BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pengembangan Sumber Daya Manusia merupakan segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi dalam memfasilitasi pegawai agar memiliki pengetahuan, keahlian, dan/atau sikap yang dibutuhkan dalam menangani pekerjaan saat ini atau yang akan mendatang. Pada hakekaknya, pengembangan SDM diarahkan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar organisasi
(Eris
Yustiono
dalam
www.stialanbandung.ac.id).
Seiring
berkembangnya jaman, pemerintah Indonesia semakin mengedepankan kualitas pegawai dalam hal kompetensi dan skill dalam proses melayani kebutuhan masyarakat. Dewasa ini, masih banyak aparatur pemerintah yang dinilai masih kurang dalam melakukan kinerja. Kekurangan dalam melaksanakan kinerja tersebut terlihat dari banyaknya laporan atau keluhan dari masyarakat tentang pelayanan buruk yang diterima. Keluhan-keluhan tersebut muncul karena masyarakat merasa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah masih kurang, sehingga belum memberikan rasa puas dan nyaman bagi masyarakat. Keluhan masyarakat kepada instansi pemerintah terlihat dari laporan triwulan atau laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Ombudsman Indonesia. Keluhan yang masuk kedalam Ombudman Indonesia dibagi berdasarkan klasifikasi terlapor. Instansi yang menempati urutan pertama terbanyak yang dilaporkan atas dugaan maladministrasi adalah pemerintah daerah sebanyak 2329
1
laporan (45,02%), sedangkan instansi yang kedua adalah kepolisian sebanyak 668 laporan (12,91%), dan kementrian sebanyak 520 laporan (10,05%). Sebagaimana diketahui bahwa pelayanan sebagian besar berada pada penyelenggara pelayanan di lingkungan pemerintah daerah (laporan tahunan, 2013,www.ombudsman.go.id ) Masyarakat memberikan keluhan kepada pemerintah atas pelayanan yang diberikan kurang baik, keluhan masyarakat menjadi salah satu indikator bahwa pemerintah dalam melakukan kinerja (tupoksi) masih kurang dan menciptakan image yang buruk. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Jusuf Kala sebagai berikut : “Kelemahan birokrasi di Indonesia adalah kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” (Tribunnews.com tanggal 19 Desember 2014)
Kelemahan birokrasi di Indonesia adalah kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Kelemahan birokrasi tersebut membuat pelaksanaan birokrasi di Indonesia dinilai masih kurang. Sehingga, pemerintah Indonesia berupaya untuk meningkatkan kompetensi pegawai pemerintah dalam menciptakan birokrasi yang berkualitas. Struktur organisasi birokrasi di Indonesia pada umumnya masih memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut meliputi sistem yang dianggap kaku, tidak efisien, kelebihan pegawai serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Berbagai kelemahan itu akhirnya mengarah pada mutu pelayanan aparatur pemerintah yang rendah (Sulistiyani (ed), 2011: 33). Dengan demikian diperlukan perubahan dalam tubuh birokrasi. Perubahan yang coba untuk dilakukan oleh pemerintah adalah dengan meningkatkan kompetensi dan profesionalitas para pegawai pemerintahan. Hal
2
tersebut terlihat dari diberlakukannya Undang-undang baru tentang pegawai pemerintahan UU No.05 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Didalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwasanya aparatur pemerintah harus memiliki prinsip-prinsip dalam melakukan tugas fungsi dan pokok sebagai pegawai aparatur pemerintahan. Prinsip tersebut tertuang pada pasal 3 yang menjelaskan bahwa ASN sebagai profesi yang berlandaskan pada prinsip sebagai berikut : a. Nilai dasar b. Kode etik dan kode perilaku c. Komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik d. Kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas e. Kualitas akademik f. Jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas g. Profesionalitas jabatan Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa untuk menjadi aparatur tidak hanya memerlukan sebuah integritas yang tinggi melainkan juga perlu kompetensi serta profesionalitas dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam hal ini, aparatur pemerintah memberikan suatu kontribusi yang sangat besar dalam pelaksanaan birokrasi pemerintah. Selain itu juga, aparatur pemerintah dalam hal memberikan langkah konkrit kepada masyarakat dengan pelayanan yang diberikan oleh aparatur tersebut. Namun dalam pelaksanaannya masih ada aparatur pemerintah yang melakukan pelayanan yang buruk kepada masyarakat.
