1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Awal dari kehidupan berkeluarga adalah dengan melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kelak
dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam kehidupan
keluarga. Sedangkan hidup sebagai suamiistri diluar perkawinan (pernikahan) adalah perzinahan.Perzinahan adalah perbuatan terkutuk dan termasuk salah satu dosa besar. Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturanaturan hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat).1Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di lain pihak hukum adat yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah, yaitu hukum adat ang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang 1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 34.
1
Universitas Sumatera Utara
2
ini yang merupakan hukum yang tidak tertulis. Perkawinan
merupakan
bagian
hidup
yang
sakral,
karena
harus
memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut kedewasaan dan tanggung jawab serta kematangan fisik dan mental. Untuk itu, sebelum melangkah ke jenjang perkawinan harus selalu dimulai dengan suatu persiapan yang matang. Perkawinan yang hanya mengandalkan kekuatan cinta tanpa dimulai oleh persiapan yang matang dalam perjalanannya akan banyak mengalami kesulitan. Apalagi jika perkawinan hanya bertolak dari pemikiran yang sederhana dan pemikiran emosional semata. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang, karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19974 tentang perkawinan, terdapat beberapa hukum yang mengatur perkawinan diantaranya: 2 1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat. 2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat. 3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen berlaku Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia (S. 1993 No.74). 4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. 5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing. 6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2
Penjelasan butir 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
3
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangperkawinan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu syarat untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan. Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun". Diantara hikmah dari sebuah pernikahan ialah:3 1. Pemeliharaan terhadap masing-masing dari sepasang suami-istri dan penjagaan terhadap keduanya. 2. Menjaga masyarakat dari kejelekan dan rusaknya akhlak sehingga kalau sekiranya tidak ada pernikahan sungguh niscaya tersebarlah berbagai bentuk akhlak yang jelek di antara kaum pria dan wanita. 3. Masing-masing dari pasangan suami istri dapat merasakan kesenangan satu sama lainnya dengan ditunaikan kewajiban baginya dari hak-hak dan hubungan kekeluargaan. Sehingga seorang lelakilah yang akan memelihara wanitanya dan yang akan menunaikan nafkah bagi wanita tersebut baik berupa makanan, minuman, tempat tinggal maupun pakaian dengan baik. 4. Merupakan sarana untuk menyembungkan antara keluarga dan suku sehingga berapa banyak dua keluarga yang saling berjauhan tidak saling mengenal satu sama lainnya, dengan adanya pernikahan menghasilkan kedekatan dan hubungan di antara keduanya. 5. Melanggengkan suatu jenis manusia dengan jalan yang benar sehingga 3
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), hal.
10-11.
Universitas Sumatera Utara
4
pernikahan itu menjadi sebab bagi (kelangsungan) keturunan yang menyebabkan berlangsungnya (kehidupan) manusia. Lelaki dan wanita lajang hendaklah menyiapkan diri menuju pernikahan yang sesuai dengan tuntunan agama dan aturan negara.Jika belum memiliki cukup kekuatan motivasi untuk menikah, perhatikanlah berbagai tujuan mulia dari pernikahan yang dituntunkan agama.Menikah itu bukan semata-mata penyaluran hasrat biologis, namun menikah merupakan sarana terbentuknya masyarakat, bangsa dan negara yang kuat serta bermartabat.4 Terlepas dari mulianya tujuan dan maksud suatu pernikahan maka banyak upaya-upaya masyarakat untuk dapat mewujudkan pernikahannya. Salah satu konsep yang hidup di tengah masyarakat tersebut adalah apa yang disebut dengan istilah berpacaran. Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu
4
Cahyadi Takariawan, "Tujuan-Tujuan Mulia Menikah dan Berkeluarga", Melalui http://www.dakwatuna.com/2013/11/09/41935/tujuan-tujuan-mulia-menikah-dan-berkeluarga/ax zz37qCpKfQ8, Diakses tanggal 20 Juni 2014
Universitas Sumatera Utara
5
melakukan aktifitasnya. Suatu hal yang dipercaya lahir dari proses berpacaran tersebut adalah adanya upaya untuk saling mengenal pribadi masing-masing bagi insan yang melakukannya, dan dipercaya tahap pacaran oleh sebagian pelakunya adalah langkah ke depan untuk seterusnya dapat melangsungkan pernikahan. Sebagian lagi pelaku pacaran menganggap bahwa pacaran adalah masa untuk mengumbar janji, dan sebagian lainnya berupaya untuk memperkaya diri sendiri dengan konsep pacaran.Apapun tujuan pacaran tentunya berbeda konsep dan tujuannya bagi individu yang melakukannya. Terdapat berbagai variasi dari pelaksanaan perkawinan di Indoneia diantaranya perkawinan yang tidak dicatatkan dikenal dengan berbagai istilah seperti kawin bawah tangan, nikah siri, nikah secara agama, yakni perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pencatatan nikah, nikah tamasya, yakni perkawinan yang dipublikasikan di media masa dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, kantor catatan sipil bagi yang beragama non Islam. Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.5 Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat
5
Bagir Manan, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukum Keluarga
Universitas Sumatera Utara
6
bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti tetapi bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut agama.6 Pembahasan yang akan dicoba diteliti dalam penelitian proposal ini adalah untuk melihat suatu akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah oleh salah satu satu pasangan, sementara pasangan yang lain telah berkoban secara material sewaktu berlangsungnya masa pacaran tersebut. Keadaan sebagaimana digambarkan dari latar belakang uraian di atas banyak terjadi di tengah masyarakat.Dimana pasangan yang sudah berjanji saling menikah dan melengkapi janji-janji tersebut dengan persiapan untuk berumah tangga seperti rumah dan peralatannya serta hal-hal lainnya kandas di tengah jalan.Selain memberikan suatu akibat kerugian material berupa harta benda maka batalnya pernikahan yang yang telah direncanakan juga secara moril memberikan akibat kepada masing-masing pasangan. Sebagai bahan kajian dalam penelitian tesis ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Medan 01/Pdt.G/2013/PN Mdn antara Penggugat Herman Surya, yang memberi kuasa kepada Zakaria Bangun dan Ramlin Barus melawan Tergugat Indriany Kusuma. Sengketa antara para pihak sebagaimana disebutkan di atas bermula di sekitar dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, di Hotel RedTop, pada hari sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal.4. 6 Ibid, hal.6.
Universitas Sumatera Utara
7
tahun 2004, dimana antara pengggugat dan tergugat bermaksud membina rumah tangga, dan pada tanggal 6 Juni 2006 penggugat ada membeli satu pintu bangunan bertingkat bentuk Ruko 3 (tiga) lantai berikut tanah pertapakannya, awalnya untuk tempat tinggal bersama antara penggugat dengan tergugat, yang terletak di Jalan Brig.Jend.Katamso No.375-B Medan, pada waktu itu dibuat keatas nama tergugat. Kemudian rumah tersebut dengan biaya dari penggugat direnovasi. Selain itu penggugat juga ada memberikan uang pinjaman tunai kepada tergugat sebesar Rp. 62.000.000,. (enam puluh dua juta rupiah). Sehingga apabila ditotal keseluruhan uang pinjaman yang telah dibayarkan oleh penggugat kepada tergugat sebagaimana disebutkan diatas berjumlah sebesar Rp.1.052.821.500. (satu milyar lima puluh dua juta delapan ratus dua puluh satu ribu lima ratus rupiah). Ternyata hubungan antara penggugat dengan tergugat yang seyogyanya dilanjutkan dengan perkawinan seutuhnya tidak dilanjutkan walaupun secara adat Tionghoa telah dilakukan pesta pernikahan di restoran Benteng Medan, dan akhirakhir ini tergugat menghindar dan bermaksud menguasai seluruh harta yang dibeli dengan uang penggugat yaitu Tanah dan Bangunan berlantai 3 (tiga) yang terletak di Jalan Brigjend Katamso No.375-B, Kelurahan Sei Mati, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan. Peristiwa selanjutnya tergugat tidak mengembalikan hhutangnya kepada penggugat, penggugat mengalami kerugian dan kerugian mana wajar dan beralasan untuk ditanggung oleh tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar 2%(dua persen) dari Rp.1.052.821.500,- (Satu milyar lima puluh dua juta delapan ratus dua puluh satu
Universitas Sumatera Utara
8
ribu lima ratus rupiah) untuk setiap bulannya yang dihitung mulai sejak gugatan ini diajukan ke Pengadilan sampai tergugat melunasi semua hhutangnya kepada penggugat. Berdasarkan kasus di atas maka dapat dilihat bahwa sengketa yang muncul adalah disebabkan tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah. Suatu hal yang menarik dari keadaan di atas adalah bahwa pemberian yang didasari pada bentuk cinta kasih telah berujung pada sengketa yang dibawa penyelesaiannya ke depan meja hijau, bukan dengan dasar perkawinan tetapi dengan dasar terjadinya hhutang pihutang. Kenyataan ini menjadi lebih menarik lagi tatkala hakim dalam putusannya No. 01/Pdt.G/2013/PN Mdn menerima gugatan penggugat untuk sebagian.Dengan putusan tersebut maka dapat dikualifikasi bahwa suatu pemberian yang awalnya adalah suatu bentuk perwujudan dari rasa kasih dan sayang dapat diklaim kembali menjadi suatu bentuk hhutang pihutang. Kondisi dari uraian tersebut menjadi daya tarik bagi penelitian untuk menuangkannya dalam bentuk suatu penelitian karya ilmiah dengan judul “Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya Kesepakatan Untuk Menikah Terhadap Harta Kekayaan Pemberian Seorang Pria Terhadap Wanita (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.Mdn)". B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan dalam pelaksanaan penelitian tesis ini adalah: 1. Bagaimana pandangan hukum menurut KUHPerdata atas uang pemberian seorang pria kepada seorang wanita dengan tujuan untuk menikah padahal pernikahan
Universitas Sumatera Utara
9
tersebut tidak terlaksana? 2. Bagaimana kedudukan hukum kesepakatan untuk menikah terhadap harta pemberian salah satu pasangan sebelum pernikahan dilangsungkan? 3. Bagaimana hak menuntut pihak pria atas harta pemberian yang dikuasai pihak wanita yang tidak jadi menikah? C. Tujuan Penelitian Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, di samping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis. 7 Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan hukum atas uang pemberian seorang pria kepada seorang wanita dengan tujuan untuk menikah padahal pernikahan tersebut tidak terlaksana. 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum kesepakatan untuk menikah terhadap harta pemberian salah satu pasangan sebelum pernikahan dilangsungkan. 3. Untuk mengetahui hak menuntut pihak pria atas harta pemberian yang dikuasai pihak wanita yang tidak jadi menikah. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut: 7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2008), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
10
1. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya dilanggarnya kesepakatan untuk menikah dan akibatnya kepada harta kekayaan pemberian seorang pria kepada calon istrinya, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi masyarakat
secara umum
maupun
juga
pengadilan
berkenaan
dengan
dilanggarnya kesepakatan untuk menikah dan akibatnya kepada harta kekayaan pemberian seorang pria kepada calon istrinya.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan tesis ini belum pernah dilakukan oleh Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Sumatera Utara. Berdasarkan penelusuran kepustakaan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis hukum tentang akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita dengan mengambil salah satu kasus di
Universitas Sumatera Utara
11
Pengadilan Negeri Medan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.Mdn, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul, permasalahan serta metode penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun demikian ada beberapa judul tesis yang dapat diajukan memiliki suatu hubungan dengan judul penelitian tesis di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu: 1. Fitrianty Chuzaiman, Kedudukan Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, tahun 2009. Penelitian tesis ini mengetengahkan permasalahan: a. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? b. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam? c. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya? 2. Ahmad Yani, Analisis Yuridis Hak Istri ke-2 dan Seterusnya Atas Harta Perkawinan Dalam Perkawinan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tahun 2010. Penelitian tesis ini mengambil permasalahan tentang:
Universitas Sumatera Utara
12
a. Bagaimanakah hak istri ke-2 dan seterusnya atas harta perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan
bila
perkawinannya putus? b. Bagaimanakah pembagian harta bersama perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? c. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan pembagian harta perkawinan poligami? Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,8 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.9Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.10 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Menurut teori konvensional, tujuan hukum 8
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203. 9 Ibid., hal. 16. 10 M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penilitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
13
adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 11 Menurut W. Friedman, suatu undang-undang harus memberikan keadaan yang sama kepada semua pihak, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadipribadi tersebut.12 Pembahasan tentang hubungan perjanjian para pihak pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dalam masalah keadilan. Perjanjian sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu dan lain pihak menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Berdasarkan uraian di atas maka sebagai wacana dalam penelitian ini diangkat teori keadilan.Sama halnya dengan konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang keadilan merupakan konsep abstrak dan bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut masing-masing individu dalam masyarakat.13 Hukum lahir karena adanya tuntutan-tuntutan instrumental terhadap pemeirntah. Bagaimanapun hukum tidak mungkin dipisahkan dari keberadaan suatu pemerintah, karena seperti yang pernah dikatakan oleh Donald Black, hukum adalah pengendalian sosial oleh pemerintah.14Memang benar tidak semua aturan hukum dibuat oleh pemerintah tetapi suatu aturan barulah dapat dikatakan aturan hukum jika berlakunya memperoleh legitimasi oleh Pemerintah. 11 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan sosiologi). (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 85. 12 W. Friedman, Teori Dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kasus Atas Teori-Teori Hukum, Diterjemahkan Dari Buku Aslinya Legal Theory, Terjemahan Muhammad. (Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 21. 13
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hal. 223. 14 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
14
Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita maka harta pemberian tersebut harus dikembalikan kepada pria tersebut karena hal utama sebab pemberian tidak menjadi kenyataan yaitu perkawinan. Peraturan dasar perkawinan yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia adalah suatu aturan yang berlaku secara nasional dan memperoleh legitimasi oleh pemerintah perihal perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan. Hanya saja dalam perwujudannya di tengah masyarakat maka ada hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang muncul ke permukaan seperti masalah pemberian seorang pria kepada seorang wanita dengan adanya tujuan yang igin dicapai yaitu perkawinan, maka dalam kapasitas ini hukum sebagai wujud perkembangan masyarakat berusaha menampung keadaan tersebut melalui teori keadilan. Teori lain yang berhubungan dengan pembahasan di atas adalah teori kemanfaatan hukum (utilitarian theory).Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1831).Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik Buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari uraian tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa
Universitas Sumatera Utara
15
manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.15 Bila dikaitkan apa
yang dinyatakan Bentham pada hukum, maka baik
buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibatakibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesarbesarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum.Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibatakibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara. 16 Dengan keadaan tersebut maka akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan kemanfaatan bagi masyarakat yang diatur dalam hukum itu sendiri.Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313
15
Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.
93-94. 16
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79-80.
Universitas Sumatera Utara
16
KUH Perdata, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeenkomst dalam bahasa Belanda.Kata overeenkomst tersebut lazimnya diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan
terjemahan
dari
toestemming
yang
ditafsirkan
sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).17 Perbedaan pandangan di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan, yang dilakukan oleh subjek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut.Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion doctorum) perjanjian adalah perbuatan hukum yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, yang mengatakan bahwa ”perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum”. 18 Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana 17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1985),
18
Ibid.,hal. 97-98.
hal.97.
Universitas Sumatera Utara
17
seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.19 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.20 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.21 Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya (bestaarwaarde) itu.22 Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, di antaranya perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst). Perjanjian bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama
19 20
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 36. R.Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta, 1987),
hal. 49. 21
Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2003), hal.1. 22
Ibid.,hal. 65-66
Universitas Sumatera Utara
18
oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi seharihari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.Kemudian di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak berbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonom.23 Pasal 1319 KUH Perdata menegaskan semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUH Perdata. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Hukum perjanjian sendiri tercantum dalam Buku III KUH Perdata yang terdiri dari 18 Bab dan 631 Pasal, dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan 1864 KUH Perdata. Adapun syarat mengenai sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:24 a.
Adanya kata sepakat 23
24
Ibid.,hal. 67. Lihat Pasal 1320 KUH Perdata
Universitas Sumatera Utara
19
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian c. Adanya suatu hal tertentu d. Adanya sebab yang halal. Dalam perjanjian juga dilandasi oleh beberapa asas, yaitu:25 1.
2.
3.
4.
5.
Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan berkontrak kepada para pihak untuk : a. Membuat atau tidak membuat perjanjian b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta d. Menentukan bentuk perjanjiannya, baik lisan maupun tertulis. Asas Konsensualisme (consensualism) Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata, yang mana menentukan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang berjanji untuk mengikatkan diri. Asas ini menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak saja. Asas Kepastian Hukum (facta sunt servanda) Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas facta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang telah dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Maka daripada itu tidak diperbolehkan adanya suatu intervensi terhadap suatu subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Asas Itikad Baik (good faith) Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yang berbunyi: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini menjelaskan bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur diwajibkan untuk melaksanakan subtansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas Kepribadian (personality) Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam membuat suatu perjanjian, selain harus terpenuhinya syarat-syarat 25
Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Kompilasi Hukum Perikatan, dalam rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
20
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti tersebut diatas, di perlukan pula asas-asas yang melandasinya, maka dalam hal ini dipergunakan asas kebebasan berkontrak yang dapat dikaitkan dalam penilitian ini. Asas kebebasan berkontrak ini sendiri memberikan kesempatan bagi para pihak untuk sebebasbebasnya menimbang dan mencantumkan hasil buah fikiran atau pendapat atau keinginan para pihak, yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian dengan tetap mengindahkan undang-undang yang berlaku. Kebebasan berkontrak memiliki kaitan dengan penyelesaian perselisihan yangtimbul dari kontrak/perjanjian. Artinya para pihak bebas memilih/menentukan cara mereka menyelesaikan sengketa tersebut.Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) atau pun di luar pengadilan (non litigasi).Begitu pentingnya sengketa untuk diselesaikan secepat dan seefisien mungkin, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar, maka pada kesempatan ini, akandikaji lebih lanjut penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang telah memiliki sistemnya tersendiri. Demikian pula halnya dengan kesepakatan untuk menikah, tentunya memiliki efektivitas bagi para pihak yang melakukan kesepakatan tersebut seperti mempersiapkan segala sesuatu untuk melangsungkan suatu perkawinan.Kesepakatan untuk menikah juga secara lahiriah melahirkan suatu sikap emosi tertentu terhadap salah satu pasangannya sehingga melahirkan pemberian-pemberian yang merupakan wujud kepedulian salah satu pasangan kepada pasangan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
21
Apabila kesepakatan untuk menikah tersebut kemudian dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pihak lainnya yang telah berkorban memberikan sejumlah harta kepada pasangan lainnya tentunya mengalami kerugian yang sedemikian rupa.Oleh sebab itu pihak yang membatalkan kesepakatan dan telah menerima sejumlah harta tersebut harus dapat mengembalikannya kepada pasangan lainnya. 2. Konsepsi Konsep merupakan hal-hal yang dianggap penting sehingga digunakan dalam hukum, konsep ini sama pentingnya dengan asas maupun standard. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu Peranan proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27 Konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.28 Konsep
diartikan
sebagai
kata
yang
menyatakan
abstrak
yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.29 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu
26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397. Op.Cit., hal.7. 28 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34. 29 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hal.3. 27
Universitas Sumatera Utara
22
hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.30 Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat di bawah ini: a. Akibat hukum adalah akibat daripada perbuatan seseorang yang bertentangan dengan hukum. Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum.Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.31Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.32Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jualbeli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang
30 31
32
dan
mempunyai
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.5. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 243. Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
23
kewajiban untuk membayar barang tersebut. Begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum.33 b. Tidak dipenuhinya
kesepakatan
artinya dilanggarnya
kesepakatan
yang
diperbutan oleh para pihak. Dilanggarnya kesepakatan dalam kajian hukum perdata disebut dengan wanprestasi. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan: “Wanprestasi adalah berarti ketiadaan suatu prestasi dalam hukum perjanjian, berarti suatu hal harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaan janji untuk wanprestasi”.34Lebih tegas Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa: “Apabila dalam suatu perikatan si debitur karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan debitur itu wanprestasi”.35 c. Menikah adalah suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang didalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari kedua belaah pihak. Janji setia yang terucap merupakan sesuatu yang tidak mudah diucapkan. Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mendefinisikan 33 Ahmad Rifa'i, "Akibat Hukum", Melalui http://ahmad-rifai-uin.blogspot.com/2013/ 04/akibat-hukum.html, Diakses tanggal 28 Juni 2014. 34 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1991), hal. 44. 35 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
24
pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Adapun Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidza untuk memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” G. Metode Penelitian Dalam setiap penelitian pada hakekatnya, mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.36 Kata metode berasal dari yunani “Methods” yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.37 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif.yuridis normatif yang dimaksud pada penelitian ini adalah, berusaha melakukan pendekatan terhadap dasar hukum dan menganalisa permasalahan yang ada. Menganalisa hukum baik yang tertulis, maupun yang di putuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual, dan akurat 36
Jujun S.Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 328. 37 Koenjtraranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal.16.
Universitas Sumatera Utara
25
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki38 perihal akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita (analisis putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 01/Pdt.G/2013/PN.Mdn), maksudnya bahwa penelitian ini menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku ologi berkenaan dengan akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita dan analitis di artikan sebagai kegiatan menganalisa data secara komferenshif tentang akibat hukum tidak dipenuhinya kesepakatan untuk menikah terhadap harta kekayaan pemberian seorang pria terhadap wanita, dan ditujukan untuk membatasi kerangka studi pada suatu pemberian, suatu analisis, atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. 2. Sumber Data Data penelitian ini meliputi: a. Data sekunder. Yaitu data yang didapatkan melakukan penelitian lapangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Medan. b. Data Primer: 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru maupun pengertian baru mengenai studi gagasan dalam bentuk peraturan perundang-undangan seperti KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 38
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
26
1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI). 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan pelajaran mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahwa hukum penunjang yang memberi penunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah maupun internet sebagai pendukung. 3. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data, yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research). Untuk
mengumpulkan
data
sekunder maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.39 Metode ini tidak bisa dipisahkan dengan pendekatan masalah, spesifikasi
39
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cetakan keempatbelas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
27
penelitian, dan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan. Analisis kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.40 Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan.Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif. Setelah pengolahan data selesai dilakukan maka akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan akan dapat memberikan jawabanatas permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
40
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 13.
Universitas Sumatera Utara