13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebutuhan akan perumahan setiap tahun semakin meningkat di kota-kota besar yang menjadi pusat permukiman dan kegiatan niaga di Indonesia, karena perumahan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan seseorang, tidak hanya dalam fungsinya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai sarana pembinaan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan perumahan, khususnya di daerah perkotaan adalah disebabkan karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sedangkan persediaan tanah sangat terbatas, harga tanah yang cukup tinggi dan lokasi tanah yang tidak memungkinkan dimana dibutuhkan membangun perumahan dalam jumlah besar dengan memanfaatkan tanah yang relatif kecil. Dengan kata lain efisiensi pemanfaatan tanah yang diperlukan yaitu membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai mutlak diperlukan dan merupakan usaha yang paling baik. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai diartikan sebagai perumahan yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai yang dikenal dengan rumah susun yang dibangun untuk mengantisipasi
Universitas Sumatera Utara
14
kebutuhan akan perumahan, terutama bagi golongan masyarakat menengah kebawah dan mereka yang berpenghasilan rendah.1 Namun pada saat ini disamping sebagai akibat dari semakin padatnya penduduk dan pesatnya perdagangan dimana tanah-tanah dipusat-pusat kota sudah semakin terbatas, bagi golongan ekonomi yang lebih tinggi yang memerlukan fasilitas yang lebih baik, komunikasi yang cepat dan lancar, pembangunan rumah susun semakin diminati. Pembangunan rumah susun untuk golongan ekonomi lemah berbeda dengan untuk golongan ekonomi tinggi yang disebut flat, apartemen dan condominium dengan sifat mewah dan mempunyai fasilitas yang lengkap dan sifatsifat khusus.2 Adapun konsep pembangunan rumah susun ini lahir untuk menjawab keterbatasan tanah yang tersedia, dengan mempertimbangkan efesiensi dan efektivitas penggunaan tanah, mengingat kurang memungkinkan untuk membangun perumahan secara mendatar/horizontal. Hal tersebut di atas mendorong pemerintah untuk membuat Undang-Undang dan Peraturan tentang Rumah Susun yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 jo Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988. Alasan, tujuan dan atau dasar pembentukan Undang-Undang Rumah Susun (UURS) adalah :
1
Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Pencerahan MANDAILING, Medan, Tahun 2008, hal 176. 2 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
15
1. Demi terwujudnya kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara. 2. Demi terlaksananya tujuan/cita-cita luhur tersebut diperlukan perumahan yang layak dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat, terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah. 3. Dibangunnya perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, disebabkan dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan, perlu lebih ditingkatkannya kualitas lingkungan perumahan dimaksud, terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat, padahal luas tanah yang tersedia terbatas. 4. Didalam sistem rumah (perumahan) susun tersebut perlu diperhatikannya faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat.3 Rumah Susun di Indonesia, dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu sebagai berikut : 1. Rumah Susun Sederhana (Rusun), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN). 2. Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas/Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah. 3. Rumah Susun Mewah (Apartemen/condominium),selain dijual kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta. 4 Semua pembangunan Rumah Susun/Apartemen/Condominium tersebut di atas, termasuk flat, town house, baik untuk hunian maupun non hunian atau campuran keduanya, semuanya mengacu kepada Undang-Undang Rumah Susun sebagai dasar
3
Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, Tahun 1990, hal 1450. 4 M. Rizal Alif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di dalam Kerangka Hukum Benda, CV. Nuansa Aulia, Bandung, Tahun 2009, hal 71.
Universitas Sumatera Utara
16
hukum pengaturannya. Hal ini disebabkan dalam bahasa hukum semuanya disebut Rumah Susun.5 Tujuan pembangunan rumah susun adalah : 1. Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat 2. Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang 3. Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh 4. Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan 5. Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk. 6 Semakin maraknya pembangunan rumah susun/apartemen saat ini, berarti semakin banyak unit hunian yang harus ditawarkan pengembang kepada konsumen, mau tidak mau ini ”memaksa” bagian pemasaran pengembang atau agen properti menawarkan unit-unit hunian tersebut yang akan dan telah dibangunnya. Sebagai konsekuensi pasar bebas yang semakin kompetitif, berbagai strategi pemasaran dikembangkan, semua itu dilakukan agar semua unit dari rumah susun/apartemen yang dibangun cepat laku terjual, dengan harapan tentu saja nilai investasi yang ditanamkan segera kembali dan diharapkan bisa segera meraup profit. Akhir-akhir ini, banyak penawaran yang dilakukan pemasar atau agen properti hunian rumah susun/apartemen yang menawarkan penjualan unit hunian dengan pola atau strategi penjualan ”pre project selling”, yakni penjualan yang dilakukan sebelum proyek pembangunan properti dimulai, mereka biasanya menawarkan unit-unit hunian rumah susun/apartemen lewat berbagai ajang pameran properti, baik secara
5
Ibid. Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Tahun 2007, hal 20. 6
Universitas Sumatera Utara
17
sendiri maupun bersama, kepada konsumen, sementara bangunan fisik yang ditawarkan pengembang biasanya masih dalam bentuk gambaran maket gedung maupun brosur.7 Hal ini dilakukan berdasarkan atas pertimbangan ekonomi yaitu bagi pengembang untuk memperlancar perolehan dana murah dan kepastian pasar sedangkan bagi konsumen atau pembeli agar harga jual rumah lebih rendah karena calon pembeli membayar sebagaian dimuka. Di saat calon pembeli tertarik dengan penawaran seperti itu dan menyetujui penawaran dari pihak pengembang, biasanya bersepakat melakukan proses transaksi awal dalam bentuk pembayaran booking fee dan atau uang muka. Pembayaran ini mengindikasi niat pembeli untuk mendapatkan unit apartemen/rumah susun yang ditawarkan, meski benda yang ditawarkan secara fisik masih dalam bentuk lahan tanah, dan belum berwujud bangunan unit apartemen/rumah susun sebagaimana yang ditawarkan. Hal ini ditempuh pengembang dan konsumen menimbulkan adanya jual beli secara pesan lebih dahulu sehingga menyebabkan adanya perjanjian perikatan jual beli pendahuluan. Dalam Pasal 10 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun menyatakan bahwa : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu cara pemindahan hak tersebut adalah dengan jual beli yang merupakan salah satu dari bentuk perjanjian/persetujuan.8 7
Erwin Kallo, Panduan Hukum untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun (Kondominium, Apartemen dan Rusunami) Minerva Athene Pressindo, Jakarta, Tahun 2009, hal 24. 8 Op.cit, Pasal 10 angka 1 UU tentang Rumah Susun.
Universitas Sumatera Utara
18
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa : ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Subekti memberikan rumusan perjanjian adalah sebagai berikut : ”Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” 9 Perjanjian Perikatan jual beli merupakan perjanjian kesepakatan para pihak mengenai rencana para pihak yang akan melakukan jual beli dan mengatur tentang hak dan kewajiban sehingga bisa memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak yang membuatnya. Jual beli merupakan perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah saat tercapainya kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok yaitu barang dan harga, sekalipun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak. Sifat lain dari jual beli menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bahwa perjanjian jual beli bersifat obligator, artinya bahwa jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. Hubungan hukum seseorang dengan orang lain akan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Begitu pula dalam hal perjanjian jual beli 9
R. Subekti, Hukum Pejanjian,Intermassa, Jakarta, Tahun 1991, hal 4.
Universitas Sumatera Utara
19
apartemen/rumah susun antara pembeli (konsumen) dan pengembang ada hubungan hukum yang akan menimbulkan hak dan kewajiban, baik bagi konsumen maupun bagi pengembang. