BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Brebes merupakan salah satu dari 35 daerah otonomi di Propinsi Jawa Tengah. Terletak di sepanjang Pantai Utara Laut Jawa, memanjang ke selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tegal, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tegal dan sebelah barat berbatasan dengan Kota Cirebon Jawa Barat. Letaknya antara 6044-7021’ lintang selatan dan antara 108041’-109011’ bujur timur. Perkembangan saat ini di Dunia Islam termasuk di Indonesia cukup baik. Wakaf juga menjadi perhatian pemerintah dan bahan kajian bagi para praktisi. Dengan demikian, Insya Allah wakaf benar-benar akan membawa kesejahteraan bagi umat, dengan catatan nadzirnya harus professional. Ia mampu mengelola wakaf secara produktif, dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh mereka yang berhak, namun demikian keberhasilan pengelola wakaf sebenarnya tidak hanya semata-mata tergantung pada nadzir, tetapi komitmen bersama bersama antara nadzir, wakif, khususnya umat Islam, pemerintah, akademisi, dan praktisi. semoga Allah memudahkan kita semuanya. Agama Islam menganjurkan untuk melaksanakan ibadah, antara lain dengan melaksanakan wakaf. Pada umumnya wakaf terdiri dari benda, namun
1
bagi mereka yang mampu, biasanya mewakafkan benda miliknya berupa tanah, karena tanah bersifat kekal dan tidak habis dipakai kecuali dijual. Wakaf adalah suatu lembaga yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna mengembangkan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan materi menuju masyarakat adil dan makmur.
Islam
menjadikan
wakaf
sebagai
sarana
untuk
memajukan
kesejahteraan rakyatnya di samping zakat. Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan, hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak) jika tidak akan menimbulkan ketidak-tertiban, kaidah yang populer dalam masalah ini adalah “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan”. Tanggal 27 Oktober 2004 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan undang-undang tentang wakaf yang kemudian terkenal dengan Undang-Undang No. 41 tahun 2004.
Prinsip yang harus dipegang dalam masalah wakaf ini adalah agar barang-barang yang diwakafkan tersebut jangan sampai habis atau rusak, harus tetap utuh dan menjadi dana abadi, dan ketika seseorang telah mewakafkan sesuatu apapun yang bisa diwakafkan, maka dia tidak bisa lagi mengambil kembali barang yang diwakafkan itu. Melindungi kepentingankepentingan tersebut negara telah memberikan payung hukum dengan instrumen yang khusus dengan undang-undang. 2
Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, meliputi lima prinsip:
Pertama, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan di daftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannnya dilakukan sesuai dengan tata-cara yang diatur dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.
Kedua, ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut undang-undang ini wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya.
Ketiga, peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf.
Keempat, untuk mengamankan harta benda wakaf dan campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional nadzhir. 3
Kelima, undang-undang ini juga mengatur pembentukan badan wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan.
Badan
tersebut
merupakan
lembaga
independen
yang
melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap nadzir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.1 Masalah wakaf sebagai salah satu cara perolehan hak atas tanah dalam lembaga hukum Islam, selain cara perolehan melalui jual-beli, hibah, wasiat, tukar-menukar, maupun, ihyaulmat (membuka lahan tanah baru), pada dasarnya tidak hanya mencakup benda bergerak seperti, mobil, meja, lemari, dan benda tidak bergerak seperti halnya tanah dengan bangunannya. Meski demikian dalam kehidupan masyarakat menyebutkan untuk benda bergerak lebih banyak menyebutkan sodaqoh. Sedangkan menyebutkan wakaf lebih banyak diterapkan untuk benda tidak bergerak, tanah umpamanya. 2 Kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanah mempunyai peran yang sangat penting, baik sebagai tempat tinggal, tempat kegiatan perkantoran, tempat usaha baik perdagangan, pertanian, peternakan, tempat kegiatan pendidikan, peribadatan, dan lain-lainya. Peran penting dari tanah 1
Abdul salam, Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Suara Muhammadiah, Jakarta, 1990, hlm 19
2
Taufik Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2003, hlm, 3.
4
tersebut untuk kegiatan-kegiatan seperti contoh di atas dapat diperoleh selain dengan cara jual-beli, tukar-menukar, hibah, pinjam, dan lain-lainnya dapat juga diperoleh melalui cara atau jalan wakaf, dan untuk itulah modal yang paling utama dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, adalah tanah. Apalagi dengan perkembangan yang begitu besar pembangunan di berbagai bidang menjadi kedudukan tanah menjadi sangat penting. Munculah berbagai perbedaan kepentingan antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat banyak. Pada umumnya kalau beberapa kepentingan berasal dalam keadaaan atau posisi yang saling berhadapan maka akan dimenangkan oleh pihak yang lebih kuat, yang dalam hal ini pemerintah atau pengusaha dan rakyat kecil pada umumnya akan menjadi pihak yang dirugikan.3 Salah satu konsiderannya disebutkan bahwa berhubungan dengan yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional. Berdasarkan atas Hukum Adat tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama. 4 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, serta Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, maka telah terjadi pembaharuan di bidang perwakafan tanah dimana persoalan tentang perwakafan tanah milik ini
3
Ibid. hlm 3.
4
Ibid. hlm 3.
5
telah diatur, diterbitkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi hakekat dan tujuan dari perwakafan sesuai ajaran Islam. Selanjutnya diharapkan agar segala persoalan tentang perwakafan tanah ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Idealnya mewakafkan tanah milik harus melalui proses pendaftaran, namun realitanya di Kabupaten Brebes masih banyak wakif yang tidak mendaftarkan karena pengetahuan masyarakat tentang tata-cara wakaf masih kurang, hambatan ini menyebabkan proses pelaksanaan wakaf menjadi tidak berjalan dengan baik. Sebagian masyarakat dalam hal ini wakif ketika akan mewakafkan
tanahnya
datang
menghadap
PPAIW
tanpa
membawa
persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dalam proses wakaf itu sendiri. Anggapan masyarakat tentang tata-cara perwakafan yang berbelit-belit dan juga biayanya diperkirakan mahal sehingga masyarakat beranggapan prosedur tersebut mempersulit orang untuk berbuat wakaf. Warga masyarakat Brebes pada umumnya beranggapan sudah sah tanpa pendaftaran, hal ini timbul karena perbuatan wakaf itu telah dilaksanakan sejak lama dan wakif menganggap perbuatan wakafnya dilakukan atas dasar kerelaan atau keikhlasan menurut tata-cara kebiasaan (adat) yang berlaku pada saat perbuatan wakaf itu dilakukan. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, pemerintah
berupaya
untuk
lebih
memudahkan
masyarakat
dalam
melaksanakan pendaftaran tanah baik masalah prosedurnya maupun masalah 6
pendaftaran tanahnya. Pelaksanaan pendaftaran wakaf tanah milik di Kabupaten Brebes menunjukan bahwa para wakif maupun nadzir di Kabupaten Brebes sebenarnya mengetahui kewajiban untuk mendaftarkan tanah wakafnya, namun realitanya sampai saat ini masih banyak lokasi tanah wakaf yang belum di daftarkan. Proses sertifikasi tanah wakaf mengalami hambatan karena status haknya tidak jelas, sedangkan tanah wakaf tersebut sudah di manfaatkan dan digunakan sesuai dengan fungsinya sebagai tanah wakaf. Contoh hambatan ini adalah saksi tidak ada atau telah meninggal dunia, bahkan lebih sulit lagi wakifnya sudah meninggal. Hambatan ini sangat mempersulit PPAIW, karena mengharuskan adanya identifikasi terhadap tanah wakaf dan identifikasi riwayat hidup, sehingga muncul sengketa terhadap milik tanah tersebut. Terhadap tanah wakaf yang nyata-nyata sudah berfungsi dan telah pula diakui oleh masyarakat dapat di proses sertifikasinya sebagai tanah wakaf. Adanya sertifikat merupakan keharusan untuk dapat dinyatakan sebagai tanah wakaf yang sah dan pasti sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas maka penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul: “Kekuatan Hukum Mengikat Pendaftaran Wakaf Tanah Milik Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 di Kabupaten Brebes”
7
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan hukum mengikat wakaf tanah milik yang tidak didaftarkan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 di Kabupaten Brebes? 2. Bagaimana upaya penyelesaian hukum terhadap tanah milik wakaf yang tidak didaftarkan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 2004 di Kabupaten Brebes? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kekuatan hukum mengikat wakaf apabila mewakafkan tanah milik tidak didaftarkan di Kabupaten Brebes. 2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian hukum terhadap tanah milik wakaf yang tidak didaftarkan di Kabupaten Brebes. D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Wakaf Wakaf menurut undang-undang adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf menurut bahasa Arab berarti “al-habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa–yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau 8
memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah.5Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa (fiil madi) yaqifu (fiil mudari) waqafan (isim masdar) yang berarti berhenti atau menahan, atau berdiri di tempat. Menurut arti istilah, wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk mendapatkan keridhoan Allah.6 Wakaf menurut istilah syarak adalah “menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan’’. 7 Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum) sesuai dengan perbedaan mahzab yang mereka anut, baik dari segi kelaziman dan tidak lazimnya, syarat pendekatan didalam masalah wakaf ataupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada imam mahzab, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan imam-imam lainnya. Maka yang terlintas di benak kita setelah membaca definisi tersebut adalah kutipan dari yang mereka buat, kenyataannya tidak demikian, karena definisi-definisi itu hanyalah karangan ahli-ahli fikih yang datang sesudah mereka aplikasi dari kaidah-kaidah umum masing-masing imam mahzab yang mereka anut. 5
Muhammad Fadullah dan B. th. Brondgeest, Kamus Arab Melayu, Balai Pustaka, Weltevreden, 1925, hlm 116-117
6
Ibid. hlm. 116-117
7
Al-Alabij Adjani, Perwakafan Tanah di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 25
9
Para ahli fikih mahzab Syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi yang dapat kita ringkas sebagai berikut:8 a. Imam Nawawi dari kalangan mahzab Syafi’i mendefinisikan wakaf dengan: “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah’’. Definisi ini dikutip oleh Al-Munawi dalam bukunya Al-Taisir. b. Al–Syarbini Al–Khatib dan Ramli Al–Kabir mendefinisikan wakaf dengan: “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal–hal yang dibolehkan”. c. Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikan dengan: “Menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan pemiliknya untuk hal yang diperbolehkan”. d. Syaikh Syaihabudin Al-Qalyubi mendefinisikan dengan: “Menahan harta untuk dimanfaatkan dalam hal yang diperbolehkan dengan menjaga harta tersebut”. Pemaparan tersebut di atas, kita bisa mengasumsikan bahwa titik persamaan dari masing–masing definisi itu adalah definisi Syaikh Al– Qalyubi. 9
8
Muhammad Al-Kabisi Abid Abudallah, Hukum Wakaf, Dompet Dhuafa Republik dan Ilman, Jakarta, 2004, hlm. 40
9
Ibid. hlm. 41
10
Melihat prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan wakaf baik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 di atas nampak bahwa peraturan perundangan tersebut sesuai dengan pendapat madzhab-madzhab yang dikenal dalam fiqih Islam. Bahkan keberadaan peraturan perundangan wakaf setidaknya telah memberikan pengertian keluasan cakupan benda wakaf sekaligus memberikan legitimasi kekuatan dan kepastian hukum wakaf, misalnya tentang ketentuan kewajiban mendaftarkan tanah wakaf, syarat-syarat nadzir dan lain sebagainya. 2. Pengertian Tanah Milik Pengertian tanah milik adalah tanah yang hak atas tanahnya berstatus hak milik, sebagaimana pengertian hak milik yang ada dalam pasal 16 Undang–Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur macam– macam hak atas tanah yang salah satu diantaranya adalah hak milik. Hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah kepada subjeknya. Sedangkan
menurut
pendapat
dari
Boedi
Harsono
yang
memberikan ciri–ciri hak milik dan menurut pasal 20 ayat (1) Undang– Undang No. 5 Tahun 1960 mengenai pengertian hak milik itu sendiri yaitu: hak turun temurun, terkuat dan terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Terkuat dan terpenuh tidak berarti hak milik hak yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Namun 11
pengertian tersebut menunjukan bila dibandingkan dengan hak lain, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh. Bahwa hal–hal yang menjadi ciri–ciri dari hak milik sebagai berikut: a. Hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh. b. Hak milik adalah hak turun-temurun dan dapat diwariskan. c. Hak milik dapat menjadi induk dari pada hak atas tanah lain. d. Hak milik dapat menjadi jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. e. Hak milik dapat dialihkan pada pihak lain. f. Hak milik dapat dilepas oleh pemiliknya hingga menjadi tanah negara. g. Hak milik dapat diwakafkan. 3. Pengertian Wakaf Tanah Milik Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 sebenarnya mengatur pendaftaran tanah secara umum, sedangkan perbuatan perwakafan tanah milik diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 1977. Wakaf menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 pasal 1 ayat (1) adalah perbuatan hukum seseorang atas badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama–lamanya untuk keperluan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
12
Boedi Harsono memberi pengertian perwakafan tanah milik adalah perbuatan suci, mulia dan terpuji, yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi “wakaf sosial”, yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam. 10 Dijadikannya tanah hak milik suatu wakaf, hak milik yang bersangkutan menjadi hapus. Tetapi tanahnya tidak menjadi tanah milik negara, melainkan memperoleh status yang khusus sebagai tanah wakaf, yang sebenarnya hukum tentang wakaf adalah termasuk kajian hukum Islam, akan tetapi karena perbuatan wakaf di Indonesia sudah menjadi praktek kelaziman bahkan sebagian besar benda wakaf adalah dalam bentuk tanah. Oleh karena itu saat ini hukum tentang wakaf tidak hanya merupakan perbuatan ibadah seseorang akan tetapi sudah menyangkut aspek Hukum Agraria didalamnya.
10
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Djambatan, 1999, hlm. 31
13
E. Metode Penelitian 1. Objek penelitian a. Kekuatan hukum mengikat pada pelaksanaan wakaf tanah milik di Kabupaten Brebes yang tidak didaftarkan. b. Upaya penyelesaian hukum terhadap tanah milik wakaf yang tidak didaftarkan di Kabupaten Brebes. 2. Subjek penelitian a. Wakif yang telah melakukan wakaf tanah milik di Kabupaten Brebes. b. Kepala Kantor Departemen Agama di Kabupaten Brebes. 3. Sumber data a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan (Field research). b. Data sekunder, yaitu berupa data yang di peroleh dari penelitian kepustakaan. 4. Teknik pengumpulan data a. Data primer Dilakukan dengan wawancara langsung untuk memperoleh informasi atau keterangan–keterangan yang berhubungan dengan pelaksanaan pendaftaran wakaf tanah milik di Kabupaten Brebes, dalam hal ini adalah Kantor Departemen Agama di Kabupaten Brebes.
14
b. Data sekunder Diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, yaitu peraturan perundangan–undangan, dokumen– dokumen yang berkaitan dengan permasalahan diatas. 5. Metode pendekatan Metode pendekatan adalah sudut pandang yang digunakan peneliti
dalam
memahami
dan
menyelesaikan
permasalahan.
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis, dan jika dianggap perlu digunakan pendekatan lain sebagai penunjang dari pendekatan yuridis tersebut, misalnya: filosofis, politis dan komparatif. 6. Analisa data Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian. b. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematika. c. Data yang telah disistematika kemudian dianalisa untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.
15