3
Di dalam pelayanan yang buruk, terdapat aparatur yang bekerja didalamnya dengan kompetensi yang kurang, sehingga dalam melaksanakan kinerjanya masih kurang maksimal dan kurang berkualitas. Notoatmodjo (1998: 2) menyebutkan bahwa kualitas sumber daya manusia ini menyangkut dua aspek yaitu aspek fisik (kualitas fisik) dan aspek non-fisik (kualitas non-fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan keterampilan-keterampilan lain. Upaya inilah yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Pengembangan
Sumber
Daya
Manusia
menurut
Gauzali
dalam
Kadarisman (2013: 5) adalah kegiatan yang harus dilaksanakan organisasi, agar pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan mereka sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan, dalam hal ini organisasi yang dimaksud adalah organisasi pemerintah khususnya pemerintah di lingkungan BKD Provinsi DIY. Dengan kata lain, pengembangan sumber daya manusia berkaitan erat dengan upaya meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan sikap pegawai pemerintahan serta penyediaan jalur karier yang didukung oleh fleksibilitas organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Sebagian besar pengembangan SDM yang coba dilakukan oleh pegawai pemerintahan adalah kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat), bimbingan teknis dan tugas belajar. Pengembangan SDM yang seperti itu dilakukan juga oleh BKD Provinsi DIY, meskipun BKD Provinsi DIY sering mengirimkan pegawaipegawai pemerintahan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi DIY namun tidak lupa juga mengirimkan pegawai dari BKD Provinsi DIY itu sendiri. Hal
4
tersebut dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan serta kompetensi dari para aparatur pemerintah Provinsi DIY. Dalam
pelaksanaannya,
diklat
memiliki
problem
yang
dapat
mempengaruhi kelancaran proses diklat dan daya serap ilmu yang dikemukakan pada saat diklat. Zainudin M,Si dari Badan Diklat Kementrian Dalam Negeri : “Permasalahan dalam pelaksanaan diklat dapat disebabkan dari berbagai hal, misalnya seperti tidak adanya Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) yang tertera secara jelas di dalam Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2000 tentang pendidikan dan pelatihan jabatan pegawai negeri sipil.” (www.pylopop.com) Tidak adanya SOP tersebut membuat pelaksanaan diklat menjadi rumit ketika dihadapkan pada pemerintah daerah yang jauh dari akses informasi. Sehingga dapat berpeluang pada tidak tercapainya tujuan diklat akibat terabaikannya hal-hal yang bersifat teknis sekaligus. Selain itu permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan diklat dapat juga berupa permasalahan berupa kemasan cakupan (materi, metode, dan media) yang menunjukkan kurang spesifiknya tujuan diklat, kurang jelasnya sistematika kurikulum, dangkalnya materi/modul diklat, serta kapasitas yang dimiliki oleh widyaiswara dalam menjelaskan dan menguasai materi yang akan diberikan kepada peserta diklat masih kurang sehingga membuat peserta diklat menjadi kurang memahami materi tersebut. Permasalahan lain yang terjadi adalah peserta diklat yang mengikuti diklat kurang memiliki kemauan yang kuat untuk mengikuti kegiatan diklat tersebut, sehingga mengakibatkan perilaku yang sebelum diklat dilakukan lagi kedalam pekerjaan di lingkungan asalnya (Siswanta Jaka Purnama selaku
widyaiswara
Madya
Badan
Diklat
Prov. Jawa
Tengah
dalam
www.badandiklat.jatengprov.go.id).
5
Proses kembalinya perilaku lama setelah diklat tidak dapat di salahkan, karena lingkungan lama juga mampu mempengaruhi perilaku peserta diklat dalam hal ini adalah aparatur pemerintah daerah untuk bersikap seperti pada waktu belum mengikuti program pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (diklat). Sehingga apa yang telah disampaikan selama proses diklat tidak dapat diterapkan dilingkungan asal pegawai tersebut bekerja. Apabila tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka pegawai tersebut tidak memiliki kompetensi yang berkualitas. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka seyogyanya para aparatur pemerintah mampu menelaah dan memahami apa yang diajarkan saat mengikuti diklat sehingga aparatur pemerintah mampu menyerap dan mengimplementasikan hal tersebut ke dalam lingkungan masing-masing. Hal seperti itu dapat dilakukan ketika aparatur pemerintahan yang mengikuti diklat mampu mentranfer apa yang didapat dari kegiatan diklat yang sering disebut dengan transfer of training. Proses tranfer of training dapat dilaksanakan ketika peserta diklat mengerti dan memahami apa yang telah diajarkan selama proses diklat dan mengimplementasikan pengetahuan tersebut kedalam lingkungan kerjanya. Dewasa ini, tindakan seperti itu masih sangat jarang ditemui di lingkungan birokrasi pemerintahan Indonesia, permasalahan-permasalahan yang muncul selama ini adalah tentang gagalnya aparatur pemerintah dalam memperbaiki perilaku dan kinerja mereka saat berada dalam lingkungan kerja Proses tranfer of training dapat meningkatkan kemampuan peserta pelatihan dalam memahami materi, perilaku yang terbentuk dari lingkungan pelatihan yang dapat digunakan dalam lingkungan kerja, serta penerapan materi selama proses pelatihan kedalam lingkungan kerjanya (Broad dan Newstorm,
6
1992: 6). Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan melakukan proses transfer of training ke dalam lingkungan kerja masing-masing pegawai yang mengikuti kegiatan pelatihan, maka akan tercipta suatu lingkungan kerja yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas kinerja aparatur pemerintah. Menurut Holton dalam Saks dan Belcourt (2006:630) yang menyebutkan bahwa sistem transfer seperti gabungan dari seluruh faktor yang ada di dalam diri individu itu sendiri, diklat, dan organisasi mampu mempengaruhi kinerja di lingkungan kerja. Seperti misalnya dukungan dari supervisor, dukungan pegawai lain, memahami apa yang menjadi isi dari apa yang telah disampaikan saat diklat, transfer design, dan kesempatan untuk menggunakan kemampuan yang baru didalam lingkungan kerja. Transfer of training itu sendiri dilakukan bukan hanya selama diklat saja, melainkan sebelum dan sesudah diklat. Seperti yang dikemukakan oleh Saks dan Belcourt (2006:631) yang menyebutkan bahwa the transfer literature has identified many activities that are likely to facilitate transfer of training before training begins (pretraining environment), during the actual training program, and after a training program (post-training work environment). Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pegawai yang berkualitas tidak hanya dalam proses diklat namun saat selesai diklat dan kembali kepekerjaannya, sehingga memiliki kinerja yang lebih berkompeten dengan menerapkan apa yang telah didapat di dalam proses diklat. Dalam pelaksanaan transfer of training terdapat dampak pelatihan terhadap kinerja di lingkungan kinerja. Newstorm memiliki data dampak pelatihan terhadap kinerja yang dapat membuat manajemen berpikir ulang untuk investasi
7
pada pelatihan dan pengembangan SDM. Menurut Newstorm (1986) rata-rata dari suatu pelatihan, setelah pelatihan selesai dilaksanakan hanya 41% dari materi pelatihan yang diterapkan di tempat kerja. Pertambahan waktu berperan besar mempengaruhi tingkat transfer of training terjun bebas ke presentase lebih rendah. Enam bulan kemudian, tingkat keberhasilan transfer of training hanya 24% satu tahun setelah pelatihan, tingkat keberhasilan merosot drastis menjadi 15%. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat menarik untuk dilakukan suatu penelitian tentang pelaksanaan transfer of training di instansi pemerintah khususnya Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui penelitian tersebut maka dapat diketauhi bagaimana pelaksananaan transfer of training di lingkungan BKD Provinsi DIY. Dengan demikian, transfer of training dapat dilaksanakan oleh pegawai pemerintahan di lingkungan BKD Provinsi DIY dengan maksimal, sehingga bisa menghasilkan kinerja yang optimal dan dapat melakuakan perubahan ke arah positif.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang hendak diangkat dan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah pelaksanaan Transfer of Training di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pelaksanaan Transfer of Training
di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta ?
8
1.3 Tujuan Penelitian Setiap penelitian memiliki tujuan untuk menjawab apa yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Maka berdasarkan rumusan permasalahan yang diajukan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Transfer of Training di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga mampu meningkatkan kualitas sumberdaya aparatur. 2. Mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan transfer of training di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat akademis : dapat memberikan informasi yang obyektif dan dapat digunakan sebagai bahan pengembangan Ilmu Administrasi Publik khususnya dibidang pengembangan sumber daya manusia bagi peneliti lainnya di masa yang akan datang.
2.
Manfaat praktis : diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia (SDM) di instansi pemerintah dengan menerapkan apa yang telah didapat saat mengikuti pendidikan dan pelatihan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi institusi pelayanan publik lainnya untuk dapat menerapkan dan memperbaiki kualitas SDM aparatur.
9