BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini sebagian besar masyarakat telah menjadikan informasi sebagai sebuah kebutuhan primer. Melalui media massa, masyarakat mendapatkan dan melakukan pertukaran informasi yang dibutuhkan sebagai upaya dalam mengembangkan nilai, budaya dan pola pikir kearah yang lebih modern. Sebagai alat atau sarana penyampai informasi, media massa memiliki fungsi dan peranan sebagai sumber informasi atau pembawa pesan yang memiliki jangkauan luas (masif) hingga ke lapisan terbawah dari masyarakat. Dari informasi yang disajikan oleh media massa, masyarakat mampu mengembangkan diri dan merespon serta memberikan kontribusi pada generasi berikutnya. Lasswell mencatat 3 fungsi media massa: pengamatan lingkungan, korelasi bagian dalam masyarakat untuk merespons lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Severin, 2005 : 386). Melalui fungsi keduanya korelasi yang dapat diartikan sebagai seleksi dan interpretasi informasi tentang lingkungan, media massa seringkali memasukkan kritik dan berusaha menarik reaksi penikmatnya terhadap kejadian atau berita tertentu. Fungsi korelasi bertujuan untuk menjalankan norma sosial dan menjaga konsensus dengan mengekspos penyimpangan,
1
2 memberikan status dengan cara menyoroti dan dapat pula berfungsi untuk mengawasi pemerintah. Pemerintah sebagai perancang, pemandu sekaligus pelaksana pada proses pembangunan demokrasi, merupakan obyek yang selalu diperhatikan oleh masyarakat. Semua pergerakan pemerintah dan instansi-instansi dibawahnya selalu mendapat sorotan tajam. Melalui media massa, masyarakat secara berkala mendapatkan informasi sehingga mampu melihat dan menilai kinerja pemerintah. Masalah penegakan hukum, utamanya pemberantasan tindak pidana KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang menjadi momok bangsa selama beberapa dekade dan tak kunjung tuntas dari negeri, dalam hal ini begitu tinggi ekspektasi masyarakat pada pemerintah. Sejarah mencatat beberapa usaha yang dilakukan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggung-jawaban secara langsung kepada Presiden. Formulir itu tidak
3 diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaanperusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Alasan politis, sekali lagi menjadi penyebab kemandekan operasi ini. Salah satu contohnya adalah kepergian direktur utama Pertamina dalam rangka tugas ke luar negeri menjadi alasan para direksi Pertamina lainnya untuk tidak menyampaikan data kekayaan yang dimiliki karena belum ada surat tugas dari atasan. Hal seperti inilah yang menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Meski telah berhasil menyelamatkan keuangan negara kuranglebih Rp 11 miliar, Operasi Budhi dihentikan dan diumumkan
pembubarannya
oleh Soebandrio yang kemudian diganti dengan Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAR) dengan Presiden Soekarno sebagai ketua dengan dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga
4 ini, Pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet. Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana
(http://www.wikipedia.org/wiki.komisi_pemberantasan_korupsi).
Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr. Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (OPSTIB) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga OPSTIB pun hilang
5 seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru. Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU. Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nasib serupa tapi tak samapun dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa Megawati, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. Sebuah lembaga independen sebagai jawaban dari ekspektasi masyarakat. Sesuai dengan namanya, KPK bertugas untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Sampai saat pergantian presiden pada pemilu 2004 dan telah melewati 2 periode kepemimpinan KPK terus
6 menunjukkan diri sebagai lembaga yang mampu bekerja professional dan bertanggungjawab atas tugas dan wewenangnya sehingga mampu mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang ada di negeri ini. Proses pemberantasan KKN tersebut melibatkan berbagai instansi terkait yang memiliki tugas dan wewenang sebagai lembaga penegak hukum. Salah satu lembaga tersebut adalah POLRI (Polisi Republik Indonesia). Sudah sepatutnya kedua instansi, baik KPK maupun POLRI mampu melakukan koordinasi dalam menegakkan hukum sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Namun pada pertengahan tahun 2009, konflik terjadi antar dua lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga penegak hukum tersebut. Konflik yang terjadi antara POLRI dan KPK pada akhirnya mampu terendus wartawan dan muncul sebagai berita terhangat dan terus berkembang serta dinantikan oleh berbagai kalangan masyarakat. Kasus yang melibatkan instansi pemerintah dan instansi independen yang dibentuk oleh pemerintah ini berawal dari temuan KPK perihal dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang dilakukan oleh PT. Masaro Radiokom pimpinan Anggoro Widjojo. Dari temuan awal tersebut KPK juga menemukan indikasi keterlibatan sejumlah pejabat negara dan petinggi POLRI. Indikasi tersebut diperkuat dengan rekaman hasil penyadapan KPK terkait perbincangan telepon antara pengusaha Anggodo Widjojo sekaligus adik dari Anggoro Widjojo dengan sejumlah pejabat tinggi POLRI dan Kejaksaan Agung.
