BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gunung Kawi merupakan tempat ritual yang telah lama menjadi tujuan para peziarah terutama bagi masyarakat etnis Cina dan etnis lainya dan dari beragam agama. Dalam catatan Im Yang Djoe (1953) jumlah peziarah yang terdaftar dihitung dari hari Rabu Wage, 11 Maret 1953 hingga Rabu Wage, 15 April 1953 atau selama 36 hari berjumlah 4870 orang. Pada masa ini jalur peziarahan Gunung Kawi masih melewati kecamatan Ngajum dengan kondisi jalan setapak melewati hutan dengan kontur tanah berbukit-bukit. Menurut Tashadi (1995) yang mengambil sumber dari catatan pos keamanan1 menunjukan jumlah pengunjung pada bulan Juli 1993 yang bertepatan dengan bulan Suro, berjumlah 11.380 orang. Pada bulan Juli tahun berikutnya 1994 angka pengunjung yang terdaftar sebanyak 18.688 orang, dan tahun 1995 naik lagi menjadi 21.117 orang. Hingga sekarang kunjungan peziarah ke Gunung Kawi masih terus belangsung dari kalangan etnis Cina/Tionghoa, Jawa, Madura dan etnis lainnya. Gunung Kawi bukan hanya menjadi tujuan ritual peziarah lokal tetapi juga dari berbagai kawasan di Indonesia hingga Asia Tenggara, bahkan sebagian dari Amerika. Peziarah yang dari luar Indonesia umumnya adalah kalangan etnis Cina
1
Pos keamanan yang dimaksut saat ini adalah pos Linmas, letaknya berada di seberang pendapa Padepokan. Pengunjung yang terdaftar di pos itu adalah peziarah yang melewati jalur gerbang dua atau depan Padepokan, sedangkan peziarah yang masuk lewat jalur Kandangan/Gang Soto tidak terdaftar disini dan biasanya jumlahnya lebih banyak dari peziarah yang melewati pos Linmas.
1
dari Indonesia yang sudah sukses di luar negeri dan masih menjaga baktinya kepada tokoh keramat Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujono di Gunung Kawi. Para peziarah dari etnis Cina memiliki peran penting dalam pembangunan infrastruktur jalan dan bangunan tempat ritual, terutama para konglomerat besar nasional seperti Liem Soei Liong (Salim group), Ong Hok Liong (rokok Bentoel) dan banyak nama lainnya. Begitu juga peziarah dari etnis selain Cina, seperti Jawa, Madura, dan etnis lainnya juga tidak dapat dikesampingkan potensinya dalam kegiatan ekonomi-ritual dari segi jumlah kunjungannya. Kondisi demikian menempatkan Gunung Kawi bukan hanya sebagai tempat ritual tetapi juga membawanya kepada posisi sebagai sumberdaya ekonomi bagi masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi di sana. Berbagai bentuk usaha ekonomi (kecil dan besar), dan jenis pekerjaan (formal-informal), telah bermunculan dengan memanfaatkan kebutuhan dari para pengunjung (peziarah),seperti deretan kios penjual bunga untuk ziarah, depot dan warung makan, penginapan, penjual souvenir, penjual hasil kebun/umbi-umbian, jasa peramal nasib, penyewa payung, tempat parkir, pramuwisata, jasa ojek, dan seterusnya. Pengelola tempat-tempat ritual adalah pihak yang paling berperan dalam kegiatan ritual peziarahan Gunung Kawi. Mereka bukan hanya menjalankan peran sebagai pengelola kegiatan ritual namun juga dalam kegiatan ekonomi ritual. Inti dari semua kegiatan ritual di Gunung Kawi pada muaranya tertuju pada makam keramat Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujono di Pesarean. Jumlah peziarah dan intensitasnya memberikan dampak pada pendapatan pada semua pihak yang berkepentingan disana, sehingga mereka memiliki 2
kepentingan untuk menjaga agar jumlah pengunjung/peziarah tidak turun. Persoalan jumlah peziarah yang datang ke Gunung Kawi adalah masalah penghidupan bagi banyak orang di Wonosari yang bekerja dan mendapatkan penghasilan secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan peziarahan. Penurunan jumlah peziarah berarti juga penurunan pendapatan bagi orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan kegiatan ekonomi ritual Gunung Kawi. Pada saat menjelang Raya Imlek awal Februari 2011, para Pengantar tamu/Pramuwisata di tempat parkir Kandangan mengeluhkan jumlah pengunjung Pesarean Gunung Kawi tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. HR Candrayana, Jurukunci Pesarean Gunung Kawi, menganalisis penyebab penurunan jumlah pengunjung/peziarah seperti berikut, “disini kalau dilihat dari pengunjungnya makin lama makin sepi, itu karena yang pertama dari agama orang Chinese dahulu kan agamanya Budha dan Kong Hu Chu, sekarang ini anaknya atau cucunya sudah memeluk agama Kristen atau Katolik, kebanyakan kan gitu, nah agama Kristen kan tidak memperbolehkan umatnya pergi ke tempat-tempat seperti Gunung Kawi, hanya boleh ke Gereja saja, ini kan pergeseran keyakinan. Trus selain itu di Malang terutama Batu, bermunculan tempat-tempat wisata yang bagus, seperti Agro Wisata, Jatim Park I dan II, ini wisata pendidikan... nah karena di Batu sedemikian rupa, otomatis kan mendingan ke Batu daripada ke Kawi, di Kawi kan cuma wisata ritual”. Gejala penurunan kunjungan peziarah etnis Cina ini berbanding terbalik dengan peningkatan kunjungan dari peziarah non Cina terutama rombongan “ziarah Wali” yang singgah berziarah ke Pesarean Gunung Kawi. Peningkatan jumlah kunjungan peziarahan wali ini adalah bentuk hasil dari propaganda berbagai pihak dengan wacana bahwa Gunung Kawi adalah makam Ulama seperti makam-makam Wali di Jawa untuk menghilangkan citra sebagai tempat
3
pesugihan.2 Peningkatan kunjungan dari rombongan Jamaah Wali itu menurut sebagian pihak di Gunung Kawi hanya kuantitas saja, dan dari segi pemebelanjaan untuk aktifitas ritual sedikit sehingga keuntungan ekonominya juga tidak signifikan. Sedangkan para peziarah umum dari etnis Cina maupun non-Cina yang melakukan kegiatan ritual selamatan adalah penyumbang pendapatan ekonomi yang lebih besar untuk orang Gunung Kawi dibandingkan peziarah robongan Jamaah Wali yang secara ritual lebih sederhana (pembacaan tahlil di Pendapa Makam Pesarean saja). Persoalan seperti itu membuat pengelola Pesarean Gunung Kawi tetap berupaya memberikan fasilitas ritual khususnya peribadatan untuk peziarah etnis Cina yang sebelumnya telah ada namun hancur akibat terjadi kebakaran. Jurukunci Candrayana menjelaskan; “dulu kalau ada tour dari Jakarta, istilahnya kalau orang Islam semacam tour Walisanga, kalau orang Chinese terutama yang tua-tua berdoa terus mengajak famili atau teman ke Gunung Kawi... setelah sini terbakar agenda itu sudah tidak ada, karena fasilitasnya sudah tidak ada. Jadi kita sekarang ini berusaha membangun, dan tujuan kita memberikan fasilitas pada orang-orang beragama Budha dan Kong Hu Chu. Kalau bangunan sekarang ini kan kurang pantas ya mas, ibaratnya kalau kita ke Masjid yang belum selesai dibangun, tempatnya dari triplek kita kan juga ngganjel (mengganjal dihati), mendingan cari Masjid yang lain, sama juga ini, dan ini juga berpengaruh terhadap istilahnya itu; jumlah wisatawan yang datang ke Kawi” Diluar suara tentang pengoptimalan kunjungan peziarahan ke Gunung Kawi, ada suara lain yang menegasikan upaya ini dan memiliki perspektif berbeda. Jurukunci Nanang Yuwono menyampaikan pandangannya “kuburan kok di promosekne (di promosikan)”. Ia menyampaikan bahwa aturan sejak para
2
Pesugihan adalah suatu jalan yang diambil seorang untuk mendapatkan kekayaan dengan cara bersekutu dengan mahluk gaib dan sebagai imbalan atas kekayaan yang diperolah itu akan mengorbankan nyawa atau bentuk pengorbanan lain secara gaib pula.
4
pendahulunya bahwa berbagai sumbangan dari peziarah (Cina dan non Cina) dilakukan penyumbang secara suke rela dan pihak Yayasan pengelola Pesarean tidak boleh meminta-minta. Sedangkan mengenai kegiatan selamatan yang difasilitasi oleh Yayasan dipandang sebagai pelayanan, jika ada keuntungan maka hal itu adalah bagian dari berkahe Eyang. Berbagai keuntungan material atau kegiatan ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan ritual disini dikonsepkan sebagai Kegiatan Ekonomi-ritual. Dilihat dari realitas yang tampak di Gunung Kawi dapat dikatakan bahwa pelaku kegiatan ekonomi-ritual disana tidak tunggal, ada pihak Pesarean, Padepokan, Pemerintah desa,
maupun kelompok-kelompok lain seperti
Pramuwisata, pemilik/petugas parkir, pedagang dan seterusnya. Bahkan dalam sebuah lembaga pengelola Pesarean seperti Yayasan Ngestigondo masih terbagi dalam bidang-bidang lain didalamnya. Melihat fakta-fakta itu menunjukkan bahwa Gunung Kawi bukan hanya sebagai tempat yang yang menjadi pusat kegiatan ritual tetapi juga sebagai sumberdaya ekonomi. Gunung Kawi sebagai arena bagi kegiatan ekonomi-ritual memiliki sejumlah persoalan diantaranya, bagiamana menjaga kesinambungan aktifitasnya dan disisi lain juga persoalan bagaimana pengelolaannya dapat membawa kemakmuran ekonomi bersama. Diantara banyak pihak di Gunung Kawi yang terlibat dalam kegiatan ekonomi-ritual, terdapat persoalan tentang pembagian berkah ekonomi diantara mereka yang berhubungan erat dengan struktur sosial disana, yakni mengenai bagaimana pembagian berkah ekonomi dan kekuasaan, serta persaingan seperti apa yang terjadi didalamnya.
5
B. Kajian Pustaka Untuk melihat fenomena ekonomi-ritual di Gunung Kawi kita akan melihat berbagai persoalan yang hampir sama di tempat lain guna memberikan tambahan gambaran dan mempertajam pandangan/analisis tentang persoalan yang serupa. Lebih dari 17 abad yang lalu persoalan ekonomi-ritual sudah ada di Makkah yang hingga saat ini menjadi tempat peziarahan umat Islam di dunia. Muhammad Husain Haekal (1972) menjelaskan kondisi peziarahan ke rumah purba Kabah pada masa pra-Islam dan pada masa awal Islam yang di bawa Muhammad. Haekal (1972:31) menjelaskan bahwa Makkah menjadi tempat suci karena terdapat rumah purba bernama Kabah sebagai tempat ibadah. Jauh sebelum pada masa Islam dikenal oleh masyarakat Arab, Kabah sudah dikelola secara terinci dan dibagi-bagi pengelolaannya dalam jabatan-jabatan sesuai perannya di tempat itu. Sejak abad kelima masehi di Makkah sudah terdapat jabatan-jabatan diantaranya hijaba, siqaya, rifada, nadwa, liwa dan qiyada. Hijaba adalah penjaga pintu Kabah atau pemegang kuncinya, Siqaya adalah penyedia air tawar zamzam serta minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada bertugas memberi makan pada peziarah, sedangkan Nadwa adalah pimpinan rapat pada setiap musim/tahun dan Qiyada adalah pemimpin pasukan atau panglima perang. Dalam suatu perang ada sebuah panji yang dipancangkan pada tombak dan ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh disebut Liwa. Makkah adalah tempat suci dan menjadi tempat peziarahan yang memiliki struktur yang relatif lengkap dari pengelolaan kegiatan ritual, politik hingga 6
militer. Sedangkan bidang ekonomi di Makkah berjalan melalui perdagangan dan ritual ziarah ke Kabah. Makkah tidak memiliki sumberdaya alam untuk kehidupan kecuali sumber air Zamzam, selain itu yang menghidupi penduduk adalah Kabah sebagai rumah suci bagi kabilah-kabilah3 di semenanjung Arab. Makkah juga merupakan tempat pertemuan kafilah-kafilah4 dalam jalur perjalanan perdagangan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd, mereka singgah untuk mengambil air sekaligus berziarah . Peziarahan bukan hanya terjadi karena persinggahan saja, peziarahan yang lebih besar terjadi pada bulan Haji yang terkait kisah peristiwa suci penyembelihan Ismail oleh ayahnya, Ibrahim, yang kemudian diganti dengan domba. Hak pengelolaan kota suci Makkah berkaitan erat dengan sejarah berdirinya Kabah yang dibangun Ibrahim dan Ismail (anaknya) yang kemudian berkembang menjadi pemukiman ramai disebut lembah Makkah. Kabah merupakan tempat suci bagi orang Arab yang juga diakui oleh Israil atau Yahudi, yakni cucu-cucu Ibrahim dari anak keduanya, Ishaq (Haekal :1972). Yang memegang jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa dan qiyada di Makkah adalah bani/keturunan Ismail atau dikenal dengan sebutan bani Quraisy. Pada pertengahan abad kelima masehi kesemua jabatan di atas berada dalam tangan satu orang bani Quraisy bernama Qushay bin Kilab dan sepeninggalnya terjadi perselisihan antara kedua anaknya Abd’d-Dar dengan Abd Manaf. Perselisihan keduanya hampir menimbulkan peperangan saudara dalam Quraisy karena sebagian pihak mendukung pihak lainnya hingga terjadi 3
Kabilah mengacu kepada suku bangsa atau klen yang berasal dari garis keturunan seorang ayah yang sama. 4 Kafilah adalah kontingen atau semacam rombongan orang berkendaraan unta di padang pasir, misalnya yang umum pada masa itu adalah kafilah dagang.
7
perjanjian Mutayyabun dan Ahlaf yang membagi peran keduanya dalam pengelolaan peziarahan di Makkah. Pihak keluarga Abd Manaf diberikan hak atas pengelolaan air dan makanan bagi peziarah, sedangkan pihak keluarga Abd’dDar diberi hak atas kunci Kabah, panji/liwa dan pimpinan rapat. Pada banyak kasus tempat peziarahan selalu terkait dengan tokoh keramat dan rangkaian sejarah yang membangun keberadaan tempat ziarah dan keyakinan atasnya. Ziarah dan ritual ke tempat keramat tidak hanya mempengaruhi persoalan religi saja tetapi juga masalah ekonomi, politik bahkan menjadi konflik berkepanjangan. Dalam kasus Yerusalem sebagai tempat suci tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) merupakan masalah yang kompleks meliputi berbagai persoalan politik, serta memiliki latar historis yang panjang. Klaim kepemilikan serta penguasaan Yerusalem telah terjadi sejak lama dan hingga kini kerap terjadi konflik kekerasan yang menelan banyak korban (Hertz : 2011). Fenomena peziarahan adalah perilaku manusia bersifat universal dan terjadi di belahan dunia manapun. Dalam perkembangan Islam, dikenal adanya ajaran tasawuf yang diajarkan para Sufi pada kalangan “elit” yang kemudian melahirkan gerakan massa dalam bentuk Tarekat (Loir dan Guillot :2007, 13-18). Ajaran tersebut mengenal adanya Wali yang memiliki karomah yang kemudian dikeramatkan hingga setelah meninggal makam-makam para wali menjadi tempat peziarahan yang dikunjungi banyak peziarah. Terdapat banyak Wali pada masing-masing wilayah persebaran Islam, seperti kawasan Timur tengah, Afrika Barat, Afrika Timur, Maghribi (Aljazair, Maroko, Tunisia) India, Asia Tengah, Tiongkok, hingga Indonesia. Wali-wali tersebar itu memiliki tingkatan pengaruh, ada yang berpengaruh secara lokal hingga melampaui batas negara, namun ada
8
pula Wali yang sama sekali tidak dikenal (Jaouen:2007, 102). Salah satu Wali yang memiliki pengaruh besar di dunia dari Bagdad Irak adalah Abd Qadir alJilani (Geoffroy: 2007,93-98). Dalam kajian mengenai ziarah di Indonesia khususnya di Jawa, James J. fox (1991) ke makam para Wali atau orang suci penyebar Islam di Jawa. Sebagian makam-makam keramat para Wali berada diatas tempat tinggi seperti gunung atau bukit seperti makam Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Giri, Sunan Tembayat, dan sebagian lain berada di lokasi yang datar seperti makam Sunan Ampel, Sunan Bonag, Sunan Kalijaga. Menurut Fox ziarah di Jawa tidak hanya dilakukan ke makam saja tetapi juga ke tempat sakral/suci atau punden,5 bahkan tidak jarang punden direkontruksi seolah seperti makam. Di Jawa makam disebut sebagai Pesarean diambil dari kata “sare”(tidur) atau istirahat, sehingga dalam perspektif ini makam adalah tempat istirahat dari tokoh keramat. Ziarah ke makam keramat itu dilakukan dengan nyekar atau mengirim bunga atau bisa juga ditambah dengan dupa untuk berdoa. Ziarah ke makam dilakukan dengan beragam tujuan, kadang juga untuk nyadran, mencari berkah hingga mencari kasekten. Kegiatan ziarah ke makam juga berhubungan erat dengan makna yang diberikan kepadanya, terutama makam tokoh yang dihormati masyarakat, seperti raja, wali, ulama, atau tokoh setempat yang dianggap memiliki kelebihan. Ada suatu ungkapan “Wali itu sudah meninggal saja masih memberi berkah bagi orang-orang berada disekelilingnya”, ini menggambarkan bagaimana Wali
5
Punden adalah tempat terdapatnya makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa, sebagai tempat keramat, atau suatu yang sangat dihormati.
9
sebagai bagian dari dunia sakral yang kebaradaannya selalu memberikan keuntungan bagi orang lain (Nur Syam, 2007). Hal yang hampir sama juga terjadi pada peziarahan makam diluar jawa seperti pada makam-makam keramat di Lombok, Makam Bintaro, Makam Batu Layar, dan makam keramat lain tempat orang suci atau wali dimakamkan (Aziz, dkk. 2004). Seperti terjadi juga pada makam keramat lain kedudukan Jurukunci di makam keramat di Lombok juga diperoleh secara turun temurun. Sebagai perbandingan dari berbagai peristiwa ziarah di belahan dunia dan pada masa lalu hingga sekarang terdapat kesamaan-kesamaan sehingga terlihat adanya pola tertentu. Dinamika kegiatan ekonomi politik dan ziarah yang terjadi di Makkah memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Gunung Kawi seperti kegiatan peziarahan yang dikelola secara rinci menjadi bagian-bagian dan peran masing-masing untuk mendukung kegiatan ritual. Kegiatan ritual juga tidak lepas dengan kegiatan ekonomi serta persoalan lainnya seperti politik dan keamanan. Penempatan orang-orang pada posisi tertentu dalam kegiatan ritual juga berkait erat dengan kekerabatan dan garis keturunan dengan tokoh keramat pada Gunung Kawi, juga pada jabatan-jabatan pengelolaan peziarahan di Makkah dimasa praIslam. James J. Fox menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan dari kegiatan ziarah ke makam di Indonesia khususnya Jawa, pada umumnya semua tempat ziarah selalu terdapat sumber air sebagai sarana penyucian dan untuk dibawa pulang sebagai obat bagi peziarah. Setiap tempat ziarah terdapat Jurukunci yang mendapatkan penghasilan material cukup besar dan sebagian lain hanya sebagai tambahan kebutuhan. Jurukunci memiliki peran penting dalam kegiatan ziarah
10
selain sebagai penjaga atau pemelihara makam, ia juga orang yang memiliki hak atas “narasi yang sebenarnya/sah” (true narrative), meskipun banyak kisah yang populer diluar tetapi ia memiliki keabsahan atas representasi kisah dari tokoh yang di makamkan. Peran paling penting Jurukunci pada kegiatan ritual adalah sebagai agen komunikasi antara peziarah dengan alam metafisika serta pusat energi gaib (Santosa, 1999:42). Jurukunci bukan sekedar berperan sebagai penjaga makam tetapi juga berperan penting dalam kegiatan ritual, menjaga kesakralan dan tradisi ziarah sekaligus sebagai penerjemah ngalamat atau tandatanda khusus yang diperoleh peziarah dari Sang Wali (Jamhari: 2001). Jamhari (2001) dalam studinya tentang makna Barakah dalam ziarah di makam Sunan Tembayat di Bayat Klaten, membedakan makna “barakah” dengan “perolehan”. Barakah dimaknai berasal dari Tuhan, secara langsung atau melalui perantaraan Wali, yang memberikan manfaat pada ketenangan jiwa. Pahala diposisikan seperti pahala ibadah akan bermanfaat pada bari kiamat nanti. Sedangkan “perolehan” dimaknai hasil yang didapat dari ziarah yang bersifat duniawi seperti “sesuatu” yang dapat dimanfaatkan untuk mencari kekayaan, menarik lawan jenis, sukses dalam berbisnis maupun sekolah, dan semacamnya. Kategorisasi ini menempatkan barakah atau berkah sebagai suatu yang suci dan diperoleh melalui ibadah syariat seperti membaca Qur’an, dhikir, dan seterusnya, sedangkan suatu yang didapat secara materi disebut “perolehan” bersifat duniawi dan dapat membahayakan manusia. Konsep berkah/barakah disini berbeda dengan makna berkah di Gunung Kawi yang cenderung mengarah pada keuntungan material atau ekonomi.
11
Gunung Kawi sebagai tempat ritual yang menghasilkan banyak uang dari aktifitas ritual peziarah dalam jumlah yang besar, termasuk juga dari sumbangan peziarah etnis Cina. Tampaklah jelas bahwa antara religi atau kepercayaan terhadap berkahe Eyang di Gunung Kawi memiliki pengaruh besar terhadap kemakmuran ekonomi masyarakat setempat khususnya kalangan elit. Hubungan antara religi dengan kemakmuran ekonomi adalah persoalan yang menjadi perhatian ilmuwan sosial seperti Max Weber (2006) yang mengkaji hubungan ajaran
Calvinisme
dengan
perkembangan
ekonomi
dan
kemakmuran
penganutnya. Calvinisme menurut Max Weber menyuplai energi dan dorongan bagi para wirausahawan kapitalis (Giddens dalam Weber, 2006: xxxvii). Perbedaan antara uraian Weber dengan realitas di Gunung Kawi adalah bahwa mugkin peziarah mendapat peningkatan kemakmuran tetapi bukan karena ajaran Eyang Jugo tetapi lebih pada keyakinan terhadap berkah, sedangkan bagi pengelola peziarahan keyakinan itu telah memberikan hasil ekonomi yang jelas yakni uang dari kegiatan ritual peziarahan. Dari persoalan ritual dan ekonomi itu sampai juga menjadi persoalan pembagian atau distribusi kapital dari ritual Gunung Kawi, yakni bagaimana tempat-tempat ritual ditata dalam sebuah struktur, dibagi-bagi dalam berbagai tempat ritual kemudian ditata pula siapa yang berhak menempati masing-masing tempat. Kemudian didasarkan pada apa suatu pihak mendapatkan hak kekuasaan di Gunung Kawi. Pada kondisi saat ini terjadi pembagian wilayah peziarahan di Gunung Kawi antara pihak Pesarean, Padepokan dan Pemerintah Desa Wonosari. Pihak Pesarean Gunung Kawi mengelola aktifitas ritual di kawasan Pesarean, begitu
12
juga pihak Padepokan menjalankan peran yang sama di wilayahnya, sedangkan Pemerintah Desa menjalankan fungsi pengelolaan dalam “wilayahnya”
6
juga.
Pada dasarnya pengelolaan kegiatan ritual di Gunung Kawi yang juga berkait erat dengan keuntungan ekonomi yang didapat darinya ini memunculkan kolompokkelompok penguasa atas wilayah masing-masing. Ketiga pihak tersebut merupakan para elit lokal yang berkuasa atas tempat ritual Gunung Kawi, sedangkan posisi masyarakat setempat yang dalam kegiatan ritual juga memiliki peran, hak dan ikut menikmati efek ekonomi, meskipun dalam porsi yang berbeda dari para elit. Peran-peran seperti pramuwisata, petugas parkir, pedagang makanan (kaki lima maupun kios), portal dan seterusnya adalah peran-peran yang diisi oleh masyarakat dalam kegiatan ritual Gunung Kawi di bawah subordinasi dari pengelola Pesarean, Padepokan maupun Pemerintah Desa. Sukamto (2004:17) menempatkan Jurukunci dan kerabatnya sebagai kalangan elit sedangkan kelompok pramuwisata sebagai kalangan buruh. Pada tulisan ini tidak mengikuti pandangan tersebut karena antara pengelola Pesarean dan Padepokan (Jurukunci dan kerabatnya) dengan kelompok pramuwisata memiliki “wilayah kerja” dan independensi masing-masing dalam batas tertentu. Dinamika struktural yang terjadi di Gunung Kawi tidak semata persoalan lokal dalam masyarakat setempat saja, tetapi juga melibatkan unsur dari luar Gunung Kawi. Orang-orang etnis Cina sebagai peziarah maupun sebagai penduduk yang menetap di Gunung Kawi, memiliki pengaruh yang besar selain unsur dari luar lain seperti peristiwa sosial politik lokal hingga nasional. Struktur 6
Wilayah yang dimaksut pada Pemerintah Desa bukan mengacu pada wilayah geografis dan atministratif tetapi lebih pada kewenangan atas aset ekonomi dari kegiatan ritual atau peziarahan berdasarkan kesepakatan bersama dan aturan nilai disana.
13
sosial budaya yang ada di Gunung Kawi saat ini terbentuk dari berbagai faktor dalam proses sejarah yang panjang sehingga diperlukan informasi tentang Gunung Kawi dari berbagai masa.
C. Perumusan Masalah Gunung Kawi sebagai tempat tujuan ritual yang ramai dikunjungi peziarah telah memberikan keuntungan ekonomi bagi orang Gunung Kawi. Jumlah uang yang masuk ke tempat ritual (Pesarean dan Padepokan) maupun Pemerintah Desa dari kegiatan ritual tidaklah sedikit, hal itu tampak dari kegiatan ritual yang tidak terhenti setiap hari meskipun dalam intensitas yang fluktuatif. Demikian pula kegiatan ekonomi yang bertumpu pada kegiatan ritual di Gunung Kawi juga tidak pernah terhenti. Fakta tentang peziarahan Gunung Kawi yang ada sekarang adalah tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi-ritual. Kegiatan tersebut berlangsung dalam sebuah struktur sosial dan kekuasaan yang mengatur atau menata distribusi sumberdaya ekonomi-ritual disana. Untuk melihat dan memahami Struktur sosial dan kekuasaan yang ada sekarang di Gunung Kawi tidaklah cukup hanya mengkaji realitas di lapangan saat ini tetapi perlu memahami proses bagaimana ia ada. Persoalan politik ekonomi dalam ritual Gunung Kawi adalah dinamika yang berlangsung dalam proses sejarah yang dimungkinkan dipengaruhi situasi dari dalam dan luar Gunung Kawi. Sehingga pertanyaan yang ingin dijawab penelitian ini adalah; bagaimana sebuah makam keramat berkembang menjadi tempattempat ekonomi-ritual yang menjadi arena ekonomi yang empuk dan arena politik yang sengit?
14
D. Kerangka Pemikiran Peziarahan Gunung Kawi merupakan konstruksi yang dibuat oleh subyek masyarakat Gunung Kawi dan peziarah. Peziarahan adalah kegiatan ritual yang berpusat pada makam dan tempat keramat lainnya, yang mana tempat-tempat itu ada karena dikonstruksi. Makam atau Pesarean bermula dari seorang tokoh yang dikeramatkan, setelah itu makam juga menjadi tempat keramat, yang semua proses ritual dan lainnya yang berlangsung dibentuk dari orang Gunung Kawi dan peziarah sebagai pendukung pezirahan. Eyang Jugo (tokoh keramat) yang dimakamkan di Gunung Kawi menjadi semacam spirit orang untuk beraktifitas, bukan sekedar ziarah, tetapi juga spirit untuk bekerja, mendapatkan berkah dari usahanya, meningkatkan kesejahteraan, kemuliaan hidupnya, dan bagi pengelola atau orang bekerja disana memaknai sebgai pengabdian. Posisi makam dan beberapa benda keramat lainnya lebih menyerupai sebuah “totem” seperti dalam studi Emile Durkheim (2003) pada kehidupan masyarakat primitif Aborigin di Australia. Totemisme, menurut Durkheim adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang tak bernama dan impersonal, yang meskipun terdapat pada diri mahlukmahluk manusia, hewan dan benda atau tumbuhan, tidak dapat dicampurbaurkan dengan mereka. Ia merupakan sesuatu kekuatan yang bebas. Individu boleh saja meninggal dunia, ataupun generasi berlalu dan digantikan oleh yang lain (baru), akan tetapi kekuatan ini akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap generasi, baik yang sekarang ini, yang telah lalu maupun yang akan datang. Disamping memiliki kekuatan untuk menghidupkan sesuatu, kekuatan itu juga bersifat moral. Jika seorang memuja totemnya, ini tidak hanya karena ia kagum
15
terhadapnya, melainkan ia merasa merasa memenuhi kewajibannya, tidak karena takut, melainkan hormat. Totem merupakan sumber kehidupan moral suatu marga (Nafisul Atho’, dalam Dukheim 2003: 9-10). Tokoh keramat Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujono beserta makamnya memiliki posisi seperti sebuah totem bagi orang Gunung Kawi dan peziarah, meskipun mereka tidak terikat pada sebuah kesamaan klen/marga tetapi terikat oleh kesamaan totem meskipun berbeda keyakinan agama (para peziarah). Kenyataan bahwa sang tokoh keramat telah meninggal tidak mengurangi penghormatan terhadapnya justru semakin menguatkan keyakinan terhadapnya seperti sebuah totem. Peziarah maupun orang lokal dan pengelola peziarahan memposisikan makam dan tempat keramat lainnya sebagai kekuatan yang dihormati yang bersumber dari kekeramatan sang tokoh, sehingga muncul istilah berkah dan pengabdian. Orang lokal, pengelola peziarahan dan peziarah melakukan penghormatan berupa ritual, doa, dengan beragam tata cara, guna mendapatkan berkahe Eyang, sedangkan para pengelola peziarahan memaknai pekerjaan/kegiatannya atau tugasnya sebagai bentuk pengabdian. Wujud berkahe Eyang antara masing-masing orang berbeda-beda. Masing-masing memiliki tujuan dan harapan atas doanya, masing-masing juga memiliki keinginan sendirisendiri, dan terkabulnya pengharapan atau permintaan itu wujut dari berkah. Kajian mengenai fenomena peziarahan Gunung Kawi tidak hanya tentang persoalan bagaimana sebuah masyarakat terhubung dengan sebuah totem, tetapi peziarahan itu juga berkaitan dengan persoalan distribusi berkah ekonomi dari peziarahan itu. Pembagian berkah ekonomi atau distribusi kapital dari peziarahan Gunung Kawi terkait erat dengan struktur sosial yang ada disana, dan bagaimana
16
struktur sosial terbentuk serta menghasilkan pola distribusi kapital seperti realitas saat ini. Persoalan terakhir juga berkaitan erat dengan persoalan proses politik yang terjadi yang membentuk realitas saat ini (aspek historis). Segala aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan ritual yang menghasilkan keuntungan material/ekonomi secara langsung maupun tidak langsung dalam kajian ini dikonsepkan sebagai “kegiatan ekonomi-ritual”. Kegiatan ekonomi-ritual ini berkaitan erat dengan konsep berkah yakni segala perolehan yang didapat tercapainya permohonan dari kegiatan ritual di Gunung Kawi dari Yang Maha Kuasa melalui atau “lantaran” kekeramatan Eyang jugo dan Eyang Iman Sujono. Persoalan peziarahan Gunung Kawi pertama-tama didekati mulai dari proses politik yang membentuk struktur sosial peziarahan saat ini. Perkembangan pezirahan Gunung Kawi bermula dari tokoh keramat yang dimakamkan disana, kemudian menjadi tujuan peziarahan dan berkembang menjadi beberapa tempat ritual yang mendatangkan dampak perekonomian bagi masyarakat lokal. Peziarahan Gunung Kawi bernilai ekonomi yang sangat besar sehingga menimbulkan persaingan atasnya, siapa yang berhak sebagai pengelola dan memimpin kegiatan ritual. Ritual dan berkah ekonomi adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan dan persaingan politik berkaitan erat pula dengan hal itu. Posisi dan peran dalam kegiatan ritual menjadi penting bukan sekedar persoalan ritual sebagai religi tetapi lebih dari itu yakni ritual yang menghasilkan uang dalam jumlah tidak sedikit. Semakin tinggi serta strategis posisi dan peran seorang kegiatan ritual peziarahan Gunung Kawi semakin besar pula pendapatannya.
17
Peziarahan sebagai sumber ekonomi bukan hanya menyeret lapisan atas atau elit pada struktur sosial peziarahan Gunung Kawi kedalam konflik persaingan, tetapi juga terjadi pada pedangan, pramuwisata, dan beberapa profesi lain yang ditempati lapisan bawah. Untuk membantu pehahaman tentang konsep politik pada studi ini meninjau pandangan Samuel Popkin (1986) tentang politik ekonomi yang mengkaji mengenai rasinoalitas petani di Vietnam dalam upaya mereka untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Teori ekonomi politik Popkin merupakan kritik terhadap pendekatan ekonomi moral James C Scott (1981) yang berpandangan bahwa petani di Asia Tenggara
umumnya
bertindak
mengutamakan
selamat
dan
cenderung
meminimalkan resiko, dan sistem tradisional seperti patron-klien adalah hubungan timbal balik dan perlindungan bagi klien atau petani. Popkin berpendapat bahwa pandangan terhadap berbagai fenomena yang dilihat dalam pandangan ekonomi moral, misalnya tindakan petani tidak didasarkan pada motif utamakan selamat tetapi pada rasionalitas subyektif mereka. Menurut Popkin secara rasional individu-individu itu, akan menilai hasil-hasil yang mungkin diperoleh dari pilihan-pilihan mereka yang sesuai dengan cita-cita, harapan atau keinginan-keinginan dan nilai-nilai yang mereka anut. Dengan cara itu, mereka diskontokan (discount) evaluasi dari setiap hasil yang diperoleh menurut estimasi subyektif mereka. Akhirnya, mereka ‘menjatuhkan’ pilihan yang mereka yakini dapat memaksimalkan keuntungan yang mereka harapkan (Popkin, 1986:25). Rasionalitas petani terwujud dalam pertimbangan-pertimbangan dalam tindakan yang diambilnya yakni, seberapa besar sumber daya yang telah dikeluarkannya, keuntungan apa yang akan diperolehnya nanti, ada tidaknya
18
peluang melakukan tindakan dalam memperoleh keuntungan tersebut, ada tidaknya pimpinan yang mampu memobilisasi sumber daya yang tersedia. Persoalan kemampuan petani melakukan pertimbangan-pertimbangan itu yang dipandang sebagai “politik ekonomi”. Konsep politik dalam pandangan Popkin (1986) itu lebih cenderung mengarah pada pertimbangan rasionalitas yang menjadi landasan tindakan dari petani dalam berusaha memaksimalkan keuntungan yang akan didapatnya. Bentuk persaingan atau perebutan sumberdaya ekonomi ritual pada peziarahan Gunung Kawi juga produk dari rasionalitas politik ekonomi dari pihak elit maupun kalangan bawah. Konsep politik ekonomi pada studi peziarahan Gunung Kawi ini merujuk pada konsep “politik ekonomi” Popkin yang mengarah pada rasionalitas seseorang dalam melakukan tindakan politik dalam upaya untuk memaksimalkan keuntungan materi yang didapatnya dari kegiatan ritual peziarahan. “Politik ekonomi” pada studi ini adalah unsur rasionalitas yang menjadi nalar dari kegiatan pelaku (kegiatan politik atau kegiatan ekonomi-ritual) yang meliputi rasionalitas mengenai seseorang memiliki “modal” apa, misalnya modal dalam bentuk keturunan/trah, kedekatan historis (misalnya hubungan guru murit), seseorang harus “melakukan apa” atau strategi apa yang harus dilakukan, misalnya membangun relasi atau aliansi dengan pihak mana saja untuk mendapatkan yang ingin diperolehnya, dan terakir seseorang juga berpikir untuk melakukan “pengamanan” seperti apa untuk menjaga hak miliknya (sumber ekonomi/kekusaannya). Gunung Kawi terutama Pesarean sebagai pusat kegiatan ritual secara tidak langsung adalah pusat dari kegiatan ekonomi ritual atau menjadi arena ekonomi,
19
dan berbagai upaya untuk memaksimalkan pendapatan telah melahirkan persaingan politik sehingga disana juga menjadi arena politik yang sengit. Realitas struktur sosial yang ada saat ini juga merupakan hasil dari proses persaingan politik sepanjang sejarah peziarahan Gunung Kawi. Setelah penjelasan mengenai konsep politik dan proses politik dalam fenomena peziarahan Gunung Kawi, selanjutnya studi ini akan melihat struktur sosial dalam peziarahan Gunung Kawi. Struktur sosial peziarahan Gunung Kawi terbagi dalam lapisan-lapisan, yang paling atas adalah para elit yang terdiri dari jurukunci, lapisan menengah meliputi kerabatnya maupun orang-orang yang menempati posisi strategis dalam pengelolaan peziarahan di Pesarean, dan kelompok lapisan bawah terdiri dari berbagai profesi yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi ritual seperti pedagang, pramuwisata, juga termasuk karyawan Yayasan Pengelola Pesarean tingkat rendah yang tidak memiliki peran strategis dalam proses kegiatan peziarahan. Meminjam istilah diferensiasi-nya Frans Husken (1998) sebagai bentuk pengelompokan masyarakat kedalam kelas-kelas sosial ekonomi atas dasar penguasaan atau akses terhadap tanah, maka untuk konteks Gunung Kawi diferensiasi didasarkan pada aset-aset ritual yang ada yang berpusat kepada makam keramat di Pesarean. Diferensiasi di Gunung Kawi berhubungan dengan penguasaan sumberdaya yang berkaitan dengan kegiatan ritual, juga sarana pendukungnya seperti, makam, ciamsi, loket, hotel, depot, toko, warung, tempat parkir, dan seterusnya. Pembagian strata atau pelapisan sosial dalam kegiatan peziarahan Gunung Kawi pada studi ini didasarkan pada hal tersebut. Untuk sarana ritual peziarahan yang strategis atau menghasilkan banyak uang berada
20
pada elit Jurukunci dan kerabat serta orang dekatnya, kelompok bawah dari bagian aparatur di Pesarean sekalipun berada di tempat strategis ia tidak akan memiliki peran strategis seperti elit dan kelompok menengah. Salah satu rujukan tentang realitas struktur sosial masyarakat yang terstrata dalam lapisan-lapisan sosial adalah Bali. Aagn Ari Dwipayana (2001) melihat Bali pada masa kerajaan dari sisi struktur kelas sosial dibagi berdasarkan konsep “wangsa”, yakni pembagian strata sosial dalam masyarakat berdasarkan keturunan. Menurut Dwipayana struktur sosial masyarakat Bali dipisahkan berdasar pada konsep “triwangsa” terdiri dari Wangsa Ksatria yakni raja dan keluarganya atau golongan “puri” sebagai golongan yang sah memerintah, Wangsa Brahmana berperan dalam bidang keagamaan, Wangsa Wesia sebagai fungsionaris kerajaan atau pengabdi yang terdiri dari para pejabat kerajaan, dan “jabawangsa” atau Sudra wangsa terdiri dari para petani penggarap tanah yang disebut parekan (Dwipayana, 2001:119-121). Pola penguasaan tanah di Bali juga berbanding lurus dengan sistem wangsa, yang mana semua tanah atau sawah adalah milik golongan puri dan petani-petani parekan sebagai penggarapnya dengan menyetorkan pajak tanah atau suwinih, dan dikenakan wajib kerja atau ayahan, kecuali petani-petani merdeka yang menggarap tanah “sima” mereka diwajibkan merawat bangunan yang disucikan melakukan upacara korban beserta menyiapkan segala perlengkapannya (Dwipayana, 2001:91). Pada peziarahan Gunung Kawi atau kegiatan ekonomi ritual, dasar strata sosial semacam wangsa hanya berlaku pada elit Jurukunci dan kerabatnya yang mendapat kedudukan berdasarkan pewarisan. Sementara pada posisi karyawan 21
pewarisan bukan dasar utama karena juga terdapat unsur kedekatan yang menentukan seorang menempati posisinya sebagai karyawan di Pesarean. Susunan struktur sosial pada peziarahan Gunung Kawi atau kegiatan ekonomi ritualnya terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing memiliki peran yang di analogikan seperti sebuah negara atau kerajaan. Jurukunci adalah puncak pemimpin dan penguasa Pesarean, ia menjadi pemimpin upacara ritual sekaligus penguasa/pemilik hak milik atas Pesarean Gunung Kawi. Ziarah merupakan kegiatan yang membutuhkan pengelolaan dan penataan kareana bukan hanya persoalan ritual/religi saja tetapi juga persoalan ekonomi,
manajemen
sumberdaya manusia sebagai fasilitatornya, serta berbagai dimensi sosial, ekonomi, politik yang lainnya. Yayasan Ngestigondo merupakan lembaga yang bertugas melakukan kegiatan pengelolaan itu. Lembaga ini diketuai oleh salah satu Jurukunci yang dipilih secara musyawarah antara keluarga jurukunci. Studi ini berusaha menemukan bentuk struktur sosial pada peziarahan Gunung Kawi dan kegiatan ekonomi ritualnya, tidak hanya tatanan sosialnya saja tetapi juga tentang struktur sosial yang ada disana beroperasi atau bekerja. Cara pandang terhadap realitas struktur sosial peziarahan Gunung Kawi pada akhirnya memunculkan sebuah konsep tentang Pesarean sebagai sebuah “negara”. Analogi Pesarean sebagai sebuah negara/kerajaan karena ia merupakan sebuah wilayah yang memiliki batas-batas tanah milik yang secara sah menjadi hak milik keluarga jurukunci (atas nama Jurukunci Asim Nitirejo) secara resmi, namun secara sosial budaya adalah milik bersama atau masyarakat. Meskipun kepemilikan tanah Pesarean diatasnamakan milik Jurukunci namun ada sebuah kesepakatan bahwa tanah itu tidak dapat dibagi-bagi oleh keturunannya tetapi
22
tanah itu merupakan tanah Pesarean yang dikelola oleh sebuah lembaga keuarga yaitu Yayasan Ngestigondo. Yayasan Ngestigondo disini lebih menyerupai sebuah “lembaga pemerintahan” didalam negara Pesarean. Konsep “negara” dan “pemerintah” disini bukan bermakna yang sesungguhnya tetapi bentuk analogi dari realitas peziarahan dan kegiatan ekonomi ritual Gunung Kawi. Jika menilik konstitusi Negara Republik Indonesia saat ini memang tidak memisahkan antara negara dengan pemerintah, keduanya bercampur atau disamakan.7 Bentuk pemisahan negara dari pemerintahan dapat dilihat pada sistem kenegaraan pada masa kerajaan Majapahit. Menurut Sartono Kartodirdjo (1993) Majapahit merupakan sebuah negara teokrasi yang dipimpin seorang Raja sebagai kepala negara yang dianggap penjelmaan Dewa. Raja Majapahit tidak berkuasa absolut secara pribadi tetapi terdapat semacam presidium terdiri dari keluarga dekat Raja (termasuk Ayah raja Hayam Wuruk, Ibu Suri, Bibi dan Paman Raja dan beberapa lagi hingga sembilan orang) atau dikenal dewan Saptaprabu. Sebagian kerabat Raja ikut memikul tanggung jawab atas administrasi umum bersama Raja. Dibawah mereka adalah para pejabat tinggi kerajaan seperti Matri Hino, Holu dan Sirikan diantara para pejabat tinggi kerajaan itu dikepalai oleh seorang matri tertinggi (Perdana Menteri) atau Patih Amangkubumi. Pada departemen bagian sipil terdapat pejabat tinggi tumenggung, Demung, Kanuruhan, serta Rangga, sedangkan pada bagian militer dikepalai oleh Juru Pengalasan (Kartodirdjo,1993: 36, 40). Raja dan Juru Pengalasan adalah 7
Tidak adanya pemisahan dan pembedaan antara negara dengan pemerintah dalam sistem kenegaraan di Indonesia dapat dilihat dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar NRI 1945 mulai dari Bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan” hingga Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintahan Negara”
23
pembesar yang bertanggung jawab (atas negara), namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan pemerintah pusat, dimana Raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab, tetapi pemerintahannya ada di tangan patih amangkubumi atau patih seluruh negara (Mulyana, 2006:163). Pada konteks peziarahan dan kegiatan ekonomi ritual Gunung Kawi tidak benar-benar serupa dengan dengan tipologi sistem tata negara Majapahit tetapi seidaknya terdapat beberapa kemiripan seperti posisi antara jurukunci dengan Yayasan Ngestigondo. Para kerabat jurukunci yang menduduki posisi strategis di Pesarean Gunung Kawi juga mirip dengan saudara-saudara raja yang mendapat kedudukan sebagai raja kecil atau gubernur di wilayah negaranya.
E. Metode Penelitian Menurut Clifford Geertz jika ingin memahami suatu ilmu pengetahuan yang harus dilakukan adalah melihat dalam peristiwa konkretnya, tidak pada teori-teori atau penemuan-penemuannya dan juga bukan pada apa yang dikatakan tentangnya oleh para antropolog (Geertz, 1992:6). Untuk memahami persoalan politik ekonomi dalam peziarahan Gunung Kawi yang dilakukan adalah melakukan penelitian etnografi, yaitu mendatangi tempat itu secara langsung, hidup bersama masyarakat setempat, melakukan pencatatan secara berkelanjutan atas realitas yang ada sehingga menjadi fakta-fakta dan data tentang peziarahan Gunung Kawi. 8
8
Realita adalah segala sesuatu yang dianggap ada, kata “dianggap” ini memiliki makna yang penting karena tidak selalu bersifat empiris tetapi juga bisa suatu yang bersifat pemikiran. Fakta adalah pernyataan tentang realita, pada dasarnya fakta bersifat subyektif karena ia mengungkapkan realita dalam sudut pandang tertentu. Sedangkan data adalah fakta-fakta yang relevan atau berkaitan secara logis dengan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian (Ahimsa Putra, 2007:16-17).
24
Kunjungan pertama ke Gunung Kawi saya lakukan pada bulan Januari 2011, untuk bahan paper tentang Dinamika Masyarakat Cina di Indonesia saya berada disana sekitar sepuluh hari dan selanjutnya juga menjadi data awal bagi kegiatan studi ekonomi-ritual Gunung Kawi. Selanjutnya penelitian ini dilakukan selama bulan Oktober 2012 hingga awal Januari 2013 di desa Wonosari, kecamatan Wonosari, Malang-Jawa Timur. Pemilihan waktu ini dilakukan dengan pertimbangan untuk mengambil momentum rangkaian kegiatan ritual masyarakat setempat yang cukup besar pada bulan Selo, Besar, Suro hingga Sapar dalam penanggalan Jawa. Pada bulan-bulan itu merupakan waktu yang paling ramai kunjungan peziarah selain pada hari libur nasional. Lokasi penelitian dilakukan di kawasan wisata ritual Gunung Kawi yang berada di dusun Wonosari dan Sumbersari desa Wonosari kecamatan Wonosari. Selama penelitian berlangsung saya tinggal di rumah salah satu perangkat desa Wonosari. Rumah yang ditinggali ini peruntukannya adalah untuk penginapan dan saya dipersilahkan menempati salah satu kamar secara cuma-Cuma, sehingga dari sebelumnya tidak kenal menjadi seperti saudara. Pada umumnya rumah tempat tinggal kawasan peziarahan Gunung Kawi menjadi tempat penginapan ketika pada musim pezirahan sedang ramai seperti bulan Suro. Fokus penelitian ini adalah mengenai persoalan ekonomi-ritual, sehingga sumber informan utamanya adalah masyarakat di sekitar lokasi ritual Gunung Kawi khususnya yang pekerjaannya berhubungan dengan kegiatan ritual di sana secara langsung maupun tidak langsung. Dari kunjungan studi awal sebalum penelitian ke Gunung Kawi dilakukan pemetaan mengenai pihak-pihak yang akan menjadi informan yang terlibat dalam aktifitas ekonomi-ritual yakni pihak
25
Pesarean, Padepokan, dan Pemerintah Desa. Pada tahap selanjutnya penggalian informasi penelitian ini diarahkan kepada hubungan ketiga pihak itu (Pesarean, Padepokan dan Pemerintah Desa) dan juga masyarakat (pedagang, pramuwisata, ojek, parkir, dll) dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi-ritual. Sebagaimana disampaikan Geertz bahwa mengerjakan etnografi meliputi kegiatan menetapkan hubungan-hubungan, menyeleksi informan, mentrankrip teks, mengambil sislsilah dan seterusnya (Geertz, 2002:6). Wawancara dilakukan kepada pihak Pemerintah Desa, dan ketua Yayasan Ngestigondo atau pihak Pesarean yakni pada Jurukunci, sebagai perkenalan awal saja atau dalam istilah lokal disebut kulonuwun, selanjutnya proses penelitian lebih banyak dilakukan dengan komunikasi dan observasi sambil lalu. Pengumpulan informasi sebagai data di lapangan lebih banyak dilakukan dengan mengikuti aktifitas keseharian para informan di Gunung Kawi. Keterlibatan dalam aktivitas sehari-hari dalam masyarakat diharapkan dapat menangkap realita budaya yang ada (Jorgensen, 1989: 63). Berbagai informasi lebih tentang berbagai persoalan disana banyak ditemukan dalam obrolan informal di warung, gosip dan isu-isu penting didapat melalui pembicaraan dengan masyarakat, atau juga dengan petugas portal, mengamati kegiatan persiapan upacara Suro di masing-masing RW, dan seterusnya. Informasi ini didapat dari obrolan di wilayah Pesarean, Padepokan, tempat parkir maupun pos pramuwisata dengan menyelipkan pertanyaanpertanyaan obrolan santai sehingga para informan tidak merasa terlalu terbebani atau merasa diwawancarai. Wawancara secara khusus hanya dilakukan jika
26
kondisi atau konteks situasinya tidak memungkinkan untuk dilakukan secara informal. Cara seperti diatas juga diterapkan untuk menggali informasi di Pesarean dengan mengikuti kegiatan para Cantrik, Satpam, Penjaga tempat-tempat ritual (ciamsi, kwan im, dsb), dapur, sambil melakukan pengamatan dan pengambilan foto. Hampir tidak ada persoalan untuk mengamati dan ikut serta dalam aktivitas ritual keseharian tetapi untuk masuk kepada persoalan yang lebih dalam berkaitan dengan tata kelola Pesarean, atau informasi keuangan dan hal-hal yang terjadi didalam pengelolaan Pesarean oleh Yayasan Ngestigondo merupakan hal yang tertutup dan rahasia sehingga sulit didapat dengan cara yang terbuka. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi kesulitan ini adalah melakukan wawancara secara formal dengan Jurukunci atau pengurus Yayasan dengan resiko mendapatkan data yang permukaan saja. Diantara upaya dalam mengatasi persoalan ini dilakukan pembandingan dengan informasi pembanding yang lain. Kondisi yang lebih sulit terjadi di Padepokan karena Jurukunci sama sekali tidak bersedia diwawancarai. Penolakan Jurukunci Padepokan itu berhubungan dengan peristiwa masa lalu saat terjadi konflik antara pihak Padepokan dengan warga yang terekspose media massa, sehingga terdapat informasi yang merugikan pihak Padepoakn. Upaya
untuk
menyiasati
hambatan-hambatan
tersebut
dilakukan
wawancara diluar lokasi dan luar jam kerja di Pesaean pada karyawan yayasan ngestigondo. Kendala di Padepokan kemudian dapat diatasi dengan membangun komunikasi dengan anak sulung Jurukunci yang bersifat lebih terbuka. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan mewawancarai orang-orang tua di Gunung
27
Kawi yang mengalami peristiwa yang terjadi disana pada masa lalu, bahkan diantara dari mereka ada yang masih menyimpan data tertulis tentang Gunung Kawi pada masa lalu. Dari informasi yang berlainan antar bebagai pihak ini selanjutan
dikumpulkan
untuk
diperbandingkan,
dicari
persamaan
dan
perbedaannya, dicocokkan dengan sumber tertulis, diurutkan berdasarkan masanya,
dicari
konteksnya,
sehingga
ditemukan
struktur
sosial
dan
dinamikanya. Sebagaimana dikatakan oleh Marzali bahwa penelitian etnografi itu dilakukan untuk mendeskripsikan dan membangun struktur budaya suatu masyarakat (Marzali dalam Spradley,2007:xi). Hasil pengamatan, data tertulis seperti catatan pesanan selamatan, juga benda-benda seperti makam, batu peresmian banguan/infrastruktur lain juga memberikan tambahan informasi penting dalam penelitian ini. Catatan pesanan selamatan dari dapur menjadi informasi yang sangat penting guna menembus rahasia peredaran uang selamatan di Gunung Kawi, meskipun tidak secara keseluruhan namun dapat memberikan gambaran kasar tentangnya. Kemudian isu tentang kebenaran silsilah pada keluarga Pesarean juga menjadi hal penting karena berkaitan dengan legitimasi “penguasa” tempat ritual (Pesarean dan Padepokan). Untuk menemukan jawaban dari ketidak pastian kebenaran silsilah kekerabatan di pesaean dan Padepokan selain dilakukan wawancara keberbagai pihak dan sumber tertulis juga dilakukan dengan mengamati tata letak pusara di pemakaman umum desa Wonosari. Tata letak penguburan di makam dapat menunjukkan hubungan saudara, perkawinan, atau hubungan yang lainnya dengan bantuan keterangan Jurukunci makam desa dan informasi lainnya. Makam desa Wonosari juga menunjukkan kelas sosial yang dimakamkan semasa
28
hidup, misalnya dengan dibangunnya makam dengan cungkup 9 yang besar atau memiliki luas lebih lebar dan tidak bercampur dengan yang lainnya.
9
Cungkup adalah rumah kubur atau bangunan beratap untuk melindungi makam dari panas dan hujan.
29