesan, stereotipe, jarak sosial serta diskriminasi yang mempengaruhi dinamika komunikasi antarbudaya. 2. Untuk memahami sikap dan perilaku sosial dari warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dari wilayah setempat yang dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya.
1.4.2 Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan penulis mengenai kajian komunikasi antarbudaya sebagai salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. 2) Secara akademis, memberikan tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang Komunikasi Antarbudaya dalam kajian Ilmu Komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
3) Manfaat praktis, memberikan pengetahuan dan masukan-masukan kepada setiap orang yang akan melakukan komunikasi dengan orang dari budaya yang berbeda khususnya budaya dari Asia dan Eropa.
1.5. Kerangka Teori Dalam penelitian kualitatif, kerangka teori disebut juga literature review atau
dimaknai
dengan
kajian
terdahulu/sebelumnya.
Kerangka
teori
menggambarkan dari teori yang mana suatu problem riset berasal (seperti dalam beberapa studi ekperimental), atau dengan teori yang mana problem itu dikaitkan (seperti dalam beberapa survei) (Suwardi, 1998). Masyarakat kolektivis pada umumnya adalah masyarakat Timur. Dalam budaya kolektivis, diri (self) tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok (keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya), sementara diri dalam budaya individualis (Barat) bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivis, hanya saja, seperti orientasi kegiatan, salah satu biasanya lebih menonjol. Dalam masyarakat kolektivis, individu terikat oleh lebih sedikit kelompok, namun keterikatan pada kelompok lebih kuat dan lebih lama. Selain itu hubungan antarindividu dalam kelompok bersifat total, sekaligus di lingkungan domestik dan di ruang publik. Konsekuensinya, perilaku individu sangat dipengaruhi kelompoknya. Individu tidak dianjurkan untuk menonjol sendiri. Keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok dan kegagalan individu juga adalah
Universitas Sumatera Utara
kegagalan kelompok. Oleh karena identifikasi yang kuat dengan kelompok, manusia kolektivis sangat peduli dengan peristiwa-peristiwa yang menyangkut kelompoknya. Seseorang bisa tersinggung berat hanya karena tidak diundang anggota lainnya dalam kelompok untuk menghadiri pernikahan anaknya. Pada hari-hari istimewa, seperti lebaran, ketidakhadiran seseorang bisa membuat orang tua ataupamannya sakit hati. Berbeda dengan manusia individualis yang hanya merasa wajib membantu keluarga langsungnya, dalam masyarakat kolektivis, orang merasa wajib membantu keluarga luas, kerabat jauh, bahkan teman sekampung, dengan mencarikan pekerjaan, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan keahliannya. Dalam suatu masyarakat kolektivis tidaklah diterima bila seorang anggota keluarga kaya raya sementara anggota lainya kekurangan. Maka si kaya merasa wajib membantu orang yang kekurangan tadi dengan memberinya perhatian, waktu, uang dan pekerjaan yang dapat mendatangkan penghasilan. Celakanya, ini dianggap sah-sah saja, karena pemenuhan atas kebutuhan kelompoknya tersebut memberi mereka kepuasan. Masyarakat kolektivis tidak bisa memisahkan secara tegas antara hubungan kekerabatan dengan hubungan bisnis. Salah satu bangsa yang paling kolektivis adalah Jepang, lebih kolektivis daripada bangsa kita. Begitu tinggi semangat kolektivismenya, sehingga mereka lebih lazim menggunakan nama keluarga daripada nama pertamanya sendiri. Semangat itu tampak juga di lingkungan kerja mereka.tidak ada orang yang berani menonjolkan diri sendiri. Penghargaan atau bonus diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu. Mereka akan mengambil suatu keputusan berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
konsensus. Diperlukan kesabaran ekstra untuk berunding dengan mereka dan menandatangani kesepakatan bisnis, karena tim perunding Jepang harus berkonsultasi dulu dengan atasan mereka. Sikap mereka tampak bertele-tele dan berseberangan dengan pebisnis Amerika yang ingin memperoleh keputusan secepat mungkin. Perusahaan-perusahaan Jepang mengharapkan manajer-manajer mereka untuk mengikuti proses pengambilan keputusan yang sama di manapun mereka bertugas. Bangsa-bangsa lainnya yang kolektivis, meskipun dengan kadar yang berlainan adalah Cina, Indonesia, Malaysia, India, Pakistan, Italia, Kenya, Spanyol, dan Amerika Latin. Semangat kolektivisme mereka ini antara lain diaktualisasikan dalam berbagai fenomena sosial, misalnya keluarga besar (extended family) yang terdiri dari tiga generasi dalam satu rumah; prinsip dalam perkawinan bahwa perkawinan bukan saja antara dua individu, namun juga antara dua keluarga. Masyarakat kolektivis senang saling mengunjungi dan berkumpul bersama. Di Indonesia, nilai ini misalnya tercermin dalam konsep gotong royong dan musyawarah, dan dalam budaya Jawa khususnya dalam pribahasa, “Mangan ora mangan asal ngumpul” Oleh karena masyarakat kolektivis mempunyai konsep yang berbeda tentang diri dan hubungannya dengan orang lain, mereka menemui kesulitan dalam
berkomunikasi dengan
orang
dari
budaya
individualis.
Mereka
mengharapkan hubungan persahabatan yang langgeng, sementara manusia individualis tidak terbiasa demikian. Dalam pandangan orang individualis, mereka tampak kekanak-kanakan yang serba bergantung ketika bergaul dengan orang
Universitas Sumatera Utara
individualis yang merasa mandiri. Seorang mahasiswa kolektivis yang membereskan meja belajar temannya yang individualis boleh jadi justru akan membuat mahasiswa individualis berang, alih-alih berterima kasih, karena urusan merapikan mejanya itu adalah urusan dan tanggung jawabnya, bukan urusan dan tanggung jawab mahasiswa kolektivis. Kontras dengan orang kolektivis, orang individualis kurang terikat pada kelompoknya, termasuk keluarga luasnya. Manusia individualis lebih terlibat dalam hubungan horizontal daripada hubungan vertikal. Mereka
lebih
membanggakan prestasi pribadi daripada askripsi, seperti jenis kelamin, usia, nama keluarga dan sebagainya. Hubungan di antara sesama mereka sendiri tampak lebih dangkal dibandingkan dengan hubungan antara orang-orang kolektivis, juga kalkulatif. Dalam bepergian ke luar negeri, seperti berwisata, orang-orang kolektivis cenderung membentuk kelompok-kelompok, sedangkan orang-orang individualis secara individu. Kegemaran berkelompok ini membuat mereka sulit beradaptasi dengan lingkungan yang individualis. Hasil pengamatan yang dilakukan Deddy Mulyana (2005) atas interaksi antara para pemukim (permanent resident) Indonesia dan warga pribumi di Melbourne, Australia, menunkukkan bahwa sementara hubungan orang-orang Indonesia (yang kolektivis) dengan sesamanya dalam segala situasi bersifat primer dan intim dalam arti semua status teridentifikasi dan ditanggapi, hubungan mereka dengan para warga pribumi (yang individualis), baik dilingkungan tetangga ataupun di tempat kerja, bersifat dangkal. Pribadi-pribadi yang terlibat dalam
Universitas Sumatera Utara
pergaulan tidak sepenuhnya diketahui, melainkan hanya sebagian aspek kepribadian yang relevan dengan situasi yang bersangkutan. Kebanyakan menganggap warga pribumi sebagai kenalan, bukan sebagai kawan. Interaksi mereka dengan orang-orang Australia terbatas dan sering didasarkan atas informasi terbatas dan atas stereotip-stereotip tentang warga pribumi tersebut.
1.6. Kerangka Konsep Dalam melakukan penelitian, kerangka konsep berperan sebagai dasar pemikiran untuk mendukung suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Kerangka konsep ini juga diperlukan untuk pengembangan penelitian. Setelah mengemukakan kerangka konsep maka ada beberapa konsep yang dapat dioperasionalisasikan pada penelitian ini, yaitu: a. Komunikasi Antarbudaya dalam Level Komunikasi Antarpribadi Tubbs dan Moss mendefenisikan komunikasi sebagai “proses penciptaan makna antara dua orang (komunikator 1 dan komunikator 2) atau lebih, sedangkan Gudykunst dan Kim mendefenisikan komunikasi (antarbudaya) sebagai “proses transaksional, simbolik yang melibatkan pemberian makna antara orang-orang (dari budaya yang berbeda).” Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya khususnya, kita lebih baik mendekatinya secara lebih humanistik, tanpa harus mempertentangkannya dengan pendekatan mekanistik. Dengan kata lain, kita harus menganggap orang-orang berbeda budaya yang terlibat dalam komunikasi dengan kita sebagai orang-orang yang aktif, punya jiwa, nilai, perasaan, harapan, minat, kebutuhan, dan lain-lain, seperti juga diri kita.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya, kita harus melakukan penundaan nilai atau keputusan sementara. Apa yang kita anggap baik, sopan, indah, atau etis dalam budaya kita, belum tentu berarti demikian dalam budaya lain. Jadi bukan tanpa alasan bila Gudykunst dan Kim menggunakan istilah Orang A (Person A) dan Orang B (Person B) dalam model komunikasi antarbudaya, mencerminkan dua posisi yang setara dan sama-sama aktif (komunikasi sebagai transaksi), ketimbang dua posisi yang berbeda: satu aktif dan lainnya pasif. Komunikasi antarbudaya oleh Fred E. Jandi, diartikan sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya (intercultural communication generally refers to face-to face interaction among people of diverse culture). Sedangkan Collier dan Thomas sebagaimana dikutip Jandt, mendefinisikan komunikasi antarbudaya “as communication between persons ‘who idebtity themselves as district from ‘others in a cultural sense”. Bagi Stephen Dahl dari Luton University, mendefinisikan komunikasi antarbudaya secara lebih spesifik, yaitu komunikasi dalam masyarakat yang tidak saja berlangsung dalam dua atau lebih pelaku dari kebangsaan yang berbeda seperti definisi Mowlana, tetapi dapat komunikasi tersebut terjadi dalam negara yang sama tetapi dalam konteks dua kewarganegaraan (can occur between two nationals of the same country), misalnya perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Dia menuliskan secara lengkap pendapatnya sebagai berikut: Intercultural communication as the information exchange between one person and many other sources transmitting a message displaying properties of a culture different to the one of the receiver’s culture. The source of such a massage can be either a
Universitas Sumatera Utara
person, in an interpersonal communication process, or any form of mass media or other form of media. (Komunikasi multikultural sebagai pertukaran informasi antara seseorang dengan orang lain, sebagai yang menyampaikan pesan dengan disertai berbagai unsur-unsur latar belakang kebudayaan yang berbeda kepada seorang penerima dari kultur lainnya. Sumber informasi sebagai pesan dapat berupa orang dalam proses komunikasi antarpersonal atau segala bentuk media massa atau bentuk lainnya dari media). (Dalam Jurnal terjemahan dari Hoper, Robert dan Jack L. Whitehead Jr., 1979) Definisi dari Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1994, Pengantar oleh Deddy Mulyana, 1996), untuk komunikasi antarbudaya dilihat sebagai komunikasi antara dua anggota dari latar budaya yang berbeda, yakni berbeda secara rasional, etnik, atau sosial-ekonomis, (intercultural communication as communication between members of different culture wheter defined in terms of racial, ethic, or socioeconomic difference). Dari beberapa definisi di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap terjadi tindak komunikasi di mana para partisipan berbeda latar belakang budayanya disebut sebagai komunikasi antarbudaya. Sedangkan dalam konteks komunikasi antarbudaya, tidak hanya dalam level komunikasi antarpersonal, tetapi juga proses komunikasi yang melibatkan proses transformasi. Jadi, komunikasi antarbudaya selain berada pada level komunikasi antarpersonal, juga berlangsung pada level komunikasi massa, komunikasi kelompok, maupun komunikasi dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara
b. Pengkategorian Konsep Untuk memudahkan pembuatan model teoritis, maka konsep-konsep tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori sesuai dengan penjabaran di atas, yaitu: 1. Kategori berdasarkan pelaksanaan komunikasi antarbudaya Dalam hal ini variable yang hendak diteliti adalah mengenai sikap dan perilaku masyarakat kota medan menurut persepsi wisatawan mancanegara tersebut, factor-faktor penghambat efektivitas proses komunikasi yang terjadi antara individu yang berbeda latar belakang budaya. 2. Kategori berdasarkan terbentuknya sikap dan perilaku Dalam penelitian ini adalah terbentuknya sikap dan perilaku, yaitu niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya faktor-faktor seperti sikap terbuka, perasaan positif, berempati, sikap menjaga seimbang, sikap mendukung. 3. Kategori berdasarkan karakteristik informan Yaitu sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku yang diharapkan. Dalam hal ini faktor yang berkaitan adalah karakteristik usia, jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, tingkat pendidikan, status etnik dan lama tinggal dilokasi penelitian.
Universitas Sumatera Utara
1.7. Model Teoritis Untuk memudahkan kelanjutan penelitian berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka dibuatlah model teoritis dengan memasukkan seluruh unsur variabel tersebut ke dalam bagan atau skema. Model teoritisnya adalah sebagai berikut: Komunikasi Antarbudaya: Dinamika Budaya
Sikap dan Perilaku Masyarakat dan Budaya
Karakteristik Informan: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Suku 4. Agama 5. Pekerjaan 6. Tingkat Pendidikan 7. Lama tinggal 8. Status Etnik
1.8 Operasionalisasi Variabel Untuk memudahkan operasionalisasi pemecahan masalah berdasarkan kerangka konsep di atas, maka perlu dibuat operasionalisasi variable berikut ini: Variabel Teoritis
Variabel Operasional
Komunikasi Antarbudaya: Dinamika Budaya 1. Stereotip
1. Penilaian atau pelabelan 2. Arah stereotip, yakni menunjukkan arah penilaian atau pelabelan yang diberikan kepada etnik tertentu: a. Positif (disenangi) b. Negatif (dibenci) 3. Intensitas stereotip, yakni menunjuk
Universitas Sumatera Utara
pada
seberapa
kuat
keyakinan
tersebut. 4. Asal mula terbentuknya stereotip : a. Pengalaman pribadi b.Pengalaman orang lain c. Media massa 2. Jarak Sosial
1. Tingkat penerimaan individu dalam berinteraksi dengan intraetnik dan antaretnik 2. Frekuensi interaksi dengan individu 3. Tujuan interaksi 4. Pola Pemukiman 5. Lamanya menetap di suatu daerah
3. Diskriminasi
1. Perbedaan sistem nilai 2. Status etnik a. penduduk asli b. pendatang (migrant) 3. Bentuk diskriminasi a. tindakan membatasi kebebasan dan mengurangi peran b. menindas secara psikologis c. menindas secara fisik
Sikap dan Perilaku Masyarakat dan 1. Menampilkan sikap terbuka dalam Budaya
interaksi, ditandai dari: a. Ekspresi nonverbal b. Orientasi isi komunikasi 2. Perasaan positif, dilihat dari: a. Kondisi saat interaksi terjadi b. Suasana komunikasi 3. Mampu berempati, dalam arti:
Universitas Sumatera Utara
a. Dapat memahami orang lain b. Mau berbuat untuk orang lain 4. Sikap merasa seimbang 5. Sikap mendukung, dilihat dari: a.. Ketersediaan memberi pendapat terhadap isi pesan individu yang berbeda secara budaya b. Ketersediaan untuk bekerjasama Karakteristik Informan
1. Usia : 20 – 50 tahun 2. Jenis kelamin: a. laki-laki b. perempuan 3. Suku 4. Agama 5. Pekerjaan 6. Tingkat pendidikan 7. Status etnik a. penduduk asli b. pendatang (migrant) 8. Lama tinggal
1.9 Defenisi Operasional Dalam penelitian ini, defenisi operasionalnya adalah: 1. Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya. 2. Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan
yang
berlainan dengan
golongannya (cenderung ke arah negatif).
Universitas Sumatera Utara
3. Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. 4. Karakteristik informan adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang yang dapat membedakannya dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara