BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, karenanya perkawinan ini mutlak di perlukan, menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menurut pasal 1bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” Pernikahan merupakan institusi yang sangat penting. Melalui pernikahan biasanya menimbulkan berbagai konsekuensi, karena itu diatur prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) disebutkan
bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu", kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
Universitas Sumatera Utara
perundang- undangan yang berlaku". Jadi untuk sahnya suatu perkawinan selain perkawinan harus sah berdasarkan agama juga harus didaftarkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan yang berwenang, sehingga perkawinan mempunyai kekuatan hukum dan dapat dibuktikan atau peristiwa perkawinan itu telah diakui oleh negara. Hal ini penting artinya demi kepentingan suami isteri itu sendiri, anak yang lahir dari perkawinan serta harta yang ada dalam perkawinan tersebut. Pencatatan resmi bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai lembaga resmi pemerintahan. Sedangkan publikasi secara formal biasanya dilakukan dalam bentuk acara walimahan atau resepsi. Tujuan pencatatan perkawinan ini adalah agar perkawinan yang berlangsung tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan pasti, yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami-isteri, anak yang dilahirkan menjadi anak yang sah, hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, hak saling mewarisi antara suami-isteri dan anak-anak dengan orang tua, dan bagi anak perempuan seorang ayah berhak menjadi wali nikahnya. 1 Menurut Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, bilamana suatu perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama atau kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula akibat yang timbul dari perkawinan itu. 2
1
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hal 248 2 Abdurrahman dan Ridwan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Alumni Bandung, 1986), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan yang dilaksanakan secara sah akan menimbulkan hak dan kewajiban dalam perkawinan, baik antara suami isteri maupun terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan tersebut . Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan atau anak. Anak merupakan amanah Allah kepada kedua orang tuanya yang wajib untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kewajiban suami isteri dalam berumah tangga diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 antara lain : 3 1. Kewajiban suami (sesuai dengan pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) yaitu : Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Kewajiban isteri (sesuai dengan pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan) yaitu : Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 3. Kewajiban suami dan isteri (sesuai denga pasal 45 Undang-Undang Perkawinan) yaitu : Suami isteri (kedua orang tua) wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban itu berlaku sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus sampai meskipun perkawinan.
3
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban suami isteri tersebut lebih rinci diatur dalam instruksi presiden nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam : 4 1.Kewajiban suami (sesuai dengan pasal 80 Kompilasi Hukum Islam) : 2. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. 3. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 4. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. 5. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak c. Biaya pendidikan bagi anak 6. Kewajiban suami terhadap isteri seperti tersebut pada ayat (94) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya 7. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b 8. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. 2. Kewajiban isteri (sesuai dengan pasal 83 Kompilasi hukum Islam) yaitu: 1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan bathin kepada suami didalam batas-batas yuang dibenarkan oleh hukum islam. 2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Kewajiban suami dan isteri (sesuai dengan pasal 77 Kompilasi Hukum Islam) yaitu : 1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. 2) suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
4
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2012), hal 29
Universitas Sumatera Utara
3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. 4) Suami isteri wajib memelihara kehormatannya. Namun sebagai manusia yang mempunyai banyak persoalan dan keinginan tentunya tidak jarang timbul dalam suatu keluarga pertentangan, perselisihan, yang tanpa disadari akan menimbulkan jurang pemisah antara suami isteri di dalam perkawinan yang dibina, yang akhirnya menyebabkan terjadinya perceraian. Akibat hukum dari perceraian salah satunya adalah hadhanah karena putusnya suatu perkawinan tidak mempengaruhi hubungan dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, tetapi dalam hal pemeliharaan terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan terjadi permasalahan, apabila kedua orang tuanya itu masing-masing sama berkeinginan untuk mengasuh anaknya, karena tidak mungkin seorang anak berada dalam pengasuhan kedua orang tuanya yang telah berpisah tempat tinggal dan hidupnya pada waktu yang bersamaan. Peristiwa tersebut akan menimbulkan sengketa antara kedua orang tua dalam pemeliharaan terhadap anaknya. Menurut istilah ahli fiqh hadhanah adalah memelihara anak dari segala macam bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohani menjaga makanan dan kebersihannya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim. 5
5
TM.Hasbi Ash-Shsiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal.
54
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak anak cukup banyak peraturannya baik dalam ajaran Islam maupun dalam hukum nasional antara lain yang diatur dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (diatur dalam pasal 26), dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (diatur dalam pasal 48) serta Kompilasi Hukum Islam (diatur dalam pasal 98-106) dan diatur dalam Alqur’an pada surat Luqman ayat 12-19, surat Al-Baqarah ayat 233, surat An-Nisa ayat 2,6, & 10, surat Al-Qashas ayat 12. Dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa tanggung jawab orang tua atas kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara serta mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa. Apabila terjadi sengketa tentang hadhanah, dalam hal ini masing-masing pihak merasa berhak atas anak, maka dalam hal ini Pengadilan merupakan satusatunya lembaga yang berhak menangani permasalahan ini adalah Pengadilan Agama atau Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal suami atau istri. Data yang ditemukan pada Pengadilan Agama Medan mengenai putusan hadhanah dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 yang tercatat di Pengadilan Agama Medan ada 7 kasus yang telah mendapatkan putusan yang sudah inkracht Pengadilan Agama Kelas IA Medan, yaitu antara lain: 1. 1431/Pdt.G/2010/PA.Mdn pada tanggal 10 November 2010
Universitas Sumatera Utara
2. 1531/Pdt.G/2010/PA.Mdn pada tanggal 08 Desember 2010 3. 234/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 14 Februari 2011 4. 1032/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 27 Juli 2011 5. 1327/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 11 Oktober 2011 6. 1591/Pdt.G/2011/PA.Mdn pada tanggal 1 Desember 2011 7. 1790/Pdt.G/2012/PA.Mdn pada tanggal 21 November 2012 Putusan Hadhanah yang diteliti ini adalah putusan hadhanah setelah perceraian yang pada putusan perceraiannya tidak ada penetapan mengenai hadhanah, namun setelah berjalannya waktu dan demi kemaslahatan anak maka dari salah satu pihak merasa perlu penetapan mengenai hadhanah. Pada prinsipnya kewajiban mengenai Hadhanah merupakan tanggung jawab kedua orang tua, namun jika terjadi perceraian maka kewajiban hadhanah atas pemeliharaan anak yang belum muwayyiz atau belum berumur 12 tahun) merupakan hak seorang ibu. Hal ini diatur dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, tetapi si ayah dapat menuntut hak asuh ada ditangannya apabila seorang ibu yang mengasuh anaknya tersebut telah menikah lagi dengan orang lain dan berpindah agamanya (seperti pada putusan 1431/Pdt.G/2010/PA.Mdn), dan apabila ibu yang mengasuh anaknya tersebut dalam pengasuhan anaknya sering melakukan kekerasan baik secara fisik maupun mental kepada anaknya (seperti pada putusan 1032/Pdt.G/2011/PA.Mdn). Seorang ibu juga dapat menuntut haknya disebabkan adanya penguasaan anak secara sepihak oleh ayahnya namun dalam pemeliharaannya terbukti diserahkan pada orang lain yang mengakibatkan anak tersebut terlantar bahkan tidak sekolah (seperti pada putusan 1327/Pdt.G/PA.Mdn), dan juga demi
Universitas Sumatera Utara
kemaslahatan anak karena dikhawtirkan sang ayah akan mengajari anaknya dengan agama yang dianutnya (seperti pada putusan 234/Pdt.G/PA.Mdn). Seorang ibu dapat mempertahankan hadhanahnya walaupun telah menikah lagi dengan orang lain dikarenakan terbukti sang ayah setelah perceraian tidak pernah
bertanggung
jawab
terhadap
anaknya
(seperti
pada
putusan
1531/Pdt.G/PA.Mdn), dan walaupun seorang ibu bekerja tapi dia dapat membuktikan sebagai ibu mampuh mengurus, membiayai, dan merawat anaknya (seperti pada putusan 1790/Pdt.G/PA.Mdn). Hadhanah bukan saja mengenai pemeliharaan anak tetapi juga mengenai kewajiban seorang ayah dalam pembiayaaan kehidupan anaknya, hal ini diatur pasal 105 (c) Kompilasi Hukum Islam, dan seorang ibu dapat menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap pembiayaan anaknya (seperti pada putusan 1591/Pdt.G/PA.Mdn) Berdasarkan uraian mengenai sengketa Hadhanah di atas, maka kajian mengenai Analisis Putusan “Hadhanah” di Pengadilan Agama Medan (Studi Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan Tahun 2010-2012) menarik untuk dilakukan.
I. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana Karakter Hadhanah yang diputuskan pengadilan` Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012?
Universitas Sumatera Utara
2. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim Pengadilan Agama Kelas IA Medan dalam menentukan sengketa Hadhanah dari Tahun 20102012? 3. Apakah Putusan Hadhanah yang diputuskan di Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010- 2012 telah eksekutabel ?
J. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis karakter Hadhanah pada Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012 2. Untuk mengetahui dan meganalisis pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Medan dalam menentukan sengketa Hadhanah dari Tahun 2010-2012 3. Untuk mengetahui dan menganalisis eksekusi putusan perkara-perkara Hadhanah pada Pengadilan Agama Kelas IA Medan dari Tahun 2010-2012
K. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan hadhanah di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian.
Universitas Sumatera Utara
2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pedoman bagi mahasiswa, praktisi hukum dalam
menyelesaikan perkara
hadhanah di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.
L. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, yang dilakukan baik dikepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, sepengetahuan saya belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul ANALISIS HADHANAH PADA PUTUSAN HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA MEDAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Kelas IA Medan Tahun 2010-2012). Namun ada beberapa penelitian yang menyangkut dengan Hak Asuh Atas Anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh : 1. Kadriah, NIM ; 943105011 ; Magister Ilmu Hukum ; “ Tanggung Jawab Orang tua Terhadap Anak Setelah Perceraian (Penelitian di Kabupaten Pidie)”. Yang menjadi permasalahannya adalah : a. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab orang tua terhadap pemeliharaan anak dan nafkah hidup anak? b. Faktor apa yang menyebabkan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak? c. Bagaimana Penyelesaian yang diambil sehingga anak tetap mendapatkan hak-haknya secara layak?
Universitas Sumatera Utara
2. Tessy Taufik, NIM ;097011100 ; Magister Kenotariatan ; Judul Tesis ; “ Tanggung Jawab Suami atau Isteri Dalam Perceraian terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Nomor : 209/Pdt.G/2007/PN-Mdn )”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut ; a. Apa yang merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan tangung jawab pengasuhan anak setelah perceraian ? b. Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya ? c. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau isteri apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan ? 3. Lisdawarta Purba, NIM ; 0027011029 ; Magister Kenotariatan ; Judul tesis ; “Perceraian Atas Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan Akibat Hukumnya Terhadap Hak Anak (Kajian Pada Masyarakat Karo di Kecamatan Tigah Panah)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagi berikut : a. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor Catatan Sipil pada Masyarakat di Kecamatan Tigah Panah ? b. Bagaimana tanggung jawab orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat karo di Kecamatan Tiga Panah ?
Universitas Sumatera Utara
c. Bagaimana hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tua setelah perceraian terhadap pemeliharaan serta nafkah hidup anak pada masyarakat karo di Kecamatan Tiga Panah ? 4. Anastasius Rico Haratua sitanggang, NIM ; 037011006 ; Magister Kenotariatan; Judul tesis ; Analisis yuridis Tentang Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian (Studi Putusan pengadilan negeri Siak Indraputa-Riau)”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut : a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan putusnya perkawinana karena percaraian melalui putusan pengadilan ? b. Bagaimana akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan yang disebabkan perceraian melalui putusan pengadilan ? c. Bagaimana pertimbangan hukum haklim dalam mengadili perkara perceraian di Pengadilan Negeri Siak Indrapura-Riau ? 5. Syarifah Tifany, Nim ; 037011076 ; Magister Kenotariatan ; Judul tesis; “Pengasuhan Anak setelah Terjadi Perceraian (Studi Kasus Pengadilan Agama Binjai)”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah : a. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam Hukum Islam ? b. Bagaimana menentukan hak pengasuh hak Hadhanah di pengadilan agama jika terjadi perceraian ? c. Bagaimana eksekusi putusan perkara Hadhanah di pengadilan agama binjai?
Universitas Sumatera Utara
6. Edi Sucipto, NIM ; 002105006 ; Magister Hukum ; judul Tesis ; “Hadhanah Setelah terjadi Perceraian Menurut kompilasi Hukum Islam dan Penerapannya di Pengadilan Agama Medan”. Adapun yang menjadi permasalahannya adalah sebagai berikut : a. Bagaimana ketentuan Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam ? b. Bagaimana penerapan penyelesaian Hadhanah di Pengadilan Agama Medan ? c. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kelalaian orang tua atas tanggung jawab terhadap Hadhanah anak ?
M. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan, 6 sedangkan teori adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. 7
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 2004), hal. 72-73 7 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Bandar Maju, 1994), hal. 27
Universitas Sumatera Utara
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: 8 a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta; c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori dalam suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori merupakan simpulan dari rangkaian sebagai fenomena menjadi sebuah penjelasan. 9 Adapun kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum yang didukung oleh teori kemaslahatan. Dalam pandangan Thomas Aquinas, suatu hukum disebut adil jika hukum tersebut dapat berfungsi efektif dalam menjamin atau melindungi hak-hak subjek yang diaturnya, termasuk yang diatur dalam hukum positif, keadilan merupakan kehendak yang kekal diantara satu satu orang dan sesamanya untuk membertikan segala sesuatu yang menjadi haknya, defenisi ini memberikan gambaran hubungan antara “hak dan keadilan” hak yang dimiliki setiap manusia. 10
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pres, 1981), hal. 121 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134. 10 E.Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Cetakan Kelima, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hal 255 9
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan yang demikian kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjalankan peraturan secara konsisten cara dan memperlakukan seseorang atau masyarakat dengan adil, maka peraturan hukum akan sangat membantu anggota masyarakat karena hukum diterapkan secara pasti dan konsisten. Menurut Jan Michiel Otto, untuk menciptakan kepastian hukumnya harus memenuhi syarat-syarat, yaitu : 11 a. ada aturan hukum yang jelas dan konsisten. b. instansi pemerintah menerapkan aturan hukum secara konsisten, tunduk dan taat terhadapnya. c. masyarakat menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan hukum tersebut. d. hakim-hakim yang mandiri, tidak berpihak dan harus menerapkan aturan hukum secara konsisten serta jeli sewaktu menyelesaikan sengketa hukum. e. Putusan pengadilan secara konkret dilaksanakan. Menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum merupakan fenomena psikologi daripada hukum. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-Undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan. 12 Menurut Ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga ia dapat saja menggugurkan haknya, tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak dan menurut Wahbah al-zuhaily, hak hadhanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan anak maka jika terjadi 11
Jan Michiel Otto, “Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden”, Terjemahan Tristam Moeliono, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang, Cetakan Pertama, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), 2003, hal 5 12 Ibid
Universitas Sumatera Utara
pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. 13 Berdasar pendapat ini juga teori kepastian hukum digunakan untuk memberikan kepastian dalam hal penyelesaian sengketa hadhanah. Disinilah letak dari pekerjaan hakim untuk menemukan hukum didalam upaya melakukan penegakan hukum yang sangat tergantung pada fakta-fakta hukum, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara, serta menganalisis kasus dari pihak yang berperkara untuk menemukan kepastian hukum dalam hal menentukan pihak yang lebih berhak dalam mengasuh anak. Teori maslahat secara etimologi kata jamaknya Mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan. Maslahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar.Esensi maslahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum. 14 Al-Ghazali menyatakan bahwa mashlahat adalah menarik manfaat atau menolak mudharat, dan artinya secara istilah pemeliharaan tujuan (maqashid) syara’ yakni agama, akal, keturunan dan harta Segala sesuatuyang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima adalah mashlahat. 15
13
Abdul Aziz Dahlan, Ensklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Barui Van Hoepe, 1999), hal 415 14 M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum, (Medan: USU Pers, 2002), hal 27 15 Jamaluddin, Analisis hukum perkawinan terhadap Perceraian dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, (Medan: Disertasi sekolah pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal 23
Universitas Sumatera Utara
Menurut M. Hasballah Thaib, 16mashlahat yang dimaksud adalah kemashlahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan. Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, para ahli mengklasifikasikan teori al-mashlahat kepada tiga jenis yaitu: 17 Pertama maslahat dharuriyah, yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di dunia dan di kemaslahatan ini berkaitan dengan lima kebutuhan pokok, yang disebut dengan Al-Mashalh AlKharusah, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan dan (5) memelihara harta. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas adalah bertentangan dengan tujuan syara’.Karena itu, tindakan tersebut dilarang tegas dalam agama. Kedua, mashlahat hajiyah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan
16
Ibid, Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa mashlahat adalah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara’, Selanjutnya lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 126 17 Kutbudin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal 192-194
Universitas Sumatera Utara
memelihara kebutuhan dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyariatkan untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut. Ketiga, mashlahat tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi manusia. Teori kemaslahatan digunakan untuk mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan karena pada dasarnya tujuan hukum dalam islam harus berdasarkan kemaslahatan, karena masyarakat mengharapkan pelaksanaan hukum dan keputusan hakim dalam menyelesaikan masalah harus dapat memberi manfaat bagi masyarakat, dalam hal ini keputusan hakim harus dapat memberi manfaat bagi para pihak yang bersengketa hadhanah dan bagi anak yang dimaksud dalam permasalahan hadhanah tersebut, karena pada dasarnya kewajiban melakukan hadhanah adalah tanggung jawab bersama kedua orang tua. Kedudukan anak dalam pandangan Islam, yakni anak adalah titipan Allah SWT kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Pengertian ini memberikan hak yang harus
Universitas Sumatera Utara
diakui, di yakini dan di amanatkan. 18Ketentuan ini ditegaskan dalam Al Qur'an surat Al-isra (17) ayat 31 yang artinya "dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang amat besar.” 19 Oleh karena itu, upaya pengimplementasian hak-hak anak merupakan tanggung jawab semua pihak, dalam hal ini dapat di lakukan dengan mewujudkan pendidikan anak dalam keluarga secara paripurna (internalisasi keluarga), meningkatkan peran serta masyarakat serta mengoptimalkan integrasi hak-hak anak dalam kebijakan publik yang akomodatif dan kontributif. Akumulasi ketiga institut ini secara sinergik merupakan syarat dalam memberikan hasil dan daya guna masa depan anak. 20 Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia sendiri yang semakin hari semakin berkembang. anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritual secara maksimal. 21 Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2 merumuskan hak-hak anak sebagai berikut: 22
18
Imam Jauhari, Op.Cit, hal. 98-99 Al Quran dan terjemahannya, 1987, Departemen Agama RI, Jakarta, hal. 428-429. 20 Majda El Muhtaj, Memahami Integrits Hak-hak Anak dan Implementasinya (Suatu upaya antisipasi dan Proteksi Hukum terhadap Tindakan Kekerasan Terhadap Anak), (Medan: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), 2001), hal. 25. 21 Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Cipta Adiyta Bakti, 1997), hal. 4 22 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 19
Universitas Sumatera Utara
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik. c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan yang wajar Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. 23 Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup, bahwa antara suami isteri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri 24. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar melakukan perceraian dimuat dalam memori penjelasan Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 yaitu: 25 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lainlain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain, selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
23
Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Ibid pada pasal 39 ayat 2 25 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. 24
Universitas Sumatera Utara
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Hukum Islam juga mengatur alasan perceraian yaitu : 26 a. Suami melanggar taklik talak. b. Terjadi
peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan antara suami dan isteri di dalam rumah tangga. Dari alasan perceraian diatas dapat juga menentukan pihak yang berhak dalam pengasuhan anak, walaupun ketentuannya anak dibawah umur tetap ibu yang mempunyai hak dalam pengasuhan anak. Hadhanah/kafalah (pengasuhan) anak-anak hukumnya wajib karena menelantarkan mereka akan menyebabkan mereka binasa. Selain wajib, (hadhanah/kafalah) juga berkaitan dengan hak kerabat anak karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi, pengasuhan (hadhanah/kafalah) itu berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya. 27
26
Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam Abd. Al’Adzim Ma’ani dan Ahmad aal-Gundur, Hukum-hukum dari Al-Quran dan Hadist, secara Etimologi, Sosial dan Syariat, Terjemahan Usman Sya’roni, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 77. 27
Universitas Sumatera Utara
Hak pengasuhan itu tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal secara pasti akan membahayakan anak tersebut. Karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya atau idiot (al-ma’tuh). Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka. 28 Menurut J.Prins, Undang-Undang menetapkan bahwa kewajiban untuk memelihara anak-anak dan pendidikan mereka terletak baik pada ayah maupun pada ibu. Perselisihan tentang kekuasaan orang tua diputuskan oleh hakim. Ayah secara tegas dibebani kewajiban menanggung semua biaya hidup dan pendidikan, hanyalah kalau ayah tidak mampu, hakim dapat mewajibkan si ibu ikut serta menanggung biayanya. Tidak diragukan bahwa disini telah dijelaskan suatu asas yang sah dan penting menurut hukum, pada yurisprudensilah diserahkan pelaksanaannya secara praktis. 29 Secara syar’i, menurut Al-Anshari, al-hadanah adalah tarbiyah anak-anak bagi orang yang memiliki hak pengasuhan. Menurut ulama Syafiyah, al-hadhanah adalah tarbiyah atas anak kecil dengan apa yang menjadikannnya baik. Menurut ulama Hanabilah, al-hadhanah adalah: menjaga jiwa anak-anak, membantu dan memenuhi makanan, pakaian dan tempat tidurnya, dan membersihkan badannya. Sa’di Abu Habib memilih defenisi syar’i al-hadhanah dengan batasan pemeliharaan dan pendidikan siapa saja yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, dengan apa yang bisa 28
Ibid, hal 78 J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
29
hal 70
Universitas Sumatera Utara
menjadikannya baik dan melindunginya dari apa saja yang membahayakannya, meski orang itu sudah besar tapi gila. 30 Abu Yahya Zakaria al-Anshari mengatakan.“Al-Hadhanah itu berakhir pada anak kecil dengan kemampuannya melakukan pembedaan. Adapun setelahnya sampai baliq maka disebut Tamyiz, begitulah yang dilakukan al-Mawardi. Namun, yang lain berkata bahwa itu juga disebut hadhanah. Al Hadhanah adalah menjaga (merawat) orang yang tidak bisa mengurus urusannya sendiri dan mendidiknya dengan apa yang bisa menjadikannya baik. 31 Dari ikatan-ikatan kekeluargaan dapatlah timbul berbagai hubungan, di dalam mana orang yang satu diwajibkan untuk pemeliharaan atau alimentasi terhadap orang yang lain. 32 Dalam hal perkawinan yang akibatnya terlahirnya anak, maka kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara orang tua dengan anaknya itu menimbulkan persoalan sehingga memang dirasakan perlunya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang pola hubungan antara mereka. Menurut R.I Suhartini.C, "Demi pertumbuhan anak yang baik, orang tua harus memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum, dan tidur. Kebutuhan keamanan dan perlindungan, kebutuhan untuk dicintai oleh orang tuanya, kebutuhan harga diri (adanya penghargaan) dan kebutuhan menyatakan diri baik secara tertulis maupun secara lisan" 33
30
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 157 Ibid 32 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), 31
hal. 34 33
R.I. Suhartini. C, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co, 1986), hal
123
Universitas Sumatera Utara
M.Yahya Harahap menyebutkan bahwa yang di maksud dengan pemeliharaan anak adalah: a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak. b. Pemeliharaan yang berupa pengawasan, pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut adalah bersifat kontinue (terus menerus) sampai anak itu dewasa. 34 Jika terjadi perselisihan atas hak pengasuhan maka ditetapkan sesuai dengan prioritas berikut (jika nomor diatasnya tidak ada atau bukan al-hadhanah berpindah ke nomor berikutnya): a. Ibu, lalu nenek (ibunya Ibu), terus ke atas dari yang terdekat. Mereka semua berkedudukan sebagai Ibu. b. Ayah, lalu nenek (Ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), dan seterusnya, meskipun mereka bukan ahli waris. c. Saudara-saudara perempuan, mulai dari perempuan seayah-seibu, lalu seayah, kemudian seibu. d. Saudara laki-laki seayah-seibu, lalu seayah, kemudian anak-anak lakilaki dari keduanya (saudara seayah-seibu dan saudara seibu), Alhadhanah tidak boleh diserahkan kepada saudara laki-laki seibu. e. Para bibi dari pihak Ibu (al-khalat). Lalu para bibi dari pihak ayah (al’amat) f. Paman dari ayah Ibu, lalu paman dari pihak ayah. Al-hadhanah tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak Ibu. 34
Ibid, hal 123
Universitas Sumatera Utara
g. Para bibi (al-khalat)-nya Ibu dari pihak Ibu, lalu para bibi (al-khalat) nya ayah dari pihak Ibu, kemudian para bibi (al-‘amat)nya ayah dari pihak ayah. h. Al-hadhanah tidak diserahkan kepada pihak-pihak tersebut, karena mereka semua mengalir dari pihak Ibu, dan tidak berhak mengasuh anak. 35 Batas usia anak berkaitan dengan hak memilih ini dikembalikan kepada hakim sesuai dengan pendapat para ahli. sesuai dengan kondisi fisik dan mental anak yang berbeda-beda. Al-Hadhanah berakhir hingga anak itu sudah tidak lagi memerlukan pengasuhan dan perawatan. Pada kondisi demikian, kondisinya berubah menjadi perwakilan. Dalam kondisi ini, perwalian hanya menjadi hak kerabat yang muslim.
2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dengan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 36 Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari
35
Udin Abdullah, Hak Istri dan Kasih Sayang Suami, (Bandung: Mujahid Press, 2005),
36
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal.
hal. 56. 31.
Universitas Sumatera Utara
jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individual tertentu. 37 Dalam bahasa Latin, kata conceptus (di dalam bahasa Belanda: begrip atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “defenisi” yang di dalam bahasa Latin adalah idefinition. Defenisi tersebut berarti rumusan (di dalam bahasa Belanda: onshrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. 38 Dalam konsepsi diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 39 Disini terlihat dengan jelas, bahwa suatu konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsi belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan kongkrit di dalam proses penelitian. 40 Disini definisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup
37
Burhan Ashhofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 19 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2001), hal 6 39 Ibid, hal 7 40 Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 48. 38
Universitas Sumatera Utara
variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep itu adalah sebagai berikut: a. Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil (dibawah usia 12 tahun) laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara buruk dan baik), menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawabnya. 41 b. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 42 c. Perceraian adalah berakhirnya suatu hubungan pernikahan. d. Hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun nhukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) 43
41
Sayid Sabiq. Fiqh as Sunnah Jilid VIII, Alih Bahasa Drs. Moh. Thalib, (Bandung: PT. Alma’arif, 1993), hal. 160. 42 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 43 Nico Ngani, Cara Untuk Memperoleh Catatan Sipil, (Yogyakarta : Liberty, 1984), hal 6
Universitas Sumatera Utara
e. Eksekutabel adalah putusan yang dapat dijalankan dengan upaya eksekusi riil (dapat dilaksanakan sesuai dengan putusan secara sukarela) f. Pengadilan Agama adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan Hukum dan keadilan. 44 g. Karakter Hadhanah adalah kajian tentang tipe secara spesifik khususnya mengenai hadhanah. h. Fiqh adalah ilmu yang membahas berbagai macam persoalan hukum islam (ibadah, muamalah,pidana,peradilan,jihad, perang dan damai) berdasarkan hasil ijtihad ulama figh dalam memahami Alqur’an dan Hadist yang dikaitkan dengan realitas yang ada dengan menggunakan metode ijtihad. 45 i. Sudah Mummayiz adalah anak yang sudah diatas umur 12 tahun. 46 j. Belum Mummayiz adalah anak yang belum berumur 12 tahun 47
N. Metode Penelitian Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani "Methodos" yang
44
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004),
hal 3 45
A.Rahman Ritonga.et all, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hal 345 46 Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam 47 ibid
Universitas Sumatera Utara
artinya "jalan menuju", bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu. 48 Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahanpermasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan 49, maka dalam metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah. 50 Pemilihan suatu metodologi yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Sifat Penelitian dan jenis penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analysis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan 48
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal. 13. 49 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2007), hal. 43. 50 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditamam, 2009), hal 29
Universitas Sumatera Utara
fenomena yang diselidiki. 51 sedangkan analisis dalam penelitian ini dengan jenis penelitian yuridis normatif menjelaskan secara cermat dengan menggunakan data skunder 2.Metode Pendekatan Penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap peraturan yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturanperaturan perUndang-Undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. 3.Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya. Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (library research) Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik bahan primer maupun bahan sekunder. Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data skunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya 51
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hal 3
Universitas Sumatera Utara
data sudah dalam bentuk jadi, 52 atau data kepustaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan-putusan hakim. 53 Yaitu Undang-Undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Kompilasi Hukum Islam, Alqur’an & Hadist, serta putusan Pengadilan Agama Medan. 2) Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum
dan
komentar-komentar
atas
putusan
pengadilan. 54 3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 4.Alat Pengumpulan Data Ada beberapa alat pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:
52
I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hal. 34. 53 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 141. 54 Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Studi Dokumen yaitu yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan hukum pengasuhan anak khususnya mengenai pengasuhan anak setelah perceraian, yang ditunjang dengan bahan hukum lainnya. b. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan nara sumber yaitu satu orang Hakim Pengadilan AgamaKelas IA Medan, satu orang pengacara/penasehat hukum di Kota Medan, Satu orang ulama dari majelis Ulama Kota Medan. 5.Analisa Data Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisis secara kualitatif, 55 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuanketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif, setelah diperoleh data skunder dilakukan interpretasi dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah, dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif untuk menjawab permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian diharapkan akan memberi solusi atas semua permasalahan dalam penelitian ini.
55
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 10.
Universitas Sumatera Utara