BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi aktif yang terdapat di Pulau Jawa dan terletak sekitar 30 kilometer di Utara wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, kawasan Gunung Merapi termasuk dalam wilayah Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta serta Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten yang termasuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Menurut Sutomo (2013), sekurangnya telah terjadi 83 kali peristiwa letusan (erupsi) Gunung Merapi yang terdokumentasikan sehingga Gunung Merapi termasuk dalam kategori gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi skala kecil Gunung Merapi terjadi dalam interval waktu 2 – 5 tahun sekali, erupsi sedang terjadi dalam 7 – 10 tahun sekali dan erupsi skala besar biasanya terjadi setiap 100 tahun sekali (Newhall et al., 2000). Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan pegunungan di Pulau Jawa bagian tengah yang mempunyai fungsi strategis bagi kehidupan manusia di sekitarnya. Komponen biologis ekosistem hutan Gunung Merapi mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi. Selain itu, Gunung Merapi juga telah menciptakan ekosistem yang spesifik yaitu hutan tropika pegunungan dan pola suksesi vegetasi yang berkembang secara dinamis, khususnya pada area-area yang terdampak oleh erupsi Gunung Merapi (Djuwantoko et al.,
1
2005). Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan daerah tangkapan air yang penting dan merupakan sumber air bagi beberapa sungai yang mengalir di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan di Jawa Tengah. Fungsi strategis kawasan hutan Gunung Merapi tersebut merupakan dasar penunjukan kawasan hutan dengan luas ± 6.410 ha menjadi Taman Nasional Gunung Merapi oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :SK.134/MenhutII/2004 tanggal 04 Mei 2004. Salah satu jenis tumbuhan khas pegunungan yang terdapat di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) adalah puspa (Schima wallichii (DC.) Korth) yang termasuk ke dalam famili Theaceae. Secara umum, spesies tersebut dapat dijumpai di ekosistem hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan, terutama pada area yang telah terganggu dan berupa hutan sekunder. Puspa merupakan jenis tumbuhan yang banyak digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan karena peranannya dalam mengendalikan erosi serta untuk tujuan konservasi tanah dan air (Orwa et al., 2009). Awal keberadaan tegakan puspa di dalam kawasan TNGM tidak dapat dilepaskan dari sejarah pengelolaan kawasan TNGM. Sebelum ditunjuk menjadi kawasan taman nasional, sebagian besar kawasan hutan Gunung Merapi berfungsi sebagai hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Hanya sebagian kecil kawasan hutan Gunung Merapi yang bukan merupakan hutan lindung, yaitu kawasan dengan luas 198,5 ha di Kabupaten Sleman yang ditunjuk sebagai Cagar Alam Plawangan Turgo dan kawasan Hutan Taman Wisata Alam dengan luas 131 ha. Kondisi topografi kawasan yang curam dan berupa bukit-bukit mendorong
2
dilakukannya penanaman puspa untuk pengendalian erosi serta konservasi tanah dan air. Menurut Umiyati (2003), pada tahun 1930 – 1932, di kawasan Hutan Taman Wisata Kaliurang telah dilakukan penanaman bibit puspa. Dengan demikian, beberapa tegakan puspa yang terdapat di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi saat ini sebagian besar merupakan hasil penanaman yang kemudian berkembang karena adanya permudaan secara alami. Erupsi terakhir Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober dan 5 November tahun 2010 telah mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan TNGM. Berdasarkan survei kondisi biofisik kawasan yang dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) dan Fakultas Kehutanan UGM, kejadian erupsi Gunung Merapi tahun 2010 telah mengakibatkan kerusakan vegetasi pada areal seluas ±2450 ha, dengan tingkat kerusakan yang bervariasi dari rusak ringan, rusak sedang, hingga rusak berat (BTNGM, 2011). Sebagian area yang mengalami kerusakan vegetasi tersebut sebelumnya merupakan hutan yang didominasi oleh tegakan puspa. Kerusakan ekosistem hutan akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 mendorong perlunya dilakukan restorasi ekosistem untuk mengembalikan fungsi ekosistem Gunung Merapi dengan penanaman jenis-jenis tumbuhan asli Gunung Merapi. Puspa merupakan salah satu jenis tanaman yang digunakan dalam kegiatan restorasi ekosistem karena memenuhi kriteria jenis asli ekosistem Gunung Merapi, berfungsi untuk konservasi tanah dan air serta memiliki fungsi rekreatif (BTNGM, 2011). Kebutuhan bibit tanaman dalam jumlah besar dan terbatasnya jumlah permudaan alam puspa di kawasan TNGM mendorong pihak pengelola kawasan
3
untuk menggunakan bibit tanaman dari luar kawasan TNGM. Bibit puspa yang ditanam dalam kegiatan restorasi ekosistem TNGM berasal dari wilayah Purwokerto, Jawa Tengah (BTNGM, 2011). Bibit tanaman yang kurang sesuai dengan kondisi lingkungan area restorasi ekosistem dan teknik silvikuktur yang tidak tepat merupakan penyebab kegagalan beberapa kegiatan restorasi ekosistem (Thomas et al., 2014). Keragaman genetik dari bibit tanaman untuk kegiatan restorasi ekosistem akan mempengaruhi keberhasilan proyek restorasi ekosistem dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, keragaman genetik diperlukan oleh suatu populasi untuk mempertahankan kemampuan reproduksi (reproductive fitness). Dalam jangka panjang, keragaman genetik diperlukan untuk menjaga potensi evolusi adaptif (adaptive evolutionary potential) pada kondisi lingkungan yang selalu berubah. Populasi dengan keragaman genetik yang rendah akan sangat rentan terhadap kepunahan karena tidak dapat bertahan dari perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002). Informasi mengenai keragaman genetik dan potensi permudaan alam dari beberapa kelompok tegakan puspa di TNGM pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 sampai saat ini belum tersedia. Kondisi kawasan hutan TNGM yang berada di sekitar Gunung Merapi yang masih aktif menyebabkan tingginya potensi kerusakan ekosistem akibat aktivitas vulkanik Gunung Merapi. Erupsi Merapi yang terjadi secara periodik merupakan alasan utama pentingnya program restorasi ekosistem dalam pengelolaan kawasan TNGM. Puspa merupakan jenis yang telah ditentukan sebagai salah satu jenis prioritas untuk kegiatan restorasi ekosistem.
4
Informasi mengenai keragaman genetik kelompok-kelompok tegakan puspa dan potensi permudaan alam yang ada pada tegakan-tegakan tersebut akan sangat bermanfaat untuk keberhasilan program restorasi ekosistem di masa mendatang.
1.2 Rumusan Masalah Dalam kegiatan restorasi ekosistem TNGM pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, belum pernah dilakukan penelitian-penelitian terkait dengan kondisi keragaman genetik dan potensi permudaan alam dari beberapa kelompok tegakan puspa yang terdapat di kawasan TNGM. Tingkat kerusakan vegetasi yang bervariasi pada kelompok-kelompok tegakan puspa di kawasan TNGM akibat erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji keragaman genetiknya. Peristiwa erupsi Gunung Merapi yang menyebabkan terjadinya pengurangan ukuran populasi (population bottleneck) tumbuhan puspa dapat berakibat pada terjadinya damparan genetik (genetic drift) dan menurunkan tingkat keragaman genetik puspa di kawasan TNGM. Selain itu, reintroduksi jenis puspa yang bibitnya berasal dari luar kawasan TNGM melalui kegiatan restorasi ekosistem tanpa melakukan kajian terhadap keragaman genetik sebelumnya, mendorong perlunya dilakukan penelitian mengenai keragaman genetik pada kelompok tegakan puspa, khususnya mengenai peran kegiatan restorasi ekosistem dalam memperbaiki keragaman genetik puspa di TNGM pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010.
5
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui keragaman genetik kelompok-kelompok tegakan puspa yang masih ada di kawasan TNGM pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan tegakan yang ditanam melalui kegiatan restorasi ekosistem TNGM. 2. Mengetahui potensi permudaan alam dari beberapa kelompok tegakan puspa di kawasan TNGM.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Menyediakan data dan informasi ilmiah tentang keragaman genetik kelompok-kelompok tegakan puspa di TNGM. Informasi tersebut akan sangat bermanfaat bagi pihak pengelola kawasan, khususnya dalam menentukan kebijakan konservasi jenis puspa di kawasan TNGM; 2. Sebagai bahan rekomendasi kepada pihak pengelola kawasan dalam menentukan kelompok tegakan puspa yang potensial untuk digunakan sebagai sumber benih dalam kegiatan restorasi ekosistem TNGM di masa mendatang.
6