7 Sementara disisi lain POLRI mulai memberikan respon yang semakin memperuncing konlik diantara kedua lembaga tersebut. POLRI melalui Jenderal polisi Bambang Hendarso Danuri yang menjabat sebagai Kepala Polisi RI, balik menyerang dan berusaha menjerat pimpinan non aktif komisi anti korupsi tersebut. Bibid Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah merupakan sasaran utama yang akan dijerat oleh polisi dengan menggunakan pasal “penyalahgunaan wewenang” perihal penerbitan permohonan “cegah” bagi Anggoro Widjojo pimpinan PT. Masaro. Usaha yang dilakukan Polisi guna menjerat pimpinan KPK dengan pasal tersebut tidak membuahkan hasil dikarenakan tidak didukung data yang solid. Dengan pasal yang berbeda yaitu “pemerasan dan penyuapan” pada Anggoro Widjojo perihal kasus Tindak Pidana Korupsi PT. Masaro Radiokom, polisi kembali berusaha menjerat pimpinan KPK. Kasus “Polisi Versus KPK” atau lebih dikenal dengan istilah “Cicak Versus Buaya“ yang diutarakan sendiri oleh Susno Djuaji pejabat tinggi polisi berpangkat jenderal bintang tiga ini telah merusak citra pemerintah dalam upaya penegakan hukum. Kasus Polisi yang diibaratkan Susno sebagai “Buaya” dan KPK sebagai “Cicak” ini selalu mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Melalui media massa baik cetak maupun elektronik masyarakat secara berkala mendapatkan informasi dan semakin tertarik mengikuti perkembangannya. Tentu saja situasi ini menjadi sebuah lahan basah bagi media massa untuk berlomba-lomba menyajikan informasi terbaru. Dari pemberitaan yang
8 disajikan oleh media massa inilah masyarakat memberikan berbagai macam reaksi seputar kasus tersebut. Reaksi yang diberikan dapat berupa tanggapan positif atau sebaliknya, mulai kritikan, masukan dan ada pula yang mencoba memberikan dukungan yang ditujukan baik kepada lembaga yang terlibat maupun kepada pemerintah itu sendiri. Berbagai macam respon masyarakat merupakan opini yang terbentuk berdasar pada kemampuan media dalam mengolah data yang dihimpun dan keobjektifan media dalam menyajikan berita sebagai produk utama yang ditawarkan. Seperti apa yang disampaikan oleh Lasswell tentang fungsi kedua media yang telah dibahas diatas, dalam menjalankan fungsi korelasi, media seringkali bisa menghalangi ancaman terhadap stabilitas sosial dan memonitor atau mengatur opini publik. Hal ini semakin membuktikan bahwa segala bentuk pemberitaan atau informasi yang disajikan oleh media massa mampu membawa pada pembentukan opini publik. Kemampuan media massa dalam membentuk opini publik inilah yang menjadi dasar pemikiran perlunya peneliti mengkaji lebih dalam objektivitas media. Sebagai salah satu prinsip penilaian, objektivitas memang hanya mempunyai cakupan yang lebih kecil dibanding dengan prinsip lain yang telah disinggung, tetapi prinsip objektivitas memiliki fungsi yang tidak bisa dianggap
remeh,
terutama
dalam
kaitannya
dengan
kualitas
informasi.(McQuail;1989;129) Objektivitas media adalah hanya menyiarkan berita apa adanya. Jika materi berita tersebut berasal dari dua pihak yang berlawanan, maka harus
9 dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak yang berlawanan tersebut. Hal inilah yang dimaksudkan mengapa setiap pemberitaan pada media massa selalu dituntut untuk mengungkapkan kebenaran secara objektif. Media massa merupakan bentuk perkembangan komunikasi yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Media cetak yang diantaranya surat kabar, majalah, tabloid, buku dan lain-lain terus berlomba memberikan pelayanan terbaik dengan menyalurkan informasi seakurat mungkin pada masyarakat. Majalah merupakan salah satu representasi media massa cetak dengan karakteristik sebagai media yang paling sederhana dalam organisasinya, relatif lebih mudah serta tidak membutuhkan modal yang banyak dalam pengelolaannya. Majalah memiliki keunggulan penyajian berita yang lebih mendalam, memiliki nilai aktualitas relatif lebih lama, tampilan gambar atau foto lebih banyak serta menggunakan cover atau sampul sebagai daya tarik. Oleh karena itu, dengan segala keunggulannya majalah sudah selayaknya mampu memberikan informasi yang lebih objektif dan akurat serta berimbang sehingga tidak menciptakan sebuah kebingungan publik melalui berita yang disajikan. Majalah Tempo dan Gatra merupakan majalah berita mingguan ternama dengan ideologi media yang berbeda namun tetap memiliki nilai informasi tinggi pada setiap pemberitaan yang disajikan. Terlebih pada berita yang berhubungan dengan kinerja pemerintahan. Melalui rubrik laporan utama, kedua majalah berita mingguan ini berupaya mengupas secara mendalam dan
10 menyajikan berita permasalahan politik terhangat dengan gaya penulisan dalam bentuk investigasi. Berita tentang kasus Polisi Versus KPK merupakan salah satu permasalahan politik terhangat yang dibahas khusus dalam rubrik laporan utama pada kedua majalah berita mingguan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa baik majalah berita mingguan Tempo maupun Gatra pada bulan November 2009 memberikan perhatian khusus seputar pemberitaan kasus Polisi Versus KPK. Dari pemaparan diatas, utamanya merujuk pada fungsi dan peran media massa sebagai penyalur informasi yang dapat membentuk opini publik, maka peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar tingkat objektivitas media dalam pemberitaan kasus Polisi Versus KPK pada majalah berita mingguan Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009. B. Rumusan Masalah Dari pemaparan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah yaitu: “Seberapa besar tingkat objektivitas majalah berita mingguan Tempo edisi 28, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009 pada pemberitaan kasus Polisi versus KPK”. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan tingkat objektivitas majalah berita mingguan Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan
11 Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009 pada pemberitaan kasus Polisi versus KPK. D. Manfaat Penelitian D.1. Manfaat Akademis Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pengetahuan bagi mahasiswa komunikasi khususnya konsentrasi jurnalistik dan studi media. Serta sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang secara khusus tentang upaya peningkatan objektivitas pemberitaan. D.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan dan pertimbangan bagi produsen media massa cetak (majalah) agar mampu menyajikan berita secara objektif kepada khalayak. E. Tinjauan Pustaka E.1. Majalah Sebagai Media Massa Majalah adalah penerbitan berkala yang berisi bermacam-macam artikel dalam subyek yang bervariasi. Fungsi majalah mengacu pada sasaran khalayak yang spesifik. Majalah dengan topik atau kategori tertentu mempunyai spesialisasi sasaran pembeli dan pembaca yang dikehendaki. Majalah biasanya memiliki artikel mengenai topik populer yang ditujukan kepada masyarakat umum dan ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang. Majalah mulai berkembang pada abad ke-19, hadir sebagai media
12 hiburan baru yang utama karena belum dikenalnya radio dan televisi pada saat itu. Sejak tahun 1960-an majalah selain mengarah pada kebutuhan pelayanan masyarakat juga mengarah kepada khalayak yang lebih khas baik karena gaya hidup maupun karena keberadaan demografis mereka. (Winarni:2003:26). Majalah adalah medium yang pervasif. Majalah bukan hanya untuk kalangan atas, tetapi juga dapat dikonsumsi oleh kalangan bawah. Hal ini berarti bahwa peran medium majalah melintasi hampir seluruh lapisan masyarakat (Vivian John:2008:109). Majalah memiliki karakteristik sebagai media yang paling sederhana dalam organisasinya, relatif lebih mudah serta tidak membutuhkan modal yang banyak dalam pengelolaannya. Majalah tetap dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik tersendiri; penyajian berita lebih mendalam, memiliki nilai aktualitas relatif lebih lama, tampilan gambar atau foto lebih banyak serta menggunakan cover atau sampul sebagai daya tarik. Majalah
dapat
dibedakan
atas
periode
terbit
dan
sifat
penerbitannya. Dari segi terbit, majalah dibedakan atas majalah mingguan dan majalah bulanan. Dari segi isinya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu majalah yang bersifat umum dan majalah yang bersifat khusus. Majalah umum terdiri atas berbagai macam informasi yang ditujukan untuk masyarakat umum. Sedangkan majalah khusus, isinya memiliki ciri khas tertentu dan memiliki pembaca tertentu pula.
13 Majalah ditentukan berdasar pada sasaran khalayak yang dituju. Hal ini berarti bahwa redaksi telah menentukan siapa yang akan menjadi pembacanya. Pada masa orde baru majalah di Indonesia dibedakan dalam beberapa kategori; majalah berita, keluarga, wanita, pria, remaja wanita, remaja pria, anak-anak, ilmiah popular, umum, hukum, pertanian, humor, olahraga dan daerah. Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi kedalam lima kategori utama, yakni: (1) general consumer magazine (majalah konsumen umum), (2) business publication (majalah bisnis), (3) literacy reviews and academic journal (kritik sastra dan majalah ilmiah), (4) newsletter (majalah khusus terbitan berkala), (5) Public Relations Magazines (Majalah Humas). Majalah yang mampu bertahan umumnya adalah yang bersifat khusus, misalnya majalah khusus wisata, olahraga, hobi perahu layar, penggemar acara televisi, berita-berita ilmiah, budaya, agama, wanita, dan lain-lain. Majalah harus mampu menyesuaikan diri agar tetap bertahan dengan persaingan dengan bentuk media massa yang lain. Oleh karena itu, majalah yang laku saat ini adalah majalah-majalah yang bersifat khusus. Majalah merupakan inovator media dengan telah mengungguli media lain melalui inovasi yang signifikan dalam jurnalisme, adverstising dan sirkulasi. Dalam kaitannya dengan jurnalisme inovasi itu mencakup laporan investigasi, profil tokoh secara lengkap dan foto jurnalisme. Sedangkan dalam hal advertising majalah manjadi medium
14 advertising nasional. Para pengiklan banyak yang memanfaatkan majalah untuk membangun pasar nasional produk mereka. Hal ini merupakan faktor penting perubahan dari negara agrikultur ke perekonomian industri dan perekonomian modern. E.2. Perkembangan Majalah di Indonesia Sejarah mencatat perkembangan majalah di Indonesia dimulai dari menjelang dan setelah kemerdekaan. Pada awal tahun 1945 terbit sebuah majalah menggunakan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku menteri pendidikan pertama RI, dengan nama Pantja Radja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto (MD) di Jakarta. Awal Kemerdekaan. Majalah Revue Indoensia yang diterbitkan oleh Soemanang, SH telah mengemukakan gagasannya perlunya koordinasi penerbitan surat kabar yang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Terbit semuanya dengan satu tujuan, yaitu menghancurakan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional utnuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat. Zaman Orde Lama. Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Pedoman itu intinya adalah surat kabar dan majalah wajib menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar. Pada masa ini perkembangan majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah yang terbit.
15 Zaman Orde baru. Banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya. Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju. E.3 Pers Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication). Pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers dalam arti luas. Pers dalam arti luas meliputi media massa elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit adalah media massa cetak, seperti Surat Kabar, majalah, tabloid mingguan dan sebagainya. Menurut Leksikon komunikasi, pers berarti: 1. usaha percetakan atau penerbitan; 2. usaha pengumpulan dan penyiaran berita; 3. penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi; 4. orang-orangyang bergerak dalam penyiaran berita; 5. medium penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi. (Djuroto, 2004:04). Media bisa dibedakan menjadi dua yaitu Media Elektronik dan Media Cetak. Media Elektronik misalnya ; Televisi, Radio. Televisi adalah adalah alat komunikasi masa yang mempunyai dimensi Gambar bergerak dan Suara. Gambar begerak dan suara inilah
16 yang menjadi kelebihan yang dimiliki oleh televisi. Jadi relatif dapat menyampaikan pesan dengan baik. Radio adalah alat komunikasi massa yang berupa gelombang suara. Sedangkan untuk Media Cetak contohnya adalah Koran atau Surat Kabar, Majalah dan lain sebagainya. Koran (dari bahasa Belanda : krant, dari bahasa Perancis Courant) atau Surat Kabar adalah suatu penerbitan yang ringan dan mudah dibuang, biasanya dicetak pada kertas berbiaya rendah yang disebut kertas Koran, yang berisi berita–berita terkini dalam berbagai topik. Topiknya bisa berupa event politik, kriminalitas, olahraga, tajuk rencana, cuaca dan lain sebagianya. Majalah : Sebuah penerbitan berkala yang terbit secara teratur dan sifatnya menampilkan pemberitaan atau sari berita. Berupa artikel atau besifat pembahasan yang menyeluruh dan mendalam. Ciri lain dari majalah yang membedakannya dengan Koran atau surat kabar selain terbitannya yang tak tiap hari adalah tampilan fisiknya yang dijilid. E.3.1.
Fungsi Pers Tugas dan fungsi pers adalah mewujudkan keinginannya dalam
memberikan informasi kepada masyarakat luas melalui medianya baik media cetak maupun media elektronik seperti radio, televisi dan internet. Tetapi tugas dan fungsi pers yang bertanggungjawab tidaklah
17 hanya sekedar itu, melainkan lebih dalam lagi yaitu mengamankan hakhak warga negara dalam kehidupan bernegaranya. 1.
Oleh karena itu fungsi pertama pers bertanggungjawab adalah fungsi informatif, yaitu memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur.
2.
Fungsi ke-dua atau fungsi kontrol pers yang bertanggung jawab adalah masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan apa yang berjalan baik dan apa yang tidak berjalan baik.
3.
Fungsi ke-tiga adalah interpretatif dan direktif, yaitu memberikan interpretasi dan bimbingan. Pers harus menceritakan kepada masyarakat tentang arti suatu kejadian.
4.
Fungsi ke-empat pers adalah menghibur, yaitu menyajikan humor dan drama serta musik.
5.
Fungsi
ke-lima
adalah
regeneratif,
yaitu
pers
membantu
menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda. 6.
Fungsi ke-enam adalah pengawalan hak-hak warga negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi.
7.
Fungsi ke-tujuh adalah fungsi ekonomi, yaitu melayani sistem ekonomi melalui iklan
18 8.
Fungsi ke-delapan adalah fungsi swadaya, yaitu bahwa pers mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sediri agar ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan (Hikmat dan Purnama kusumaningrat, 2007:27-29).
E.3.2.
Teori Pers Salah satu pengelompokan sistem pers yang terkenal di dunia
disajikan dalam buku four theories of the press Siebert, Peterson, dan Scrahmm dalam Werner dan James, (2005: 373-380). Penulisnya membagi pers di dunia dalam empat kategori : otoriter, liberal, tanggung jawab sosial, dan totaliter Soviet. 1.
Teori Otoriter Teori ini mengatakan bahwa Pers adalah mendukung dan menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan pemerintah yang sedang bekuasa dan melayani Negara.
