BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Menjamurnya pengemis di kota-kota besar nampaknya sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak dapat terelakkan. Pengemis adalah orangorang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pengemis adalah orang yang meminta-minta, meminta dengan merendah- rendah dan dengan penuh harapan. Pekerjaan ini bersifat rutin dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Keberadaan pengemis memang telah menjadi masalah umum yang dihadapi oleh banyak kota, tidak terkecuali kota Medan. Pada dasarnya masalah keberadaan pengemis merupakan sebuah permasalahan yang cukup dilematis, sehingga berbagai pandangan lahir untuk melihat permasalahanini. Pandangan subjektif berasumsi bahwa, pengemis merupakan manusia tertindas, manusia yang dikasihani, manusia kalah dan sebagainya. Sedangkan pandangan objektif melihat pengemis sebagai korban kehidupan,kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial (Mulyana, 2003 : 87). Seperti saat ini, sudah tidak jarang lagi pengemis dapat ditemui di berbagai tempat. Kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir jalan, di sekitar gedung perbelanjaan,di kawasan tempat makan, kampus, dan banyak tempat-tempat lainyang seringkali di jadikan tempat beroperasi. Banyak dari sebagian orang merasa terganggu dengan keberadaan mereka. Seperti pengendara motor maupun mobil setiap berhenti saat lampu merah pasti langsung disodori tangan menengadah. Begitu pula saat makan di lesehan, di warung makan, atau saat berkunjung ke tempat wisata. Menurut Peraturan Daerah Kota Meda Nomor 6 Tahun 2003 tentang larangan gelandangan dan pengemis serta praktek asusila di kota Medan. Bahwa salah satu
Universitas Sumatera Utara
upaya Pemerintah Kota Medan mewujudkantercapainya Kota Medan menjadi Kota Bestari, perlumeningkatkan pelaksanaan penanggulangan gelandangan danpengemis serta praktek tuna susila secara terpadu di Kota Medan. Meskipun ada peraturan daerah tersebut tetapi sampai saat ini masih banyak pengemis beroperasi di kota Medan. Menurut Dinas Sosial (Dinsos) Sumatera Utara jumlah pengemis berjumlah 1.701 orang, ada yang dewasa dan ada pula anak-anak. Mereka semuanya tersebar di 33 kabupaten/kota. Jumlah terbesar terdapat di Medan. Tidak hanya mereka yang benar-benar tidak mampu mencari pekerjaan karena ketidak mampuan fisik dan mental, mereka yang memiliki fisik dan mental yang normal juga melakukan pekerjaan sebagai pengemis. Tidak ada pekerjaan lain, tidak
memiliki
modal
untuk
membuka
usaha,
dan
tidak
memiliki
pendidikan/keterampilan yang membuat mereka memilih untuk mengemis. Tidak hanya orang tua yang menjadi pengemis, bahkan anak-anak dan lansia pun banyak untuk meminta uang pada warga-warga kota. Bermodal muka melas dan pakaian lusuh, selanjutnya mereka menjalankan aksi dengan berbagai cara. Ada yang sengaja membawa anaknya saat mengemis, ada yang berpura-pura cacat, membaca ayat-ayat al-quran dan lain sebagainya karena hal-hal tersebut dianggap akan meningkatkan rasa empati. Mereka yang mengemis/meminta-minta biasanya menggunakan mangkuk, kotak kecil, topi atau benda lainnya yang dapat dimasukan uang dan kadang-kadang menggunakan pesan seperti, "Tolong, aku belum makan" atau "Assalamualaikum pak, buk”sambil menengadahkan tangannya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk megemban profesi sebagai pengemis, yaitu 1. Faktor Ekonomi Keadaan ekonomi yang kurang dari kata cukup bahkan minus dihadapkan dengan biaya hidup yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga membuat seseorang berpikir untuk mengambil jalan pintas dalam menghasilkan uang. 2. Faktor Pendidikan
Universitas Sumatera Utara
Kekayaan akan pengetahuan menjadi faktor penting dalam persaingan global. Kebanyakan pengemis berpendidikan rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam masyarakat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan rendah serta hanya ingin berpikir secara simple membuatnya terhindar dari kata usaha dan mengambil jalan mudah untuk menghasilkan uang, yaitu dengan cara mengemis. 3. Faktor Ketergantungan Ketergantungan, hal ini murni berasal dari individu masing-masing dimana sifat malas mendominasi dalam pribadinya sehingga ia hanya mampu bergantung pada orang lain. Serta faktor ingkungan ditambah menjadi penyebab kuat yang menginspirasi seseorang memutuskan untuk menjadi pengemis.
