BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 merupakan salah satu undang-undang yang paling unik dalam sejarah Indonesia. Dilatarbelakangi dengan semangat reformasi, undangundang ini sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur dalam masalah pengelolaan kemerdekaan pers. Inilah satu-satunya undang-undang yang tidak memberikan peluang munculnya “peraturan pemerintah” sebagai jabatan pelaksana undangundang. Padahal hampir seluruh undang-undang untuk pelaksanaannya diatur oleh peraturan pemerintah. Perasaan traumatik masyarakat pers yang begitu mendalam dan panjang terhadap kooptasi, intervensi dan bahkan pemasungan oleh pemerintah kepada pers sebelumnya, membuat para perancang undang-undang ini tegas memilih “politik hukum” sekurangkurangnya lima:
(1) Pemerintah tidak boleh turut campur tangan sama sekali dalam pengelolaan kemerdekaan pers. Oleh karena itu, pintu pemerintah untuk membuat peraturanperaturan pelaksanaan di bidang pers ditutup rapat-rapat. (2) Kemerdekaan pers merupakan hak-hak asasi warga negara yang harus dilindungi dan karena itu tidak boleh diatur dengan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan “roh” kemerdekaan pers. Untuk itu tidak lagi diperlukan izin khusus dalam mendirikan perusahaan pers. (3) Diterapkan ketentuan “Self regulation” atau mengatur diri sendiri. Kepada masyarakat pers diberikan kewenangan untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan kebutuhan. Dengan difasilitasi oleh Dewan Pers, masyarakat pers dapat membuat peraturanperaturan di bidang pers. (4) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi mahkota dalam profesi wartawan, sehingga wajib memiliki dan tunduk kepada KEJ. (5) Undang-undang pers merupakan lex primaat atau lex priviil atau undang-undang yang diutamakan dalam bidang pers, sepanjang telah diatur atau ada dalam mekanisme di dalam undang-undang pers (Sukardi, 2012:3-4).
Di sisi lain kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi yang berguna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan hal tersebut, wartawan Indonesia sadar benar akan adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, serta normanorma agama yang berlaku. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban serta peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Maka, untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme (http://www.pwi.or.id/index.php/uu-kej). Salah satunya ada dalam pasal 11 Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar KEJ, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan nama baiknya kepada pers yang mempublikasikannya. Kemerdekaan pers ini penting adanya, sebab kemerdekaan pers bukan milik ekslusif pers. Kemerdekaan pers adalah milik seluruh masyarakat. Oleh karena itu, kemerdekaan pers harus pula dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum, bukan semata-mata untuk kepentingan sempit pers saja. Setelah pers diberikan amanah untuk menjalankan kemerdekaan pers, untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan kemerdekaan pers, maka perlu ada pengawasan sekaligus mekanisme memperbaiki kemungkinan kekeliruan dari karya jurnalistik. Hak jawab memungkinkan masyarakat segera memperbaiki kekeliruan pemberitaan sehingga selain pihak yang dirugikan dapat membetulkan kesalahan yang ada, masyarakat juga memperoleh infomasi yang benar dan akurat (Sukardi, 2012: 156). Sedangkan Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain. Perbedaan hak jawab dengan hak koreksi terletak pada wewenang pihak yang melakukannya. Hak jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja yang menyangkut informasi apapun yang nilai salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis (Sukardi, 2012: 167).