2.
Teori Liberal Teori liberal pers bekembang sebagai dampak dari masa pencerahan dan teori umum tentang rasionalisasi serta hak–hak alamiah dan berusaha melawan pandangan yang otoriter. Pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari keuntungan.
19 3.
Teori Tanggung Jawab Sosial Teori Tanggung Jawab Sosial berpendapat bahwa selain bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, mencari untung (seperti halnya teori liberal), juga bertujuan untuk membawa konflik ke dalam arena diskusi. Teori Tanggung Jawab Sosial mengatakan bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media dianggap tidak memenuhi kewajibanya, maka ada pihak yang harus memaksanya. Dibawah teori ini media di kontrol oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen, kode etik profesional, dan dalam hal penyiaran dikontrol oleh badan pengatur, mengingat keterbatasan teknis pada jumlah saluran frekuensi yang tersedia.
4.
Teori Totaliter Soviet Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas dan hanya anggota partai yang loyal dan anggota partai yang ortodoks saja yang bisa menggunakan media secara regular. Selain itu, Hikmat dan purnama kusumaningarat, (2007 : 25-26)
menyatakan bahwa selain empat teori pers di atas yang dipaparkan menurut pandangan normatif Siebert dkk, Denis McQuail dalam tulisannya “Uncertainty About The Audience And The Organization Of Mass Communication” telah menambahkan dua teori lagi yang merupakan perkembangan dari empat teori pers tersebut. Kedua teori
20 pers tersebut adalah teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. McQuail mengaitkan teori pers pembangunan dengan Negaranegara Dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri komunikasi yang sudah maju seperti berikut ini: infrastruktur komunikasi, keterampilanketerampilan
profesional,
sumberdaya-sumberdaya
produksi
dan
kultural, audiens yang tersedia. Di samping itu adanya ketergantungan pada
Negara-Negara
maju
untuk
teknologinya,
keterampilan-
keterampilannya, dan produk-produk kulturalnya. Ciri-ciri Negara ini adalah bahwa tujuan utama mereka adalah pembangunan, dengan para politisinya yang berangsur-angsur sadar akan keadaan mereka yang sama. Unsur normatif yang esensial dari teori pers pembangunan yang muncul adalah bahwa pers harus digunakan secara positif dalam pembangunan Nasional, untuk otonomi dan identitas kebudayaan Nasional. Tentang teori yang ke-enam, yaitu teori pers partisipan demokratik, McQuail dalam bukunya mass communication theory, mengatakan bahwa teori ini lahir dalam masyarakat liberal yang sudah maju. Ia lahir sebagai “reaksi atas komersialisasi dan monopolisasi media yang dimiliki swasta dan sebagai reaksi atas sentralisme dan birokratisasi institusi-institusi siaran publik, yang timbul dari tuntutan norma tanggungjawab sosial. Ia melihat organisasi-organisasi siaran publik khususnya sebagai terlalu paternalistik, terlalu elitis, terlalu dekat
21 kepada kekuasaan, terlalu responsif terhadap tekanan-tekanan politis dan ekonomi, terlalu monolitik, terlalu diprofesionalkan. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai-partai politik yang mapan dan terhadap sistem demokrasi perwakilan yang nampak menjadi tercerabut dari akar-rumput asalnya. Inti dari teori partisipan demokratik
terletak
pada
kebutuhan-kebutuhan,
kepentingan-
kepentingan dan aspirasi-aspirasi pihak penerima pesan komunikasi dalam masyaraat politis. Teori ini menyukai keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesederajatan dalam masyarakat, dan interaksi. E.4. Konsep Dasar Pemberitaan Dalam dunia jurnalistik, berita merupakan produk utama yang disajikan kepada pembacanya. Sedangkan dalam penyajiannya, berita dibuat harus memenuhi dua syarat, yaitu (i) faktanya tidak boleh diputar sedemikian rupa sehingga kebenaran tinggal sebagian saja. (ii) berita harus menceritakan segala aspek secara lengkap. Dalam menulis berita, dikenal semboyan “satu masalah dalam satu berita”. Artinya suatu berita harus dikupas dari satu masalah saja (monofacta) dan bukan banyak masalah (multifacta) karena akan menimbulkan kesukaran penafsiran, yang menyebabkan berita menjadi tidak sempurna. (Djuroto, 2004 : 47-48). Dalam hal ini, tentunya objektivitas harus selalu dijaga dalam setiap pemberitaan. Dalam artian hanya menyiarkan berita apa adanya.
22 Jika materi berita tersebut berasal dari dua pihak yang berlawanan, maka harus dijaga keseimbangan informasi dari kedua belah pihak yang berlawanan tersebut. Salah satu syarat objektivitas yang biasa dikenal dengan istilah pemberitaan cover both side. Bagi Robert Scheer dari Los Angeles Times, pertanyaan yang lebih penting adalah bukan apakah anda bisa netral tetapi bagaimana anda mengerjakan pekerjaan anda dengan cara yang adil dan jujur. Dalam hal ini, surat kabar Washington Post mempunyai standar mengenai sikap adil, yaitu : 1.
berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta yang penting. Jadi adil adalah lengkap.
2.
berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil adalah relevansi.
3.
berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak membimbing pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.
4.
berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya dibalik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil menuntut keterusterangan. (Ishwara, 2004 : 46)
E.4.1.
Pengertian Berita Berita berasal dari bahasa sansekerta, yakni Vrit yang dalam bahasa
inggris disebut write, artinya sebenarnya ialah ada atau terjadi. Sebagian ada yang menyebut dengan Vritta, artinya “kejadian” atau “yang telah terjadi”. Vritta dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi
23 berita atau warta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwodarminta, “berita” berarti kabar atau warta, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan balai pustaka, arti berita diperjelas menjadi “laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat”. Jadi berita dapat dikaitkan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi. Sedangkan definisi tentang berita sampai sekarang masih sulit dicari. Para sarjana publisistik maupun jurnalistik belum merumuskan definisi berita secara pasti. Ilmuwan, penulis, dan pakar komunikasi memberikan definisi berita, dengan beraneka ragam. 1.
Dean M. Lyle Spencer mendefinisikan berita sebagai suatu kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagian besar pembaca.
2.
Dr. Willard C. Bleyer menganggap berita adalah sesuatu yang termassa ( baru) yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar.
3.
William S. Maulsby menyebut berita sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.
4.
Eric C. Hepwood mengatakan berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting dan dapat menarik perhatian umum.
24 5.
Dja’far H. Assegaf mengartikan berita sebagai laporan tentang fakta atau ide yang termassa dan dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik perhatian pembaca.
6.
J.B. Wahyudi mendefinisikan menulis berita sebagai laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memiliki nilai penting dan menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan secara luas melalui media massa.
7.
Amak Syariffudin mengartikan berita adalah suatu laporan kejadian yang ditimbulkan sebagai bahan yang menarik perhatian publik mass media. (Djuroto, 2004:46-47).
E.4.2.
Sumber Berita Detak jantung dari jurnalisme terletak pada sumber berita. Karena
salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam pemberitaan adalah penggunaan sumber berita, di mana penggunaan sumber berita dalam suatu peristiwa juga akan membawa pengaruh dalam kecenderungan pemberitaan. Eugene J. Webb dan Jerry R. Salancik dalam Ishwara, (2005: 67) mengemukakan
beberapa
petunjuk
yang
digunakan
dalam
mengumpulkan informasi sebagai sumber berita, diantaranya yaitu : 1. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita. 2. Proses wawancara 3. Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen publik.
25 4. Partisipasi dalam peristiwa. E.4.3
Nilai Berita (Layak Berita) Nilai berita adalah seperangkat kriteria untuk menilai apakah sebuah kejadian cukup penting untuk diliput. Seorang wartawan dalam menuliskan berita harus mengetahui unsur-unsur nilai berita. Nilai berita merupakan salah satu unsur penguat berita, karena tidak hanya melengkapi berita, namun juga membuat berita lebih layak untuk dipublikasikan. Seperti yang di ungkapkan Djuraid (2006:15) bahwa unsur berita menjadi sangat penting untuk diketahui sebelum menulis karena akan menjadi panduan bagi seorang wartawan untuk memutuskan suatu kejadian, informasi atau keadaan itu layak diberitakan atau tidak. Hikmat dan Purnama Kusumaningrat (2005:58) menuliskan bahwa wacana mengenai nilai berita/unsur layak berita diawali oleh Christian Weise pada tahun 1676. Saat itu pandangan mengenai nilai berita masih seputar pemilahan berita yang benar dan yang palsu. Diikuti Daniel Hartnack pada tahun 1688 dalam tulisannya Erachten von Einrichtung der alten teutschen und neuen europäischen Historien yang menekankan pentingnya unsur peristiwa. Maraknya pembicaraan akan nilai berita pada saat itu membuat Tobisa Peucer pada tahun 1690 menentukan nilai layak berita antara lain: 1.
Tanda-tanda yang tidak lazim
2.
Berbagai jenis keadaan
26 3.
Masalah-masalah gereja/ keagamaan Seiring dengan berjalannya waktu, kriteria tentang nilai berita
semakin disederhanakan menjadi satu kesatuan yang memiliki makna luas. Seperti unsur Human Interest yang di dalamnya mencakup surprise, konflik dan sebagainya serta Keterkenalan (Prominence) yang didalamnya mencakup keterkenalan akan peristiwa, situasi, tempat dan tanggal. Nilai berita merupakan acuan yang dapat digunakan oleh para jurnalis untuk memutuskan fakta yang pantas dijadikan berita dan memilih mana yang lebih baik. Karena tidak semua peristiwa layak untuk dihadirkan dalam berita. Sebuah peristiwa layak dihadirkan melalui halaman media massa jika memenuhi unsur nilai berita. Tidak semua laporan tentang kejadian pantas dilaporkan kepada khalayak. Peristiwa rutin yang melibatkan orang-orang bisaa tentu tidak memenuhi nilai berita. Lalu, apa kriteria peristiwa yang patut dilaporkan kepada khalayak? Kriterianya hanya satu, yaitu peristiwa yang memiliki nilai berita. Nilai berita sendiri, menurut Walter Lippmann, seorang wartawan Amerika menyebutkan bahwa suatu berita memiliki nilai layak berita jika didalamnya ada unsur kejelasan (clarity) tentang kejadiannya, ada unsur kejutannya (surprise), ada unsur kedekatannya (proximity) secara geografis, serta ada dampak (impact) dan konflik personalnya (Hikmat dan Purnama Kusumaningrat, 2005:60).
27 Sedangkan
menurut
Siregar
dkk
(1998:27-28),
hal
yang
menjadikan suatu kejadian atau peristiwa sebagai layak berita adalah adanya unsur penting dan menarik dalam kejadian tersebut. Inilah yang menentukan bahwa kejadian itu akan ditulis sebagai berita jurnalistik. Secara umum, kejadian yang dianggap mempunyai nilai berita atau layak berita adalah yang mengandung satu atau beberapa unsur berikut ini: 1.
significance (penting), yaitu kejadian yang berkemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang mempunyai akibat tehadap kehidupan pembaca.
2.
magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak, atau kejadian yang berakibat yang bisa dijumlahkan dalam angka yang menarik buat pembaca.
3.
timeliness (waktu), yaitu kejadian yang menyangkut hal-hal yang baru terjadi, atau baru dikemukakan.
4.
proximity (kedekatan), yaitu kejadian yang dekat bagi pembaca. Kedekatan ini bisa bersifat geografis maupun emosional.
5.
prominence (tenar), yaitu menyangkut hal-hal yang terkenal atau sangat dikenal oleh pembaca, seperti orang, benda, atau tempat.
6.
human interest (manusiawi), yaitu kejadian yang memberi sentuhan perasaan bagi pembaca, kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa, atau orang besar dalam situasi biasa.
28 Salah satu unsur tersebut telah dapat menjadikan suatu kejadian layak diberitakan. Jika ditemukan lebih dari satu unsur, maka kejadian itu bertambah tinggi kelayakan beritanya. Karena itu, usaha mendapatkan berita besar adalah mencari kejadian yang memiliki sebanyak mungkin unsur tersebut. E.4.4.
Jenis Berita Terdapat dua jenis berita berdasarkan reportase objektif dan
interpretasi. Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa (eventcentered news) yang khas menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan, dengan konteks yang minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang lain. Disini gagasan utamanya adalah bahwa sebuah topik belum layak untuk menjadi sebuah berita sampai “terjadi” sesuatu. Ke-dua, adalah berita yang berdasarkan pada proses (processcentered news) yang disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu. Berita semacam ini muncul di halaman opini berupa editorial, artikel dan surat pembaca, sedangkan di halaman lain berupa komentar, laporan khusus, atau tulisan feature lainnya seperti banyak dimuat di Koran minggu. (Ishwara, 2005 : 51-52). E.4.5.
Ciri-Ciri Berita Berita itu adalah sesuatu yang nyata-news is real. Fakta yang dilengkapi dengan benar akan sama dengan kebenaran itu sendiri. Rem
29 Rieder, Editorial American Journalism Review, berkata: “fakta adalah fakta, fiksi adalah fiksi. Jika ingin mengarang (fiksi) tulislah novel”. (Ishwara, 2005 : 52). Sehubungan dengan itu, suatu berita dalam Surat Kabar harus melalui proses yang bertahap. Dalam artian, suatu peristiwa haruslah benar-benar merupakan fakta yang memiliki nilai berita, sebelum peristiwa tersebut dipertimbangkan untuk terakhir kalinya sebagai berita yang “fit to print” untuk kemudian dicetak dan disebarluaskan. Proses ini dalam garis besarnya sama, apakah dalam kerangka membuat berita bagi pers Barat maupun pers Indonesia. Yang berbeda adalah kriteria atau sistem nilainya, yang menentukan apakah suatu berita itu “fit to print” atau tidak, apa suatu berita itu “patut dicetak” apa tidak. E.5. Objektivitas Berita Menurut McQuail (1989:129), sebagai salah satu prinsip penilaian, objektivitas memang hanya mempunyai cakupan yang lebih kecil dibanding dengan prinsip lain yang telah disinggung, tetapi prinsip objektivitas memiliki fungsi yang tidak bisa dianggap remeh, terutama dalam kaitannya dengan kualitas informasi. Objektivitas pada umumnya berkaitan dengan berita dan informasi, sedangkan keanekaragaman berkaitan dengan segala bentuk keluaran (output) media. Objektivitas adalah prinsip yang acapkali hanya dihubungkan dengan isi. Prinsip tersebut tidak dapat diteliti secara isi dan secara langsung baik pada
30 tingkat masyarakat maupun pada tingkat organisasi media, meskipun pandangan para komunikator media tentang prinsip itu tetap ada kaitannya dengan pengujian. Makna prinsip objektivitas berasal dari berbagai sumber. Oleh karena itu, prinsip tersebut mengandung sekian banyak pengertian, antara lain: objektivitas merupakan nilai sentral yang mendasari disiplin profesi yang dituntut oleh para wartawan sendiri. Prinsip itu sangat dihargai dalam kebudayaan modern, termasuk berbagai bidang di luar media massa, terutama dalam kaitannya dengan rasionalitas ilmu pengetahuan dan birokrasi. Objektivitas mempunyai korelasi dengan independensi. Prinsip tersebut sangat dihargai bilamana kondisi keanekaragaman mengalami kemunduran, yaitu kondisi yang diwarnai oleh semakin menurunnya jumlah sumber dan semakin meningkatnya uniformitas (dengan kata lain, situasi monopolitas semakin tampak). Dengan demikian, objektivitas diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas. Akhirnya masyarakat mengharapkan berita dan informasi selalu bersifat netral (non evaluatif dan faktual) atau seimbang menurut beberapa kriteria yang dianut pada masyarakat tertentu. Memang lebih mudah menyatakan secara tegas makna yang seharusnya dikandung oleh prinsip objektivitas. Berbagi komponen objektivitas ditampilkan oleh J. Westerstahl, ahli ilmu pengetahuan Swedia. Dalam hal ini penyajian laporan atau berita secara objektif
31 harus mencakup nilai-nilai kebenaran dan fakta. Berikut adalah skema tentang
komponen-komponen
utama
dari
prinsip
objektivitas
pemberitaan : Gambar 1.1 Komponen Utama Prinsip Objektivitas (J. westerstahl, 1983) Objektivitas
Kefaktualan
Kebenaran
Relevansi
Impartialitas
Keseimbangan
Netralitas
Sumber: McQuail, 1989: 130 Dalam skema tersebut, Kefaktualan dikaitkan dengan bentuk penyajian laporan tentang peristwa dan pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber dan disajikan tanpa komentar. Kefaktualan ditentukan oleh beberapa kriteria “kebenaran”, antara lain: keutuhan laporan, ketepatan yang ditopang oleh pertimbangan independen, dan tidak adanya keinginan untuk menyalah-arahkan atau menekan. Impartialitas dihubungkan dengan sikap netral wartawan (reporter), suatu sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi (personal) dan subjektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan. Wartawan harus dapat memisahkan antara uraian dengan komentar, sehingga beritanya dapat disiarkan dengan seobyektif mungkin.
32 Semua itu menunjang kualitas informasi. “Relevansi” lebih sulit ditentukan dan dicapai secara objektif. Namun demikian, pada dasarnya relevansi sama pentingnya dengan kebenaran dan berkenaan dengan proses seleksi, bukannya dengan bentuk atau penyajian. Relevansi juga mensyaratkan perlunya proses seleksi yang dilaksanakan menurut prinsip kegunaan yang jelas demi kepentingan calon penerima dan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa apapun yang paling berkemungkinan untuk mempengaruhi masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dan sangat berguna untuk mereka ketahui, harus dipandang sebagai lebih memiliki relevansi. Objektifitas tetap lebih merupakan tujuan dari pada cita-cita yang diterapkan seutuhnya, dan bahkan tidak selamanya diidamkan atau diperjuangkan. Dalam system media yang memiliki keanekaragaman eksternal, terbuka kesempatan untuk penyajian informasi yang memihak, meskipun informasi tersebut harus bersaing dengan sumber informasi lain yang menyatakan dirinya objektif. Objektifitas, betapapun sulitnya harus diupayakan oleh insan pers. Objektifitas berkait erat dengan kemandirian pers sebagai istitusi sosial. Institusi pers memang dituntut objektif dan netral atas semua fakta. Hal ini penting mengingat signifikansi efek media terhadap khalayak.
33 F. Definisi Konseptual F.1. Objektivitas Objektivitas adalah bentuk khusus dari praktek media dan juga sikap dalam mengumpulkan informasi, memproses, dan menyebarkan informasi. Objektivitas berkaitan dengan kualitas informasi isi berita yang diterbitkan oleh media massa yang benar dari suatu kejadian atau fakta dan mencakup tiga unsur di dalamnya yaitu: Relevansi : yaitu adanya kesesuaian atau keterkaitan antara isi berita dengan tema yang diangkat dan tercermin dalam judul maupun sub judul pemberitaannya. Keseimbangan : yaitu berkaitan dengan konsep “cover both side” bahwa keseimbangan dalam pemberitaan merupakan pemberian kesempatan yang sama pada semua pihak yang diberitakan untuk dijadikan sebagai sumber berita. Dalam artian antara pihak yang saling bersengketa harus diberikan kesempatan yang sama untuk dijadikan sebagai sumber berita dalam setiap pemberitaannya. Netralitas : yaitu menyangkut ada tidaknya pencampuran fakta dengan opini dalam setiap pemberitaan. Dalam hal ini, setiap penyajian berita tentunya harus dapat memisahkan antara fakta dengan opini wartawan yang menulis berita.
34 F.2. Pemberitaan Pemberitaan adalah laporan tentang fakta atau ide yang termassa dan temanya dipilih oleh staf redaksi untuk disiarkan, yang kemudian dapat menarik perhatian pembaca. F.3. Objektivitas Pemberitaan Informasi dikatakan objektif jika akurat, jujur, lengkap, sesuai dengan kenyataan, bisa diandalkan, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi yang harus seimbang dan adil, dalam artian melaporkan berita dalam sifat yang tidak sensasional dan tidak bias. F.4. Kasus Polisi versus KPK Pada pertengahan tahun 2009 muncul pemberitaan sebuah kasus yang melibatkan dua instansi pemerintah (POLRI) dan instansi independen yang didirikan oleh pemerintah (KPK). Baik POLRI maupun KPK meski berbeda fungsi dan jobdesc namun keduanya bertugas dalam satu ranah yang sama yaitu sebagai penegak hukum di Indonesia. Kasus ini muncul ke pernukaan, berawal dari rekaman KPK terkait dugaan suap mengenai perbincangan antara pengusaha yang diduga korup dengan salah satu petinggi POLRI (Polisi Republik Indonesia). Kasus “Polisi Versus KPK” atau lebih dikenal dengan istilah “Cicak Versus Buaya“ dan mendapat sorotan tajam dari masyarakat ini terus berkembang dengan banyak melibatkan pejabat tinggi di kedua instansi serta instansi lain yang berhubungan seperti Kejaksaan Agung.
35 F.5.
Analisis Isi Menurut Brenson dan Kerlinger, analisis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Wimmer dan Dominick dalam Kriyantono, 2007 : 228).
G. Metode Penelitian Metode penelitian mengenai objektivitas pemberitaan kasus “Polisi vs KPK” dalam majalah berita mingguan Tempo dan Gatra ini menggunakan model penelitian analisis isi (content analysis). Walizer dan Wiener dalam Wimmer (2003:140) mendefinisikan analisis isi sebagai prosedur pembagian yang sistematik untuk memahami isi informasi yang tercatat. Sedangkan Krippendorff (1991:15). mendefinisikan analisis isi sebagai suatu teknik penelitian untuk membuat intervensi-intervensi yang ditimbulkan dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif yaitu menjelaskan sejelas-jelasnya objektivitas media dalam Pemberitaan Kasus Polisi Versus KPK. Metode deskriptif dapat diartikan melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu dan pada hakikatnya mengumpulkan data secara univariat. (Rakhmat, 2005 : 24-25). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, yang bertujuan untuk merepresentasikan kerangka pesan (body of message) secara akurat. Untuk itu kuantifikasi menjadi penting dalam upaya memperoleh obyektivitas
36 yang dimaksud dengan syarat peneliti harus menggambarkannya secara tepat. (Wimmer, 2003 : 141). H. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah rubrik laporan utama pemberitaan kasus Polisi Versus KPK oleh majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009. Hal ini karena pada edisi sekian, berita yang disajikan tersebut masih bersifat hangat dan terkini. I.
Unit Analisis Data Dan Satuan Ukur Unit analisis adalah sesuatu yang akan dianalisis, yang merupakan elemen terkecil dan terpenting dari analisis isi. Unit analisis dapat berupa simbol tunggal, pernyataan atau artikel lengkap dalam sebuah cerita (Wimmer, 2003 : 148). Unit analisis dalam penelitian ini adalah paragraf dalam setiap isi rubrik laporan utama berita kasus Polisi Versus KPK oleh majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November
dan Gatra edisi 5-11, 12-18
November 2009. Satuan ukur dalam penelitian ini adalah frekwensi kemunculan struktur kategori dalam setiap paragraf berita yang mengandung unsur relevansi, keseimbangan dan netralitas yang dijelaskan dalam struktur kategori. Dengan jumlah kalimat dalam satuan ukur ini akan dianalisa dengan penetapan berita kasus Polisi Versus KPK oleh majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009, yang ditinjau dari aspek relevansi, keseimbangan dan netralitas.
37 J.
Struktur Kategori 1. Relevansi : yaitu apabila ada kesesuaian antara isi berita dengan tema yang diangkat, dan tercermin dalam judul maupun sub judul pemberitaannya. Apakah pembahasan dalam setiap paragraf berita merupakan cerminan judul, sub judul berita. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti membagi penilaian kategori relevansi menjadi dua yaitu: a.
Relevan yaitu apabila pembahasan dalam paragraf berita tersebut ada kesesuaian atau keterkaitan dengan tema yang diangkat dan tercermin dalam judul maupun sub judul pemberitaannya.
b.
Tidak Relevan yaitu apabila pembahasan dalam paragraf berita tersebut tidak ada kesesuaian atau tidak ada kaitannya dengan tema yang diangkat dan tidak tercermin dalam judul maupun sub judul pemberitaannya.
2. Keseimbangan : yaitu berkaitan dengan konsep “cover both side” bahwa keseimbangan dalam pemberitaan merupakan pemberian kesempatan yang sama pada semua pihak yang dijadikan sebagai sumber berita. Ketidak-berpihakan dapat dilihat dari sumber berita yang digunakan, yaitu apabila masing-masing pihak yang diberitakan diberi porsi yang sama dalam pembagian sumber berita. Dilihat dari jumlah sumber beritanya. Dengan demikian, pertama kali yang dilakukan untuk penilaian kategori ini adalah pembagian sumber beritanya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam memperoleh nilai dari
38 kategori keseimbangan. Adapun pembagian sumber berita dalam penelitian ini adalah: a.
Sumber berita pendukung KPK, yaitu apabila dalam paragraf berita tersebut terdapat pernyataan dari sumber berita yang mendukung KPK. Sumber beritanya bisa dari KPK beserta kuasa hukumnya atau dari sumber lainnya yang mendukung pihak KPK.
b.
Sumber berita pendukung Polisi, yaitu apabila dalam paragraf berita tersebut terdapat pernyataan dari sumber berita yang mendukung Polisi. Sumber beritanya bisa dari Polisi beserta kuasa hukumnya atau dari sumber lainnya yang mendukung pihak Polisi. Dari pembagian sumber berita di atas, maka dapat diketahui nilai
keseimbangan yang dilihat dari jumlah sumber berita yang digunakan dalam setiap pemberitaannya. Dalam hal ini, apakah sumber berita pendukung KPK dengan sumber berita pendukung Polisi memiliki jumlah yang sama dalam pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya atau tidak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti membagi penilaian kategori keseimbangan menjadi dua yaitu: a.
Seimbang, yaitu apabila sumber berita pendukung KPK dengan sumber berita pendukung Polisi memiliki jumlah yang sama dalam pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya.
b.
Tidak Seimbang, yaitu apabila sumber berita pendukung KPK dengan sumber berita pendukung Polisi tidak memiliki jumlah yang sama dalam pemberian paragraf pada setiap pemberitaannya.
39 3. Netralitas : yaitu menyangkut ada atau tidaknya pencampuran fakta dengan opini wartawan yang menulis berita. Adanya pencampuran fakta dan opini bisa dilihat apabila dalam artikel berita itu terdapat kata-kata opinionative, seperti : tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan, kesannya,
seolah,
kontroversi,
agaknya,
mengejutkan,
diduga,
manuver,
diperkirakan, sayangnya,
dan
diramalkan, kata-kata
opinionative lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti membagi penilaian kategori netralitas menjadi dua yaitu : a.
Netral (tidak ada pencampuran fakta dan opini), yaitu apabila dalam paragraf tersebut tidak terdapat kata-kata opinionative didalamnya, seperti : tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya, diduga, diperkirakan, diramalkan, kontroversi, mengejutkan, sayangnya, dan kata-kata opinionative lainnya.
b. Tidak Netral (ada pencampuran fakta dan opini), yaitu apabila dalam paragraf tersebut terdapat kata-kata opinionative didalamnya, seperti : tampaknya, sepertinya, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya,
diduga,
diperkirakan,
diramalkan,
kontroversi,
mengejutkan, sayangnya, dan kata-kata opinionative lainnya. K. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara pendokumentasian pemberitaan majalah Tempo edisi 2-8, 9-15 November dan Gatra edisi 5-11, 12-18 November 2009. Data yang telah dikumpulkan atau didokumentasikan kemudian dimasukkan pada lembar coding sesuai
40 kategori yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mempermudah dalam pengkategorisasian, maka dibuatlah lembar koding seperti contoh dibawah ini: Tabel 1.1 Contoh Lembar Koding Objektivitas Media Dalam Pemberitaan Kasus Polisi Versus KPK (Majalah Tempo Atau Gatra) No
Edisi
Judul Berita
Alinea / Paragraf
A A1
Keterangan : A: Relevansi A 1: Relevan A 2: Tidak Relevan B: Keseimbangan B 1: Sumber Berita Polisi B 2: Sumber Berita KPK B 3: Seimbang B 4: Tidak Seimbang C: Netralitas C 1: Netral C 2: Tidak Netral
A2
B1
Kategori B B2 B 3
C B4
C1
C2
41 Penilaian ke dalam lembar koding menggunakan tanda centang ( √ ) untuk setiap Paragraf berita yang memiliki unsur dalam struktur kategori. Data yang telah dimasukkan ke dalam lembar koding akan dihitung melalui rumus Holsty yang diperkuat dengan rumus Scott. L. Teknik Analisis Data Adapun proses dari analisis datanya adalah setelah melakukan pengkodingan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemudian data akan dianalisis menggunakan teknik analisis data distribusi frekuensi dengan cara data-data yang didapat dari hasil pengkodingan dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi berdasarkan masing-masing kategorinya. Melalui alat analisis ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi kemunculan masing-masing kategori dan memudahkan peneliti dalam mendapatkan prosentase hasil dari masing-masing kategori. Untuk lebih jelasnya, maka dibuatlah tabel distribusi frekuensi seperti contoh di bawah ini: Tabel 1.2 Contoh Tabel Distribusi Frekuensi Kategori Relevansi Berita (Majalah Tempo atau Gatra) No.
Edisi
Judul Berita
Jumlah
Relevansi Frekuensi Prosentase Tidak Tidak Relevan Relevan Relevan Relevan
42 Tabel 1.3 Contoh Tabel Distribusi Frekuensi Kategori Keseimbangan Berita (Majalah Tempo Atau Gatra) Keseimbangan No.
Edisi
Judul Berita A1
Frekuensi A2 A3
A4
Jumlah
Keterangan ; Frekuensi : A1 : Sumber Berita Pendukung Polisi A2 : Sumber Berita Pendukung KPK A3 : Seimbang A4 : Tidak Seimbang Prosentase : B1 : Sumber Berita Pendukung Polisi B2 : Sumber Berita Pendukung KPK B3 : Seimbang B4 : Tidak Seimbang
B1
Prosentase B2 B3
B4
43 Tabel 1.4 Contoh Tabel Distribusi Frekuensi Kategori Netralitas Berita (Majalah Tempo Atau Gatra) Netralitas No.
Edisi
Judul Berita
Frekuensi Tidak Netral Netral
Prosentase Tidak Netral Netral
Jumlah
Selanjutnya lewat tabel distribusi frekuensi tersebut dilakukan analisa deskriptif, yaitu hasil dari penghitungan persentase pada tabel di atas kemudian diberikan penjelasan deskriptif mengenai tingkat objektivitas kedua majalah dalam pemberitaan kasus Polisi Versus KPK yang ditinjau dari aspek relevansi, keseimbangan, dan netralitas isi berita. M. Uji Reliabilitas Kategori Kategori dalam analisis isi merupakan instrument pengumpul data. Fungsinya identik dengan kuesioner dalam survey. Supaya objektif, maka kategoris harus dijaga reliabilitasnya. Terutama untuk kategoris yang dibuat sendiri oleh periset sehingga belum memiliki standar yang telah teruji, maka sebaiknya dilakukan uji reliabilitas. Salah satu uji reliabilitas yang dapat digunakan adalah berdasarkan rumus R. Holsty. Disini peneliti melakukan pretest dengan cara meng-koding sample ke dalam kategorisasi. Kegiatan ini selain dilakukan peneliti juga dilakukan oleh orang yang lain yang ditunjuk peneliti sebagai pembanding atau hakim. Uji
44 ini dikenal dengan uji antar kode. Kemudian hasil pengkodingan dibandingkan dengan menggunakan rumus Hosty, yaitu : 2M CR =
————— N1+N2
Keterangan : CR
= Coeficient Realibiltiy
M
= Jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoding (hakim) dan peneliti
N1, N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkoding (hakim) dan peneliti. Dari hasil yang diperoleh, akan ditemukan observed agreement persetujuan yang diperoleh dari penelitian. Penyempurnaan untuk memperkuat hasil reliabilitas, maka digunakan rumus : Pi =
%ObservedAgrement − % exp ectedAgremant 1 − % EkspectedAgrement
Keterangan : Pi
: Nilai Keterhandalan
Observed Agreement : Jumlah yang disetujui oleh antar pengkode, yaitu nilai C.R Expected Agreement : Persetujuan yang diharapkan atas banyaknya tema dalam
suatu
matematisnya,
kategorisasi dinyatakan
yang dalam
pengukuran dari proporsi seluruh tema.
sama
nilai
jumlah
hasil