BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Tanggal 20 April 1999, Indonesia memiliki instrumen hukum yang integratif dan komprehensif yang mengatur tentang perlindungan konsumen yaitu dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 1 Pengaturan perlindungan konsumen tersebut dilakukan dengan 2 : a.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum
b.
Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha
c.
Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa
d.
Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan
e.
Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang
Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen adalah adanya kepastian hukum terhadap 1 2
Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 195 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT. Mandar Maju, 2000), hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhan serta mempertahankan atau membela hakhaknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha sebagai penyedia kebutuhan konsumen 3 . Perlindungan terhadap konsumen dipandang semakin penting, mengingat makin pesat dan lajunya ilmu pengetahuan serta teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen. Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen, dengan dijaminnya hak-hak konsumen tersebut akan menciptakan iklim usaha yang sehat. Dalam rangka menciptakan iklim dunia usaha yang sehat perlu dilakukan koordinasi di antara sesama instansi teknis terkait untuk meluruskan dan mendudukkan suatu permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, dalam hal ini permasalahan yang akan dikaji adalah pengoplosan beras.
3
Lihat, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan beberapa kewajiban pelaku usaha atas upaya perlindungan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Pengoplosan beras menjadi sangat penting untuk dikaji lebih mendalam lagi disebabkan beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi negara-negara di dunia terutama di belahan Asia.
Beras di
Indonesia tidak hanya menjadi persoalan ekonomi. Tidak mengherankan apabila beras selalu menjadi masalah penting, tidak saja bagi petani, tetapi juga bagi ekonom, politikus dan para elite, karena itu kebijakan di bidang beras akan menjadi fokus perhatian semua pihak. 4 Dari sisi konsumen, peran penting beras melebihi kentang, jagung, gandum dan serealia lainnya. Fungsi strategisnya terletak pada posisinya yang menjadi pangan pokok (staple food) bagi sekitar 3(tiga) miliar orang atau separuh penduduk dunia. Di banyak Negara Asia, beras menyediakan 30% - 80 % kebutuhan konsumsi kalori per kapita dan menjadi gantungan hidup sebagian besar penduduk Asia khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah. 5
Untuk masyarakat Indonesia, beras merupakan sumber utama
kalori dengan konsumsi kalori total mencapai 54,3 % artinya lebih dari setengah asupan kalori bersumber dari beras, demikian pula dengan konsumsi protein, beras merupakan sumber protein penting karena lebih dari 40 % pemasukan protein disumbang melalui beras. 6 Tingkat partisipasi konsumsi beras diperkotaan maupun di pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa, sangat tinggi; 97-100%. 7
4
Khudori, Ironi Negeri Beras (Yokjakarta: INSISTPress, 2008), hlm. v Ibid. 6 Harianto. “Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras”, dalam Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM FE.UI, 2001 7 Suroso dan Sulastri. “Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah Untuk Melindungi Petani”, Dalam Achman Suryana dan Sudi Mardianto. Bunga Rampai Ekonomi Beras, (Jakarta: LPEM, Fakultas Ekonmi UI, 2001) Hlm. 42 5
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi dari data-data ini menjelaskan bahwa seseorang yang mengkonsumsi beras dalam jumlah yang cukup, sangat kecil kemungkinanya untuk kekurangan kalori dan protein. Sebaliknya, seseorang yang kekurangan mengkonsumsi beras, sementara kandungan kalori dan protein pangan substitusi tidak terlalu baik, besar kemungkinan akan kekurangan kalori
dan protein. Artinya beras menjadi andalan konsumen dalam
mempertahankan kehidupannya. Pada umumnya kebijakan perberasan berhubungan dengan ketersediaaan atau produksi beras serta harga beras yang beredar di pasaran. Untuk kebijakan harga produksi berorientasi kepada perlindungan harga petani (floor price/harga dasar) dan perlindungan terhadap konsumen (ceiling price/batas harga eceran tertinggi). Kedua harga produksi tersebut merupakan petunjuk tentang turut campur tangan pemerintah terhadap sistem pasar. 8 Masalah perberasan di Indonesia yang sering menjadi fenomena adalah melonjaknya harga beras yang cukup tinggi disebabkan tingginya permintaan pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti menjelang Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru serta pada saat-saat adanya Pemilihan Umum. Selain itu beberapa faktor utama penyebab naiknya harga beras (Tahun 2010) adalah karena : 9
8 9
Khudori, Ironi Negeri Beras Op.cit, hlm. 90 http://www.indotops.com/ diakses, tanggal 24-01-2010
Universitas Sumatera Utara
a. Pengaruh psikologis dari kebijakan perberasan Indonesia Yaitu adanya kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan setiap tahunnya. Untuk tahun 2010, HPP naik 10 persen dibandingkan HPP Tahun 2009 (Instruksi Presiden-Nomor.7 Tahun 2009). 10 b. Mundurnya masa tanam yang mengakibatkan mundurnya panen, sehingga masa paceklik menjadi lebih panjang. c. Beras bersubsidi (Rasdi) yang belum berjalan penuh atau optimal. d. Ekspektasi pedagang dengan gencarnya berita tentang kenaikan harga beras dunia. e. Spekulasi kenaikan harga pupuk yang diperkirakan berlaku mulai bulan April 2010. f. Hambatan transportasi akibat gangguan cuaca. g. Stok beras di tingkat petani dan di tingkat penggilingan/pedagang mulai menipis.
Apabila terjadi lonjakan harga beras di pasaran, pada umumnya akan mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat terhadap komoditi pangan tersebut, utamanya masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, sementara di sisi lain para pelaku usaha akan mengalami penurunan penjualan. Keadaan seperti ini tentu akan mempengaruhi stabilitas nasional karena kenaikan harga beras berkonstribusi cukup signifikan pada kenaikan harga umum atau inflasi. Oleh karena itu banyak kebijakan yang 10 Instruksi Presiden Nomor.7 Tahun 2009, Jakarta: 28 Desember 2009, Harga Gabah Kering Panen dengan kadar air maksimum 25 % dan kadar hampa/kotoran maksimum 10% adalah Rp 2.640,/kg di petani, atau Rp 2.685,-/kg di penggilingan. Gabah Kering Giling dengan kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3% adalah Rp 3.300,-/kg di penggilingan, atau Rp 3.345,-/kg di gudang Bulog. Beras dengan kadar air maksimum 14%, bulir patah maksimum 20%, kadar menir maksimum 2% dan derajat sosoh minimum 95% adalah Rp 5.060,-/kg di gudang BULOG. Tahun 2009 harga beras sebesar Rp. 4.060/KG
Universitas Sumatera Utara
diambil pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga beras di pasar domestik, mulai dari pelaksanaan impor beras sampai kepada pelaksanaan operasi pasar yang dilakukan oleh Perum BULOG. Untuk tahun 2010, Operasi Pasar dilaksanakan sesuai dengan instruksi Menteri Perdagangan kepada Perum BULOG melalui surat No. 56/M-DAG/SD/1/2010 tanggal 13 Januari 2010. Masalah pengoplosan beras harus diberikan pada proporsi
yang sebenarnya
sehingga diperoleh pemahaman dan tindakan yang sama di dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen. Di Indonesia, istilah oplos sering dikonotasikan dengan usaha mencampur dengan maksud untuk mengambil keuntungan tanpa mengindahkan kualitas. Misalnya tindakan pengoplosan solar atau diesel dengan minyak tanah bersubsidi. Cara sedemikian ini dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar tetapi tindakan ini sudah jelas mengakibatkan kerusakan mesin dan membohongi serta merugikan konsumen. Cara mengoplos yang demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dapat dipidanakan. 11 Tindakan mencampur beras antara suatu kualitas dengan kualitas lain yang berbeda, misalnya beras kualitas satu dicampur dengan beras kualitas dua, tiga ataupun kualitas dibawahnya, perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah tindakan yang salah dan merugikan masyarakat/konsumen atau melanggar undang-undang perlindungan konsumen.
11
Rahardi Ramelan, “Oplos di akses tanggal 08 Februari 2010
Atau
Blending”,
http://www.leapidea.com/presentation?id=93.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah : Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
tindakan
pengoplosan
beras
ditinjau
dari
Undang-undang
Perlindungan konsumen. 2.
Bagaimanakah pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras.
3.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dari tindakan pengoplosan beras ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan konsumen.
C. Tujuan penelitian: Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengoplosan beras apakah perbuatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. 2. Untuk mengetahui pembinaan dan pengawasan terhadap perdagangan beras. 3. Untuk
mengetahui
perlindungan
hukum
terhadap
konsumen
dari
tindakan
pengoplosan beras.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian : Manfaat dari penelitian ini dibedakan dalam manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu : 1.
Manfaat Teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut : a. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan pada khususnya yang berhubungan dengan perdagangan beras. b. Masukan bagi penegak hukum yang ingin memperdalam, mengembangkan dan menambah pengetahuan tentang pelaksanaan pengoplosan beras sesuai undangundang dan ketentuan yang berlaku. c. Menambah kasanah perpustakaan.
2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagi berikut : a. Sebagai masukan bagi pemerintah dan penegak hukum dalam menangani masalah pelaksanaan pengoplosan beras . b. Memberikan informasi dan menambah wawasan pemikiran bagi masyarakat tentang pelaksanaan pengoplosan beras yang benar sesuai ketentuan yang berlaku. c. Sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan perundang-undangan nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah kebijakan perberasan.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka Penelitian dengan judul “PENGOPLOSAN BERAS DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, maka dari segi keilmuan penelitian ini dapat dikatakan asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah .
F. Kerangka Teori dan konsepsi 1.
Kerangka Teori
No state shall make on enforce any law wich shall abridge the privileges or immunities of citizens…, nor shall any state deprive any person of life, liberty, or property without due process of law, nor deny any person within its jurisdiction the equal protection of the laws. (Tidak satu Negara pun dapat membuat atau menjalankan hukum yang dapat mengurangi hak dan kekebalan dari warga negara…, juga tidak satu negara pun yang dapat menghilangkan kehidupan, kebebasan, atau hak milik dari seseorang tanpa melalui proses hukum yang adil, tidak ada satu negara pun yang dapat menolak perlakuan yang sama terhadap warga negaranya di depan hukum) (Amandemen XIV dari Konstitusi Negara Amerika serikat) 12
12
Munir Fuadi, Dinamika Teori Hukum, (Ciawi-Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 110
Universitas Sumatera Utara
Keadilan dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu ; 13 a.
Keadilan Kumutatif,
b.
Keadilan Distributif dan
c.
Keadilan Hukum. Keadilan kumutatif merupakan suatu keputusan yang konstan untuk memberikan
setiap orang haknya (to give each one his due) dengan tujuan untuk menyesuaikan atau menyeimbangkan interaksi antar individu, sehingga
masing-masing bisa memperoleh
haknya secara sama. Jadi keadilan kumutatif merupakan keadilan yang berasal dari suatu kebajikan yang khusus dan pada prinsipnya memberlakukan asas “sama rata sama rasa” tanpa melihat pada kualifikasi pencari keadilan tersebut, jadi keadilan kumutatif memberlakukan orang secara sama (equal). Keadilan distributif diartikan sebagai suatu keputusan yang konstan dari negara sebagai otoritas kekuasaan untuk memberikan setiap orang akan haknya, dengan tujuan untuk mendistribusikan barang-barang yang dapat dimiliki dalam jenis dan jumlah yang masing-masing bervariasi, sesuai dengan jasa baik (merits), kecurangan/ketercelaan (demerits), kemampuan dan kebutuhan dari setiap individu dalam suatu masyarakat. Sehingga terhadap keadilan distributif ini ada yang menganggap “keadilan
untuk
memberi
hasil
(
remunerative
justice)
sebagai bagian dari
atau
keadilan
untuk
mempertahankan hak (vindicative justice). Dalam hal ini, keadilan distributif memberikan setiap orang sesuai prestasinya, atau memberikan setiap orang sesuai tingkat kesalahannya, karena itu berbeda dengan keadilan kumutatif yang menekankan kepada pengertian 13
Ibid
Universitas Sumatera Utara
“kesamaan”, sedangkan keadilan distributif lebih menekankan kepada pengertian “proporsional”. Keadilan hukum (legal justice) berarti keadilan telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban, dimana pelanggaran terhadap keadilan ini akan ditegakkan lewat proses hukum, umumnya oleh pengadilan. Namun ada pengertian lain dari keadilan hukum ini yang sebenarnya lebih merupakan keadilan sosial, yaitu suatu keputusan yang konstan dari warga negara untuk memberikan kepada negara hak dari negara tersebut, dengan tujuan untuk menyesuaikan setiap tindakan individu dengan kepentingan bersama dalam negara. 14 Seorang guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum, “Bapak ekonomi modern” yakni Adam Smith mengatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury). 15 Teori Keadilan Adam Smith, hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan kumutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan kumutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain. 16 Prinsip keadilan kumutatif tersebut adalah sebagai berikut;
14
Ibid, hlm 118 R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, dalam Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonmi. Hal. 5 16 http://m31ly.wordpress.com/2009/11/13/6/, Keadilan Dalam Bisnis, diakses tanggal 14 Mei 2010 15
Universitas Sumatera Utara
1. Prinsip No Harm Prinsip keadilan kumutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib mentaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
2. Prinsip Non-Intervention Di samping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain. Campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan.
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip Keadilan Tukar Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa; upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang di dalam pasar. Pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada konsumen. Sebaliknya konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya sehingga kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau keuntungan. Dalam prakteknya sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak jujur, nakal yang jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan atau jasa tidak sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harganya. Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha 17 . Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan atau jasa yang dihasilkan tanpa campur
17
Abdul Halim Barkatullah , Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH. Unlam Press, 2008),
hlm. V.
Universitas Sumatera Utara
tangan konsumen sedikitpun. 18 Pada peristiwa semacam inilah dibutuhkan hukum untuk memberikan perlindungan konsumen. Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang secara universal pula harus dilindungi dan dihormati yaitu : 19 a.
Hak keamanan dan keselamatan
b.
Hak atas informasi
c.
Hak untuk memilih
d.
Hak untuk di dengar
e.
Hak atas lingkungan hidup
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah: 20 a. Let the buyer beware (caveat emptor) b. The due care theory c. The prifity of contract d. Prinsip kontrak bukan merupakan syarat 18
Husni Syawali, op.cit., hlm. 37 Ibid, hlm. 39 20 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia 2006), hlm 63 19
Universitas Sumatera Utara
1. Let the buyer beware (caveat emptor) Doktrin ini sebagai embrio dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.
2. The due care theory Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, tampak si penggugat (konsumen) harus membentangkan bukti-bukti. Si pelaku usaha (tergugat) cukup bersikap menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari si penggugat barulah ia membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian (negligence). Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya sipelaku usaha dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial,
Universitas Sumatera Utara
psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini. 3. The prifity of contract Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan.
Artinya
konsumen
boleh
menggugat
berdasarkan
wanprestasi
(contractual liability). Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidamg konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum (tortius liability).
Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan
konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang selalu didikte menurut kemauan si pelaku usaha. 4.
Prinsip kontrak bukan merupakan syarat Seiring dengan bertambah kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Dalam etika bisnis, dikenal adanya etika pengakuan yang melihat adanya asimetri
dalam tugas dan kewajiban manusia, disamping itu terdapat teori pemeliharaan hak yang mengakui tanggung jawab produsen atau penjual atas produk sebagai hasil hubungan yang asimetri antara pihak konsumen (yang lebih lemah) dan pihak produsen atau pemasok
Universitas Sumatera Utara
(yang lebih kuat). Teori ini melindungi hak-hak pihak yang lemah dan mendukung gagasan suatu masyarakat moral yang mempraktikkan keadilan.21 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Membahas keperluan hukum untuk memberikan perlindungan bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu kita melihat situasi peraturan perundang-undangan Indonesia khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat, sehingga bentuk hukum perlindungan konsumen yang ditetapkan sesuai dengan yang diperlukan bagi konsumen Indonesia dan keberadaannya tepat apabila diletakkan didalam kerangka sistem hukum nasional Indonesia. 22 Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajibankewajiban pelaku usaha, namun kelihatan bahwa hak yang diberikan kepada konsumen (yang diatur dalam Pasal 4 UUPK ), lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha (yang dimuat pada Pasal 6 UUPK ), dan kewajiban pelaku usaha (dalam Pasal 7 UUPK ) lebih banyak dari kewajiban konsumen (yang dimuat dalam Pasal 5 UUPK) 23 .
21
88
22 23
Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm. Husni Syawali, op.cit, hlm. 8 Lihat Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8
Tahun
1999
Universitas Sumatera Utara
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan konsumen, diantaranya : 24 a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa pergantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK 25 . Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan pokok yaitu: 26 24
Lihat Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 26 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hlm.41 25
Universitas Sumatera Utara
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang menyesatkan konsumen. Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 Undang-Undang Konsumen baik larangan mengenai kelayakan produk, berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi masyarakat luas. 27 Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan undang-undang tentang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen maka setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen 28 . Tanggung jawab untuk mengganti rugi tidak saja karena dilakukannya perbuatan melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hati, bahkan tanggung jawab itu tidak hanya karena perbuatan atau tidak berbuat pelaku sendiri, tetapi juga karena
27
Ibid hlm. 42 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2008), hlm. 3 28
Universitas Sumatera Utara
perbuatan atau tidak berbuat dari orang-orang yang menjadi atau termasuk tanggung jawabnya (lihat Pasal 1366 dan Pasal 1367 KUHPerdata) 29 Tanggung jawab dalam hukum dibagi ke dalam asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fauld) dan tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fauld). Pada tanggung jawab berdasarkan kesalahan pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan untuk membuktikan bahwa kerugian yang dialaminya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang ia tuntut untuk membayar ganti rugi tersebut (tergugat), sedang pada asas tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault) seseorang bertanggung jawab begitu kerugian terjadi, terlepas dari ada tidaknya kesalahan pada dirinya. 30 Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fauld) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 31 Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum (sebagai kasus perdata) dan tindak 77.
29
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: CV. Triarga Utama, 2002),
30
Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit., hlm. 82 Pustaka Yustisia, KUHPer, KUHP, KUHAP, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008)
hlm
33
Universitas Sumatera Utara
pidana. Undang-undang Perlindungan konsumen telah memberikan akses dan kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan sistem pertanggungjawaban produk oleh pelaku usaha (product liability). 32 Tanggung jawab produk (product liability) adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (prosessor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual dan mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. 33 Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dicantumkan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berisi “ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Dalam istilah “melawan” melekat pada sifat aktif dan pasif. Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan perkataan lain apabila ia dengan sikap pasif saja sehingga
32
Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan di Indonesia”.(Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996), hlm. 6 33 Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan di Indonesia, http://indoprogress.blogspot.com, diakses tanggal 11-04-2010
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan kerugian pada orang lain maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badanya. 34 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok yaitu : a) Adanya perbuatan b) Adanya unsur kesalahan c) Adanya kerugian yang diderita d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian 1.
Konsepsi Peranan konsep dalam penelitian ini adalah untuk menghubungkan dunia teori dan
observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini ada dua variable yang terkait yaitu : Pertama, Pengoplos beras dalam hal ini diartikan sebagai pelaku usaha. Kedua, Perlindungan konsumen. Dari uraian kerangka teori di atas, peneliti akan menjelaskan beberapa konsep dasar yang akan digunakan dalam tesis ini antara lain :
34
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hlm. 75-76
Universitas Sumatera Utara
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 35 2.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan 36
3.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 37 4. Beras adalah butir padi yang telah dibuang kulit luarnya (biasa disebut sekam atau epicarp) 38 , atau gabah yang telah dikupas dan telah terbebas dari bekatul. 39 5. Produk adalah barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhirnya dari proses produksi tersebut. 40 6. Dari penelusuran literatur yang ada, kata Oplos berasal dari Bahasa Belanda 41 . yaitu “oplossen“
42
artinya; melebur, larut dan meluluh. Di Indonesia kata oplos sering
dikonotasikan dengan usaha mencampur. 35
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 37 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 38 Khudori, op.cit., hlm v 39 Abdul Waris Patiwiri, Teknologi Penggilingan Padi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 19 40 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1996) hlm. 254 41 http://www.sekolahvirtual.or.id/2009/10/kata-serapan-dari-bahasa-belanda-dalam-bahasa-indonesiak-o/, diakses tanggal 11-04-2010 36
Universitas Sumatera Utara
7. Mencampur adalah : menyatukan atau mengumpulkan (dua atau tiga macam benda dsb) supaya bercampur 43 atau memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain 44 . 8. Perum BULOG adalah Perusahaan Umum BULOG yang selanjutnya disebut Perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undangundang No. 9 Tahun 1969, dimana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. 45 9. Standar
mutu beras adalah persyaratan standar mutu beras berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) No. 01-6127-1999 yang terdiri dari komponen umum dan komponen fisik beras. 10. Yang dimaksud dengan komponen umum adalah : a. bebas hama dan penyakit, b. bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, c. bebas dari campuran bekatul dan d. bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan, Sedangkan komponen fisik beras ditunjukkan pada tabel di bawah ini :
42
Susi Moeimam, Hein Steinhauer, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005) 43 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976) hlm. 182 44 http://albertusgoentoer, blogspot.com/2009/04/mencampur, diakses 10 Maret 2010. 45 Bab I Pasal 1 butir (1) PP No. 7 Tahun 2003 tentang pendirian Perum BULOG
Universitas Sumatera Utara
Tabel.1.
No
Komponen Fisik beras (SNI) No. 01- 6127-1999 . Komponen
sesuai
Standar
Nasional
Indonesia
Satuan
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Mutu IV
Mutu V
Mutu 1
Derajat sosoh (min)
(%)
100
100
100
95
85
2
Kadar Air (mak)
(%)
14
14
14
14
15
3
Beras Kepala (min)
(%)
100
95
84
73
60
4
Butir utuh (min)
(%)
60
50
40
35
35
5
Butir Patah (mak)
(%)
0
5
15
25
35
6
Butir Menir (mak)
(%)
0
0
1
2
5
7
Butir merah (mak)
(%)
0
0
1
3
3
8
Butir kuning/rusak (mak)
(%)
0
0
1
3
5
9
Butir mengapur (mak)
(%)
0
0
1
3
5
10
Butir asing (mak)
(%)
0
0
0,02
0.05
0,2
11
Butir gabah (mak)
(%)
0
0
1
2
3
12
Campuran Varietas lain (mak)
(%)
5
5
5
10
10
Sumber: Abdul Waris Patiwiri, Teknologi Penggilingan Padi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) hlm. 20-21
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian 1.
Tipe atau jenis Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada
dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat ahli hukum maupun praktisi hukum.
2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Sumber data tersebut dikelompokkan dalam tiga bagian yaitu dari data bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang mengikat, terdiri dari norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, peraturan dasar yaitu batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan seperti UndangUndang atau Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, badan hukum yang tidak
Universitas Sumatera Utara
dikodifikasikan seperti hukum adat, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai badan hukum primer misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian hukum, dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum. Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus (hukum), ensiklopedia dan lain-lain 46
3. Teknik Pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang kemudian
dihubungkan
dengan
permasalahan
yang
sedang
dihadapi
dan
disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.
46
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2001) hlm. 116-117
Universitas Sumatera Utara
4. Metode analisis data Data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut permasalahan yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan
dalam bentuk kalimat-kalimat. Pendekatan
yuridis normatif artinya data penelitian dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut di atas, maka dapat dilakukan penafsiran dengan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini, diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang diajukan dalam tesis ini secara lengkap.
Universitas Sumatera Utara