52
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan
amat
penting
dalam
kehidupan
manusia,
untuk
melangsungkan keturunannya. Dengan perkawinan yang sah, laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri, anak dari hasil perkawinan yang sah, menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21:
Artinya : Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) adalah bahwa Dia menciptakan jodoh-jodohmu dari kalanganmu sendiri agar kamu merasa tenang bersama mereka dan dia menjadikan rasa cinta kasih diantara kamu sesungguhnya dalam hal ini terdapat tandatanda (kebesaran Allah SWT) bagi orang-orang yang mau berfikir.48 Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia berdasarkan atas dasar pengabdian kepada Allah SWT sebagai Al-Khâliq (Tuhan Yang Maha Esa) dan kebaktian terhadap kemanusiaan guna
48
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Tanjung Mas Inti Semarang, 1992), 644
53
melangsungkan kehidupan, tetapi belum tentu perkawinan kekal sehingga kedua makhluk yang saling mencintai itu akhirnya berpisah karena salah seseorang diantara mereka meninggal dunia, perselisihan dan sengketa diantara suami istri ada kalanya harus diputus di muka Sidang Pengadilan. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atas keputusan pengadilan.49 Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi dengan pertimbangan “Maslahah Mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan dengan jalan Undang-Undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan melalui pengadilan. Hal ini telah direalisasikan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”50 Kalimat ini cukup jelas, yaitu : “didepan sidang pengadilan” dan tidak “dengan keputusan pengadilan” pasal ini dimaksudkan untuk mengatur perceraian pada perkawinan menurut agama Islam dan hal ini sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan pada angka 4 huruf e penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : 49 50
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), 297 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), 128.
54
“karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada
alasan-alasan
tertentu
serta
harus
dilakukan
didepan
siding
pengadilan”51 Hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi : Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan sebagai berikut :52 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah tangga.
51
Muhamad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 225 52 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, 295
55
Melihat alasan-alasan perceraian di atas yang mana dapat dijadikan suatu pembahasan dalam menghubungkan antara kasus perceraian yang ada di Kecamatan
Jenangan
Kabupaten
Ponorogo
dengan
Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti di atas. Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis merasa tertarik untuk mengungkap apa saja faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dan bagaimana peran hakam dalam menekan terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo pada tahun 2008. B. PENEGASAN ISTILAH Untuk mempermudah memahami konsep yang terdapat dalam judul. Maka penulis memberikan penegasan sebagai berikut : Analisa
: Penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya.53
Perceraian : Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan.54 Hakam
: Orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian shiqoq.55
C. RUMUSAN MASALAH 53 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), 43. 54 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 1980), 42. 55 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 2004, Media Center, 2006
56
1. Apa saja faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ? 2. Bagaimana peran hakam dalam mengurangi terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo ? D. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui penyebab tingginya tingkat perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. 2. Untuk mengetahui peran hakam dalam menganalisa tingginya tingkat perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. E. KEGUNAAN PENELITIAN Berdasarkan pada rumusan masalah di atas. Maka penelitian ini memiliki kegunaan sebagaimana berikut : 1. Kegunaan teoristis adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang hukum perdata terutama dalam bidang hukum perkawinan. 2. Kegunaan
praktis
adalah
membantu
memecahkan
masalah
serta
memberikan alternatif bagi masyarakat (khususnya orang-orang Islam) dalam mengajukan perkara shiqoq. 3. Kegunaan akademis adalah penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum Islam. F. TELAAH PUSTAKA
57
Literatur-literatur terdahulu yang membicarakan dalam membahas tentang apasaja faktor yang menjadi penyebab tingginya perceraian dan peran hakam dalam mengurangi terjadinya perceraian tidaklah banyak. Adapun beberapa peneliti yang membahasnya diantaranya : Pertama, Zainal Arifin melalui skripsinya yang berjudul “Upaya Hakim Dalam
Mengurangi
Terjadinya
Perceraian
di
Pengadilan
Agama
Tulungagung Tahun 2005.”56 Dalam penelitiannya ia membahas penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Tulungagung tahun 2005, dan langkah-langkah yang ditempuh hakim Pengadilan Agama dalam upaya mengurangi angka perceraian. Kedua, Mashudi dengan skripsinya yang berjudul “Pandang Hukum Islam Terhadap Kompetensi Hakam Dalam Menyelesaiakan Perkara Shiqoq di Pengadilan Agama Ponorogo”57 Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa kebijaksanaan Pengadilan Agama Ponorogo dalam mengambil syarat-syarat pengangkatan hakam bila terjadi maslah shiqoq adalah sesudah sesuai dengan Hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Hak dan kewajiban hakam di Pengadilan Agama Ponorogo dalam membantu menyelesaikan masalah shiqoq sudah sesuai dengan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. Adapun usaha Pengadilan Agama Ponorogo dalam menyelesaikan perbedaan pendapat diantara hakamnya dan masalah shiqoq adalah tidak bertentangan dengan Hukum Islam dalam Undang-Undang yang berlaku.
56
Zainal Arifin, Upaya Hakim Dalam Mengurangi Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Tulungagung Tahun 2005, Perpustakaan STAIN Ponorogo, Prodi Syariah Ahwal Syahsyiah, 2006 57 Mashudi, Pandang Hukum Islam Terhadap Kompetensi Hakam Dalam Menyelesaikan Perkara Shiqoq Di Pengadilan Agama Ponorogo, Perpustakaan STAIN Ponorogo, Prodi Syariah Ahwal Syahsyiah, 2003
58
Dari penelitiannya dapat ditarik suatu kesimpulan terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Tulungagung disebabkan oleh beberapa hal antara lain, tidak harmonis, gangguan orang ketiga, cacat biologis, penganiayaan, kawin paksa, cemburu dan lain sebagainya. Adapun Pengadilan Agama Tulungagung dalam mengurangi angka perceraian yang sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan berupaya membuat prinsip perceraian yang dipersulit, yaitu dengan menolak permohonan cerai yang
berkasnya tidak lengkap.
Menggugurkan gugatan pihak yang tidak menghadap di persidangan, menerima pencabutan gugatan sebelum diputus oleh hakim. Mendamaikan pihak-pihak pemohon dan termohon yang dalam jangka waktu satu bulan yang tidak melapor ke Pengadilan Agama. Dalam serangkaian penelitian atau tulisan tersebut, penulis tidak secara eksploratif (ditunjukkan secara mendetail atau rinci) tetapi tulisan ini nampak singkat dan bersifat ekplisit (jelas dan singkat). Penelitian ini nantinya akan membahas tentang apa saja faktor yang menjadi penyebab tingginya perceraian dan peran hakam dalam mengurangi terjadinya tingkat perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo. Adapun yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti akan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dan peran hakam dalam mengatasi perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. G. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian
59
Dalam hal ini dijelaskan model penelitian yang penulis pakai adalah jenis model penelitian lapangan. Penelitian lapangan adalah penelitian yang datanya diambil atau dikumpulkan dari lapangan,58 dimana kasus itu berbeda termasuk dokumen-dokumen yang memuat kasus perceraian. 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah Pengadilan Agama Ponorogo dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo dan masyarakat setempat.
3. Subyek Penelitian Adapun yang menjadi subyek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan masalah perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo, yaitu: a. Warga masyarakat yang terkait dengan masalah perceraian (warga yang mengalami korban percerain) di Kecamatn Jenangan Kabupaten Ponorogo. b. Sebagian masyarakat atau pihak yang dapat memberikan data mengenai terjadinya perceraian yang dapat mewakili dari seluruh masyarakat yang terkait.
58
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, 2005), 3.
60
4. Data Adapun data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data tentang warga yang mengalami terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. b. Data tentang masyarakat yang mengetahui sebab-sebab perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. c. Data tentang sejauh mana peran hakam dalam mengatasi perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.. d. Data tentang dasar hukum putusan perceraian yang dipakai di Pengadilan Agama Ponorogo. 5. Sumber Data Adapun dalam penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sebagai berikut : a. Sumber Data Primer 1) Responden, yaitu orang yang terlibat langsung dalam terjadinya perceraoan di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo, dimana responden disini adalah korban perceraian, seperti: Ibu Happy, Bapak Nanang, Ibu Sukinem, Bapak Imam Anjiono, Bapak Zainuri, Bapak Agus Darmuji, Bapak Indra Supeno, Bapak tri Santoso, Bapak Wahyudi Riyanto. 2) Informan yaitu pihak lain di luar responden yang mengetahui tentang penyebab terjadinya percerian, yang termasuk informan dalam skripsi ini adalah masyarakat Kecamatan Jenangan dan Hakim Pengadilan Agama Ponorogo diantaranya Bapak Ramdan
61
Jaelani, Bapak Soeroso dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yaitu Bapak Muh. Zaini dan Bapak Gunerejo, Bapak Suprianto 3) Dokumen yaitu data-data yang berupa keterangan yang ada kaitannya dengan perkara percerain seperti: dokumen Pengadilan Agama Ponorogo khususnya Kecamatan Jenangan pada tahun 2008 dan dokumen terjadinya penyebab terjadinya percerain
62
Kecamatan Jenangan tahun 2008 dan rekapitulasi Kabupaten Ponorogo. b. Sumber Data Sekunder Untuk mendukung data lapangan peneliti menggunakan data sekunder berupa buku-buku diantaranya sebagai berikut: 1) Bahan Buku Primer.59 Dokumen-dokumen Pengadilan Agama Ponorogo, yang berkaitan dengan perceraian 2) Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, tentang Undang-Undang Peradilan Agama JO Undang-Undang no 3 Tahun 2006. 3) Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, tentang Perkawinan 4) Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UndangUndang Nomor. 4 Tahun 2004, wawancara alat perekam (tape recorder), buku pencatat, dan camera. 5) Bahan Buku Sekunder buku-buku lengkap diantaranya : a) Abdul Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992. b) Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2006.
59
Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990)
63
c) Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. d) Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj Abdurrahman, Abdulkh, Semarang : Asy-Syifa’, 1990. e) Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberti, 1998. f) H. Abdul Rahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992. g) M. Madkur Salam, Peradilan Dalam Islam, Surabaya : Ps Bina Ilmu, 1993. h) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 6. Tehnik Pengumpulan Data a. Interview (wawancara), yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh
pewawancara
(interviewer)
pertanyaan dan yang diwawancari (interviewee)
yang
mengajukan
yang memberkan
jawaban atas pertanyaan itu.60 b. Dokumen yaitu suatu catatan atau peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa
berbentuk
tulisan,
gambar
atau
karya-karya
monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan cerita, biografi, peraturan kebijakan. 7. Tehnik Pengolahan Data
60
135
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995),
64
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, kesesuaian satu sam lain dan relevansi keseragaman kelompok.61 b. Organising, yaitu menyusun secara sistematis data yang diperlukan dalam rangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya. c. Penemuan hasil riset, yaitu pelaksanaan analisa lanjutan dengan menggunakan teori dan dalil-dalil tertentu sehingga diperoleh kesimpulan sebagai jawaban. 8. Tehnik Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu metode deskriptif kualitatif, Metode Deskriptif yaitu menggambarkan informasi
dengan
tujuan untuk mengetahui keadaan yang diteliti baik dalam bentuk katakata, dokumen maupun tingkah laku.62 H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Untuk lebih mudahnya pembahasan serta memahami skripsi ini, maka penulis akan mengelompokkan menjadi 5 bab, dan dari masing-masing bab ini terbagi menjadi beberapa sub bab, yaitu semua menjadi satu rangkaian pembahasan yang sistematis berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika pembahasan adalah sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan Bab ini merupakan gambaran umum untuk memberi pola pemikiran bagi keseluruhan skripsi yang meliputi; latar
61
Moh. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia, 1988), 406, lihat pula Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 129 62 Ibid, 136.
65
belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. BAB II
: Studi teori sebagai landasan teori tentang perkawinan dan hukum Islam, bab ini berfungsi sebagai landasan teori yang meliputi : tujuan perkawinan, hikmah perkawinan, pengertian perceraian, hakekat perceraian, menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebab terjadinya perceraian,
peran
hakam
dalam
mengatasi
penyebab
terjadinya perceraian. BAB III
: Studi tentang perceraian dan tingkat perceraian di wilayah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Bab ini berfungsi sebagai pemaparan hasil penelitian yang akan meliputi gambaran
umum
daerah
penelitian,
tinggi rendahnya
perceraian, variabel-variabel penyebab perceraian, akibat banyaknya perceraian, dan peran hakam dalam mengatasinya. BAB IV
:
Analisa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap terjadinya perceraian dan atau peran hakam dalam mengatasi tinggi rendahnya perceraian di wilayah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Dalam bab ini juga merupakan tinjauan terhadap permasalahan perceraian dan peran hakam dalam mengatasi tingginya tingkat perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
66
BAB V
: Penutup, yang memuat tentang kesimpulan sebagai jawaban dari pokok-pokok permasalahan dan saran.
BAB II PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
67
A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan atau Pernikahan Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam yang banyak dilakukan oleh umat Islam. Nikah berasal dari bahasa Arab, masuk dalam term bahasa Indonesia berarti “Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), Perkawinan63 atau nikah berarti perkawinan (Marriage) (arti semula hubungan kelamin)64. Pengertian Pernikahan menurut Sayuti Talib adalah “Suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara satu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.”65 Pengertian ini sama dengan keterangan Al-Ghozi dalam kitab Fathul Qorib al-Mujib
ا"! وا طءوا و#$%& واح ر آن وا('وط, ا#$ -./(0 $ #$ $'1 Artinya : “Nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan seks dan akad berkaitan dengan (sesuatu) yang mengandung beberapa rukun dan syarat”66 Adapun secara hukum (hukum positif) pernikahan ialah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri”67
63
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 64. 64 Hanafi, Perbandingan Hukum Perkawinan Pada Agama Yahudi, Nasrani, Islam dan Hukum Romawi, (Ja`karta : Pustaka Alhusna, 1981), 90. 65 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), 45. 66 Syaih Muhammad, Fathul Qorib Al Mujib, (tt).43 67 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta : 2000), 117-118
68
Berdasar keterangan di atas dapat dikemukakan pengertian pernikahan yaitu suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim dalam bentuk ikatan perkawinan menurut akad atau perjanjian tertentu. Dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya akad tidak bisa disebut sebagai suatu pernikahan. 2. Dasar dan Tujuan Perkawinan a. Dasar-dasar Perkawinan Dalam Islam dasar-dasar pernikahan adalah nash dari al-Qur’an dan al-Hadits. Sehingga keabsahan syari’at pernikahan ini sangat kuat sekali. Di bawah ini perlu penulis kutipkan dasar yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits tersebut. 1) Dasar dari al-Qur’an
bc ورTUV وWXءPZ[\^ اX _N\ بPa PX اLMNO PQ ... ... defاLQ اL\egh i_ اj[k نPQ …Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja.68
2) Dasar dari al-Hadits Adapun di antara dasar yang bersumber dari al-Hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud adalah sebagai berikut :
وج3/45 ءة7! ا0 ع/9 :0 ب7<= ا0 #>?@ وا4 ABا CDء5 ءE وC ن ا> م5 !>45 , :0 'ج وG 68
Ibid, 115
69
Artinya : Rasulullah SAW bersabda pada kami : “ Wahai para pemuda, jika kamu semua telah mampu maka menikahlah karena sesungguhnya menikah itu bisa menjaga pandangan dan menjaga farji dan barang siapa yang belum mampu maka puasalah karena itu lebih menjaga”69 Ayat dan hadits di atas dengan jelas memerintahkan untuk menikah. Perlu diketahui bahwa sebenarnya ayat dan hadits yang berkaitan dengan perintah menikah ini cukup banyak, namun peneliti hanya mengutip salah satu saja dasar-dasar itu, sebagai petunjuk bahwa dalam Islam pernikahan merupakan syari’at yang didasarkan pada nash-nash yang kuat. Dalam proses pernikahan di Indonesia itu berjalan dengan baik tanpa ada benturan-benturan yang mengakibatkan salah satu pihak teraniaya. Maka di Indonesia pernikahan itu selanjutnya diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974, ini untuk menjaga status hukum formal terkait dengan permasalahan pernikahan di Indonesia. Di bawah ini perlu peneliti kutipkan sebagian dari bunyi Undang-undang Perkawinan tersebut : 3) Dasar-dasar Peraturan Perundang-undangan DASAR PERKAWINAN Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
69
Abdurrahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 2
70
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Pasal 3 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
71
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan istri/istri-istri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istriistri dan anak-anak mereka. 2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalm perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.70 Dan dasar-dasar yang penulis kemukakan di atas dengan jelas bisa dimengerti bahwa syari’at pernikahan dalam Islam benar-benar direspon Pemerintah sehingga pernikahan dalam Islam benar-benar
70
Ibid, 119.
72
perlu dijaga nilai-nilai kebaikannya berdasar Undang-Undang yang bisa mengatur jalan dan kelanggengan pernikahan. b. Tujuan Perkawinan Perkawinan dalam Islam bukan suatu hal yang tanpa tujuan, melainkan syari’at yang bertujuan dengan jelas. Oleh karena itu perkawinan dalam Islam dipandang sangat mulia. Dibawah ini penulis kemukakan tujuan perkawinan menurut Syari’at Islam dan Undang-Undang. 1) Tujuan Perkawinan Menurut Syari’at Islam Tujuan perkawinan menurut Syari’at Islam di dasarkan kepada firman Allah surat Ar-Ruum ayat 21
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir”71 Dari ayat ini dapat dikemukakan bahwa pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah. Keluarga sakinah ialah keluarga yang tenang dan tentram dalam kehidupan rumah tangganya, sehingga bisa menumbuhkan generasi yang shalih pada masa-masa yang akan datang. 71
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Tanjung Mas Inti Semarang, 1992), 644
73
2) Tujuan Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bab II pasal 1 menegaskan bahwa : “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”72 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikemukakan “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah.”73 Tujuan perkawinan sebagaimana dikemukakan dalam nash al-Qur’an dan Undang-Undang di atas, mempunyai makna yang sama sekalipun dikemukakan dalam bahasa yang berbeda-beda tujuan yang dikemukakan Undang-Undang dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan penjabaran dari tujuan perkawinan Islam yang dikemukakan al-Qur’an. Berkaitan mengungkapkan
dengan
tujuan
perkawinan
dalam
penjabarannya,
yaitu
ini,
Soemiati
perkawinan
bertujuan : a) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan jahat tabiat kemanusiaan.
72
Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 1997), 9. 73 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1992), 141
74
b) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. c) Memperoleh keturunan yang sah.74 Dengan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membangun suatu keluarga yang tenang (sakinah) didasarkan kepada nilai kasih dan sayang (mawaddah dan rahmah) sehingga seseorang bisa menjunjung nilai-nilai syari’at Islam dengan baik. Lebih dari itu juga ditujukan agar hidup manusia dalam komunitas kemasyarakatan akan tampak lebih jelas nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatannya. Sebab kehidupan kemasyarakatan tanpa ikatan keluarga seperti halnya ajaran Islam, akan menumbuhkan suatu kehidupan kemasyarakatan yang semu, yang diatur untuk mencapai ketentraman dan kedamaian hidup. B. Perceraian 1. Pengertian Perceraian Perceraian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “Perpisahan; perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan.”75 Sedangkan dalam bahasa Arab cerai ini adalah : Thalaq berarti “Putusnya perkawinan oleh suami.”76 Baik kata cerai dalam bahasa Indonesia atau thalaq dan firaq dalam bahasa Arab biasa digunakan dalam term bahasa Indonesia, sehingga di masyarakat sering didengar perkataan, apakah ia cerai, apakah ia thalaq atau apakah dia furqah dan sebagainya.
74
Ibid, 12-13. Ibid, 164. 76 Ibid, 44. 75
75
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perceraian atau thalaq adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan “77. Berdasarkan pengertian Leksikal dari kamus dan pengertian istilah yang dikemukakan Kompilasi Hukum Islam itu dapat dikemukakan pengertian perceraian yaitu suatu perpisahan atau lepasnya ikatan perkawinan sebagai suami istri oleh sebab-sebab tertentu yang bisa menjatuhkan talak atau cerai dihadapan sidang pengadilan agama. Oleh karena tujuan pekawinan dalam Islam bernilai sangat mulia, maka perceraian pun sebenarnya tidak diharapkan sehingga perceraian dalam Islam dinilai sebagai sesuatu perbuatan yang halal dilakukan namun berhukum makruh karena dibenci Tuhan. Maka dari itu Undang-Undang Perkawinan di Indonesia “Menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian”78 Harapannya dalam masyarakat tidak mudah terjadi perceraian. 2. Dasar Hukum Perceraian Di atas telah dikemukakan bahwasanya perkawinan merupakan ikatan suci yang mempunyai tujuan mulia. Pada prinsipnya perceraian adalah suatu tindakan yang boleh diambil secara “terpaksa” oleh pasangan suami istri, sehingga tidak ada satu perkawinanpun yang bertujuan untuk melaksanakan perceraian dikemudian hari.
77 78
Ibid, 1441 Ibid,23
76
Pada dasarnya setiap terjadi perselisihan antara suami istri harus dipecahkan secara damai. Dalam hal ini Allah berfirman pada surah an-nisa’ ayat 128 sebagai berikut :
Artinya : “Dan jika seseorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”79
Oleh karena itu dalam keadaan terpaksa, atau jalan terakhir, penyelesaian diperbolehkan cerai.
ُC ْJ ُ K. َM ُ0 َ َN K َ? OP ِ> ْ. ِM ْ ْ ٍا4 َ7 ُ$ ُ# ْJ ُ' ْ4 ِS ََ َ آN K َ? ،ِ# ْJ َِ رِ بM ُ. َْ ى$ ِّP ِ5 WX َ ْ ِ اC َ4 ِ َ ْ اPِD ِY ْ ٍا4 ِ7 ُ َْ ى$ ِ ِ َZ A]Jَ !َ أK َ9 َِ وC ْ4 َ َ$ ُ Yُ ْ لُ ا9 َْ 'َ \َ لَ ر. َ$ #ْJ ِY ْ ِا7 َ َْ ى$ ٍِ رN `قK َِ اY ا# ِل اMا Artinya : Rasulullah SAW bersabda : “ (perbuatan) halal yang dibenci Allah adalah talak (perceraian).”80
79
Ibid, 143 CD al-Kutub al-Tis’ah, Perusahaan Elektronik Al Alamiah, (Riyadh-4595 PO. BOX 11432), Bab Talaq, 27 80
77
Setelah mempertimbangan kenyataan fenomena perkawinan, maka para ulama dari ke empat Mazhab Hukum Islam telah memberikan penjelasan tentang perceraian itu dalam lima kategori, yaitu : a. Perceraian menjadi wajib dalam kasus “Shiqoq” b. Makruh bila ia dapat dicegah, kalau diperkirakan tidak membahayakan baik pihak suami atau istri dan ia masih ada harapan untuk mendamaikannya. c. Mubâh bila memang diperlukan, terutama kalau istri berakhlak buruk. d. Mandûb jika istri tidak bisa memenuhi kewajiban utama terhadap Allah yang telah diwajibkan atasnya atau kalau dia berbuat serong. e. Mâ’zûr bila perceraian itu dilakukan pada saat-saat datang bulan bahwa perceraian dalam Islam diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.81 Berdasarkan keterangan diatas dikemukakan bahwa perceraian dalam Islam diperbolehkan dalam batas-batas tertentu. Islam melarang orang yang gampang-gampang mengucapkan talak, cerai atau kalimat lain yang mengarah pada terpisahnya jalinan perkawinan ditujukan untuk suatu kelanggengan kehidupan bersama suami istri dan keluarga, bukan untuk perceraiannya. Oleh karenanya tepat sekali jika Undang-Undang perkawinan membuat prinsip yang menyulitkan perceraian agar tidak terjadinya perceraian secara sembarangan. Jalan
yang
ditempuh
Undang-Undang
Perkawinan
yang
mempersulit perceraian ini kiranya juga bersesuaian dengan cita-cita Islam, sebab dalam Islam perceraian itu diperbolehkan setelah benar-benar 81
Ibid, 82.
78
terpaksa, setelah melalui pertimbangan hakim (penasehat) perkawinan baik dari unsur keluarga, tokoh atau qodhi (hakim negara). 3. Dampak Perceraian Perkawinan, merupakan ikatan suci. Pada hasil perkawinan inilah dikumpulkan harapan ke agama dan masyarakat. Perkawinan merupakan suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.82 Kelanggengan perkawinan itu adalah tujuan perkawinan dalam Islam, maka Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah tangga sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur urusan pernikahan antara Hindah Binti Utbah dan Abu Sofyan,83 ini mewujudkan bahwa Islam sangat memperhatikan terhadap kelanggengan kehidupan suami istri dalam rumah tangga. Islam terhadap kelangsungan dalam rumah tangga benar-benar diperhatikan karena gagalnya perkawinan akan membawa dampak buruk bagi kehidupan keluarga maupun lingkungan sosial masyarakatnya. Dampak buruk perceraian bisa anak-anak dan bagi pasangan suami istri itu sendiri. a. Dampak perceraian bagi anak.
82 83
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 1990), 10 Abdurrahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), 134-135
79
Dampak perceraian negatif, yang pertama dampaknya bagi anak karena putusnya perkawinan, banyak anak-anak yang sulit bersosialisasi akibat orang tuanya berpisah. Dari pernyataan di atas dapat dilihat suatu perbedaan yang cukup signifikan antara anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang tidak utuh. Kenyataan ini mewujudkan dampak negatif
perceraian bagi perkembangan anak-anak dalam
keluarga. b. Dampak perceraian bagi pasangan suami istri Dampak perceraian bagi suami istri adalah putusnya jalinan silaturrahmi. Dampak ini hampir dipastikan terutama bagi perceraian dengan sebab-sebab emosional, padahal dalam Islam tidak boleh terjadi suatu pemutusan hubungan silaturrahim. Karena itulah Islam menegaskan bahwa perceraian merupakan jalan terakhir bagi putusnya masalah keluarga, karena Islam menghargai persaudaraan dan persatuan diantara suami istri. Dalam Islam nilai-nilai silaturrahim benar-benar dijaga dan dipertahankan, sehingga putusnya hubungan silaturrahim bisa mengakibatkan masuk neraka. Maka perceraian dalam Islam diperbolehkan setelah melalui pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan tertentu, oleh Islam tetap dinilai sebagai perbuatan yang halal namun dibenci Tuhan. c. Dampak perceraian bagi harta benda perkawinan (gono-gini) Pengaturan tentang harta yang diperoleh selama perkawinan dimana istri mempunyai hak yang sama dengan suami bila terjadi
80
perceraian, harta bersama diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 35, 36 dan 37, merupakan : Pasal 35 : 1. Harta benda yang diperolah selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 : 1. Mengenai harta bersama suami istri atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 : Bilamana perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan atas pasal 35, bahwa apabila perkawinan putus, maka bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing, mempunyai cakupan lebih luas dari bunyi pasal 37, yang membatasi diri sebagai berikut :
81
Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pada penjelasan pasal 37 (yang sekarang ini) ditunjukkan kepada artinya, hukumnya masing-masing yakni jawabannya hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Maka jadinya bila perkawinan putus bukan karena perceraian (bukan karena kematian) maka harta bersama diatur menurut Hukum Agama bekas suami istri itu. Dan jika agama mereka tidak memiliki hukum agama tentang harta bersama, maka diberlakukan hukum adat tentang harta bersama atau bila tidak ada hidup beragama suami istri berbeda tingkat kemasyarakatannya, maka hal-hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan umumnya bertentangan dengan Demokrasi Pancasila.84
C. Sebab-sebab Perceraian 1. Penyebab Terjadinya Perceraian Perceraian dalam Islam diperbolehkan dengan beberapa sebab khusus yang memperbolehkan pasangan suami istri itu bercerai.85 Islam mempersyaratkan bahwa “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.”
84 85
Muh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Akasar, 1996), 116 Ibid, 99.
82
Sebab diperbolehkannya terjadi perceraian (talak) diperinci dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau terjadi pemabukan, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar taklik-talak 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.86 Berdasarkan alasan-alasan perceraian didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 di atas. Maka dapat dibedakan antara Kompilasi 86
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : 2000), 56-57.
83
Hukum Islam (KHI) dan pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004, bahwa didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan ada 8 alasan-alasan perceraian yang dapat dikabulkan di Pengadilan Agama yang dua diantaranya adalah suami melanggar takliq talaq dan peralihan agama atau murtad yang tidak terdapat dalam Pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004 tentang alasan-alasan perceraian. Sedangkan didalam Pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004 ada 6 alasan-alasan perceraian yang dapat dikabulkan di Pengadilan Agama yang mana dua diantara alasan yang terdapat di Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 tidak terdapat dalam Pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004. Di kalangan masyarakat kita banyak terjadi tindakan perzinahan (perselingkuhan) yang terjadi umumnya pada kaum selebritis, yang berakhir perceraian, misalnya kasus Reza yang nekat berselingkuh dengan Ari Suta, yang menyebabkan bercerai dengan Adjie Masaid.87 Demikian juga halnya dengan kasus lain misalnya perjudian yang merusak ketentraman keluarga, tindakan kriminal seperti mencuri yang merusak harga diri dan ketenangan hidup rumah tangga, membunuh yang menyebabkan hukuman penjara dan sebagainya dapat menjadi sebab perceraian yang diizinkan agama. Sebab perilaku yang sedemikian akan mengganggu stabilitas kehidupan keluarga baik secara psikologi akibat perbuatan molimo akan menjatuhkan martabat manusia, sedangkan secara fisik perbuatan-perbuatan itu akan merongrong keadaan jasmani keluarga akibat pikiran yang tidak menentu. 87
Jawa Pos, 2004, I
84
Sighat taklik thalak telah ditentukan berupa perjanjian atau kesepakatan suami kepada istri, tersebut pada buku nikah sebagai berikut : Sesudah akad nikah, saya …..bin…..berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama….binti….. dengan baik (Mu’asyarah bilma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam. Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut : Sewaktu-waktu saya : a. b. c. d.
Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. Atau saya menyakiti badan jasmani istri saya. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 1000,00 (seribu rupiah) sebagai Iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya (Buku/Syarat Nikah)88 Menurut hukum positif pelanggaran terhadap taklik thalaq menjadi
sebab diijinkannya perceraian, sekalipun melaksanakan taklik thalaq itu bukan ajaran Islam, namun pelanggaran terhadap nilai-nilai sighat taklik talaq itu dilarang oleh Islam. Pada dasarnya tanpa pernyataan “taklik thalaq” pun pelanggaran nilai-nilai tersebut dilarang dan bisa menjadi sebab perceraian yang sah menurut Islam. Diaturan menurut pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan :
88
Buku Nikah Urusan Agama Majan, tt
85
7. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 8. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 9. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 10. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 11. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 12. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah tangga. Berdasarkan di dalam pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004 ada 6 alasan perceraian yang dapat dikabulkan di Pengadilan Agama yang mana dua di antara alasan yang terdapat di Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 tidak terdapat dalam pasal 19 PP Nomor 4 Tahun 2004. Sedangkan dari alasanalasan perceraian di dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 116 diatas, dapat dibedakan antar Konmpilasi Hukum Islam (KHI) pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan ada 8 alasan-alasan perceraian yang dapat dikabulkan di Pengadilan Agama yang dua diantaranya adalah suami melanggar takliq talaq dan peralihan agama atau murtad yang tidak terdapat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 tentang alasan-alasan perceraian.
86
Gugatan perceraian ditolak apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Di dalam penjelasan diuraikan bahwa meskipun tergugat atau kuasanya tidak hadir, tetapi yang demikian itu tidak dengan sendirinya merupakan alasan bagi dikabulkannya gugatan perceraian apabila gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan atau alasan-alasan sebagaimana dimaksud pasal 19 Peraturan Pemerintah ini. Gugatan perceraian dicabut (damai) adalah apabila tercapai perdamaian. Maka dapat diajukan gugatan baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh pada waktu dicapainya perdamaian, ketentuan ini diatur di dalam pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan. 2. Pencegahan Perceraian Untuk menjaga agar perceraian jangan terlalu mudah terjadi dengan pertimbangan-pertimbangan “Maslahah Mursalah” tidak ada keberatannya apabila diambil ketentuan dengan jin Undang-Undang bahwa setiap perceraian apapun bentuknya diharuskan melalui pengadilan. Hal ini dengan direalisasikan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Kalimat ini cukup jelas yaitu “di depan sidang pengadilan” dan tidak “dengan keputusan pengadilan” pasal ini dimaksudkan untuk mengatur perceraian pada perkawinan menurut agama Islam dan kali ini
87
sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan pada Angka 4
huruf e penjelasan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : “Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian, harus ada alasan atau alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.” Hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 yang berbunyi : untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan-alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, karena : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
88
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah tangga. Sehingga
berdasarkan
keadilan
dan
pertimbangan
Hakim
Pengadilan berusaha mendamaikan kedua pihak, antara pemohon dan termohon supaya mau berdamai. Adapun ketentuan yang menyatakan bahwa pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Menurut penjelasannya ditegaskan bahwa dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, suami dan istri dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan. Di samping itu terdapat ketentuan yang aturan di dalam pasal 31 tentang adanya upaya perdamaian yang pada prinsipnya dinyatakan : 1. Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. 2.
Sebelum perkara diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan dalam setiap sidang pemeriksaan. Menurut penjelasan pasal 31 ada batasan bahwa usaha untuk
mendamaikan suami istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata. Melainkan pada tiap saat
89
sepanjang perkara itu belum diputuskan oleh hakim. Dalam mengurangi jumlah perceraian hakim melakukan pengguguran gugatan perceraian yang disebabkan suami atau istri meninggal, adanya keputusan pengadilan agama mengenai gugatan perceraian itu, tidak diterima adalah karena tidak memenuhi salah satu dari beberapa alasan yang memperkuat alasan gugatan perceraian, hakim melakukan penolakan yang disebabkan gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan, dan juga upaya damai (dicabut) disebabkan adanya perdamaian sehingga pencabutan gugatan perceraian dengan perdamaian kedua belah pihak sebelum terjadinya keputusan hakim. a. Pencabutan Gugatan Pencabutan gugatan sebenarnya tidak hanya mungkin terjadi pada sidang pertama tapi mungkin saja terjadi kapan saja bahkan mungkin berlanjut sampai kepada pencabutan permohonan banding atau permohonan kasasi. Yang pokok kita bicarakan ialah bagaimana caranya pencabutan gugatan, baik penggugat sendirian atau bersamasama, boleh saja dilakukan, asal dengan cara tertentu. Kalau penggugat terdiri dari beberapa orang, ada yang mencabut ada yang tidak, maka pencabutan hanya berlaku bagi yang mencabut saja, sedangkan perkara tetap jalan. Pencabutan terjadi setelah tergugat mengajukan jawabannya maka pencabutan harus dengan persetujuan tergugat. Ini logis, sebab tergugat
sudah
mengeluarkan
tenaga,
waktu
mungkin
biaya.
90
Seandainya perkara tersebut itu diteruskan kemungkinan tergugat akan menang dan kalau sudah ada keputusan pengadilan, berarti selamalamanya untuk perkara itu tidak mungkin lagi timbul perkara (sebab ada larang mengadili perkara yang sama dua kali atau disebut asas ne bis in idem). Pada asasnya semua perkara dapat dicabut dengan cara tertentu, namun apabila pencabutan terjadi karena kesepakatan (perdamaian) antara penggugat dan tergugat dengan akta perdamaian yang sudah diwujudkan di muka hakim, maka perkara itu tidak boleh diajukan lagi untuk selama-lamanya. Sebab perdamaian disitu dianggap sama dengan keputusan, sedangkan terhadap keputusan ada asa ne bis in idem. Lagi pula, segala persetujuan yang dicabut oleh kedua belah pihak berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan tidak bisa dicabut kecuali atas persetujuan pihak lain. Pencabutan terjadi bukan atas perdamaian antara penggugat dan tergugat melainkan atas kehendak penggugat sendiri maka perkara itu masih boleh diajukan ke pengadilan di waktu yang lain (kalau ia mau) dengan prosedur perkara baru. Semua vershot biaya perkara yang sudah disetor oleh penggugat ke pengadilan, yang belum terpakai sampai perkara dicabut, menurut prinsipnya harus dikembalikan kepada penggugat. Perlu dikemukakan sekaligus tentang pencabutan perkara banding atau kasasi, yang akibatnya sama sekali lain dengan
91
pencabutan perkara di muka pengadilan tingkat pertama. Pencabutan perkara banding boleh dilakukan oleh pembanding sepanjang perkara belum diputuskan ditingkat banding, dalam hal ini sepanjang perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama. Namun, dengan dicabutnya perkara banding berarti keputusan pengadilan tingkat pertama-lah yang akan berlaku, terlepas daripada apakah pihak akan melaksanakannya atau tidak. Pencabutan perkara kasasi juga boleh dilakukan oleh pemohon kasasi sepanjang belum diputus oleh Mahkamah Agung dan dengan sendirinya secara hokum akan berlaku keputusan pengadilan tingkat banding (cg. Keputusan Pengadilan Tinggi Agama), terlepas daripada apakah
Keputusan
Pengadilan
Tinggi
Agama
tersebut
akan
dilaksanakan oleh pihak-pihak atau tidak. Dicabutnya permohonan banding dan kasasi maka perkara banding atau kasasi tersebut tidak boleh lagi dimohonkan kembali banding atau kasasi sekalipun tenggang waktu banding atau kasasi belum berakhir. Karena resiko atau konsekuensi pencabutan agar dipikirkan masak-masak. Juga perlu dipikirkan kalau pencabutan tersebut terjadi atas kesepakatan antara kedua belah pihak, tentang bagaimana sikap mereka terhadap Keputusan Pengadilan Agama atau Keputusan Pengadilan Tinggi Agama yang tidak hendak mereka laksanakan itu. Jika ini tidak jelas sesewaktu bisa jadi boomerang yang membahayakan kecuali diwujudkan suatu persetujuan pula yang tertulis dan kongkrit. Sebagai pengalaman, perlu dikemukakan kasus
92
pencabutan permohonan banding dan atau kasasi yang dilakukan oleh pembanding dan atau oleh pemohon kasasi yang licik. Sebagai taktik belaka, sebagai berikut : Gugatan A terhadap tergugat B di muka Pengadilan Agama hampir seluruhnya telah berhasil di kabulkan dalam Keputusan Pengadilan Agama. Tapi A pura-pura belum puas sehingga ia mohon banding. B sebetulnya sejak semula ingin memohon banding, namun setelah dilihatnya A telah memohon banding maka B diam saja, toh dengan permohonan banding dari A berarti perkara akan diperiksa yang sama di Pengadilan Tinggi Agama. Sekalipun B tidak memohon banding. Menjelang tenggang waktu banding akan berakhir, tiba-tiba mencabut permohonan banding. Saat mana B tidak sampai lagi mengajukan permohonan banding. Akibatnya keputusan pengadilan agamalah yang akan berlaku, hal mana memang sudah dirasakan puas oleh B. Kasus pencabutan permohonan kasasi yang licik demikian juga gambarannya, karenanya hendaklah menjadi bahan pemikiran para pencari keadilan. Yang sering menjadi korban biasanya adalah mereka yang tidak puas, yang merasa perlu banding dan atau kasasi, hendaklah jangan asal dengan permohonan banding dan atau permohonan kasasi dari pihak lawannya. Perubahan gugatan yang dimaksudkan disini ialah perubahan tentang “petita”nya atau “tuntutan”nya, misalnya semula hanya
93
menuntut dua kali, kini akan diubah menjadi tiga hal juga bisa, misalnya semula menuntut tentang nafkah istri, kini diubah menjadi menuntut cerai sekaligus nafkah istri dan nafkah iddah dan sebagainya. Perubahan gugatan, termasuk penambahan atau pengurangan tidak diatur di dalam HIR atau RBg. Menurut Subekti (mantan Ketua Mahkamah Agung), cukuplah kita berpendapat bahwa perubahan, termasuk penambahan dan pengurangan gugatan diperkenankan, asal perubahan termasuk tidak merugikan kepentingan kedua belah pihak. Dalam hal ini kata beliau, kepada pihak tergugat diberikan seluasluasnya untuk membela dirinya dengan sebaik-baiknya.89 Kalau perubahan gugatan terjadi setelah tergugat menjawab maka harus dengan persetujuan tergugat sebagaimana dalam hal pencabutan gugatan, ditambah dengan harus persetujuan majelis hakim yang menyidangkan perkara yang bersangkutan. Selanjutnya Subekti menambahkan bahwa perubahan gugatan dilarang bila penggugat mengemukakan hal atau keadaan baru sehingga yang dimohonkan kepada hakim sama sekali lain dari pada yang semula, misalnya semula dasar gugatan perceraian karena zina kemudian gugatan diubah menjadi guagatan perceraian karena syiqod (semacam onheebare twcespalt dalam perdata B.W). Adapun perubahan atau penambahan gugatan, misalnya semula tidak semua ahli waris diikut sertakan sebagai tergugat, kini diubah menjadi diikut
89
132.
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnia Paramita, 2001),
94
sertakan semua. Begitu pula menambah, misalnya lupa dif dalam pelita dimohonkan agar sah dan berharga sita jaminan (conservatoirbeslag) lalu pelitanya ditambahkan. Semua ini boleh dan menurut beliau, perubahan dan penambahan gugat harus dipertimbangkan kasus demi kasus.90
Jadi konkritnya adalah : 1) Perubahan
atau
penambahan
gugatan,
sepanjang
bukan
mengemukakan hal/tuntutan baru yang sama sekali lain dari pada yang semula, pada prinsipnya diperkenankan dengan syarat dengan persetujuan majelis hakim jika tergugat sudah menjawab, juga ditambah dengan persetujuan tergugat. 2) Perubahan atau penambahan gugatan yang sama sekali lain daripada uang semula yang merupakan hal/tuntutan baru sama sekali tidak diperkenankan. 3) Majelis hakim dalam mempertimbangkan boleh atau tidaknya adalah melihat kasus demi kasus. Perubahan gugatan yang
bersifat mengurangi, misalnya
semula menuntut 3 hal lalu dikurangi menjadi 2 hal saja. Yang demikian itu kapan saja diperkenankan, sebab hal itu akan mengurangi beban tergugat dan meringkan tugas hakim. Hanya saja apabila diajukan setelah tergugat menjawab, masih perlu 90
Ibid, 136.
95
dengan
persetujuan
tergugat,
walaupun
tidak
memerlukan
persetujuan hakim. b. Pihak meninggal dunia sehingga suatu perkara gugur Jika proses perkara perdata sedang berlangsung, kemudian salah satu pihak meninggal dunia, baik pihak itu sendirian ataupun gabungan, baik memakai kuasa atau tidak jalannya perkara tetap tidak terhambat, yaitu dilanjutkan oleh ahli warisnya masing-masing. Akan dalam hal perkara yang tidak bisa dipindahkan lain orang seperti perkara gugat cerai (oleh istri) terhadap suami (tergugat), bila salah seorang dari suami istri (kedua belah pihak) tersebut meninggal dunia, maka perkara tersebut dianggap selesai (gugur). Ketentuan ini ini berlaku pula bagi perkara yang sedang dalam proses banding dan kasasi. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1968 tertanggal 11 November 1968, ada diberikan petunjuk bahwa perkara kasasi yang diajukan oleh ahli waris dalam hal pihak meninggal dunia, harus ada surat keterangan keahliwarisan dari Kepala Desa/Lurah yang mewilayahi pihak yang meninggal dunia tersebut. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tersebut tentunya berlaku pula bagi perkara perdata yang masih dalam proses di tingkat pertama maupun di tingkat banding. Hanya saja yang menjadi persoalan ialah apakah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) ini berlaku juga bagi pihak yang beragama Islam yang meninggal dunia.
96
Tegasnya, tidak sah surat keterangan keahli warisan yang dikeluarkan oleh Lurah/ Kepala Desa dengan alasan : 1) Menetapkan sah atau tidaknya sahnya ahli waris bagi mereka yang beragama Islam hanya sah jika diberikan oleh Pengadilan Agama, lebih-lebih setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. 2) Lurah/Kepala Desa tidak semuanya beragama Islam, yang tentunya tidak tahu siapa ahli waris dan bukan ahli waris. Menurut Islam sekalipun surat keterangan keahli-warisan tersebut hanya untuk melanjutkan proses perkara tetapi tidak bisa diingkari bahwa ahli waris itu akan mendapatkan hak-hak kebendaan dan harta benda dari
si
mayit,
disamping
mempunyai
kewajiban
untuk
menyelesaikan segala kewajiban-kewajiban si mayit yang belum diselesaikan, seperti biaya penguburan, hutang kepada Allah, hutang kepada sesama manusia dan wasiat. Apabila perkara misalnya selesai dan mereka yang melanjutkan perkara dari pihak yang meninggal dunia tadi menang, tentulah mereka akan berbagi dan pada saat itu mungkin sekali terjadi sengketa-sengketa diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan ternyata Keputusan Pengadilan Agama berlainan dengan surat keterangan keahliwarisan yang dulunya diberikan oleh Lurah/Kepala desa. Dalam keadaan begini, tentu Keputusan Pengadilan Agama-lah yang sah, dan itu berarti surat keterangan keahli-warisan dari Lurah/Kepala Desa menjadi batal. Padahal kualitas sebagai ahli waris dari mereka
97
yang melanjutkan perkara tadi justru berdasarkan surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang dimaksudkan. Akibatnya keputusan pengadilan yang sudah in kracht itu dapat dibuyarkan kembali dengan peninjauan kembali, hal mana tidak menjamin kepastian hukum. Menurut penulis, kalau pihak yang dalam proses berperkara itu beragama Islam dan meninggal dunia, perkaranya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya yang sah melalui Penetapan Pengadilan Agama. c. Majelis Hakim 1) Hakim Majelis Sekurang-kurangnya Tiga Orang. Hakim yang menyidangkan perkara adalah majelis sekurang-kurangnya tiga orang, seorang sebagai ketua dan lainnya sebagai anggota. Dari sejarah Peradilan Islam, seperti Peradilan di Masa Rasulullah, Masa Sahabat, Masa Tabi’in, belumlah didapat sejarah bahwa pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim majelis tentu saja diterima oleh Islam, sebab hal itu akan lebih menjamin kecermatan dan terwujudnya keadilan. Pengertian sekurang-kurangnya berarti boleh lebih dari itu, jika perlu, asas jumlahnya selalu gazal. Kemestian gazal adalah, jika terpaksa terjadi perimbangan suara maka perkara
98
masih dapat diputus, karena salah seorang dari padanya, yaitu ketua majelis akan menentukan.91 Dalam praktek, sampai dewasa ini lingkungan peradilan agama maupun lingkungan peradilan umum masih ada juga yang menyidangkan perkara dengan hakim tunggal, karena kekurangan tenaga hakim. Hal itu merupakan penyimpangan dari ketentuan Undang-Undang tetapi diperkenankan karena darurat, dengan syarat
“ ada izin khusus dari Mahkamah
Agung.” Kalau mungkin tunggal, sebutan ketua majelis berubah menjadi ketua sidang saja. 2) Pergantian Hakim Majelis Hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk memeriksa perkara pada penetapan Penunjukan Majelis Hakim (Model PMH) ada kalanya berhalangan, mungkin terjadi pada ketua majelis atau anggota majelis. Tapi semua itu, pada prinsipnya tidak boleh dijadikan penghalang kelancaran sidang, artinya kalau tidak bisa/halangan itu diatasi dengan menunda sidang
lebih
lanjut.
Maka
hakim
yang
berhalangan
dimaksudkan hakim ditukar dengan hakim yang lain.92 Penentuan sidang tidak bisa diubah di hari yang lain atas dasar
91
Ibid, 70-71. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 113-121 92
99
hakim berhalangan bisa digantikan dengan hakim yang lain dengan penetapan penunjukan oleh majelis hakim.
D. Hakam dalam perceraian Hakam yaitu orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian shiqoq.93 Didalam fiqih Islam disebutkan bahwa hak dan kewajiban hakam dalam kasus shiqoq terdapat perbedaan dikalangan ulama fiqih. Menurut madhab Hanafi, Qowi Qodim, Imam Syafi’i. Madhab Hambali, al-Hasan alBasri dan Qotadah mengatakan bahwa hakam tidak berwenang untuk menceraikan suami istri yang sedang didamaikannya, juru damai dari pihak suami tidak berwenang menjatuhkan talaq suami terhadap istri dan juru damai dari pihak istri tidak boleh mengadakan khulu’ tanpa persetujuan istri. Pendapat mereka ini konsekuensi dari pandangan mereka bahwa hakam tersebut hanya berstatus sebagai wakil, hakam berwenang mengambil keputusan bila diijinkan oleh suami istri yang diwakilkannya.
93
Ibid, 4.
100
Menurut madhab Hanafi, apabila hakam tersebut menemukan kesimpulan bahwa sebaiknya kedua suami istri tersebut harus diceraikan maka hakam itu harus melaporkannya kepada hakim dan hakimlah yang menceraikannya. Menurut al-Tha’bi, Ibn Abbas, madhab Maliki, dan Qowi Jadid Imam Syafi’I mengatakan hakam berwenang untuk memutuskan ikatan perkawinan antara suami istri yang sedang berselisih tersebut sekalipun tanpa ijin dari salah satu atau dari keduanya dan melaksanakannya apabila hakam sepakat tentang hal tersebut. Namun jika hakam berselisih pendapat maka pendapatpendapat mereka itu tidak dapat dilaksanakan sebelum ditemukan kesepakatan.94
94
Pendapat Madhab Hanafi, Qowi Qodim, Imam Syafi’I, Hambali, al-Hasan, al-Basri, Qotadah, al-Tha’bi, Ibn Abbas, Maliki, dan Qowi Jadid, Didalam Fiqih Islam disebutkan bahwa hak dan kewajiban hakam dalam kasus shiqoq terdapat perbedaan dikalangan ulama fiqih
101
BAB III PERCERAIAN DI KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO
1
Setelah bab dua diuraikan tentang landasan teoritik, selanjutnya pada bab ini akan menguraikan faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perceraian dan peran hakam dalam mengurangi penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. A. Lokasi Penelitian 1. Kantor Urusan Agama (KUA), Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Jenangan, yaitu salah satu kecamatan di daerah Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Daerah Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo bagian utara merupakan daerah yang cocok untuk pertanian atau persawahan, sedang daerah bagian selatan sebagian besar masih berupa hutan dan perbukitan. Wilayah Kecamatan Jenangan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ngebel, sebelah utara dengan Kabupaten Madiun, sebelah selatan dengan Kecamatan Pulung sedangkan sebelah barat dengan Kecamatan Babadan. Di Kecamatan Jenangan terdapat Kantor Urusan Agama (KUA), yang diketuai oleh Bapak Muhammad Zaini. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi Kantor Urusan Agama, data terlampir.48 Disinilah penulis melakukan penelitian tentang masyarakat yang sudah menikah maupun yang sudah bercerai. Di Kecamatan Jenangan terdapat beberapa, desa
mempunyai
satu
kepala
desa
beserta
staf-stafnya
yang
mengkoordinir maju mundurnya nasib masyarakat. 48
Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
2
Berdasarkan penjelasan diatas perlu juga peneliti jelaskan jalur untuk menuju Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo. Dari Surabaya, Solo, ataupun kota lain bila naik bus turun di Terminal Seloaji Ponorogo, naik ojek turun di Kantor Urusan Agama Kecamatan Jenangan. 2. Pengadilan Agama Ponorogo Penelitian ini juga mengambil lokasi di Pengadilan Agama Ponorogo, letak Kantor Pengadilan Agama Ponorogo ini di Jalan. Ir. Juanda, Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo. Kompas jalan menuju Kantor Pengadilan Agama Ponorogo dari Terminal Seloaji Ponorogo, naik bus jurusan Pacitan, jurusan Purwantoro, jurusan Slahung dan Ngrayun turun di depan Kantor Pengadilan Agama Ponorogo. Kantor Pengadilan Agama Ponorogo diketuai oleh Bapak Chusnul Hadi, untuk lebih jelasnya struktur organisasi, data terlampir.49 Di Kantor Pengadilan Agama Ponorogo inilah diputuskannya perceraian antara pasangan suami istri yang mempunyai masalah, sehingga tidak jarang Pengadilan Agama Ponorogo ini penuh dengan isak tangis dan derai air mata orang yang teraniaya hak-haknya hingga akhirnya menuntut haknya untuk bercerai dari pasangan hidupnya. Gambaran fisik Pengadilan Agama Ponorogo bisa peneliti gambarkan seperti halnya kantor lembaga lainnya. Kantor yang berisi ruang hakim ketua dan hakim anggota, ruang panitera, ruang atau aula sidang perkara lengkap dengan ruang tunggunya. 49
Struktur Organisasi Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo
3
Adapun fasilitas Kantor Pengadilan Agama Ponorogo menurut data yang peneliti himpun adalah sebagai berikut : Printer 15, Sepeda Motor 3, Mobil 2, Komputer 15. Melihat fasilitas kantor yang sedemikian, dapat dimengerti bahwa Kantor Pengadilan Agama Ponorogo relatif sederhana, sebab selain fasilitas tersebut terdapat fasilitas lainnya yaitu: mebelair sidang dan mebelair kantor, data terlampir.50 B. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Di Pengadilan Agama Ponorogo kasus perceraian menduduki urutan yang paling atas dalam penerimaan kasus perdata, selama tahun 2008. Kasus perceraian yang diterima sebanyak 491cerai talaq dan 747 cerai gugat, dapat dilihat perkara yang diterima Pengadilan Agama Ponorogo sebanyak 1331 perkara,51 dan perkara yang diputus 1310, perkara yang ditolak 2, dicabut 41, dicoret 2, gugur 15, tidak diterima 4.52 Penyebab perceraian mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Menurut data Pengadilan Agama Ponorgo penyebab perceraian sejak dari kasus kawin paksa, ekonomi, tidak tanggung jawab, cacat biologis, gangguan pihak ketiga dan tidak ada keharmonisan, data terlampir.53 Data tersebut memberikan gambaran bahwa kasus perceraian di Ponorogo bersifat kompleks, artinya masalah yang bisa menyebabkan
50
Dokumentasi Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2008. Dokumentasi Laporan Perkara Yang Diterima Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2008. 52 Dokumentasi Laporan Perkara Yang Diputus Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2008. 53 Dokumentasi Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian pada Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2008. 51
4
terjadinya perceraian bermacam-macam. Sejak dari kasus yang ringan seperti halnya ekonomi sampai kasus yang berat. Peneliti menggunakan tehnik pengambilan data dengan cara wawancara antara peneliti dengan sebagian
masyarakat dan khususnya
masyarakat Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang terlibat dalam kasus perceraian. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Ngrupit Kecamatan Jenangan, peneliti mendapatkan data tentang penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan kabupaten Ponorogo, salah satunya dengan ibu Happy. Menurut ibu Happy, faktor penyebab perceraian adalah faktor ekonomi. Dengan minimnya ekonomi tidak jarang dijumpai baik itu seorang istri atau suami yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) sehingga meninggalkan keluarganya dan di akhiri dengan perceraian.54 Menurut Bapak Nanang di Desa Jimbe Kecamatan Jenangan, Kabupaten ponorogo, penyebab terjadinya Perceraian yang sering terjadi yaitu adanya gangguan orang ketiga, kasus gangguan orang ketiga biasanya terjadi karena ikut campurnya pihak ketiga seperti mertua atau ibu, bapak, kakak ipar maupun adik dalam keluarga sehingga dalam rumah tangga tidak ada kebebasan untuk mengatur situasi dalam rumah tangganya.55 Menurut Bapak Muhammad Zaini Ketua Kantor Urusan Agama (KUA), masalah terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo salah satunya faktor ekonomi, dengan terbatasnya pekerjaan dan kurangnya penghasilan di Kecematan Jenangan mengakibatkan masyarakat 54 55
Hasil wawancara No. 01/03-W/F-1/26-V/2009 Hasil wawancara No. 01/04-W/F-1/26-V/2009
5
pergi ke luar negeri untuk bekerja, sehingga meninggalkan suami atau istri yang pada akhirnya berujung pada perceraian.56 Menurut keterangan dari Bapak Indra Supeno bin Yateni di Desa Wates, Jenangan, Ponorogo, yang sering terjadi berlangsungnya perceraian di Kecamatan Jenangan yaitu faktor tidak adanya tanggung jawab, baik itu dari pihak suami maupun puhak istri dalam melangsungkan kewajibannya masing-masing. Seperti halnya yang terjadi pada keluarga Suadi bin Yuntari Desa Jenangan beliau adalah adik kandung Indra Supeno masalah yang terjadi dalam keluarga tersebut yaitu tidak adanya tanggung jawab istri terhadap keluargannya (anak dan suaminya) sehingga suami menuntut haknya untuk bercerai. 57 Menurut Bapak Imam Anjiono bin Prayitno Desa Jimbe Jenangan Ponorogo beliau mengatakan perceraian terjadi karena tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, karena di dalam rumah tangga harus saling mengerti kewajibannya sebagai suami istri, saling percaya dan yasng paling penting harus bisa memahami satu sama lain. Apabila hal tersebut sudah terwujud Insyaallah rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah akan tercapai.58 Menurut Bapak Zainuri
di Desa Plalangan Jenangan, ponorogo
terjadinya perceraian dikarenakan adanya gangguan pihak ketiga. Adanya campur tanggan orang tua dalam masalah keluarga, sehingga dalam menyelesaikan permasalahan sulit mencari jalan keluarnya dan tidak ada 56
Hasil wawancara No. 01/02-W/F-1/02-VI/2009 Hasil wawancara No. 01/07-W/F-1/28-VI/2009 58 Hasil wawancara No. 01/08-W/F-1/28-VI/2009 57
6
kebebasan dalam mengatur rumah tangga. Waktu menikah keduanya tidak mendapat restu dari orang tua istrinya. Sampai sekarang sudah 6 tahun dalam membina rumah tangga dan sudah dikaruniai tiga (3) anak, masalah tersebut masih dibawa dalam permaslahan rumah tangga dan berakhir dalam perceraian.59 Hasil wawancara dengan Ibu Sukinem di Desa Kemiri, Jenangan, Ponorogo, menurut beliau penyebab perceraian dalam rumah tangganya disebabkan karenan alasan ekonomi, karena mantan suaminya tidak pernah memberi nafkah bagi keluarganya. Pekerjaan suaminya tidak menetap, uang hasil kerjanya habis untuk judi togel, sehingga kebutuhan keluarganya tidak pernah dicukupi dan untuk menghidupi kedua anaknya ibu sukinem bekerja sebagai penjual sayur di pasar dan buruh tani.60 Menurut Bapak Agus Darmaji di Desa sedah, Penyebab perceraian dalam keluarga beliau disebabkan karena istrinya sering menuntut yang berlebihan, apabila permintaannya tidak dipenuhi, istrinya marah-marah dan terjadilah pertengkaran.
Karena
tidak tahan dengan itu terjadilah
perceraian.61 Hasil penelitian yang peneliti peroleh jumlah perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo sebanyak sembilan puluh delapan (98) kepala keluarga yang bercerai,.62 Faktor penyebab perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo adalah faktor ekonomi sebanyak empat puluh tiga (43) kepala keluarga, faktor gangguan pihak ketiga Hasil wawancara No. 01/09-W/F-1/29-VI/2009 Hasil wawancara No. 01/10-W/F-1/01-VII/2009 61 Hasil wawancara No. 01/11-W/F-1/02-VII/2009 62 Rekapitulasi Pengadilan Agama Ponorogo Tahun 2008. 59 60
7
sebanyak dua puluh (20) kepala keluarga, faktor tidak ada tanggung jawab sebanyak delapan belas (18) kepala keluarga, faktor tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga sebanyak enam belas (16) kepala keluarga, faktor kawin paksa sebanyak satu (1) kepala keluarga. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang menonjol pada faktor ekonomi, sebab permasalahan ekonomi sangat berpengaruh dengan permasalahan dalam rumah tangga. Tidak jarang perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang berujung perceraian di hubungkan dengan permasalahan ekonomi. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kasus perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo bersifat kompleks, artinya masalah yang bisa menyebabkan terjadinya perceraian bermacam-macam. Sejak dari kasus yang ringan seperti halnya ekonomi sampai kasus yang berat. Kasus perceraian diatas, faktor penyebab perceraian bisa peneliti kelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern yang peneliti maksudkan adalah faktor yang bersumber dari dalam diri pasangan suami istri, sedangkan faktor ekstern yang peneliti maksud adalah faktor yang bersumber dari luar diri pasangan suami istri. Faktor intern yang berkaitan dengan sebab perceraian diatas adalah adanya faktor ekonomi, tidak ada tanggung jawab, penganiayaan, cacat biologis, dan tidak adanya keharmonisan dalam keluarga. Adapun yang
8
berkaitan dengan faktor ekstern adalah adanya kawin paksa dan adanya gangguan pihak ketiga. 1. Faktor Intern Sebab-sebab terjadinya perceraian akibat hubungan intern keluarga. Kasus yang disebabkan faktor interen keluarga kebanyakan bersumber pada tidak adanya tanggung jawab ini masih banyak sekali menimpa pasangan suami istri yang ekonominya minim, seperti kasus yang di alami oleh keluarga Bapak Tri Santoso bin Kasimin dan Ibu Hermin
binti
Tukimun
dengan
Nomor
Perkara
:
Nomor
0195/Pdt.G/2008/PA.PO, sejak bulan Oktober Tahun 2004 ketentraman rumah tangga tergugat dan penggugat mulai goyah disebabkan karena tergugat tidak tanggung jawab terhadap kebutuhan sehari-hari dan tergugat tidak pernah member nafkah kepada penggugat bahkan tidak diketahui alamatnya secara pasti. Bahkan selama berpisah penggugat pernah mencari tergugat kerumah orang tuanya di Wonosobo, akan tetapi tergugat tidak ada dan keluarganya tidak mengetahui keberadaan tergugat. Oleh karena hal tersebut mengakibatkan antara penggugat dengan tergugat telah terjadi pisah tempat tinggal, sampai sekarang sudah 3 tahun 4 bulan hingga sekarang tidak bersama lagi dan selama itu sudah tidak ada lagi hubungan lahir maupun batin. Pasangan suami istri yang minimnya ekonomi, sehingga harus bekerja dan meninggalkan keluarganya, akhirnya suami lupa tanggung jawab sebagai suami maupun terhadap kebutuhan keluarga sehingga istri hilang
kesabarannya,
akhirnya
terjadilah
perceraian.
Identifikasi
9
permasalahan intern sebenarnya masih banyak sekali datanya, Namun penulis perlu mengemukakan kasus yang sangat tidak diinginkan sebagaimana disebutkan diatas. Hal ini mengandung maksud untuk menunjukkan betapa kompleksitasnya permasalahan intern keluarga, sehingga akhirnya bisa menjadi pemicu perceraian dalam keluarga.63 2. Faktor Ekstern. Permasalahan ekstern keluarga baik itu permasalahan kecil maupun besar, bisa jadi bibit tumbuhnya perceraian bagi pasangan suami istri, sehingga banyak pasangan suami istri dengan permasalahan sepele mengajukan gugatan cerai. Kasus yang terjadi pada keluarga Bapak Wahyudi Riyanto bin Yatiran dengan Ibu Wahyuningsih binti Gurun dengan Nomor Perkara : Nomor 0004/Pdt.G/2008/PA.PO. Antara pemohon dan termohon terjadi cek-cok disebabkan termohon telah menjalin hubungan cinta dengan lakilaki lain yaitu tetangga termohon sendiri bahwa hal tersebut diketahui oleh pemohon sendiri. Pada mulanya kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon dalam keadaan rukun-rukun saja, kurang lebih sejak bulan Desember 2005 ketentraman rumah tangga pemohon dan termohon mulai goyah, dikarenakan termohon (istri) tidak ada tanggung jawab lagi ketika ditinggal kerja ke Malaysia, pemohon (suami), dengan kejadian tersebut diatas antara pemohon dan termohon telah berpisah tempat tinggal sampai
63
Putusan Perkara Nomor 0195/Pdt.G/2008/PA.PO
10
sekarang sudah ada dua (2) tahun lamanya dan pemohon (suami) sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara tersebut.64 Agenda para pendidik, tokoh agama maupun tokoh masyarakat, harus bisa memberi pengarahan pada masyarakat agar menjadi orang penyabar, dalam menyelesaikan masalah dengan bijaksana, tidak merugikan pihak yang lain ataupun tidak dengan cara yang dzalim. Masyarakat perlu di arahkan agar bisa bertanggung jawab terhadap pengendalian kehidupan dalam keluarga. Tidak adanya tanggung jawab dalam keluarga akan menimbulkan situasi keluarga tidak harmonis karena perbuatannya meresahkan masingmasing orang. Pada lingkungan masyarakat banyak kasus yang tidak harmonis akibat permasalahan salah satu pihak tidak tanggung jawab, selain itu masalah yang ada pada masyarakat khususnya pada masyarakat Jenangan seperti masalah campur tangan keluarga ini efeknya anak terpisah dari keluarganya (ayah maupun ibunya) lalu terjadi perceraian. Dari data tersebut diketahui bahwa kasus-kasus perceraian yang berlatar belakang pada permasalahan intern dan ekstern dalam keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu kompleksitas terhadap faktor penyebab perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo tahun 2008. Permasalahan rumah tangga yang demikian itu tidak seharusnya menjadi berlangsungnya faktor penyebab perceraian.
64
Putusan Perkara Nomor 0004/Pdt.G/2008/PA.PO
11
C. Peranan Hakam Dalam Mengurangi Terjadinya Perceraian Di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Menurut Bapak Muhammad Zaini Ketua Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, hakam diutus setelah terjadinya percek-cokan dalam rumah tangga, lalu dikirim hakam dari pihak suami maupun istri yang bertujuan menasehati kedua belah pihak. Tugas hakam memberitahukan tentang arti perkawinan, fungsi dan tujuan perkawinan maupun dampaknya setelah terjadi perceraian baik itu dampak positif dan negatif beliau juga mengemukakan permasalahan keluarga, harus diselesaikan didalam keluarga tanpa melibatkan orang lain, walaupun itu orang tua. Dikarenakan akan mempersulit proses penyelesaian permasalahan yang terjadi.65 Menurut Bapak Ramdan Jaelani (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo), beliau mengemukakan di Pengadilan Agama Ponorogo hakim mengutus hakam tidak ada unsur pemaksaan karena hakam dalam berlangsungnya persidangan di wajibkan mengatakan kesaksian-kesaksian yang sebenar-benarnya, oleh karena itu hakam yang diutus hakim harus hakam yang mengetahui permasalahan yang terjadi.66 Menurut Bapak Parno bin Gunorejo di Desa semanding, Jenangan, Ponorogo, hakam yang di utus harus benar-benar dikenal oleh suami istri yang bersengketa. Jika hakam tidak dikenal kedua pihak yang bersengketa, maka bagaimana mereka percaya kepada hakam. Tugas hakam dalam hal perceraian adalah mengupayakan semaksimal mungkin perdamaian dan 65 66
Hasil Wawancara No. 01/05-W/F-1/02-VI/2009 Hasil Wawancara No. 01/06-W/F-1/02-VI/2009
12
upaya mewujudkan rumah tangga yang abadi, seperti pepatah mengatakan “ tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.” Bagaimana hakam harus di hargai, dicintai dan diikuti ucapannya dalm hal perdamaian jika hakam tidak dikenal oleh pihak yang bersengketa.67 Menurut Bapak Suprianto bin Susi Andriani di Desa Mrican Jenangan Ponorogo, hakam yang diangkat harus mempunyai sifat yang jujur (dapat dipercaya) karena menurut Bapak Suprianto kejujuran adalah salah satu modal untuk mencapai keberhasilan. Jika hakam yang diangkat tidak mempunyai sifat yang jujur, maka perdamaian sulit untuk terwujud, sebaliknya jika hakam mempunyai sifat yang jujur maka perdamaian mungkin akan tercapai.68 Berdasarkan hasil penelitian, masalah kasus terjadinya perceraian dan peran hakam dalam menekan terjadinya perceraian itu tidaklah masalah yang kecil akan tetapi masalah yang berdampak buruk bagi keluarga. Usaha Hakim dalam masalah perceraian tidak mudah, hakim setiap kali kerja selalu berusaha mendamaikan, menasehati dengan semaksimal mungkin dan mengutus hakam dari pihak tergugat maupun penggugat untuk mencari jalan yang terbaik bagi keluarga tersebut. Peranan hakam dalam menangani masalah shiqoq memang sangat diperlukan, karena dalam hal ini hakam bisa membantu menyelesaikan permasalahan perceraian yang terjadi. Dari hasil penelitian, pihak Pengadilan Agama Ponorogo dalam syarat-syarat mengambil hakam, hak dan kewajiban
67 68
Hasil wawancara No. 01/12-W/F-1/02-VI/2009 Hasil wawancara No. 01/13-W/F-1/02-VI/2009
13
hakam serta yang dilakukan dalam membantu menyelesaikan perkara shiqoq, jika terjadi perbedaan pendapat semuanya disesuaikan dengan hukum Islam dan undang-undang yang berlaku. Menurut Bapak Ramdan Jaelani (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo) syarat-syarat menjadi hakam antara lain : 1. Hakam harus benar-benar orang yang dikenal oleh suami istri 2. Hakam harus mempunyai sifat jujur (dapat dipercaya). Artinya bahwa hakam yang diangkat oleh Pengadilan Agama Ponorogo harus dapat dipercaya, lurus hati, tidak curang dan penuh keikhlasan. 3. Hakam harus berwibawa. Artinya hakam yang diangkat oleh Pengadilan Agama Ponorogo tersebut mempunyai wibawa sehingga disegani oleh kedua pihak yang mengalami shiqoq. 4. Bersedia menjadi hakam. 5. Hakam harus disegani kedua belah pihak. Tanpa disegani kedua belah pihak mustahil upaya damai yang diupayakan oleh hakam tercapai dengan sebagaimana mestinya. 6. Hakam harus keluarga dekat. Di dalam praktek Pengadilan Agama Ponorogo hakam yang diangkat harus keluarga dekat dan belum pernah mengangkat hakam selain keluarga dekat. Pengangkatan dari keluarga dekat tersebut mempunyai alasan sebagai berikut : a. Keluarga dekat lebih mengetahui tentang keadaan kedua belah pihak yaitu suami istri secara mendalam dan mendekati kebenaran. b. Keluarga dekat adalah diantara orang-orang yang menginginkan tercapainya perdamaian diantara kedua belah pihak suami istri.
14
c. Keluarga dekat adalah orang yang paling dipercaya oleh kedua belah pihak yang berselisih. d. Kepala keluarga dekat suami istri yang berselisih akan leluasa untuk berterus terang mengungkapkan isi hati masing-masing.69 Berdasarkan uraian diatas dapat peneliti disimpulkan bahwa hakim dalam menetapkan hakam harus memiliki syarat-syarat menjadi hakam. Peran hakam disini untuk menyelesaikan dan mencari jalan keluar yang lebih baik dalam menghadapi masalah perceraian yang sedang terjadi.
69
Hasil Wawancara No. 01/07-W/F-1/26-VI/2009
15
BAB IV ANALISA TINGGINYA TINGKAT PERCERAIAN DI KECAMATAN JENANGAN KABUPATEN PONOROGO
A. Analisa Terhadap Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Terjadinya kasus-kasus perceraian di Kecamatan Jenangan kabupaten Ponorogo merupakan manifestasi adanya berbagai sebab antara suami istri untuk melakukan perceraian. Didalam kasus perceraian harus adanya alasan yang cukup untuk melaksanakan perceraian sebagai jalan lain yang tidak ditemukan lagi kecuali perceraian, karena dalam benak pikiran suami istri hanya ada keinginan untuk menikah lagi setelah bercerai. Golongan Hanafi dan hambali mengatakan bahwa perceraian tanpa ada alasan yang tidak dapat dibenarkan, menurut hukum Islam adalah terlarang. Menurut mereka perceraian itu kufur terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah suatu nikmat Allah, kufur terhadap nikmat Allah adalah haram, jadi perceraian tidak halal kecuali darurat sehingga apabila terjadi suatu perselisihan atau cekcok dengan berbagai alasan. Menurut hukum Islam hendaknya dicari jalan penyelesaian yang lebih bijaksana. Didalam kaidah-kaidah Hukum Islam juga disebutkan bahwa apabila keadaan atau alasan yang sangat darurat maka diperbolehkan sebagi jalan alternatif karena darurat itu membolehkan yang dilarang Allah sebagaimana kaidah ushul mengatakan.
' راتj اk4./ ا"' ور ات
16
Artinya
:
“Keterpaksaan
dapat
memperbolehkan
hal
yang
dilarang"70 Didalam hukum perkawinan disebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan bila mempunyai cukup alasan yang kuat sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang pada dasarnya sebagai berikut : 9. Salah satu pihak berbuat zina atau terjadi pemabukan, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 10. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 11. Salah satu pihak mendapatkan hukum penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 12. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 13. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 14. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.71 Uraian diatas dapat dimengerti bahwa sebab-sebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo yang digunakan suami istri
70 71
Abdul Wahab Hallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1989), 347. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
17
sebagai dasar alasan untuk melanggengkan perceraian adalah sesuai dengan Hukum Islam, karena masih banyak terdapat rekayasa dari pihak suami istri memaksakan kehendaknya tanpa memperhitungkan sebab akibat dari terjadinya perceraian. Prosentase tingginya tingkat perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo menunjukkan frekwensi yang sangat tinggi. Kasus perceraian ternyata banyak menimbulkan kemadharatan terhadap istri dan anakanaknya. Oleh karena itu pihak Pengadilan Agama Ponorogo mengadakan upaya untuk menghindari tinggi tingkat perceraian, baik usaha itu ditempuh dari pihak suami istri dan juga pihak lain. Upaya lembaga Pengadilan Agama Ponorogo sebagai penentu perceraian semua upaya itu dilakukan demi menjaga keutuhan tali perkawinan. Perselisihan suami istri yang sudah memuncak dan sulit untuk dipecahkan sampai pada tingkat percekcokan yang sulit didamaikan oleh karena itu pihak Pengadilan Agama Ponorogo mengupayakan jalan perdamaian dengan mengangkat hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan. Usaha Pengadilan Agama Ponorogo tersebut sesuai dengan firman Allah surat an-Nisa’ ayat 35.72
Artinya : “ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang 72
al-Qur’an, 5 : 35.
18
hakam dari keluarga perempuan jika dari kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, taufiq, niscaya Allah memberikan taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” Didalam upaya menghindarkan tingginya tingkat perceraian di Pengadilan Agama Ponorogo terdapat unsur-unsur yang lebih diutamakan bukan sekedar mengatasi sengketa. Maka hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 229.
Artinya : “Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang kamu berikan kepada mereka”73 Islam menghendaki apabila suami istri bisa rukun lagi dengan istrinya sebagai upaya alternatif hendaknya menempuh jalan lain yang lebih membawa manfaat dan keduanya dalam upaya perdamaian. Disisi lain upaya untuk menghidari tingginya tingkat perceraian merupakan usaha untuk menghilangkan bahaya atau kemudharatan apabila perceraian itu terjadi, karena bagaimanapun juga menurut Hukum Islam lebih banyak membawa mudharat daripada manfaat bagi suami istri oleh karena itu Pengadilan Agama Ponorogo tersebut dsangat tepat dan sesuai dengan kaidah Hukum Islam yang mengatakan :
k5 . اmE #$ م0 " ر. اk5 د Artinya : “Menolak kerusakan didahulukan sebelum mengambil manfaat atau masdlahahnya.”74
73 74
al-Quran, 2 : 229 Ibid, 348.
19
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa upaya Pengadilan Agama Ponorogo yang dilakukan untuk menghindari tingginya tingkat perceraian adalah sudah sesuai dengan Hukum Islam karena didalamnya terkandung unsur mengupayakan perdamaian untuk menghindar terjadinya perceraian. B. Analisa Terhadap Peran Hakam Dalam Mengatasi Terjadinya Perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo Tentang hukum pengangkatan hakam, ulama berbeda pendapat, Imam Shafi’i berpendapat mengangkat hakam bila terjadi masalah shiqoq sesuai surat an-Nisa ayat 35 hukumnya adalah wajib dengan alasan sebagai berikut : 1. Diperintahkan dengan kalimat ’Mar (perintah) yakni “Fab’athû”, kalimat ‘mar (perintah) sesuai dengan kaidah usuliyah yang berbunyi :
%' ـJ , اo'4B #$ لp , ب وE '0 , ا#5 -X ,ا “Pada dasarnya ‘Mar itu menunjukkan (arti) wajib dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”75 2. Hakam diangkat untuk berusaha menyelesaikan persengketaan suami istri dan salah satu tugasnya adalah menghilangkan kedzaliman yang terjadi pada suami istri.76 Berdasarkan
alasan-alasan
tersebut
di
atas
jelaslah
bahwa
mengangkat hakam dalam penyelesaian masalah shiqoq adalah wajib. Namun ada ulama yang berpendapat bahwa mengangkat hakam dalam kasus Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Usuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990), 15 76 Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hocve, 1996), 1709. 75
20
shiqoq adalah boleh artinya mubah saja tidak wajib. Hal ini dikemukakan oleh Ibn Rushid dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid yang mengatakan bahwa ulama telah sepakat atas kebolehan mengirim juru damai.77 Di dalam Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 2004 pasal 76 ayat 1 disebutkan “apabila gugatan perceraian di dasarkan atas alasan shiqoq, maka untuk mendapat putusan perceraian harus didengar keterangan dari saksi-saksi yang berasal dari keluarga dekat suami dan istri.” Dan ayat 2 juga menjelaskan bahwa pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim, hakim disini maksudnya adalah hakam baik dari pihak suami maupun hakam dari pihak istri.78 Di dalam ajaran Islam yang mengangkat atau berwenang menunjuk hakam adalah pengadilan yang sebagai wakil dan penanggung jawab, demikian menurut jumhur ulama. Namun ulama Hanafi berpendapat bahwa wewenang ini diberikan kepada suami istri dan keluarga masing-masing. Berbeda lagi dengan pendapat Mahmud Shaltut yang mengatakan bahwa secara khusus tugas ini merupakan wajib ‘ain kepada keluarga dan kerabat kedua suami istri dan baru berpindah kepada pengadilan (yang berwenang), kalau mereka tidak mampu merukunkan atau mendamaikan kembali suami istri tersebut.79
Ibn Rushid, Bidayat al-Mujtahid Juz.II Terjemah A. Hanafi, et.all, (Semarang: CV. AsSifa’, 1993), 554. 78 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 2004, 31. 79 Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhlas Baru Van Hocve, 1996), 1709 77
21
Di antara pertimbangannya adalah keluarga biasanya merupakan orang-orang paling dekat dengan suami istri, biasanya mereka lebih mengerti duduk persoalan yang sebenarnya dan ikatan sah diantara mereka sering memberikan peranan tersendiri dalam usaha merukunkan kembali yang sedang dilanda krisis rumah tangga, lebih jauh lagi kebahagiaan suami istri. Pada umumnya kebahagiaan keluarganya kebahagiaan mereka dan penderitaan keluarganya penderitaan mereka juga. Dari data yang peneliti dapatkan di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, pengangkatan hakam yang dilakukan oleh Hakim Ketua Majelis adalah setelah Ketua Hakim Majelis mendengarkan dakwaan dari pihak yang berperkara. Maka langkah selanjutnya melakukan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan saksi. Setelah mendengarkan keterangan dari saksi penggugat dan saksi tergugat, maka Hakim Ketua Majelis dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya persengketaan itu adalah perkara Shiqoq. Dengan adanya perkara shiqoq Hakim Ketua Majelis mengangkat hakam dari pihak istri dan hakam dari pihak suami. Kedua hakam tersebut sudah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak serta sudah memenuhi syarat-syarat pengangkatan hakam yang peneliti uraikan dalam bab sebelumnya. Menurut bapak Ramdan Jaelani syarat-syarat hakam yang ditetapkan Pengadilan Agama Ponorogo dalam kasus shiqoq, yaitu : 1. Hakam harus benar-benar orang yang dikenal oleh suami istri yang bersengketa. Jika hakam tidak dikenal oleh dua orang yang bersengketa maka bagaimana mereka akan percaya kepada hakam. Tugas hakam dalam hal
22
ini adalah upaya perdamaian dan upaya mewujudkan rumah tangga yang abadi, seperti kata pepatah “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”. Bagaimana hakam dapat dicintai, dihargai dan diikuti ucapannya dalam hal perdamaian jika tak dikenal oleh pihak yang berselisih. 2. Hakam harus berwibawa Kewibawaan seseorang sangat mempengaruhi orang lain, baik dalam tingkah laku, putusannya, ucapannya. Suatu contoh seorang dosen akan lebih dihargai, ditaati, bahkan sangat ditakuti mahasiswa jika dosen tersebut mempunyai kewibawaan. Seseorang dikatakan berwibawa jika orang tersebut mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi baik ilmu agama maupun ilmu yang lainnya, mempunyai komitmen yang tinggi dan senantiasa meninggalkan perbuatan maupun ucapan yang tidak baik. 3. Hakam harus mempunyai sifat yang jujur (dapat dipercaya) Keujujuran adalah salah satu modal untuk mencapai keberhasilan. Jika hakam yang diangkat oleh Pengadilan Agama Ponorogo orang yang jujur maka perdamaian mungkin akan tercapai tetapi kalau hakam tidak mempunyai sifat kejujuran, peneliti beranggapan mustahil perdamaian akan tercapai. 4. Bersedia menjadi Hakam Hakam yang ditunjuk harus menerima tugasnya sebagai hakam dengan tanpa adanya pemaksaan. Karena hakam harus memberikan kesaksian yang sesunguhnya. 5. Hakam harus disegani kedua belah pihak
23
Jika seorang hakam benar-benar disegani oleh kedua belah pihak yang bersengketa makan apa yang menjadi anjuran untuk damai kemungkinan besar akan tercapai. 6. Hakam harus keluarga dekat Di dalam praktek di Pengadilan Agama Ponorogo , hakam yang diangkat adalah merupakan keluarga yang dekat artinya Pengadilan Agama Ponrogo belum pernah mengangkat hakam selain keluarga dekat. Dalam fiqh Islam disebutkan bahwa syarat-syarat menjadi hakam adalah dua orang laki-laki, berakal, baligh, adil dan muslim. Tetapi dalam Hukum Islam dan Perundang-undangan tidak disebutkan syaratsyarat menjadi hakam tersebut, baik dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 juga dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan mengenai syarat-syarat menjadi hakam. Maka wajarlah kalau Pengadilan Agama Ponorogo menentukan kebijaksanaan dalam mengangkat hakam kasus shiqoq dan kebijaksanaan tentang syarat-syarat pengangkatan hakam ini jelas tidak bertentangan dengan fiqh dan perundang-undangan yang ada. Menurut peneliti kebijaksanaan Pengadilan Agama Ponorogo dalam menentukan syarat-syarat pengangkatan hakam dalam kasus shiqoq, selama ini masih terkesan formalitas artinya hanya sekedar memenuhi formalitas hukum acara saja. Apalagi jika hanya memahami apa yang tersurat dalam Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 1 Tahun 2004 pasal 76 ayat 2 bahwa kedudukan hukum pengangkatan hakam tidak bersifat imperatif tetapi bersifat fakultatif, maka para hakim
24
hanya mencukupi eksistensi hakam dalam proses perceraian hanya sekedar formalitas.
25
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Data perceraian yang peneliti peroleh di Kecamata Jenangan, Kabupaten Ponorogo sebanyak sembilan puluh delapan (98) kepala keluarga yang bercerai. Terjadinya Penyebab Perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo disebabkan beberapa faktor, diantaranya faktor ekonomi adalah sebanyak empat puluh tiga (43) kepala keluarga atau empat puluh tiga koma sembilan persen (43,9%), faktor gangguan pihak ketiga sebanyak dua puluh (20) kepala keluarga atau dua puluh koma empat persen (20,4%), faktor tidak ada tanggung jawab sebanyak delapan belas (18) kepala keluarga atau delapan belas koma empat persen (18,4%), faktor tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga sebanyak enam belas (16) kepala keluarga atau enam belas koma tiga persen (16,3%), faktor kawin paksa sebanyak satu (1) kepala keluarga atau satu persen (1%). Dengan demikian faktor penyebab terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang paling menonjol adalah faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor yang lainnya, karena disebabkan minimnya lapangan pekerjaan dan penghasilan yang paspasan. Dengan demikian banyak penduduk di Kecamatan Jenangan
26
Kabupaten Ponorogo yang bekerja ke luar negeri untuk bekerja sebagai TKI atau TKW. 2. Peran hakam dalam mengurangi terjadinya perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo belum menunjukkan kemajuan dalam menekan angka perceraian, dapat dilihat tingginya tingkat perceraian di Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo terbanyak di bandingkan dengan kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Ponorogo, dikarenakan dari pihak kedua orang tua dan yang berperkara tidak mendukung untuk berdamai. B. Saran-saran 1. Kepada Pasangan Suami Istri Bagi pasangan suami istri hendaklah lebih bisa menjaga diri untuk
mempertahankan
perkawinannya.
Upaya
mempertahankan
kelestarian perkawinan ini dilakukan dengan cara menerapkan dan memenuhi hak dan kewajiban masing-masing suami istri dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih memperhatikan tujuan perkawinan dan mengedepankan ego masing-masing yang berakibat fatal bagi dirinya (istri), suami dan anak-anaknya yang menjadi korban berhati-hatilah dalam mengucapkan ikrar talak karena hal itu sangat dibenci Allah SWT dan berusahalah meniru kehidupan rumah tangga yang dibina Rasulullah SAW bersama istrinya, sehingga tercapai keluarga yang sakinah, mawaddah warrahma. Amin. 2. Kepada hakam
27
Hakam harus berbuat adil tanpa ada unsur berpihak pada salah satu pihak yang berperkara. 3. Kepada peneliti yang akan datang. Bagi peneliti yang akan datang, hendaknya menindak lanjuti hasil penelitian yang telah dilaksanakan ini, terutama berkaitan dengan solusi menanggulangi terjadinya perceraian dikalangan pasangan suami istri terutama di Kecamatan Jenangan.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Hallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1989 Abdur Rohman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1996 Abdur Rohman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992 Depag RI, Al-Qur’an dalam Terjemahnya, Jakarta : Tanjung Mas Inti Semarang, 1992 Depag Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005 Hanafi, Perbandingan Hukum Perkawinan Pada Agama Yahudi, Nasrani, Islam dan Hukum Romawi, Jakarta : Pusta Alhusna, 1981 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Mandar Maju, 1990 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta : Sinar Grafika, 1995 Imron Abu Umar, Fat-hul Qarib Jilid 2, Menara Kudus, 1983 Lex J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995 Muhlis Usman, Kaidah-Kaidah Usuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990 Moh. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988) Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Bumi Aksara, 1996 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 1980
29
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta, 2005 Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Liberti, 1997) Undang-Undang Peradilan Nomor 7 Tahun 1989, JO Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.