Dalam menjalankan aktivitasnya ada sebagian pengemis yang memanfaatkan keterbatasan fisik yang sesungguhnya. Namun, tidak jarang pula pengemis yang dengan sengaja menciptakan kesan-kesan sebagai seorang pengemis. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa pengemis yang masih kuat, tegap dan tidak memiliki keterbatasan fisik yang melakukan aktivitas pengemisan. Menurut peneliti, pengemis yang tidak memiliki keterbatasan fisik ini mestinya masih mampu untuk melakukan pekerjaan lain yang lebih baik dan tidak dengan melakukan aktivitas pengemisan. Banyak pemeberitaan mengenai pengemis kaya, dengan profesi sebagai pengemis meraka dapat meraup uang berjuta-juta serta memiliki mobil mewah. Banyak modus yang dilakukan para pengemis saat ini agar mendapat kan empati dari orang-orang. Modus para pengemis ini juga bermacam-macam. Mereka kerap membuat bekas luka palsu atau mendramatisir luka lama. Ada pengemis yang berpura-pura hamil, atau mengikat tangan di belakang dan pura-pura bertangan buntung. Banyak cara yang dilakukan pemgemis dalam pembentukan kesan mereka dihadapan orang-orang. Dalam studi ilmu komunikasi, pembentukan kesan ini dikenal dengan istilah impression management. Pengelolaan kesan atau impression management diperkenalkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959. Goffman berpendapat
Universitas Sumatera Utara
bahwa impression management atau pengelolaan kesan merupakan upaya presentasi diri yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyana, 2003: 112) Berbicara tentang pengelolaan kesan atau impression management, tentu tidak terlepas dari kajian dramaturgi. Pendekatan dramaturgi Erving Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Dalam kajian dramaturgi, kehidupan diibaratkan sebagai pertunjukan drama. Setiap individu merupakan aktor dalam kehidupan. Kajian dramaturgi berintikan bahwa setiap aktor berperilaku bergantung pada peran sosialnya dalam situasi tertentu (Mulyana, 2003 :109)
Pendekatan dramaturgi membagi dua wilayah, yaitu wilayah panggung depan (front stage) dan wilayah panggung belakang (back stage). Panggung depan (front stage) meliputi front pribadi (personal front) dan setting. Front pribadi (personal front) mencakup bahasa tubuh (nonverbal) sang aktor, misalnya nada suara, gerakan tubuh, pakaian, ekspresi wajah dan lain-lain. Setting merupakan situasi fisik yang harus ada ketika aktor melakukan pertunjukan. Sedangkan panggung belakang (back stage) merupakan wilayah yang merujuk kepada tempat sang aktor untuk mempersiapkan perannya di wilayah depan. Panggung belakang (back stage) juga merupakan tempat dimana individu memperlihatkan gambaran sesungguhnya dari dirinya (Mulyana, 2003: 114). Konsep pengelolaan kesan atau impression management Goffman lebih menekankan proses komunikasi nonverbal, dengan menggunakan bahasa-bahasa nonverbal seperti pakaian, gerakan tubuh, ekspresi wajah dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti atas perilaku pengemis, maka komunikasi verbal juga menjadi bagian penting dalam pengelolaan kesan yang dilakukannya. Artinya, bagaimana komunikasi verbal yang dilakukan oleh pengemis dihadapan orang lain dalam setiap interaksi yang berbeda. Berlatar dari proses komunikasi yang di lakukan pengemis tersebut, penelitian ini sesungguhnya bertujuan untuk melihat bagaimana pengelolaaan kesan
Universitas Sumatera Utara
(impression management) yang dilakukan oleh pengemis dalam berdramaturgi dalam hidup mereka. Dalam penelitian ini peneliti akan melihat dramaturgi melalui pengelolaan kesan (impression management) yang dibentuk pengemis saat berada di kehidupan panggung depan yakni saat berinteraksi dengan target yang di tunjukkannya melalui bahasa verbal dan nonverbal. Selain itu penelitian ini juga akan mendeskripsikan bagaimana persiapan atau gambaran sesungguhnya pengemis tersebut saat berada di kehidupan panggung belakang yakni saat berada di luar aktivitas mengemis.
1.2 Fokus Masalah Berdasarkan pemaparan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah : “ Bagaimana impression management Pengemis di Kota Medan “. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menggambarkan symbol verbal dan nonverbal pengemis di kota Medan. 2. Untuk menggambarkan Impression Management Pengemis yang berada di kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian Adapu manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Akademis Penelitian ini dapat memberikan dampak positif dan menambah pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta dapat di jadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu komunikasi. 2. Secara Teoritis Penelitian ini dapat memberi kontribusi di bidang ilmu komunikasi yang berkaitan dengan Studi Dramaturgi dan Impression Management.
Universitas Sumatera Utara
3. Secara Praktis Penelitian ini menerapkan lmu yang diterima peneliti -peneliti selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi sekaligus memberikan masukan kepada siapa saja yang tertarik terhadap meneliti fenomena sosial yang ada di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara