BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Kawasan Danau Toba mencakup daerah tangkapan air dan perairan. Luas perairannya yaitu 1.130 Km2 dengan kedalaman maksimal 529 meter. Total luas daerah tangkapan air lebih kurang 4.311.58 Km2. Danau yang terletak di Sumatera Utara ini merupakan danau vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia tenggara (http://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Toba). Kawasan Danau Toba memiliki potensi yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan kawasan Danau Toba diantaranya adalah sebagai cadangan air minum, objek wisata, pembangkit listrik tenaga air, transportasi, serta budidaya pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan . Beragam pemanfaatan dan kegiatan yang terjadi di kawasan Danau Toba ternyata berpengaruh terhadap kelestariannya.
Permasalahan utama yang
dihadapi ekosistem Danau Toba kini adalah penurunan kualitas air sebagai akibat dari pembuangan limbah
ke dalam danau yang menimbulkan pencemaran
seperti limbah perikanan, perhotelan, pertanian, peternakan dan minyak yang berasal dari transportasi air.
Selain itu pengerusakan hutan sekitar danau berupa
penebangan pohon menyebabkan fluktuasi air yang mengalir ke danau meningkat yang mengakibatkan erosi dan peningkatan sendimentasi. Dampak dari sejumlah pemanfaaatan ini adalah kondisi Danau Toba yang kian kritis. Hal ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan eceng gondok di sekeliling danau. Pertumbuhan eceng gondok dipicu oleh kandungan fosfor yang tinggi dalam air. Bahkan kadar total fosfor pada tahun 2012 mencapai 0,11 milligram/liter. Padahal sesuai aturan kesehatan kadar fosfor tidak boleh melebihi 0,01 milligram perliter ( Kompas, 12 November 2013). Selain itu kerusakan vegetasi hutan di wilayah daerah tangkapan air selama bertahun-tahun kini mengancam kelestarian Danau Toba. Badan Lingkungan Hidup Sumut memperkirakan, hingga tahun 2010, sisa vegetasi hutan tinggal 12
Universitas Sumatera Utara
persen dari total sekitar 356.800 ha areal hutan di kawasan Danau Toba. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan lingkungan. Salah satu di antaranya menyebabkan pasokan air terganggu. Hutan tak lagi bisa menyerap maupun menyimpan air sehingga ratusan sungai di kawasan itu sering kali banjir jika hujan dan sawah kekeringan jika kemarau, padahal sebelumnya tak pernah terjadi. Karena pengerusakan kawasan danau yang terjadi terus menerus, hal ini mengundang aksi dari para pejuang lingkungan Sumatera Utara. Mereka mengembalikan berbagai penghargaan lingkungan yang mereka terima pada 3 september 2013 lalu. Mereka adalah Marandus Sirait (peraih Kalpataru 2005), Hasoloan Manik (peraih Kalpataru 2010) dan Wilmar Eliaser Simanjorang (peraih Danau Toba Award). Adapun alasan pengembalian karena kerusakan yang terus terjadi dan ketidakpedulian pemerintah terhadap kasus ini. Pemerintah kemudian menanggapi tindakan ini dengan melakukan rapat bersama komisi VII DPR RI, Kementrian Lingkungan Hidup dan sejumlah aktivis lingkungan Danau Toba pada 2 Oktober 2013 lalu di Jakarta. Rapat yang berlangsung dari pukul 14.00-19.00 WIB ini diketuai oleh Soetan Batoegana sebagai Ketua Umum Komisi VII DPR RI. Ada tiga hal yang menjadi agenda acara dalam sidang tersebut, yaitu pelaksanaan fungsi pengawasan dalam pengerusakan lingkungan akibat penebangan pohon di hutan alam Tele Kabupaten Toba Samosir, pencemaran air danau oleh PT Aqua Farm Nusantara, dan
permasalahan
pelestarian
lingkungan
lain
(https://www.dpr.go.id/complorgans/commission/commission7/visit/K7_kunjungan_Kun jungan_Kerja_Komisi_VII_DPPR_RI_ke_Provinsi_Sumatra_Utara.pdf. ).
Dari sidang yang bersifat terbuka tersebut maka diperoleh empat kesimpulan sebagai berikut: 1. Komisi VII DPR RI dan Kementrian Lingkungan Hidup RI menyetujui perlunya pelaksanaan hukum lingkungan terhadap PT. Gorga Duma Sari (PT. GDS), PT Aqua Farm dan PT. Allegrindo Nusantara dengan memperhatikan kondisi kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba.
Universitas Sumatera Utara
2. Komisi VII DPR RI dan Kementrian Hidup RI, mendesak pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kabupaten Samosir, Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, kabupaten Dairi untuk menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gorga Duma Sari (PT. GDS), PT Aqua Farm dan PT Allegrindo. 3. Komisi VII DPR RI meminta kepada Kementrian Lingkungan Hidup RI untuk segera melakukan audit lingkungan kepada PT Gorga Dumasari (PT GDS), PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara di kawasan Danau Toba secara menyeluruh. 4. Komisi VII DPR RI meminta kepada kementrian lingkungan Hidup RI untuk membuat gerakan nasional penyelamatan Danau Toba. Dari kesimpulan tersebut terlihat tiga perusahaan tersangka utama yang disebut sebagai penyebab pengerusakan lingkungan dan pencemaran danau yaitu PT Gorga Duma Sari, PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara. Di awal 2012, Pemkab Samosir memberi izin prinsip penanaman Modal kepada PT Gorga Duma Sari (GDS) untuk usaha perkebunan dan peternakan. PT GDS ini milik Jhoni Sihotang, salah satu unsur pimpinan DPRD Kabupaten Samosir. Kemudian pada 12 Mei 2012, Bupati Samosir memberikan izin lokasi seluas 800 Ha di kawasan hutan Tele. Berdasarkan izin lokasi inilah Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir atas rekomendasi Dinas Kehutanan Provinsi mengeluarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada 16 Januari 2013 lalu, yang menjadi dasar bagi PT Gorga Duma Sari membabat hutan alam Tele secara terus menerus ( http://www.ksppm.org/hutantele1 ). Sementara fungsi hutan Alam Tele sangat vital karena merupakan hulu sungai yang mengalir ke daerah Sianjur Mula-Mula. Sianjur Mula-Mula, yang dipercaya sebagai asal muasal orang Batak, merupakan salah satu daerah penghasil beras di Samosir. Sungai-sungai inilah yang menjadi sumber irigasi persawahan mereka. Aktivitas penebangan pohon yang dilakukan PT Gorga Duma Sari mendapat kritikan, sorotan dan perlawananan dari berbagai pihak. Karena aktivitas
Universitas Sumatera Utara
perusahaan ini bermasalah dilihat dari segi status hutan dan kepemilikan tanah, aspek lingkungan dan aspek ekonomi
dan status hukum. Perusahaan yang
dalam izin prinsip dan izin lokasinya adalah untuk usaha perkebunan, pertanian dan peternakan tersebut beroperasi tanpa ada hak guna usaha (HGU). Melakukan penebangan dan pengakutan kayu dari lokasi tersebut hanya berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Kayu (IPK), padahal catatan penting dalam izin-izin sebelumnya adalah perusahaan ini secara prinsip diizinkan beroperasi untuk usaha perkebunan, pertanian dan peternakan. Sementara itu PT Aqua Farm berstatus perusahaan milik asing (PMA). Perusahaan ini dimiliki oleh Swiss yang telah beroperasi sejak tahun 1992 di Klaten, Jawa Tengah. Pada 1998, Aquafarm melebarkan sayap usahanya ke Sumatera Utara, dengan memilih Danau Toba sebagai pusat kegiatan pembesaran ikan yang dilakukan di lima lokasi terpisah di tiga kabupaten (Kabupaten Simalungun, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Toba Samosir). Total luas danau yang dipakai untuk menampung kurang lebih 484 petak keramba jaring apung (KJA) adalah 9 ha. Kegiatan pembenihan ikan, pengolahan, dan pabrik pakan
dilakukan
di
wilayah
Kabupaten
Serdang
Bedagai
( http://aquafarmnusantara.com/company-profile/). Produk akhir yang dihasilkan oleh Aquafarm berupa ikan nila yang dibekukan dalam bentuk fillet. Produk tersebut dikemas dengan diberi merek ‘Regal Spring Tilapia’ untuk kemudian diekspor melalui pelabuhan Belawan ke Eropa dan Amerika Serikat. Produksi fillet ikan nila PT Aquafarm Nusantara terus meningkat. Tercatat hingga Oktober 2013, produksi fillet ikan nila mencapai 32.000 ton. Dengan Asumsi perharinya menghasilkan 80 ton ikan kualitas ekspor. Berdasarkan hasil penelitian Pohan Panjaitan berjudul “Kajian Potensi Pencemaran Keramba Jaring Apung PT Aqua Farm Nusantara di Ekosistem Danau Toba” tahun 2009 menemukan bahwa Aquafarm memasukkan pakan sebesar 200 ton setiap hari tanpa ada Upaya Pengelolaaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Akibatnya terjadi sendimentasi akibat sisa pakan di dasar danau. Sisa pakan dan feses ikan KJA PT. Aquafarm
Universitas Sumatera Utara
Nusantara
yang mengandung bahan organik sangat berpengaruh pada
kecerahan dan kekeruhan, selanjutnya berkaitan erat
dengan
proses
fotosintesis dan respirasi organisme perairan. Sementara itu
kajian
Badan
Lingkungan
Hidup
Sumatera
yang
menyatakan PT Aqua Farm menghasilkan limbah lebih besar dibanding total keseluruhan KJA milik masyarakat. Adapun limbah yang dihasilkan yakni 1910,6 ton/tahun untuk nitrogen dan 672 ton/tahun untuk fosfor. Namun kajian ini belum sampai pada dampak dari limbah terhadap ekosisten danau. Terakhir PT Allegrindo Nusantara bergerak dibidang peternakan babi di Desa Urung Pane, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan informasi masyarakat yang diperoleh LSM Forhidos, PT Allegrindo Nusantara diduga kuat membuang kotoran ternak babi dalam bentuk limbah cair 1200 ton setiap hari. Kotoran tersebut berasal dari 40.000 lebih ekor ternak, kemudian dengan tenaga dua unit sumur bor limbah dibuang ke Danau Toba, Desa Salbe melalui Sungai Silali ke Danau Toba. Tindakan ini mengakibatkan air sungai ikut tercemar dan berdampak pada rusaknya ekosistem Danau Toba (Laporan Pengaduan Pencemaran Lingkungan Hidup, N0 : 001/FORHIDOS/SK/2210/2013).
Melihat berbagai fakta yang berusaha diungkapkan oleh berbagai pihak baik peneliti, aktivis dan LSM, maka kasus pencemaran Danau Toba ini cukup mendapat perhatian masyarakat. Khususnya bagi masyarakat yang berada di Sumatera Utara karena Danau Toba merupakan salah satu kekayaan dan potensi besar yang dimiliki Sumatera Utara. Kondisi ini juga barang tentu menjadi bahan bagi media sebagai sumber berita. Informasi yang kita peroleh selama ini mengenai pengerusakan kawasan Danau Toba cenderung dari media massa. Media tidak kalah berperan dalam menciptakan kondisi ini. Terlebih bagi media cetak, berita mengenai pencemaran ini sudah sering diberitakan. Berbagai sikappun cenderung muncul dari media, ada yang memberi penekanan dan ada pula yang menanggapi biasa. Salah satunya adalah Harian Sinar Indonesia Baru yang cukup gencar memberitakan kasus pencemaran dan pengerusakan kawasan lingkungan Danau
Universitas Sumatera Utara
Toba. Terlebih dalam pemberitaan hasil rapat komisi VII DPR RI, SIB memberitakannya secara berulang selama hampir satu minggu yaitu dari 3 Oktober 2013 - 8 Oktober 2013. Melihat sudah sejak lama masalah pengerusakan kawasan Danau Toba bergulir dalam masyarakat tentu bukan kali ini saja SIB memberitakannya. Di tahun 2012 SIB juga konsisten dalam megawal kasus ini. Perlu kita pahami bahwa media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Seperti yang dikatakan Bennet dalam Eryanto (2001:36), media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya. Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Uraian konteks masalah diatas menarik peneliti untuk meneliti teks atau isi berita, untuk melihat konstruksi dalam pemberitaan pengerusakan kawasan Danau Toba yang dilakukan oleh PT GDS, PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara. Untuk melihat konstruksi dari pemberitaan digunakan penelitian analisis framing dengan model yang dikembangkan Gamson dan Mondigliani. Adapun surat kabar yang akan diteliti adalah surat kabar Harian Sinar Indonesia Baru. Harian Sinar Indonesia Baru atau sering disingkat dengan SIB adalah surat kabar yang terbit sejak 9 Mei 1970. Harian ini didirikan oleh GM Panggabean. Harian SIB Terletak dijalan Brigjen Katamso no 66 AB Medan. Sejak awal berdiri, harian ini memang fokus mengupas informasi di Medan khususnya Tapanuli. I.2 Fokus Masalah Permasalahan penelitian yang dapat disimpulkan dari uraian latar belakang masalah adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Bagaimana Harian SIB mengkonstruksi berita pengerusakan kawasan Danau Toba yang dilakukan oleh PT GDS, PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara? I.3 Pembatasan Masalah Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang menyebabkan kaburnya penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: 1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat bagaimana harian SIB mengkonstruksi berita pengerusakan kawasan Danau Toba yang dilakukan oleh PT GDS, PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara 2. Penelitian dilakukan pada berita SIB yang dipublikasikan sejak tahun 2012-2013. 3. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan model analisis Gamson dan Modigliani. I.3 Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian ini yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana kelompok, klaim budaya serta kegiatan media yang digunakan harian SIB dalam mengkonstruksi berita pengerusakan kawasan Danau Toba yang dilakukan oleh PT GDS, PT Aqua Farm dan PT Allegrindo Nusantara 2. Untuk melihat posisi harian SIB dalam menampilkan berita pengerusakan lingkungan kawasan Danau Toba oleh tiga perusahaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
I.4 Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Secara toritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang analisis framing. 2. Secara akademik, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya pengetahuan mengenai analisis framing dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan refensi bersama dalam memahami analisis framing dan masukan bagi masyarakat dalam memaknai sebuah berita.
Universitas Sumatera Utara