BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah Dewasa ini disadari atau tidak, video game memiliki posisi yang hampir sama dengan media film atau televisi yang juga membentuk konstruksi masyarakat akan sesuatu hal dan menjadikan hal tersebut sebagai realisme palsu, yang berakar dan tertanam didalam pola pikir masyarakat. Video game yang pada awalnya hanyalah sebuah entertainment tools atau sebuah alat hiburan ternyata memiliki kemampuan yang jauh melebihi tujuan awal dibuatnya. Dalam video game kita bisa menemukan beragam simbol-simbol yang dibaliknya ternyata terdapat ideologi yang tertanam secara halus, yang tanpa sadar juga mempengaruhi pola pikir dalam menilai dan bertindak serta dijadikan komoditas penjualan. Konstruksi yang sering sekali dibangun dan menjadi nilai jual tinggi adalah dengan mengkaitkan setiap detail video game dengan sosok perempuan. Perempuan hadir sebagai komoditas pada beberapa game bahkan menjadi ikonik. Industri video game tidak hanya memproduksi sebuah permainan secara harafiah, akan tetapi juga memproduksi isi pesan. Pesan yang didalamnya banyak sekali menyoroti perempuan dari sudut stereotipnya bahkan berbau sensualitas yang mengarah pada eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan memang selalu menarik untuk dibicarakan, baik dari segi apa yang ada dalam tubuhnya hingga bagaimana Ia diposisikan dalam lingkungan sosialnya. Salah satu game yang didalamnya terdapat banyak unsur perempuan adalah game seven sin. Seven Sin adalah salah satu jenis game yang diluncurkan pada tahun 2005 oleh perusahaan Monte Cristo di Prancis dan dibawah naungan publisher atau sebuah agen penyebar dan distribusi video game, bernama Digital Jetzer, Inggris. Game ini merupakan game simulasi kehidupan, dimana pemain akan diajak menjadi seseorang yang akan memecahkan suatu misi demi kepuasan pribadinya didalam suatu kota yang bernama Appel City. Game ini banyak melibatkan tokoh perempuan dengan segala karakter dan sisi sensualitasnya. Dalam memecahkan misi tersebut pemain diajak untuk melakukan segala cara apapun termasuk melakukan tujuh dosa
Universitas Sumatera Utara
mematikan (seven deadly sins) yang direpresentasikan melalui adegan–adegan, antara lain: mencuri uang di kantong mantel, merusak pakaian di toko, buang air kecil di gelas minum bosnya, hingga menggoda karakter perempuan dengan tindakan yang tidak pantas. Adapun tujuh dosa dasar manusia yang dikenal dalam sejarah yakni kesombongan (pride), rakus/berlebihan (gluttony), iri (envy), kemalasan (sloth), kemarahan (anger/wrath), keserakahan (greed), dan birahi (lust). Tujuh dosa inilah yang disajikan secara gamblang didalam game ini. (http://F:/Seven%20Sins%20%AB%20%C%AB%20Cubiculum%20Notatum.html). Dengan kata lain game ini merepresentasikan hasrat dan kebutuhan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Game ini menampilkan gambar dan adegan yang menjurus ke pornografi, dari sistem permainannya, pemilihan karakter perempuan, pakaian yang dipakai, hingga suara musik yang juga menjurus kearah pornografi. Pemain diwakilkan hanya dengan tampilan animasi sosok seorang laki-laki, yang akan menggoda karakter perempuan disetiap levelnya agar perempuan tersebut mau membuka rahasia dari misi yang hendak dipecahkannya. Hal tersebut dilakukan karena cara ini yang paling mendominasi permainan agar misi terpecahkan dan permainan pun selesai dengan predikat menang. Cara-cara yang dilakukan dalam menggoda karakter perempuan didalam game ini, dilakukan dengan cara halus hingga dengan cara yang tak pantas untuk disajikan ke khalayak luas. Setiap level dalam game ini, hampir selalu menampilkan karakter seorang perempuan melalui gambar animasi dan menjadikan karakter tersebut sebagai alat utama permainan. Game ini seolah-olah hadir dengan karakter perempuan sesuai pandangan dunia yang selama ini sudah terkonstruksi. Dunia seolah-olah menyajikan realisme palsu bahwa perempuan direpresentasikan dengan makhluk sosial kelas dua. Segala sesuatunya diperlihatkan, seolah-olah perempuan dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan laki-laki dan tidak punya kekuatan untuk melawan hal tersebut. Perempuan dikonstruksikan sebagai suatu sosok yang dianggap layak dieksploitasi dan menjadi objek sasaran untuk menyajikan pornografi melalui apa yang ada pada diri perempuan tersebut bahkan cenderung menunjukkan sensualitas dari tubuh perempuan. Visualisasi karakter perempuan pada umumnya dibangun dengan pakaian seksi, terbuka, bentuk tubuh yang ideal, bahkan dengan ekspresi menggoda. Video game menaturalisasikan tubuh tersebut secara sosial dan kultural sebagi objek
Universitas Sumatera Utara
yang di ‘puja’ sekaligus ‘dilecehkan’ karena dianggap memiliki kekuatan “pesona” tertentu. Trend video game dengan memasukkan unsur sensualitas perempuan, saat ini sangat digandrungi oleh para gamers yang pada umumnya adalah laki-laki. Bahkan para developer game berlomba-lomba menciptakan game yang di dalamnya banyak memunculkan tokoh-tokoh perempuan dengan menampilkan sisi sensualitas mereka dan menganggap bahwa sensualitas adalah nilai jual yang tak terbantahkan di industri video game. Seperti game “DarkStalkers–Marvel VS Capcom”, yang menampilkan avatar seorang perempuan (Morrigan Aensland) dengan berpakaian sangat seksi dan cenderung seperti “memaksa” pandangan orang yang memainkan game tersebut terfokus pada gambar bagian-bagian sensitifnya, game “Tekken Series”, “Playboy The Mension”, dan game “Seven Sin” sendiri, yang akan diteliti peneliti pada penelitian ini. Game ber-gendre dewasa ini seolah-olah seperti memakai strategi perempuan sebagai ‘objek’ untuk menggikat hati para gamers. Dengan kata lain, cara pandang dunia ini seolah-olah selalu dilihat dari sisi kacamata laki-laki. Cara pandang inilah yang sudah berakar dan menghasilkan satu budaya yang sering disebut dengan budaya Patriarki. Budaya patriarki membuat sosok perempuan digambarkan seolah-olah seperti kaum yang selalu lemah, tidak memiliki hak yang sama dengan lelaki, terlahir sebagai objek pemuas kebutuhan laki-laki, termarjinalkan, gampang dieksploitasi, selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak hingga terkesan tidak dapat mandiri. Patriarki berarti kekuasaan laki-laki, dengan cara apa laki-laki menguasai perempuan, serta untuk menyebutkan sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui beragam macam cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan subordinatnya. Dapat disimpulkan bahwa, patriarki ini merupakan suatu sistem dominasi dari kaum laki-laki terhadap perempuan dan menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, serta segala kontrol dipegang oleh laki-laki (Sugihastuti, 2007:93). Budaya patriarki ini sudah sangat berakar sejak dahulu dalam benak masyarakat, terutama dari adat istiadat yang sangat kental dari setiap suku bangsa yang ada. Misalnya saja dalam budaya batak, sosok perempuan selalu dicap sebagai orang kedua dan tidak pernah menjadi pemeran utama. Bagi suku batak, jika tidak
Universitas Sumatera Utara
mempunyai keturunan laki-laki, dianggap dalam keluarga tersebut tidak ada penerus identitas keluarga atau yang sering disebut ‘marga’. Kaum laki-laki selalu diberi pendidikan yang setinggi-tingginya dimanapun, sedangkan perempuan hanya diberikan pendidikan seadanya dan cenderung tetap tinggal di rumah. Sama halnya dengan suku jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggitinggi, karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Apalagi dalam keluarga yang memiliki keuangan yang terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki (Narwoko, 2004:338). Budaya inilah yang terus mempengaruhi pola pikir masyarakat hingga dewasa ini. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai bidang yang pada akhirnya membuat perempuan menjadi kaum yang termarjinalkan dan menjadi second person. Hal ini dapat dilihat di dunia media massa. Hampir seluruh media massa hadir dengan realitas yang telah disusun oleh budaya patriarki, hingga mulai merambah dalam dunia game. Game yang berasal dari istilah bahasa Inggris yang berarti permainan ini, awalnya dianggap sebagai media hiburan, sekarang mulai dilirik menjadi sasaran empuk untuk mengkonstruksi simbol-simbol yang lain. Salah satunya mengkonstruksikan image seorang perempuan. Konstruksi yang mulanya telah terbentuk akibat ulah media massa, menjalar pada dunia game, yang tanpa sadar budaya patriarki pun ternyata ikut masuk di dalamnya. Game yang mulai tercium konstruksi didalamnya pada umumnya adalah game-game moderen. Game
moderen
pertama
sekali
ditemukan
oleh
Insinyur
Televisi
berkebangsaan Jerman, Ralph H. Baer. Ia menciptakan sebuah permainan di televisi pada tahun 1966, di perusahaan bernama Sanders. Mahakarya penemuannya ini kemudian dikembangkan hingga menjadi protoip konsol game pertama, yang diberi nama Brown Box. Game ciptaannya ini kemudian dipatenkan pada tahun 1968 melalui begitu banyak ujian dan hingga kini masih tercatat sebagai video game pertama sekali muncul di dunia. Ralph H.Baer melalui penemuannya ini mendapatkan penghargaan National Medal of Technology dari George Bush dan menandai dimulainya era industri Video Game. (http://waper.heck.in/ini-dia-penemu-games-pertama-kali.xhtml). Bermula dari game yang muncul di televisi yang ditemukan oleh Ralph H. Baer, game ini pun kian berkembang pesat, bermula dari menggunakan konsol yaitu:
Universitas Sumatera Utara
istilah yang digunakan untuk sebuah sistem mesin yang dirancang khusus untuk memainkan video game dengan disertai minimal dua stik game untuk memainkanya dan beberapa alat pendukung lainnya, contohnya yang populer saat ini seperti, Sony Playstation, Nintendo Wii, Microsoft X-BOX, dan Sega Dreamcast. Hingga menggunakan media Playstation atau bahkan berkembang melalui media komputer, baik menggunakan jaringan internet (online) maupun tidak menggunakan jaringan internet (off line). Game melalui media komputer (PC) ini mengalami perkembangan yang kian pesat. Para pengelola industri game berlomba-lomba untuk menciptakan game yang lebih nyata dan menarik untuk para pemainnya. Hal inilah yang membuat perkembangan game di komputer sangat pesat, sehingga game bukan hanya sekedar permainan untuk mengisi waktu luang, menghibur atau sekedar hobi, melainkan sebuah cara untuk meningkatkan kreatifitas dan tingkat intelektual para penggunanya. Beragam segmentasi game telah diluncurkan, mulai dari game yang bergendre permainan tak-tik, asah otak, tembak-tembakan, strategi, adventure, hingga game yang menyajikan tentang simulasi kehidupan (Life Simulation). Semuanya dikemas dengan sedemikian rupa, hingga membentuk suatu game yang seru untuk dimainkan. Game juga saat ini hadir dengan segmentasi usia, dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sayangnya, walaupun terbagi dalam segmentasi usia, tidak ada aturan yang ketat dalam menerapkan segmentasi tersebut ketika game siap diluncurkan ke masyarakat. Seperti game seven sin ini yang akan diteliti oleh peneliti. Didalam cover kaset game ini terdapat simbol yang menandakan 18 tahun keatas, yang berarti game ini hanya dapat dimainkan oleh orang dewasa berusia 18 tahun keatas. Tetapi faktanya dilapangan, ketika peneliti hendak membeli kaset game ini, kaset game ini diperjualbelikan dengan bebasnya, bahkan hal yang sangat miris ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sudah pernah memainkan game ini, ditemukan ada berusia 13 tahun, yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP), yang sudah pernah bermain game ini hingga selesai. Efek yang ditimbulkan game ini pasti berbeda dengan efek yang dirasakan orang dewasa berusia 18 tahun keatas dengan anak berusia 13 tahun. Proses pengolahan pikiran anak berusia 13 tahun belum sepenuhnya matang sehingga akan gampang menyerap konstruksi yang dibuat oleh media game ini. Ketika mereka
Universitas Sumatera Utara
memainkan game ini dengan frekuensi yang terlalu banyak, terpaan media akan semakin kuat untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Kemungkinan besar mereka akan menganggap dan menilai perempuan sesuai dengan apa yang disajikan game ini, apalagi bagi anak berusia dibawah 13 tahun. Tubuh perempuan dan sisi sensualitasnya akan menjadi topik yang paling menarik dan akan membentuk suatu ideologi kekuasaan laki-laki terhadap tubuh tersebut, seperti apa yang ditampikan dalam game ini. Hal yang paling membahayakan, bisa saja pola pikir seperti ini akan mereka bawa kedalam dunia nyata dan eksploitasi terhadap perempuan menjadi sebuah adat-istiadat yang biasa dilakukan. Stereotip perempuan tidak hanya dirasakan dalam dunia game. Sebelumnya, stereotip tersebut telah berkembang dalam dunia media massa. Dalam hal bisa dilihat bagaimana media massa, menyajikan tayangan Sinetron, film, bahkan berita-berita yang ditayangkan di televisi, menggambarkan sosok perempuan yang berperan menjadi ibu-ibu yang jahat, perempuan penggoda, hingga perempuan berpakaian minim (Daulay, 2007:55). Tidak hanya itu saja, perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional, irrasional dalam berpikir, tidak bisa tampil sebagai pemimpin atau sebagai pengambil keputusan, selalu berteman dengan air mata, dianggap lemah, hanya pintar dalam bersolek, bahkan mirisnya cenderung menampilkan sisi sensualitas dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting serta tidak strategis (second person) (Narwoko, 2004: 342). Dalam pemberitaan di media massa juga, misalnya dalam tayangan berita kriminal kasus pemerkosaan, bagaimana media terlalu banyak menggali bagaimana perempuan
diperkosa,
perempuan
digambarkan
menderita
sebagai
korban
pemerkosaan, dan segala kesedihannya. Seharusnya, fokus media bukanlah pada eksploitasi perempuan sebagai korban perkosaan, tetapi bagaimana menanggulangi hal tersebut. Para perempuan yang menyaksikan tayangan tersebut menjadi paranoid dan ketakutan tanpa tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Di sadari atau tidak image perempuan memang tengah berada dalam sebuah situasi yang seolah-olah dianggap sebagai suatu realitas yang sesungguhnya terjadi dan nyata dalam dunia ini. Kondisi dunia sudah terkonstruksi secara halus dengan budaya patriarki dan semakin berakar kian hari. Segala aspek kehidupan tidak akan terlepas dari keberadaan lakilaki dan semua tentangnya, sehingga perempuan sebagai kaum yang termarginalkan,
Universitas Sumatera Utara
rentan terhadap kekerasaan mental maupun seksual, stereotip, ketidaksetaraan gender, bahkan menjadikannya komoditas penjualan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Perempuan selalu harus berusaha keluar dari nilai-nilai patriarki yang sangat mengikat dan membuat perempuan harus ekstra kerja keras untuk mendapatkan posisi sebagai ‘mitra’ dengan laki-laki (Daulay, 2007:5). Game seven sin adalah salah satu game yang sangat dominan menampilkan karakter perempuan dengan sisi sensualitasnya, hingga membuat game ini dengan mudah menciptakan konstruksi terhadap makna sensualitas perempuan. Jika dilihat situasi yang ada dalam game ini mungkin saja budaya patriarki akan semakin melekat pada perempuan dan menjadikannya terus-menerus sebagai ‘objek’ pemuas kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat dan menganalisis, bagaimana game seven sin ini merepresentasikan ataupun menggambarkan sensualitas perempuan dalam setiap adegannya. Peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk mengetahui makna penanda, petanda yang merepresentasikan sensualitas perempuan dalam game seven sin.
I.2 Fokus Masalah Berdasarkan konteks masalah diatas, maka peneliti memfokuskan masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana sensualitas perempuan direpresentasikan dalam game seven sin? I.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk
melihat
tanda-tanda
semiotika
yang
digunakan
guna
merepresentasikan sensualitas perempuan dalam game seven sin. 2. Untuk mengetahui bagaimana cara developer game seven sin dalam menggambarkan sisi sensualitas perempuan dalam game seven sin melalui analisis semiotika.
Universitas Sumatera Utara
I.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas khasanah penelitian Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan dapat dijadikan bahan referensi oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah pengetahuan dan dapat memperluas wawasan penulis mengenai ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis semiotika didalam game. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini dan menjadi rujukan dalam memaknai sosok seorang perempuan.
Universitas Sumatera Utara