Dalam Sukardi (2012: 168) mengatakan kewajiban koreksi ini merupakan salah satu bukti bahwa pers menganut prinsip moralitas, yaitu kalau membuat kekeliruan atau kesalahan, walaupun tidak ada yang minta atau menuntut, pers memiliki kewajiban untuk memperbaikinya, melakukan koreksi, atau ralat, dan jika diperlukan disertai permintaan maaf. Kewajiban koreksi ini sekaligus juga menunjukan dalam pers kepentingan publik menempatkan kedudukan utama. Berita yang keliru atau tidak akurat jelas menyebabkan publik tidak memperoleh informasi yang tepat dan itu artinya publik telah dirugikan. Terdapat kelemahan dalam pengaturan hak koreksi serta kewajibannya dalam UU No 40 tahun 1999, yakni tidak memiliki sanksi hukum. Artinya apabila pers melanggar atau tidak mematuhi hak koreksi dan kewajiban koreksi, tidak dikenakan sanksi hukum apapun. Inilah yang biasanya di dalam hukum disebut bersifat deklaratif. Maksudnya, suatu masalah diatur dalam hukum tetapi apabila tidak dipatuhi atau dilanggar, pers tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini berbeda dengan hak jawab yang memiliki sanksi hukum sesuai dengan pasal 18 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers yang tidak melayani hak jawab selain dapat diancam sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Bila dilihat dari segi etika, pelanggaran hak jawab dapat diberi sanksi mulai dari kewajiban mengumumkan pelanggaran hak jawab, permintaan maaf, sampai dinyatakan ada itikad buruk yang dapat dikategorikan sebagai pidana umum (Sukardi, 2012:164). Sukardi (2012: 155) mengatakan dalam UU Pers, sebenarnya hak jawab hanya diatur secara singkat, yakni pasal 5 ayat 2 UU Pers, yaitu berbunyi, “Pers wajib melayani hak jawab”. Bagaimana kewajiban pers “melayani” hak jawab sama sekali tidak diatur. Begitu pula hak jawab seperti apa yang harus “dilayani” juga tidak diatur. Hak jawab ini sendiri memiliki berapa fungsi, yaitu memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat, menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers, mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers, dan bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers. Di samping itu, hak jawab memiliki tujuan yaitu memenuhi pemberitaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang, melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat, menyelesaikan sengketa pemberitaan pers, serta mewujudkan itikad baik dari pers (Sukardi, 2012:157). Adakalanya hak jawab dilaksanakan secara proporsional, maksudnya antara tingkat kekeliruan berita dan cara memperbaiki kekeliruan berita tersebut haruslah proporsional (Sukardi, 2012:159). Dalam hal ini, proporsional berarti:
a. Hak jawab dilaksanakan pada bagian per bagian atau secara keseluruhan dari kekeliruan atau ketidakakuratan informasi yang dipermasalahkan; b. Hak jawab dilaksanakan pada tempat atau program yang sama dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dimasalahkan, kecuali disepakati lain oleh para pihak. Artinya secara umum, pada media cetak hak jawab harus diletakkan pada halaman yang sama dengan berita yang diduga mengandung ketidaktepatan atau ketidakakuratan; c. Tetapi hal ini tidaklah berlaku mutlak. Dengan persetujuan para pihak, hak jawab dapat ditempatkan dimana saja sesuai dengan kesepakatan; d. Hak jawab dengan persetujuan para pihak formatnya dapat dilakukan dalam bentuk apapun, kecuali dalam bentuk iklan. Hak jawab dapat dilakukan bentuk ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan dan komentar media siber atau format lain; e. Hak jawab dilaksanakan dalam waktu secepatnya, yakni pada kesempatan pertama sesuai sifat pers yang bersangkutan; f. Untuk pers cetak wajib pada edisi berikutnya atau selambat-lambatnya pada dua edisi berikutnya sejak hak jawab diterima redaksi; g. Hak jawab dilakukan satu kali untuk setiap pemberitaan media yang dipermasalahkan; h. Hak jawab disertai permintaan maaf dalam hal terdapat kekeliruan atau ketidakakuratan fakta yang bersifat menghakimi, fitnah atau bohong.
Dalam banyak kasus, pemuatan hak jawab yang berupa koreksi, bantahan, atau informasi tambahan acapkali hanya mendapat porsi kolom yang amat kecil, dia diletakkan di pojok halaman. Padahal, pemberitaan yang dipermasalahkan mungkin menggunakan banyak kolom dan letaknya pun menonjol di halaman muka. Akibatnya, timbul kesan pemuatan hak jawab hanyalah sekadar asal muat untuk pemenuhan kewajiban, bukan usaha pelurusan berita yang memperhitungkan imbang tidaknya pemuatan tersebut. Sedangkan pada pers pemuatan hak jawab juga mengandung suatu persoalan, bahkan mungkin merupakan suatu beban. Tidak sedikit sumber berita yang tiba-tiba mencabut pernyataannya, mengganggap pers salah kutip atau keliru menginterprestasi. Melalui pemuatan hak jawab, pers acapkali menjadi “kambing hitam” untuk menutupi pernyataan yang terlanjur diucapkan. Padahal, pemuatan hak jawab yang terlalu banyak juga mempunyai
implikasi terhadap rendahnya kredibilitas pers yang bersangkutan (Cahyana dan Suyanto: 1996:98). Selain itu, jika hak jawab dan hak koreksi adalah inisiatif hak pembaca untuk meminta redaksi melakukan “perbaikan atas sebuah pemberitaan yang merugikan nama baiknya”, maka UU Pers juga meminta dan bahkan memaksa redaksi untuk jujur dan satria melakukan kewajiban koreksi, yaitu keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Kewajiban koreksi ini dilakukan atas inisiatif redaksi sendiri ketika ia menemukan kesalahan atas sebuah pemberitaan atau atas sebuah informasi yang disampaikannya meskipun tidak ada pembaca yang melakukan sanggahan atau tanggapan. Itulah sebabnya dikatakan bahwa melakukan kewajiban koreksi oleh redaksi membutuhkan kejujuran yang berhati nurani. Dengan demikian cukup terang dan jelas bahwa UU Pers menyediakan mekanisme penyelesaian permasalahan pemberitaan pers yang timbul akibat wartawan melakukan kegiatan jurnalistik dengan mekanisme jurnalistik pula yaitu hak jawab, hak koreksi dan kewajiban koreksi kecuali pemberitaan peristiwa dan opini yang melanggar norma-norma agama, yang melanggar rasa kesusilaan masyarakat, serta yang melanggar asas praduga tak bersalah sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Pers (IP Pandjaitan, 2004: 28-29). Sesuai dengan pernyataan di atas. Hak jawab dan hak koreksi menjadi tanggung jawab pihak yang memuat dan menyiarkannya. Tegasnya, tanggung jawab pada redaksinya. Pertimbangannya, penentuan terakhir bisa atau tidak sebuah hak jawab dilayani berada di tangan pers (Sukardi, 2012:161-162). Untuk itu, dalam melayani hak jawab, pers diberikan dua benteng utama, pertama pers dapat menyunting hak jawab sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik, sehingga hak jawab dapat ditampilkan sesuai dengan bidang jurnalistik. Kedua, jika hak jawab memenuhi syarat-syarat pengecualian, pers boleh menolak melayani hak jawab. Oleh karena itu tanggung jawab penggunaan hak jawab tetap berada pada redaksi. Untuk itu, terdapat empat hal yang menjadi dasar pers dapat menolak hak jawab, yaitu hak jawab yang diajukan bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum, hak jawab memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan, hak jawab yang diajukan dapat menimbulkan pelanggaran hukum, hak jawab yang diajukan panjang/durasi/jumlah karakternya melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan. Selain itu, hak jawab mempunyai batas waktu atau kadaluarsa, dimana hak jawab berlaku dua bulan sejak pemberitaan yang merugikan dipublikasikan (Sukardi, 2012: 160).
Dengan filosofis pengaturan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers dengan menggunakan hak jawab, hak koreksi atau kewajiban koreksi, UU Pers mendisainnya dengan baik. UU Pers secara sadar memberikan lima mandat penuh kepada pers agar melakukan lima peran sekaligus yang cukup berat tetapi mulia, yaitu pertama memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, kedua menegakkan nilai-nilai dasar demokratisasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan, ketiga mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, keempat melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan kelima memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Lebih dari itu, pers harus selalu setia menjaga profesinya dengan tetap menjalankan tiga kewajiban utamanya. Pertama, wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya, dalam menyiarkan informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Kedua, pers wajib melayani hak jawab. Ketiga, pers wajib melayani hak koreksi. Selain itu, pers harus jujur melakukan kewajiban koreksi. Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang maha berat itu, sekaligus maha dasyat itu, maka UU Pers menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan kontrol terhadap pers. Sebab, jika tidak dilakukan kontrol maka pers itu dengan sangat leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang cenderung disalahgunakan. Karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol dari masyarakat, termasuk kontrol dari hati nurani wartawan itu sendiri. UU Pers mensyaratkan 2 conditio sine quad non bagi kehidupan dan kinerja pers yang bermartabat dan tidak anarkis, yaitu: pers yang profesional dan pers yang terbuka dikontrol oleh masyarakat, soal profesionalisme adalah soal yang harus terus menerus ditumbuh kembangkan oleh insan pers dengan meningkatkan pengetahuannya dan kejujuran serta kesatriaannya untuk senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistik. Sedangkan soal terbuka dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan kesatrian pers mengakui kesalahan untuk terbuka disanggah, ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas pemberitaannya, yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya. Dua kondisi ini bermuara pada pemahaman pers yang profesional bukanlah pers yang tidak pernah salah. Pers yang profesional adalah pers yang jujur mengakui kesalahan. Tiga cara mengontrol kinerja pers di atas merupakan mekanisme penyelesaian permasalahan
akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh UU pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi secara langsung ke redaksi. Dalam tataran ini, persoalan dapat muncul, ketika “tingkat kepercayaan pembaca” atas penghormatan pada hak jawab dan atau hak koreksi mendapatkan tempat yang tak pantas, tak proporsional dan tak menjawab rasa keadilan si pembaca. Acapkali hak jawab dan hak koreksi “diperlakukan” secara tidak satria oleh redaksi baik penempatannya yang tak layak dan tak patut, maupun isi hak jawab dan atau hak koreksi sudah diplintir (IP Pandjaitan, 2004: 49-53). IP Pandjaitan (2004: 55) mengatakan undang-undang pers menjamin dengan tegas keharusan bagi perusahaan pers untuk mekakukan pelayanan hak jawab dengan merumuskannya menjadi norma hukum positif. Artinya hak jawab yang selama ini dipahami sebagai bagian dari etika jurnalistik, oleh pembuat undang-undang dinaikkan menjadi norma hukum positif. Harian Tribun Medan merupakan media massa yang cukup muda di Medan. Ia berdiri sejak 27 September 2010, dengan misi yaitu menjadi penerbit surat kabar dan media online terbesar di Sumatera Utara melalui penyediaan informasi yang terpercaya untuk memberikan spirit baru dan mendorong terciptanya demokratisasi di daerah dengan menjalankan bisnis yang beretika, efisien dan menguntungkan. Selain surat kabar yang terbit harian, Tribun Medan juga mempunyai media online yaitu TRIBUN-MEDAN.com yang mencakup berita online liputan aktual seputar Medan, Lubuk pakam, Pematangsiantar, Binjai, Nasional dan Internasional(https://www.facebook.com/pages/tribunmedancom/101746656537875?sk=info &tab=page_info). Alasan peneliti menjadikan Harian Tribun Medan sebagai subjek penelitian yaitu karena Harian Tribun Medan merupakan Silver Winner The Best Of Sumatera Regional Newspaper IPMA 2011dan Silver Winner The Best Of Sumatera Newspaper IPMA 2012 dan salah satu media cetak bagian dari Harian Kompas yang berada dibawah naungan Kompas Gramedia, hanya saja Tribun bergerak dalam lingkup lokal. Harian Tribun bukan hanya ada di Medan, namun juga ada di 28 kota di Indonesia (www.tribunnews.com/about). Hal inilah yang membuat peneliti tertarik. Mendapat dua penghargaan berturut-turut sebagai Silver Winner The Best Of Sumatera Newspaper pastilah bukan sesuatu yang kebetulan, salah satu faktornya adalah kredibilitas yang disandangHarian Tribun Medan. Namun, tentu mendapatkan kredibilitas tersebut tidak mungkin didapat apabila Harian Tribun Medan tidak melaksanakan kaidah-kaidah dalam KEJ dengan baik terutama terkait pada hak jawab dan hak koreksi.
1.2 Fokus Masalah Berdasarkan pemaparan konteks masalah yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Pemaknaan Kode Etik Jurnalistik tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi dalam Perspektif Fenomenologi di Harian Tribun Medan”.
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah 1. Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah Harian Tribun Medan memiliki kesadaran akan pentingnya hak jawab dan hak koreksi 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuibagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan mengkonstruksi hak jawab dan hak koreksi sebagai kebebasan pers dan hak masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun Manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya dalam mengetahui pemaknaan Kode Etik Jurnalistik di Media Massa. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah penelitian tentang dunia pers di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU 3. Sebagai bahan masukan dan sumber bacaan bagi kawan-kawan mahasiswa Ilmu Komunikasi lainnya, terutama yang menjurus kepada bidang jurnalisme. 4. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada media massa yang ada di Medan akan pentingnya menerapkan Kode Etik Jurnalistik.