BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Studi ini bermaksud mengungkapkan fenomena politik atas keberadaan penatua sebagai elit lokal di Minahasa.1 Penatua awalnya merupakan individuindividu yang diberi mandat oleh jemaat gereja untuk menjadi pelaksana kepemimpinan gerejawi. Namun ternyata dengan menggunakan jabatan ini, individu-individu tadi berhasil pula mengembangkan dominasinya di ranah politik. Kekuasaan yang melekat pada penatua sebagai elit gereja dan elit politik di Minahasa, menarik minat penulis untuk melacak bagaimana proses dan signifikansi kekuasaan tersebut. Termasuk bagaimana kekuasaan itu dipelihara serta dilanggengkan dalam konteks Minahasa kontemporer. Penulis-penulis keminahasaan sebelumnya, seperti Graafland (1991), Schouten (1998), Mamengko ed. (2001) telah menunjukkan bahwa telah ada sejumlah sosok elit lokal dan sangat berpengaruh pada masa lampau di Minahasa. Elit-elit tradisional itu antara lain dikenal dengan nama tonaas dan walian. Mereka ini biasanya menempati kelas atas dalam masyarakat Minahasa kuno sebagai pemimpin wilayah dan pemimpin spiritual. Namun seiring berjalannya waktu, terutama saat diperhadapkan dengan kolonialisasi dan akulturasi agama 1
Minahasa yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup keseluruhan wilayah adat Minahasa, yaitu: Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kota Manado, Kota Bitung, dan Kota Tomohon.
1
(Kristen) oleh bangsa-bangsa Barat, peran dan legitimasi dari elit-elit tradisional tersebut semakin memudar bahkan dapat dikatakan menghilang. Kedudukan serta posisi elit lokal Minahasa akhirnya bergeser dan cenderung didominasi oleh elitelit lokal baru yang bernuansa kristiani; mereka disebut penatua. Memang faktanya bahwa dominasi demografis pemeluk agama Kristen (Protestan) di tanah Minahasa adalah hal yang mencolok.2 Bangunan-bangunan gereja berjejer menjamur bahkan sampai ke desa-desa. Suatu kondisi yang seakan menggambarkan tingkat kerelijiusan masyarakat kristen di daerah ini. Kekokohan fondasi kekristenan dalam struktur masyarakat Minahasa itu tidak dapat dilepaskan dari serangkaian sejarah pekerjaan pemberitaan Injil oleh para utusan lembaga zending serta para misionaris Belanda pada abad ke 16. Namun jauh sebelum itu ternyata bangsa Portugis dan Spanyol telah lebih dulu datang membawa masuk agama Katolik di Minahasa. Berdasarkan catatan sejarah, pada bulan Mei 1563, misionaris portugis bernama Pater Magelhaens tiba di Manado Tua3 dan berhasil membatis raja dan 1500 rakyatnya, namun dibiarkan tanpa pemeliharaan yang baik. Sekitar tahun 1660-an, bangsa Spanyol dan Portugis di usir VOC dari tanah Minahasa, sehingga pekabaran Injil dilanjutkan oleh 2
3
Mayoritas penduduk Minahasa bahkan Sulawesi Utara secara keseluruhan beragama Kristen Protestan. Menurut data Sensus Penduduk tahun 2010, agama Kristen Protestan dipeluk oleh 1.444.141 jiwa (63,6 %) penduduk Sulawesi Utara. Sementara sisanya dirinci sebagai berikut: Islam 701.699 jiwa (30,9 %) , Katolik 99.980 jiwa (4,4%), Hindu 13.133 jiwa (0,58%), Budha 3.076 jiwa (0,13%), Khong Hu Chu 511 jiwa (0,02%), lainnya 1.363 jiwa (0,06%). Lihat data sensus penduduk berdasarkan wilayah dan agama yang dianut, diolah dari sp2010.bps.go.id/, (diakses pada Februari 2014). Manado Tua atau Manado Lama terletak di suatu pulau kecil lepas pantai Minahasa. Pada zaman kolonial, pulau ini tampaknya lebih banyak mempunyai hubungan dengan ”dunia luar” daripada daratan Minahasa. Organisasi politiknyapun sudah berupa kerajaan, padahal daerah-daerah Minahasa lainnya masih diatur secara tradisional. Lihat Tim Pelaksana Penulisan Sejarah GMIM Tingkat Sinode. Kumpulan Karangan, Sejarah Pergumulan Gereja dan Jemaatnya di Minahasa, (Manado: BPMS GMIM, 1984), hal. 7.
2
pemerintahan Belanda dengan mengganti agama Kristen Katolik menjadi Kristen Protestan.4 Dalam rentang waktu selanjutnya, agama Kristen di Minahasa berkembang dengan subur dalam penyebarannya, khususnya atas usaha dua orang misionaris bernama J.F. Riedel dan J.G. Schwarz. Saat ini, kekristenan di Minahasa terus terpelihara dan terinstitusi menjadi banyak organisasi gereja. Data Kementrian Agama Provinsi Sulawesi Utara tahun 2011 menyebutkan bahwa ada 63 denominasi (satuan organisasi) gereja yang tersebar dalam 2.859 bangunan gereja di seluruh wilayah Minahasa. Dilihat dari banyaknya jumlah jemaat serta luas wilayah pelayanan, Gereja Masehi Injili di Minahasa (selanjutnya disingkat GMIM) yang telah berdiri sejak 1934, merupakan gereja terbesar diantara yang lainnya. Jumlah anggota jemaat GMIM mencapai 789.425 jiwa pada tahun 20145 dan terus mengalami peningkatan. Selain itu, GMIM juga memiliki aset fisik yang sangat berlimpah. GMIM memiliki universitas sendiri bernama Universitas Kristen Tomohon (UKIT)6, mengelola lebih dari 800 sekolah, beberapa rumah sakit, perusahaan-perusahaan, dan perkebunan-perkebunan. Dari sisi finansial, tergolong fantastis karena GMIM mampu menggalang dana mencapai hampir 40 milyar rupiah per tahun melalui voluntary funding dari jemaat maupun sumber-sumber lokal lainnya.7 Bahkan baru-baru ini, GMIM mencanangkan sebuah gerakan yang dinamakan Gerakan
4 5
6 7
Ibid, hal. 14. http://sinodegmim.org/index.php/component/content/article/8-sejarah/19-petapelayanan.html, (diakses pada Desember 2014). F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hal. 138. David Henley, Maria J.C. Schouten, dan A.J. Ulaen, “Memelihara Perdamaian di Minahasa Pasca-Orde Baru”, dalam Politik Lokal di Indonesia, diedit oleh Henk Schultze Nordholt dan Gerry van Klinken, (Jakarta: KITLV-Jakartpa dan Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 410-411.
3
Satu Triliun 7 Tahun Kelimpahan. Tujuannya adalah menghimpun dana sebagai upaya penguatan pendanaan GMIM secara mandiri. Kemegahan institusi gereja ditopang dengan relijiusitas masyarakat, akhirnya membawa pemimpin-pemimpin GMIM pada suatu posisi strategis dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin gereja tersebut menjadi tokoh masyarakat yang berpengaruh seiring dengan pengabsahan masyarakat untuk menjadikan mereka rujukan sosial. Dalam tradisi GMIM, tampuk kepemimpinan gereja biasanya diisi oleh orang-orang yang disebut Pelayan Khusus (Pelsus).8 Pelayan Khusus terdiri dari Penatua, Syamas, Guru Agama dan Pendeta. Dalam prakteknya, baik Guru Agama maupun Pendeta, sangat terikat secara kelembagaan dengan gereja dikarenakan sifat jabatannya yang harus diemban seumur hidup. Mereka memang di didik untuk menjadi teolog-teolog formal dan pemelihara doktrin-doktrin gereja lewat pendidikannya di sekolah-sekolah tinggi atau universitas-universitas teologi Kristen (kebanyakan merupakan lulusan UKIT). Kondisi itu mensyaratkan Guru Agama dan Pendeta untuk tunduk sepenuhnya atas otoritas gereja. Di sisi lain, kondisi itu juga yang membatasi aktivitas mereka di luar ranah gereja, terutama pada area politik; kecuali jika mereka melepaskan status guru agama dan gelar kependetaannya.
8
Keberadaan Pelayan Khusus dalam kepemimpinan gerejawi dikarenakan GMIM ditata dalam sistem Presbyterial Sinodal. Kata Presbiterial Sinodal berasal dari bahasa Yunani Presbyteros artinya tua-tua atau yang dituakan, Sinodal dari kata σṽνόδοϛ (baca: Syn-hodos) artinya berjalan bersama. Dengan system presbiterial sinodal, yang artinya berjalan bersama, maka kepemimpinan kepelayanan GMIM dan dalam hal pengambilan ketetapan dan keputusan dijalankan secara musyawarah untuk mufakat oleh para presbiter pada persidangan di semua aras. Selengkapnya lihat BPMS GMIM, Tata Gereja Gereja Masehi Injili di Minahasa 2007, (Tomohon: BPS GMIM, 2007), hal. 5.
4
Situasi yang agak longgar berada pada dua jabatan lainnya yaitu penatua dan syamas yang bersifat temporer dan dapat dimiliki oleh siapa saja atau para awam dalam jemaat.9 Aturan gereja tidak melarang mereka ini untuk terjun langsung dalam ranah politik maupun ranah lainnya. Secara kelembagaan, penatua dan syamas memiliki derajat serta peranan yang setara. Namun dalam prakteknya, dominasi penatua seakan lebih kentara ketimbang syamas, khususnya di ranah politik. Politisi lokal lebih banyak diketahui sebagai penatua. Sedangkan syamas, meskipun ada juga yang menjadi politisi, namun jumlahnya sedikit dan kurang berpengaruh. Oleh karena itu, penatua menjadi aktor utama yang akan dibahas dalam uraian-uraian selanjutnya. Di ranah gereja, seorang penatua sejatinya bertugas sebagai orang yang bertanggung jawab dalam kegiatan-kegiatan ibadah serta mengkoordinir kegiatan pembinaan/pengajaran terhadap jemaat. Namun dalam banyak kasus, mereka juga memiliki hak untuk mengelola dan mengakses segala bentuk sumber daya gereja dalam cakupan kekuasaannya. Seseorang dapat menjadi penatua dalam periode jabatan selama 4 (empat) tahun namun setelah itu, mereka dapat dipilih kembali. Ada beberapa kriteria yang dipersyarakatkan tata gereja GMIM jika ingin menjadi calon penatua:10 1. Bakal calon penatua ialah anggota sidi jemaat yang berumur sekurangkurangnya 25 tahun dan setinggi-tingginya 65 tahun; 9
10
Oleh Pdt. Nico Gara, istilah penatua dapat dimaknai sebagai teolog praktis atau praktisi teologi. Artinya, mereka berteologi dalam gereja tanpa mendapat pendidikan teologi formal seperti Pendidikan Guru Agama, Sekolah Tinggi Teologia, dan sederajat. Selengkapnya lihat Nico Gara, Menafsir Alkitab Secara Praktis, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), hal. 17. BPMS GMIM, Tata Gereja Gereja Masehi Injili di Minahasa 2007, (Tomohon: BPS GMIM, 2007), hal. 100.
5
2. Terdaftar dan tinggal tetap di jemaat dan kolom yang bersangkutan, sekurang-kurangnya enam bulan secara terus menerus sebelum pemilihan; 3. Sudah dikenal jati diri, keteladanan dan kesetiaannya pada GMIM; 4. Memahami dan sanggup melaksanankan tugas sebagai pelayan khusus; 5. Tidak sedang dikenakan disiplin gerejawi; dan 6. Kriteria calon mengacu pada kesaksian Alkitab. Apabila seseorang dianggap memenuhi kriteria-kriteria diatas, maka dia berhak mengikuti pencalonan penatua yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali dalam sebuah proses Pemilihan Pelayan Khusus (selanjutnya disingkat Pilpelsus). Sementara mekanismenya mengacu pada tata gereja dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang diturunkan dari sinode. Pelaksanaan pilpelsus tergolong sangat demokratis sehingga banyak anggota gereja mengistilahkan kegiatan ini sebagai “pesta iman” jemaat gereja. Hal ini pula yang menarik perhatian Henley dkk; mereka mencatat bahwa pada era orde baru, pilpelsus dalam lingkungan GMIM telah lebih mendekati prosedur-prosedur demokrasi murni ketimbang yang terjadi di lingkup politik formal.11 Mengapa demikian? Karena pilpelsus GMIM merupakan sebuah proses panjang yang dikerjakan secara bertahap dari aras jemaat, kemudian dilanjutkan dengan pemilihan pelaksana kepemimpinan wilayah, sampai ke aras tertinggi yaitu sinode. Semua proses diatas melibatkan hampir seluruh anggota jemaat GMIM dengan tingkat partisipasi yang tinggi.
11
David Henley, Maria J.C. Schouten, dan A.J. Ulaen, Op. Cit., hal. 410.
6
Keberadaan penatua itu sendiri merupakan keharusan serta prinsip penting dalam struktur kepemimpinan GMIM, baik mengacu pada tradisi gereja yang berhaluan Calvinis maupun mengacu pada kebutuhan tugasnya. Keahlian yang mereka miliki dibutuhkan untuk mengelola keuangan serta menjalankan organisasi secara professional. Oleh karena itu, banyak penatua yang berlatar belakang profesional seperti pengusaha, birokrat, akademisi, politisi dan profesi profesional lainnya. Ringkasnya, penatua memegang posisi sentral dalam pelaksanaan tugas pelayanan gereja. Bahkan secara kuantitas, jumlah penatua GMIM tahun 2014 sebanyak 14.649 jiwa, jauh melebihi jumlah pendeta yang hanya 1.837 jiwa.12 Ringkasnya, peran penatua dalam operasionalisasi kerja serta pengambilan keputusan gereja cenderung lebih besar ketimbang peran pendeta atau unsur-unsur pelayan khusus lainnya. Hal inilah yang membuat penatua mendapatkan posisi dominannya dalam GMIM. Terbukanya akses terhadap sumber daya gerejawi, membawa sejumlah penatua pada ruang kontestasi di ranah politik. Dalam banyak kasus pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif daerah, beberapa kandidat bertarung dengan menampilkan bahkan menggunakan status kepenatuaannya. Dengan mengenakan gelar penatua (biasanya disingkat Pnt) di depan nama kandidat pada alat-alat kampanye ternyata merupakan sebuah strategi jitu guna menarik simpati pemilih. Kecenderungan yang terjadi, konstituen yang mayoritas anggota GMIM biasanya terikat secara moral dan emosional untuk memilih kandidat tersebut. Memilih penatua sebagai elit politik diyakini sebagai pilihan 12
http://sinodegmim.org/index.php/component/content/article/8-sejarah/19-petapelayanan.html, (diakses pada November 2014).
7
yang tepat karena status gerejawi yang melekat tersebut seakan-akan menggambarkan tingkat “kerohanian” serta “kebaikan” seseorang yang mumpuni. Oleh karena itu, kebanyakan politisi lokal yang berkuasa di Minahasa saat ini, mengawali “karir” mereka sebagai penatua. Status elit, potensi kekuasaan serta keuntungan-keuntungan lainnya dalam jabatan penatua mengundang ambisi banyak orang untuk mendapatkannya. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa tidak semua orang menjadi penatua karena motif-motif politis atau demi keuntungan-keuntungan sepihak. Bagi beberapa orang ini, jabatan penatua adalah panggilan kehambaan untuk melayani Tuhan. Namun dengan mengecualikan konteks tersebut, isu ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam terutama karena ada kecenderungan kuasa di dalamnya. Sebagai sumber daya kekuasaan misalnya, jabatan penatua membuat mereka yang memilikinya mendapatkan pengalaman politik yang menarik dan pada akhirnya mengantarkan mereka sebagai politisi dan memiliki kualifikasi politik yang unggul. Jadi, studi ini sebenarnya meyakini bahwa penatua adalah aktor yang berdiri sendiri dan tidak terikat dengan institusi gereja. Mereka malah hanya menggunakan gereja sebagai instrumen politik belaka. Potensi kuasa itulah yang terkadang menjadikan ajang pemilihan penatua menjadi arena pertarungan dan berpotensi konflik, justru karena berbagai keuntungan politik yang melekat didalamnya. Keunikan serta peran bergengsi yang terkandung dalam jabatan penatua kemudian mengarahkan studi ini untuk mengelaborasinya. Fakta bahwa begitu dominannya penatua di ranah gereja dan politik tentunya dapat menambah
8
khasanah pengetahuan dalam kajian politik lokal di Indonesia. Sudah barang tentu adalah mustahil untuk melacak peran penatua yang berjumlah ribuan itu secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam usaha untuk menjelaskannya, penulis mengilustrasikan pembahasan tulisan ini dari pengalaman beberapa orang penatua. Ilustrasi-ilustrasi tersebut sekiranya dapat mewakili keseluruhan karakteristik serta posisi penatua dalam politik lokal di Minahasa. Utuhnya, bagian dalam tulisan ini akan diawali dengan menampilkan kondisi Minahasa sebagai sebuah bangunan etnik yang selalu mengalami perubahan, terutama dalam aspek kepemimpinan. Setelah itu, akan dibahas tentang berbagai pola kontestasi serta perjuangan individu dalam menggapai jabatan penatua di internal GMIM. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai bagaimana penatua menjalankan dominasinya di luar ranah gereja.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang singkat di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pola kontestasi antar aktor yang berlangsung di ranah gereja dalam rangka mengejar jabatan penatua? 2. Bagaimana kekuasaan penatua dalam gereja di konversi dan terlegitimasi secara sosio-politis di Minahasa?
C. Tujuan Penelitian Misi utama penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi-strategi politik yang digunakan penatua dalam rangka mengkonversi jabatan gerejawi yang
9
dimilikinya menjadi suatu jabatan politik. Setelah itu menyimpulkan bahwa penatua merupakan elit berkuasa di Minahasa. Kepiawaian penatua dalam memainkan peran dominan di berbagai ranah di tingkat lokal tersebut membuktikan kehebatan mereka berpolitik. Kehebatan mereka terlihat dari kemampuan mereka menerapkan berbagai pola strategi dan pendayagunaan bermacam sumber daya kekuasaan demi mendapatkan kepatuhan dari sasaran kekuasaan di berbagai ranah kehidupan. Oleh karena itu, secara keilmuan, studi ini diharapkan memberi sumbangsih terhadap kekosongan kajian-kajian politik untuk menghayati perpolitikan yang tidak menggunakan label politik. Kenyataan tentang berimpitnya praktek beragama dengan praktek berpolitik tidak sempat terungkap karena kebanyakan ilmuwan politik terjebak dalam cara berfikir normatif. Adapun secara praktis, sekiranya studi ini mampu menjadi pemantik agar gereja (GMIM) dapat merefleksikan kembali peran penatua dalam konteks sosio-politis di Minahasa kontemporer secara lebih bijak.
D. Seputar Isu Keminahasaan yang Dinamis: Literature Review Sepanjang penelusuran penulis, belum ada penelitian dalam ilmu sosial yang membahas secara serius keberadaan penatua sebagai elit lokal di Minahasa. Literatur-literatur terdahulu mengenai Minahasa kebanyakan didominasi oleh pembahasan mengenai identitas, etnik, kebudayaan serta berbagai bentuk dinamika perubahannya. Meski demikian, berbagai studi ke-minahasa-an tersebut, sekiranya dapat menjadi pijakan teoritis dalam memahami kronologi kemunculan
10
penatua yang adalah elit gereja, akhirnya menempatkan posisinya dalam kehidupan sosial politik di Minahasa kontemporer. Karya M.J.C Schouten (1998)13 merupakan contoh klasik mengenai perubahan kultural yang terjadi di Minahasa terutama soal kepemimpinan. Struktur masyarakat Minahasa kuno terbentuk dalam komunitas-komunitas lokal yang disebut walak. Sistem sosial yang endogamis dan sistem kekeluargaan yang bilateral, relatif menciptakan kultur kompetitif dalam masyarakat, terutama untuk menjadi pemimpin-pemimpin walak. Akhirnya, kedatangan Hindia Belanda pada abad ke-17 membawa pengaruh eksternal yang signifikan terhadap perubahan kultur masyarakat Minahasa. Antara lain mengenai status kepemimpinan dan sistem politik. Belanda menjadikan walak semacam distrik administratif dan pemimpinnya menjadi aktor intermediary antara pemerintah Hindia Belanda dan penduduk setempat. Di saat yang sama, terjadi pergeseran kultural kepemimpinan dimana status sosial kepala walak dan keluarganya seakan menjadi jauh lebih tinggi dibanding penduduk yang lainnya sebagai konsekuensi dari pengabdian terhadap Belanda. Schouten menunjukan dalam kasus Dotulong misalnya, seusai membantu Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830), mendapat banyak wewenang tambahan dan status sosial yang lebih tinggi sehingga mampu menciptakan aristokrasinya sendiri. Studi ini setidaknya memberi gambaran menarik tentang perbandingan elit lokal Minahasa era kolonial.
13
M.J.C. Schouten, Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian Society: Minahasa, 16771983, (Leiden: KITLV Press, 1998).
11
Bentuk identitas Minahasa dan beberapa perubahannya juga dijelaskan Betha Pantouw (2002)14 menyoroti pada rentang waktu sebelum tahun 1829. Pada bagian awal, Pantouw menulis tentang kondisi fisik Minahasa yang menyatukan berbagai kelompok subetnik yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Pasan, Ratahan, Ponosakan, dan Bantik. Keadaan dan mata pencaharian penduduk pada umumnya bertani, hingga mitologi-mitologi yang berkembang seputar asal-usul penduduk Minahasa. Pada bagian akhir, Pantouw menjelaskan kronologi terjadinya perubahan kultur religi pribumi Minahasa akibat masuknya agama Kristen. Secara lebih spesifik, bentuk-bentuk perubahan kultural di Minahasa dikemukakan Ferry Raymond Mawikere (2002)15 mengenai asal-muasal proses terbentuknya kolonialisme di Minahasa serta akibat-akibat yang harus ditanggung Minahasa akibat kolonialisasi tersebut. Dari aspek ekonomi dan politik, adanya kecenderungan pemusatan perhatian yang lebih pada Jawa dan Madura, merupakan pengecualian bagi Minahasa. Salah satu faktor penyebabnya adalah dengan adanya lahan produksi kopi yang cukup menguntungkan dan menghasilkan perputaran ekonomi bagi kas kolonial. Sementara itu, Mawikere juga menyinggung soal kristenisasi dan kaitannya dengan edukasi di Minahasa.
14
15
Bertha Pantouw, “Minahasa Sebelum Tahun 1829 dan Beberapa Perubahan Dalamnya, Kurun Waktu 1824-1846”, dalam Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan: Telaah Historis, Teologis, Antropologis, diedit oleh Roy E. Mamengko (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 56-106. Ferry Raymond Mawikere, “Minahasa dan Kolonialisme: Warisan Sejarah, Akselerasi Perubahan dan Dinamika Hubungan Sampai Akhir Abad ke-19”, dalam Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan: Telaah Historis, Teologis, Antropologis, diedit oleh Roy E. Mamengko (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 108-168.
12
Pengenalan atas dua bidang ini beserta pelbagai dimensinya, telah menghasilkan perubahan yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat Minahasa. Tulisan Alex J. Ulean (2002)16 mencoba melihat dua sisi lain dalam rangka mengidentifikasi berbagai ciri dan karakter budaya Minahasa. Dua hal tersebut adalah kembara-budaya dan diaspora Minahasa dari realita sejarah dan budaya Minahasa. Legenda Lumimuut-Toar dianggap sebagai titik awal legenda kembara (fisik) masyarakat Minahasa. Selanjutnya, Ulean juga menampilkan beberapa data gelombang diaspora komunitas Minahasa ke beberapa negara antara lain, Amerika Serikat, Belanda dan Jepang. Kajian serupa juga dapat ditemukan dalam tesis Kelli A. Swazey (2008)17 yang menginvestigasi bagaimana proses konstruksi identitas ke-minahasa-an terjadi melampaui batas territorial (trans-nasional). Swacey menunjukkan bahwa pembentukan identitas trans-nasional tersebut didasari oleh identitas Kristen yang dimiliki secara historis oleh Minahasa. Identitas dan relasi kekristenan itu memungkinkan wilayah Minahasa terhubung dengan “dunia luar” kepulauan Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Identitas Minahasa juga dikaji secara unik oleh Gabriele Weichart (2004)18 dengan mengaitkannya dengan praktek kuliner sehari-hari. Ciri khas orang Minahasa yang gemar mengkonsumsi makanan pedas dengan jumlah yang sangat 16
17
18
Alex J. Ulaen, “Kembara-Budaya dan Diaspora: Amanat (dari) Luar”, dalam Etnik Minahasa Dalam Akselerasi Perubahan: Telaah Historis, Teologis, Antropologis, diedit oleh Roy E. Mamengko (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 400-408. Kelly Alicia Swazey, Carrying and (Re)Creating Nation Through Christianity: Minahasa Culture and Identity in Transnational Indonesia Churches in New England, tesis tidak dipublikasikan, (Hawai: University of Hawai’I at Manoa, 2008). Gabriele Weichart, Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner, dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 74, 2004, hal. 59-80.
13
banyak terutama pada masakan daging hewan buruan seperti anjing, babi hutan, ular, monyet, kelelawar, dan tikus, seakan menjadi penanda akan kebudayaan dan identitas
mereka.
Disaat
yang
sama,
praktek
kuliner
ini
juga
turut
mendikotomikan identitas agama Minahasa “yang Kristen” dengan orang luar Minahasa “yang Islam”. Weichart menggambarkan keterbelahan ini pada sebuah jargon, “kami makan babi, sementara mereka makan sapi”. Kajian ini menarik, karena mengawinkan perihal sederhana dan alamiah seperti makanan dengan identitas etnis dan agama yang kultural dan simbolis. Kekristenan akhirnya menjadi kata kunci sebagai salah satu dimensi penting perubahan kultur di Minahasa. Beberapa kajian memperlihatkan perannya yang terinstitusikan lewat gereja dalam dinamika sosial-politik di Minahasa. Neni Kumayas (2010)19 dalam tesisnya berjudul “Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dalam Konstelasi Politik di Sulawesi Utara”, mengurai tentang posisi GMIM sebagai salah satu kekuatan otoritas agama yang berpengaruh dalam dinamika politik lokal di Minahasa. Menurut Kumayas, keterlibatan dalam politik yang dibangun oleh GMIM dilandasi oleh dua kepentingan, yaitu, menjadi agen perubahan terhadap negara dan bangsa; dan memperkuat atau memperluas jaringan kekuasaan gereja. Kepentingan-kepentingan tersebut diperjuangkan lewat strategi-strategi partisipasi secara langsung maupun tidak langsung. Adapun, David Henley, Maria J.C. Schouten dan Alex J. Ulaen (2007)20 mengemukakan bahwa perdamaian dan toleransi yang tercipta di Sulawesi Utara, 19
20
Neni Kumayas, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dalam Konstelasi Politik di Sulawesi Utara, tesis tidak dipublikasikan, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2010) David Henley, Maria J.C. Schouten, dan A.J. Ulaen, Op. Cit., hal. 406-431
14
khususnya Minahasa, merupakan hasil kolaborasi antara peran pemerintah lokal dan civil society yang diperankan secara dominan oleh gereja. Pemerintah lokal berperan memonopoli sarana-sarana kekerasan secara sah untuk mencegah terjadinya konflik. Sedangkan, civil society berbasis agama (khususnya GMIM) berperan melaksanakan disiplin organisasi yang ketat dan melakukan kerjasama antar organisasi keagamaan lainnya. Kolaborasi antara pemerintah lokal dan civil society berbasis agama tersebut terbukti efektif dalam meredam potensi-potensi konflik di daerah ini. Sementara itu, Fadjar Ibnu Thufail (2011)21 justru menunjukkan sisi lain dari konstruksi “perdamaian” tersebut. Bukit Kasih sebagai “monumen perdamaian” memang adalah bukti pertemuan politik agama, politik negara, dan politik kebudayaan dalam menghadapi kegalauan masyarakat Minahasa pasca kerusuhan di Maluku. Namun, dalam konteks tertentu, otoritas agama dan lembaga adat (Majelis Adat Minahasa) yang baru terbentuk, sering tidak sejalan, terutama dalam hal siapa yang memegang otoritas penyelesaian sengketa dalam komunitas desa. Lembaga adat itupun tidak mendapat dukungan dari pemerintah lokal karena kekuatiran elit politik lokal akan elektabilitasnya di ranah elektoral. Namun lembaga adat itu mendapat tempat justru dalam ranah publik adat yang lebih luas lagi berskala nasional yang gencar membentuk gerakan-gerakan revitalisasi adat dalam reformasi hukum pasca-orde baru.
21
Fadjar I. Thufail, “Ketika ‘Perdamaian’ Terwujud di Bukit Kasih: Pencegahan Konflik, Lembaga Gereja, dan Politik Adat di Minahasa”, dalam Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru, diedit oleh Martin Ramstedt dan Fadjar I. Thufail, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2011), hal. 149-166.
15
Berdasarkan studi-studi terdahulu di atas, terlihat bahwa keberadaan penatua masih belum tersentuh dalam pembahasan-pembahasannya. Terjadinya perubahan kultur dalam masyarakat Minahasa yang sangat dipengaruhi oleh kekristenan, membawa pengaruh hingga saat ini. Kepemimpinan yang diperlihatkan
dalam
studi-studi
diatas
melewatkan
peran
penting
dari
kepemimpinan kristen yang diwadahi oleh gereja dalam konteks Minahasa kekinian. Fakta bahwa penatua dapat mengemuka bukan hanya dalam ranah gereja, namun berekspansi sebagai elit politik merupakan peluang penting bagi pendalaman studi politik agamawan maupun studi elit lokal di Indonesia. Kajian ini memberikan bekal untuk melakukan telaah kritis dan reflektif, yang pada gilirannya berpotensi untuk mengungkapkan perpolitikan yang tidak banyak dikaji selama ini.
E. Kerangka Teoritik 1. Penatua sebagai Elit yang Berkuasa Secara umum, para ilmuan politik telah menciptakan beberapa model yang berbeda untuk menganalisis soal distribusi kekuasaan. Ada tiga model yang dimaksud, yaitu:22 Pertama, model elit berkuasa. Menurut model ini sumber kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil orang saja. Kedua, model pluralis, dimana kekuasaan tersebar diantara beberapa kelompok sosial masyarakat. Ketiga, model kekuasaan popular atau populis, yaitu bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luas diseluruh kalangan masyarakat. Dalam upaya untuk
22
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 78-80; lihat juga Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992), hal. 154-185.
16
menunjukkan peran strategis penatua dalam politik lokal di Minahasa, maka kerangka teoritik ini merujuk pada model pertama, yaitu model elit berkuasa. Kajian mengenai elit berawal dari fakta bahwa ada perbedaan-perbedaan diantara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya, sehingga muncul kelompok-kelompok yang mempunyai keunggulan apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya dalam masyarakat yang sama. Kelompok-kelompok itulah yang disebut kelompok elit. Disisi lain, Karl Marx justru tidak terlalu tertarik dengan pembahasan individu elit itu sendiri, melainkan kumpulan individu-individu yang membentuk kelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Magnis-Suseno, bahwa pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individuinvidu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial.23 Kemudian satu kelas melakukan penindasan terhadap kelas lain yang mengakibatkan keterasingan di antara satu dengan yang lainnya. Meski demikian, Pareto dan Mosca24 kembali menegaskan bahwasanya dalam setiap masyarakat pasti terdapat sekelompok kecil (minoritas) individu yang memerintah anggota masyarakat lainnya. Selanjutnya sekelompok kecil individu tadi atau yang merupakan lapisan elit di masyarakat dibagi menjadi kelompok elit yang sedang memerintah atau (governing elite) dan kelompok elit 23
24
Kelas yang dimaksud oleh Marx adalah golongan sosial dalam suatu masyarakat. Menurutnya, masyarakat kapitalis itu ada tiga kelas, yaitu kaum buruh (mereka yang hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba), dan para tuan tanah (hidup dari rente tanah). Kaum pemilik modal dan para tuan tanah disebut sebagai kelas atas, sedangkan kaum buruh disebut sebagai kelas bawah. Hubungan antara kelas atas dan kelas bawah merupakan hubungan kekuasaan: yang satu berkuasa atas yang lain. Untuk bahasan lebih lanjut, lihat Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 110-115. Haryanto, Elit, Massa dan Konflik : Suatu Bahasan Awal, (Yogyakarta: PAU-Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, 1991), hal. 3.
17
yang tidak sedang memerintah (non governing elite). Dimana kelompok elit yang sedang memerintah terdiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan politis, dan kelompok yang tidak sedang memerintah terdiri dari orang-orang yang tidak menduduki jabatan-jabatan politis tetapi mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi secara langsung pembuatan kebijaksanaan. Uraian diatas sedikitnya memberi gambaran bahwa elit atau sekelompok elit erat kaitannya dengan kekuasaan. Varma (1999)25 menjelaskan bahwa apa yang mendorong elit atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik adalah karena menurut para teoritisi politik (senantiasa) adanya dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Karena dalam teori-teori kelompok dan elit, kekuasaan merupakan tujuan utamanya. Elit yang berkuasa, demikian dinyatakan oleh Harold Laswell26, merupakan suatu kelas yang terdiri dari mereka yang berhasil mencapai kedudukan dominasi dalam masyarakat, dalam arti bahwa nilai-nilai (values) yang mereka bentuk (ciptakan, hasilkan) mendapat penilaian tinggi dalam masyarakat bersangkutan. Nilai-nilai yang dimaksud tersebut mungkin berwujud kekuasaan, kekayaan, kehormatan, pengetahuan, dan lain-lain. Mereka yang berhasil menguasai nilai-nilai tersebut dalam jumlah yang banyak, pada gilirannya akan menduduki lapisan atas stratifikasi yang ada di masyarakat bersangkutan.
25 26
SP. Varma, Teori Politik Modern, (Jakarta : PT Raja Grafindo,1999), hal. 197. Haryanto, Kekuasaan Elit: Suatu Bahasan Pengantar, (Yogyakarta: PLOD UGM & JIP FISIPOL UGM, 2005), hal. 126.
18
Sedangkan mereka yang kurang atau tidak berhasil sama sekali memperoleh dan menguasai nilai-nilai tersebut, akan berada pada lapisan bawah dari stratifikasi. Seorang sarjana barat lainnya, C. Wright Mills (1956), dalam bukunya “The Power Elit” juga menjelaskan kaitan elit dan kekuasaan. Pembahasan Mills yang berangkat dari “institusi”, mengemukakan bahwa elit adalah individuindividu yang menduduki posisi puncak pada institusi-institusi utama yang ada dalam masyarakat.27 Oleh karena itu, elit akhirnya memiliki kepiawaian dalam mengelola kekuasaan dikarenakan mereka menduduki posisi-posisi puncak dalam institusi-institusi utama masyarakat. Kekuasaan institusional elit tersebut diterjemahkan dalam kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan yang mengikat dan berlaku bagi masyarakat lainnya. Selanjutnya menurut Mills, individu-individu yang termasuk dalam kelompok elit merupakan golongan yang relatif sangat terpadu, homogen dan berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan atas kesamaan latar belakang pendidikan, agama, dan sering mengadakan perkumpulan yang diselanggarakan oleh berbagai kelompok sosial yang sama. Selanjutnya, guna mengidentifikasi apakah penatua dapat dikategorikan sebagai elit yang berkuasa, khususnya di ranah gereja dan politik, maka penulis menggunakan strategi analisa posisi.28 Strategi ini beranggapan bahwa lembagalembaga atau struktur-struktur yang sifatnya formal, pada dasarnya merupakan suatu peta hubungan kekuasaan yang dapat digunakan untuk menganalisa siapa 27 28
Ibid, Hal. 128-132. Robert D. Putnam, “Studi Perbandingan Elit Politik”, dalam Perbandingan Sistem Politik, diedit oleh Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978), Hal. 84-87; uraian Putnam ini dapat juga ditemukan dalam Haryanto, Ibid., 137-140.
19
elit yang berkuasa. Oleh karena itu, para individu yang menduduki posisi-posisi puncak dalam lembaga atau institusi formal tersebut, cenderung secara politis berkuasa. Prakteknya, penatua memang berada pada posisi-posisi puncak di ranah gereja dan politik di Minahasa. GMIM yang menganut sistem presbyteral sinodal memberikan celah bagi aktor non pendeta untuk menduduki kursi kepemimpinan gereja. Berbeda dengan struktur hirarkis gereja katolik misalnya yang menggunakan sistem episkopal dan mengerucutkan kewenangan hanya kepada para uskup saja. Ringkasnya, penatua adalah elit berkuasa di GMIM di samping pendeta, syamas, dan guru agama. Keempat unsur kepemimpinan tersebut memiliki derajat kewenangan yang setara dalam menjalankan pemerintahan gereja. Meskipun nampaknya penatua yang lebih banyak bersentuhan langsung dengan jemaat oleh karena keketuaannya di semua komisi kategorial gereja (Bapa, Ibu, Pemuda, Remaja, dan Anak – BIPRA) di masing-masing aras. Dengan demikian, selain menduduki posisi-posisi puncak, penatua juga berada pada posisi yang strategis untuk menunjang kekuasaannya di ranah gereja. Di ranah politik, penatua banyak menduduki posisi-posisi puncak dalam institusi-institusi pemerintahan, partai politik, dan institusi politik lainnya. Hal tersebut semakin menegaskan signifikansi kekuasaan penatua di Minahasa secara keseluruhan yang mayoritas penduduknya adalah anggota jemaat GMIM.
20
2. Strategi Kekuasan Penatua: Pendayagunaan Sumber Daya Kekuasaan Strategi yang penulis maksudkan dalam kerangka teoritik ini adalah suatu mekanisme bagaimana elit ataupun kelompok elit dengan ide politik yang di pahaminya, mampu memenangkan suatu kontestasi disaat banyak orang yang berkepentingan menghendaki hal yang sama. Dengan strategi-strategi yang dikembangkan tersebut, disaat yang sama memberikan kemampuan kepada para elit untuk mengelola ketegangan-ketegangan yang terjadi akibat dominasi elit. Teorisasi ini penting dilakukan guna melacak pola kontestasi antar elit untuk memperoleh jabatan penatua di ranah gereja (GMIM). Selanjutnya juga berguna untuk melihat dinamika politik yang terjadi sebagai dampak “penguasaan” jabatan penatua oleh elit-elit tersebut. Dasar kerangka teoritik ini meyakini bahwa strategi-strategi yang dikembangkan oleh para elit itu didukung oleh basis-basis yang mereka miliki sebagai sumber daya dalam berkontestasi. Berdasarkan sumber daya-sumber daya yang
dimilikinya,
para
elit
kemudian
perlu
mengorganisasikan
dan
mendayagunakan sumber daya-sumber daya itu sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan politik yang efektif. Charles F. Andrain (1992) menawarkan tiga variabel yang harus diperhatikan dalam membahas pendayagunaan sumber daya kekuasaan, yaitu: (1) jumlah dan distribusi sumber daya; (2) motivasi untuk mendayagunaan sumber daya demi tujuan-tujuan politis; dan (3) ketrampilan mendayagunakan sumber daya secara efektif. Sedangkan untuk membahas kepatuhan yang dihasilkan, Andrain menawarkan dua variabel yang lain, yaitu:
21
(1) cakupan kekuasaan; dan (2) besaran kekuasaan.29 Rincian dari indikatorindikator tersebut akan dijelaskan satu per satu pada bagian selanjutnya. a. Jumlah dan distribusi sumber daya Akses terhadap berbagai sumber daya, khususnya yang sangat dihargai oleh masyarakat dan relevan terhadap sasaran-sasaran politiknya, merupakan prasyarat bagi para elit untuk mendayagunakan kekuasaannya secara efektif. Besarnya kekuasaan potensial yang dimiliki seseorang, dapat ditentukan dengan menjumlahkan semua sumber daya yang dimilikinya. Namun, pencapaian tujuan politik secara efektif tidak hanya tergantung pada jumlah sumber daya saja, melainkan juga tergantung pada pola distribusi sumber daya antara pemegang kekuasaan dan sasaran kekuasaan. Semakin besar kelebihan sumber daya yang dikuasai penguasa atas sasaran kekuasaan, maka semakin besar pula peluangpeluang penguasa untuk memperoleh kepatuhan. Adapun sumber daya dalam tipologi Andrain dibedakan menjadi lima, yaitu: fisik, ekonomi, normatif, personal, dan ahli (informasional).30 Masingmasing tipe sumber daya memiliki implikasi atau motif kepatuhan yang berbedabeda (lihat tabel 1).
29
30
Charles F. Andrain, Op. cit., hal. 144-151. Uraian Andrain mengenai pendayagunaan kekuasaan dapat pula dilihat dalam Haryanto, Op.Cit., hal. 48-59. Charles F. Andrain, Op.Cit., hal. 132.
22
Tabel 1. Tipe-Tipe Sumber Daya
Tipe Sumber Daya
Contoh Sumber Daya
Motivasi untuk mematuhi
Fisik
senjata : senapan, bom , rudal
B “berusaha menghindari cedera fisik” yang dapat disebabkan oleh A
Ekonomi
kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa
B berusaha memperoleh kekayaan dari A
Normatif
Moralitas, kebenaran, tradisi relijius, legitimasi, wewenang
B mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur perilaku B
Personal
Karisma pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih sayang, popularitas
B mengidentifikasi diri-merasa tertarik dengan A
Ahli
Informasi, pengetahuan, intelejensi, keahlian teknis
B merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih
* A = adalah pemegang kekuasaan; B = sasaran kekuasaan Sumber: Andrain, Kehidupan Politik…, hal. 132 Sumber daya fisik.31 Tipe sumber daya ini dijalankan berdasarkan beraneka ragam persenjataan fisik sesuai dengan tingkat industrialisasi masyarakat. Sumber daya fisik dapat berupa persenjataan sederhana seperti tombak, busur, dan panah bagi masyarakat tradisional dan berskala kecil. Ataupun berupa persenjataan mutahir seperti senjata api, balistik, dan nuklir bagi 31
Ibid, hal. 133.
23
masyarakat modern. Apapun jenis persenjataan yang digunakan, motif utama dari kepatuhan masyarakat bersumber dari kekhawatiran akan cedera fisik jika tidak patuh. Sumber daya ekonomi.32 Pada kelompok masyarakat yang aktivitas dagangnya kuat, kepatuhan dapat diperoleh melalui kepemilikan sumber daya material tertentu seperti alat-alat teknologi, kekayaan, pendapatan, hak milik, kontrol atas barang dan jasa. Dengan demikian, elit dapat mendominasi masyarakat melalui imbalan-imbalan material tersebut kepada masyarakat. Sumber daya normatif.33 Kepemilikan sumber daya normatif didasarkan pada kualitas-kualitas tertentu seperti kebijakan relijius, kebenaran moral, dan wewenang sah. Unsur-unsur tersebut memberi elit hak moral untuk menjalankan kekuasaan. Oleh karena itu, pemegang kekuasaan melambangkan keyakinankeyakinan moral yang dianut bersama dalam sebuah komunitas. Pemimpinpemimpin agama dan politik sama-sama bertumpu pada sumber daya normatif ini yang dikaitkan dengan suatu jabatan atau peranan. Sumber daya personal.34 Sumber daya personal dapat berupa kualitaskualitas personal tertentu seperti menawan, menarik, berkarisma, disayangi, dan lain sebagainya. Pada situasi politik yang kurang stabil, tipe sumber daya ini cenderung mempunyai pengaruh yang signifikan untuk digunakan. Sumber daya keahlian. Tipe sumber daya ini kerap dijumpai pada masyarakat yang birokrasinya cukup mapan. Sumberdaya keahlian dapat berupa 32 33 34
Ibid, hal. 133. Ibid, hal. 134 Ibid, hal. 134.
24
informasi, pengetahuan, keahlian teknis, dan intelijensi. Jadi, kepatuhan diperoleh karena memiliki informasi yang lebih luas. Adapun informasi-informasi itu mencakup
pengetahuan
mengenai
nilai-nilai
dan
norma-norma
umum,
pengoperasian lembaga-lembaga politik dan struktur-struktur sosial lainnya, tuntutan-tuntutan politik dan dukungan yang dibuat kelompok-kelompok tertentu, serta metode-metode untuk menjalankan kebijakan-kebijakan negara. Di era kontemporer saat ini, dengan semakin menyatunya iklim birokrasi politik dan industrial, maka para teknokrat lebih leluasa mendominasi ranah kekuasaan melalui keahlian mereka. b. Motivasi untuk menggunakan sumber daya. Elit-elit yang memiliki akses terhadap berbagai sumber daya, dihadapkan pada beberapa pilihan: (1) mereka mungkin menghabiskan sumber daya yang dimiliki untuk kegiatan-kegiatan non politik; (2) mereka dapat menghemat sumber daya itu untuk dipakai di kemudian hari; (3) mereka menginvestasikan sumber daya tersebut untuk meningkatkan jumlah sumber daya yang ada; atau (4) mereka mungkin mengkonversikan sumber daya itu menjadi kekuasaan politik.35 Pilihan yang terakhir itu, yang menjadi perhatian dalam tesis ini. Pada kondisi seperti apa elit memutuskan untuk mengkonversikan sumber daya yang dimilikinya menjadi suatu kekuasaan politik. Keputusan untuk menggunakan sumber daya yang dimiliki demi tujuantujuan politis tergantung pada sejauh mana “motivasi” dari individu yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan motivasi itu sendiri dapat meliputi 35
Ibid, hal. 146.
25
beberapa faktor:36 (1) nilai penting yang dikaitkan dengan tujuan; (2) pengetahuan atas sarana-sarana dalam mencapai tujuan; (3) ketergantungan pada strategistrategi politik dalam mencapai suatu sasaran; (4) keberhasilan yang diharapkan dalam mewujudkan tujuan; dan (5) persepsi mengenai biaya dan resiko yang dihasilkan dari aktivitas politik tersebut. Dengan demikian, elit-elit yang mempunyai motivasi dalam rangka mengkonversikan sumberdaya yang dimilikinya secara efektif memperlihatkan beberapa karakteristik sebagai berikut:37 (1) percaya benar mengenai pentingnya tujuan mereka; (2) mengetahui metode-metode dalam mencapai tujuan; (3) mendasarkan penyelesaian permasalahan-permasalahan yang timbul secara politis; (4) menunjukkan harapan yang tinggi mengenai keberhasilan; dan (5) meyakini bahwa proses pencapaian tujuan akan menyangkut biaya yang rendah dan keuntungan yang tinggi. Keseluruhan karakteristik diatas, dapat dipakai untuk melihat tingkatan motivasi yang dimiliki para penatua dalam kontestasi di ranah gereja maupun di ranah politik. c. Ketrampilan mendayagunakan sumber daya. Ketrampilan politik diperlukan dalam rangka mengorganisasikan sumber daya secara efektif. Ketrampilan yang dimaksud bukanlah suatu kemampuan teknis atau atau yang digolongkan pada sumber daya keahlian melainkan sebuah ketrampilan politis, sehingga dapat menjamin kepatuhan yang mengikat. Berkaitan dengan itu, maka keterampilan politik dalam hal ini dapat mengacu
36
37
Ibid. hal. 146-147, bandingkan dengan Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hal. 70. Andrain, Op.Cit., hal. 147.
26
pada kekuasaan yang bersifat paksaan maupun konsensual.38 Pada sebuah masyarakat yang stabil dan demokratis, kekuasaan konsensual berperan lebih efektif dalam rangka mengorganisasikan sumber daya-sumber daya. Keterampilan politik secara konsensual tersebut dapat berwujud kemampuan untuk berunding, berkompromi, berdamai, tawar-menawar, bekerja-sama dengan pihak-pihak lain, serta membentu persekutuan.39 Adapun faktor-faktor yang membentuk keterampilan politik seseorang adalah, watak atau karakter pribadi, waktu dan energi.40 Watak atau karakter pribadi meliputi tingkat intelejensi, dominansi, kepercayaan diri, keberanian, kecerdikan, keluwesan dan imajinasi. Semua kemampuan tersebut menghasilkan transformasi sumber daya menjadi kekuatan politik yang disempurnakan oleh waktu dan energi pelaku politik. Aspek penting lainnya adalah faktor lingkungan yang dapat memberikan peluang maupun hambatan. Seorang pelaku politik yang terampil dapat mendeteksi kemungkinan peluang maupun hambatan dalam memobilisasi sumber dayanya guna mendapatkan kekuatan politik yang efektif.
38
39 40
Mengenai kekuasaan paksaan dan konsensual ini, Andrain menegaskan bahwa keduanya dapat ditemukan pada setiap situasi kekuasaan. Meski demikian, ada hal yang menjadi perbedaan utama antara kedua aspek kekuasaan tersebut. Perbedaannya muncul dari pengalaman menerima sanksi maupun penghargaan (baik yang aktual maupun yang diharapkan). Apabila seseorang mengalami sebuah hukuman atau khawatir mendapat hukuman di masa mendatang, maka dia akan tanggap pada kekuasaan paksaan. Sebaliknya, apabila seseorang menerima sebuah penghargaan atau berharap akan mendapat penghargaan di masa depan, maka dia mengalami kekuasaan konsensual. Sebab, penghargaan mengisyaratkan adanya konsensus antara pemegang kekuasaan dan sasaran kekuasaan. Ibid, hal. 138. Ibid, hal. 148. Ibid, hal. 149.
27
d. Cakupan dan besaran kekuasaan Kedua variabel terakhir adalah cakupan kekuasan dan besaran kekuasaan; yang berfungsi untuk menjelaskan bagaimana kepatuhan diperoleh dari sasaran kekuasaan. Oleh karena itu, pengoperasian kedua konsep ini akan lebih banyak melihat seputar relasi antara elit dan masyarakat yang kemudian melahirkan kepatuhan yang dimaksud. Cakupan kekuasaan mengacu pada sektor-sektor masyarakat atau jenisjenis kegiatan yang ditembus oleh alat-alat kekuasaan.41 Dengan mengilustrasikan kekuasaan negara, Andrain menjelaskan bahwa dalam masyarakat yang nonmodern, negara relatif tidak dapat mengendalikan banyak kegiatan. Sebaliknya, pada masyarakat yang modern, cakupan kekuasaan negara relatif lebih besar. Penjelasan atas perbedaan lingkup cakupan kekuasaan ini dikaitkan dengan beberapa kondisi. Di satu sisi, negara memiliki kekuasaan potensial untuk mengatasi masalah-masalah tidak terduga seperti urbanisasi yang meningkat, pertumbuhan ekonomi, perluasan media massa, dan kemajuan teknologi. Di sisi yang lain, ketika masyarakat semakin terindustrialisasi, individu-individu menjadi kurang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, yang berujung pada tuntutan pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, negara mengambil tanggung jawab besar dalam semua sektor kehidupan masyarakat yang jelas ikut meningkatkan cakupan kekuasaan negara.42 Dari ilustrasi diatas, jelas bahwa cakupan kekuasaan elit berada pada wilayah kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sejauh mana posisi elit dibutuhkan, sejauh itu pula cakupan kekuasaannya. 41 42
Ibid, hal. 149. Ibid, hal. 150.
28
Adapun yang dimaksud dengan besaran kekuasaan adalah besaran perilaku yang dimodifikasi dalam masing-masing individu (masyarakat).43 Besaran kekuasaan dapat mengukur penguasaan elit terhadap perilaku masyarakat baik yang terbuka maupun tersembunyi. Penggunaan sarana-sarana paksaan fisik dan psikologis sering dijumpai pada elit-elit totaliter dengan tujuan untuk menciptakan
masyarakat
dan
manusia
baru
sesuai
dengan
gambaran
ideologinya.44 Akibatnya, sasaran kekuasaan rentan untuk membangkang dan mengingkari kekuasaan dari elit tersebut. Sebaliknya, elit-elit yang demokratis, cenderung menggunakan sarana-sarana yang bersifat konsensual atau membentuk kesepakatan-kesepakatan
yang
saling
menguntungkan
dengan
sasaran
kekuasaannya. Pada kondisi ini, masyarakat sebagai sasaran kekuasaan biasanya dengan sukarela memberikan kepatuhan serta kendali kekuasaan kepada elit.
F. Alur Berpikir Berdasarkan kerangka teoritik diatas, penulis mengasumsikan bahwa kemunculan penatua sebagai elit lokal di Minahasa kontemporer terkait dengan beberapa hal. Pertama, penatua memiliki kecenderungan sebagai elit dominan, karena berada dalam posisi puncak institusi utama formal (gereja dan pemerintahan) di Minahasa. Kedua, ranah gereja merupakan arena pertarungan elektoral dalam mengakses jabatan penatua. Individu-individu yang berkontestasi menggunakan berbagai strategi dan sumber daya agar dapat memenangkannya. Aktivitas ini sekaligus menempatkan individu tersebut dalam kepemimpinan gereja. Ketiga, kekuasaan yang telah didapatkan penatua dalam gereja, dapat 43 44
Ibid Ramlan Surbakti, Op.Cit., hal. 74.
29
dikonversi untuk mendominasi ranah lainnya yaitu ranah politik di Minahasa. Reproduksi kekuasaan tersebut berlangsung dengan menggunakan strategi kekuasaan yang serupa, terutama melalui gereja sebagai sumber daya utama. Keempat, akumulasi dari kekuasaan penatua di ranah gereja dan ranah politik dipelihara dengan melanggengkan cakupan kekuasaan serta besaran kekuasaan yang diterima dari masyarakat. Secara sederhana alur berpikir penulis dapat di gambarkan sebagai berikut: Bagan 1. Skema Strategi Kekuasaan Penatua di Minahasa
G. Definisi Konseptual 1. Penatua sebagai Elit Berkuasa Fakta-fakta berkuasanya penatua di Minahasa, dapat diamati dari banyaknya posisi-posisi puncak dan strategis yang didudukinya. Berawal dari gereja, dimana penatua merupakan salah satu unsur kepemimpinan yang
30
berpengaruh. Hingga keterlibatannya di ranah politik lokal. Jabatan gerejawi yang telah lebih dahulu dikuasai, didayagunakan menjadi sumberdaya di ranah politik dan terbukti berhasil menduduki posisi-posisi puncak pemerintahan. Kondisi ini semakin menegaskan proposisi bahwa penatua adalah elit berkuasa di Minahasa. 2. Strategi Kekuasaan Penatua Untuk mencapai posisi dominan dalam ranah gereja dan politik di Minahasa, penatua menggunakan strategi-strategi kekuasaan yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya-sumber daya. Melalui pengorganisasian sumber daya-sumberdaya tersebut, kekuasaan penatua kemudian memperoleh kepatuhan dari masyarakat. 3. Sumber Daya Kekuasaan Sumber daya kekuasaan adalah basis-basis yang digunakan dalam berkontestasi. Semakin besar sumber daya yang dapat diakses, semakin besar juga peluang untuk memenangkan suatu pertarungan politik.
H. Definisi Operasional 1. Pendayagunaan Sumber Daya Kekuasaan Indikator-indikator dari pendayagunaan sumber daya kekuasaan oleh penatua di ranah kontestasi meliputi: a. Jumlah dan distribusi sumber daya, yaitu seberapa efektif akses dan distribusi berbagai sumber daya yang relevan bagi sasaran kekuasaannya. Jenis-jenis sumber daya yang akan dibahas,
31
mengikuti tipologi Andrain, yakni: ekonomi (material), normatif, personal, dan ahli (informasional).45 b. Motivasi, yaitu suatu kondisi dimana elit memutuskan untuk mengkonversikan sumber daya yang dimilikinya menjadi suatu kekuasaan politik. c. Keterampilan
politik,
yaitu
suatu
kemampuan
untuk
mengorganisasikan sumber daya kekuasaan secara efektif untuk menjamin kepatuhan dari sasaran kekuasaan. 2. Kepatuhan Sasaran Kekuasaan Sedangkan untuk mengukur tingkat kepatuhan dari sasaran kekuasaan penatua, dilihat dari dua hal: a. Cakupan kekuasaan, yaitu sektor-sektor masyarakat atau jenisjenis kegiatan yang dapat ditembus oleh kekuasaan penatua. b. Besaran kekuasaan, yaitu kedalaman perilaku masyarakat baik terbuka maupun tersembunyi, yang dapat dikontrol oleh kekuasaan penatua.
I. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi kasus (case study). Menurut Berg (2001), studi kasus adalah metode sistematis yang digunakan untuk menggali informasi tentang seseorang, setting sosial, peristiwa,
45
Berdasarkan tipologi Andrain mengenai sumber daya kekuasaan yang terdiri dari lima jenis itu, maka penulis memberi pengecualian pada sumber daya fisik. Hal tersebut dikarenakan kurangnya bukti dan relevansi terhadap penggunaan sumber daya yang dimaksud.
32
atau kelompok yang memungkinkan peneliti untuk mengerti bagaimana proses tersebut berlangsung dan berfungsi.46 Yin (2006) memberikan definisi yang lebih teknis mengenai studi kasus yaitu suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan dimana multisumber bukti dapat dimanfaatkan.47 Alasan dipilihnya studi kasus pertama, karena penelitian ini berangkat dari pertanyaan how dan why48 yaitu bagaimana penatua sebagai elit lokal di Minahasa, memainkan kekuasaannya dalam beberapa ranah yang berbeda, yakni, gereja, masyarakat, dan politik. Kedua, penelitian ini hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang diselediki. Peristiwa-peristiwa yang diteliti hanya terbatas pada wilayah GMIM dan Minahasa saja. Ketiga, penelitian ini bersifat kontemporer49 dan lebih banyak fokus pada kasus-kasus pasca orde baru khususnya
sejak
diberlakukannya desentralisasi
yang
menghasilkan pemencaran kekuasaan sampai pada tingkat lokal di daerah, termasuk di Minahasa. Salah satu komponen penting yang juga harus ditentukan dalam studi kasus adalah unit analisis. Komponen ini secara fundamental berkenaan dengan masalah penentuan apa yang dimaksud dengan “kasus” dalam sebuah penelitian. Kasus dapat merujuk pada sejumlah individu atau aktor maupun pada suatu
46
47 48 49
Bruce L. Berg, Qualitatif Research Methods For the Social Science, (Allyn & Bacon, 2001), hal. 225. Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), Hal. 18. Ibid, Hal. 1. Ibid, Hal. 12.
33
peristiwa.50 Bertolak dari penjelasan diatas, maka unit analisis yang ditempatkan dalam penelitian ini adalah seputar aktor-aktor dan proses politik yang berlangsung di ranah gereja dan politik lokal di Minahasa. Aktor-aktor yang dimaksud adalah penatua GMIM yang diposisikan dalam bentuk jamak dan berupa komunitas namun tiap aktor memiliki karakter dan aktivitas yang berbedabeda. Oleh karena itu, pembahasan digambarkan melalui ilustrasi-ilustrasi kejadian atau peristiwa yang dialami oleh beberapa aktor penatua. Untuk membedakan cakupan kekuasaan yang dihasilkan para aktor, maka level analisis disempitkan hanya di wilayah GMIM saja yang mencakup kesuluruhan wilayah Minahasa tradisional, dimana mayoritas penduduknya adalah anggota jemaat GMIM. Kemudian wilayah GMIM yang akan di analisis lebih banyak fokus pada komisi-komisi kategorial di aras sinode yang merupakan cakupan kekuasaan tertinggi penatua. Sehubungan dengan pengumpulan data, metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat triangulasi. Artinya, data didapatkan dari penggabungan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Dengan mengumpulkan data secara triangulasi, maka sebenar peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data lewat penyilangan berbagai sumber data.51 Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa studi literatur, observasi dan wawancara. Studi literatur dilakukan dengan cara membaca karya tulis berupa buku, artikel, laporan penelitian, media massa dan sebagainya yang berkaitan 50 51
Ibid, hal. 30-31. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 241.
34
dengan topik penelitian ini. Berbagai referensi tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman teoritik secara utuh tentang pergulatan politik penatua di Minahasa. Tahap
berikutnya
adalah
melakukan
observasi.
Marshal
(1995)
menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut.52 Ada beberapa klasifikasi dari observasi diantaranya adalah overt observation and covert observation (observasi terus terang dan tersamar) yang dipakai dalam penelitian ini. Menurut metode ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara terus terang kepada sumber data tentang penelitian ini sehingga mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat peneliti dapat tidak berterus terang atau tersamar dalam observasi.53 Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kemungkinan ditolaknya aktivitas observasi kalau suatu data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan. Sedangkan tahap ketiga dalam pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara dalam bentuk open ended.54 Dalam wawancara open ended, peneliti dapat bertanya kepada para informan mengenai fakta-fakta suatu peristiwa di samping opini mereka sendiri. Bahkan dalam
wawancara
tersebut,
peneliti
dapat
meminta
informan
untuk
mengetengahkan pendapatnya sendiri dan bisa menggunakan proporsi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Adapun yang menjadi target informan dalam penelitian ini adalah: 52 53 54
Ibid, hal. 226. Ibid., hal. 228. Robert K. Yin, Op. cit., Hal. 108-109.
35
a. Beberapa orang penatua yang dianggap memiliki pengalaman yang menarik terkait aktivitasnya dalam gereja dan politik lokal di Minahasa. b. Beberapa anggota jemaat di GMIM. c. Akademisi dan pengamat politik lokal di Minahasa Sedangkan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara reduksi data. Mereduksi data diartikan sebagai merangkum data, memilah hal-hal pokok dan memfokuskan pada hal-hal penting.55 Dengan demikian maka secara rinci dapat digambarkan teknik analisa data yang dilakukan yaitu setelah data dikumpulkan, maka selanjutnya data dipadukan, digambarkan dalam bentuk uraian kalimat dengan memberikan interpretasi/penafsiran berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan.
J. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan menjawab dan menjelaskan rumusan masalah yang diangkat, maka tulisan ini dibagi dalam beberapa bab pembahasan: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini terdiri atas penjelas
an mengenai latar belakang
penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab ini, pembaca diberikan gambaran
55
Sugiyono, Op. cit., hal. 226.
36
tentang misi yang ingin dicapai dalam penelitian ini termasuk keunikannya. BAB II
KONTEKS MINAHASA DAN PENATUA Bab ini menkonstruksikan gagasan penatua dari dua sudut pandang yaitu secara teologis dan sosio-politis. Namun sebelumnya, dibahas mengenai Minahasa sebagai konteks penelitian beserta perubahan kulturnya yang terjadi dari waktu ke waktu.
BAB III
KONTESTASI
DALAM
GEREJA:
MENGEJAR
JABATAN PENATUA Bab ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana praktek politik
individu-individu
dalam
berkontestasi
memperebutkan jabatan penatua, dan menjadi elit dalam gereja. BAB IV
MENGGANDAKAN
DOMINASI
DI
RANAH
POLITIK Bab ini menjelaskan lebih mendalam keterlibatan penatua dalam kehidupan politik di Minahasa kontemporer. Kekuasaan di ranah gereja mampu dikonversikan menjadi kekuasaan yang terlegitimasi oleh sasaran kekuasaan di ranah politik.
37
BAB V
KESIMPULAN Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian ini dan sekaligus menjadi penegasan atas argumen serta thesis statement yang dibangun dibagian awal.
38