1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di bidang obstetri dan perinatologi. Hal ini karena kelahiran bayi preterm merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal. Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 minggu sampai dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu atau 259 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (Cunningham dkk, 2010). Persalinan preterm menjadi penyebab utama kematian bayi, dimana sekitar 75% kematian perinatal disebabkan oleh prematuritas (Goldenberg, 2002). Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress syndrome (RDS), intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam, 2003). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2003). Dampak yang diakibatkan oleh keadaan ini adalah rendahnya
2
kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang dan beban biaya yang mahal karena dibutuhkan teknologi kedokteran yang canggih untuk perawatan bayi yang lahir preterm. Karena itu, maka tindakan pencegahan sebelum persalinan terjadi, akan lebih bermanfaat dibandingkan apabila telah terjadi persalinan. Sehingga diperlukan upaya pencegahan dan pengelolaan persalinan preterm yang lebih rasional didasari suatu pemahaman tentang penyebab terjadinya proses persalinan preterm yang lebih spesifik. Angka kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap negara. Di negara berkembang angka kejadiannya masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Negara maju, misalnya di Eropa angka insiden persalinan preterm berkisar 5-11%. Di Amerika Serikat pada tahun 2000 sekitar satu dari sembilan bayi dilahirkan prematur (11,9%). Sedangkan di Indonesia angka kejadian persalinan preterm nasional belum ada, namun angka kejadian BBLR dapat mencerminkan angka kejadian persalinan preterm secara kasar. Angka kejadian BBLR nasional rumah sakit adalah 27,9% (Widjayanegara, 2009). Di RSUP Sanglah sendiri, kejadian persalinan preterm periode Januari 2008 sampai dengan Oktober 2011 sebesar 9,12% dari seluruh persalinan (SMF OBGIN, RSUP Sanglah, Denpasar, 2011). Mekanisme yang mendasari terjadinya persalinan preterm belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor yang dipikirkan mengatur terjadinya persalinan preterm meliputi : aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal fetus maternal, infeksi dan inflamasi, perdarahan desidua dan peregangan
3
uterus yang berlebihan, yang menimbulkan suatu rangkaian gejala klinik dan sinkronisasi antara adanya kontraksi otot uterus (miometrium), robeknya selaput janin (korion dan amnion), dan adanya pematangan serviks (cervical ripening) (Krisnadi dkk, 2009). Kontraksi otot polos miometrium juga dapat dipicu oleh ketidakseimbangan Reactive Oxygen Species (ROS) dengan antioksidan dalam tubuh yang bergeser ke arah peningkatan ROS (Yuan & Bernal, 2007). Di mana diketahui bahwa ROS dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan metabolisme seluler (Slavic dkk, 2006). Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Mereka menjadi stabil dengan mengikat elektron dari asam nukleat, lemak, protein, serta molekul terdekat lainnya yang menyebabkan kaskade reaksi berantai yang menghasilkan kerusakan sel dan penyakit. Tiga tipe utama dari ROS adalah superoxide (O2-), hydrogen peroxide (H2O2), dan hydroxyl (OH-). Pada keadaan normal, terjadinya peningkatan radikal bebas akan diikuti oleh produksi antioksidan sebagai sistem pertahanan terhadap radikal bebas (Eberhardt, 2001). Antioksidan merupakan sistem pertahanan untuk melindungi diri dari ancaman radikal bebas. Mekanisme sistem pertahanan tersebut terdiri atas enzymatik dan non-enzymatik. Pada sistem pertahanan enzymatik, glutathione peroxidase (GSH-Px), catalase (CAT), dan superoxide dismutase (SOD) memainkan peranan yang utama. Disisi lain, sel dan plasma memiliki nonenzymatik seperti beta karoten dan vitamin E yang larut dalam lemak serta asam
4
askorbat, asam urat dan glutation yang dapat larut dalam air (Kohen & Nyska, 2002). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari hubungan antara antioksidan, stres oksidatif, dan persalinan preterm. Pemberian H2O2 sebagai salah satu ROS, disebutkan dapat memicu kontraksi uterus tikus akibat meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2) (Cherouny,dkk 1989). Di lain pihak, peningkatan ROS (O2- maupun H2O2) pada kehamilan ditengarai dapat memicu peningkatkan influx Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan calcium intraseluler [Ca2+]i yang kemudian akan memicu kontraksi uterus (Matsumoto dkk, 2002 ; Warren dkk, 2005). Apabila produksi radikal bebas melebihi kapasitas penangkapan oleh antioksidan maka akan timbul suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Sejumlah besar ROS yang terbentuk akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Peroksidasi lipid merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan lipoprotein pada plasma. Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan lipid hidroperoksida, sementara produk sekundernya diantaranya ialah Malondialdehyde (MDA), thiobarbituric acid reactive substances (TBARS), hydroxylnonenal (HNE), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-like product yang disebut F2-isoprostanes (Wikipedia, 2010). Peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan membran sel secara langsung dan tidak
5
langsung. Efek secara langsung yaitu menyebabkan gangguan pada fungsi membran sel sehingga dapat mempengaruhi perubahan kandungan cairan (fluiditas) membran dan mobilisasi enzim-enzim pada membran. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai barier tersebut, peroksidasi lipid juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion berupa gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya yaitu terjadi influks ion Ca2+ sehingga dapat memicu timbulnya kontraksi otot miometrium (Warren dkk, 2005 ; Connors, 2004 ; Eberhardt, 2001 ; Aruoma, 2001). Sedangkan efek secara tidak langsung melalui produk-produk metabolit dari peroksidasi lipid (Eberhardt, 2001). Pada sebuah penelitian, pemberian HNE pada kultur jaringan miometrium manusia, dapat menginduksi ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 sehingga dapat memicu terjadinya kontraksi miometrium (Temma, 2011). Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA menunjukkan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas yang terbentuk, sehingga tingginya konsentrasi MDA menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel (Winarsi, 2007). Didapatkan penurunan kadar antioksidan enzimatik (SOD dan Katalase) dan peningkatan peroksidasi lipid (MDA) pada persalinan preterm dengan preeklamsia (Sarkar dkk, 2006).
6
Penelitian lebih lanjut tentang perbedaan kadar MDA pada persalinan preterm dengan kehamilan preterm masih sangat jarang. Di Indonesia sendiri pun belum pernah dilakukan pemeriksaan mengenai kadar MDA pada wanita yang akan mengalami persalinan preterm dibandingkan dengan kehamilan preterm. Mengingat MDA merupakan marker lipid peroksidasi in vivo yang baik, baik pada manusia maupun pada binatang, yang secara signifikan akurat dan stabil, maka peneliti berasumsi bahwa sangat penting dilakukan penelitian kadar MDA pada persalinan preterm.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat di rumuskan suatu masalah
penelitian sebagai berikut : Apakah kadar serum malondialdehid pada persalinan preterm lebih tinggi daripada kehamilan preterm ?
1.3
Tujuan Penelitian Untuk membuktikan kadar serum malondialdehid pada persalinan preterm
lebih tinggi daripada kehamilan preterm.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat akademis Sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh stres oksidatif
terutama peroksidasi lipid dalam patogenesis terjadinya persalinan preterm, di
7
mana kadar malondialdehid serum maternal yang tinggi dapat dipakai sebagai penanda terjadinya persalinan preterm. 1.4.2 Manfaat praktis Apabila terbukti terdapat peningkatan kadar malondialdehid pada persalinan preterm dibandingkan dengan kehamilan normal, maka pemeriksaan kadar malondialdehid dapat digunakan sebagai sebagai salah satu deteksi dini terjadinya persalinan preterm spontan, sehingga dapat dipertimbangkan pemberian antioksidan sebagai upaya pencegahan terjadinya persalinan preterm pada pasien dengan kadar MDA tinggi yang berujung menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.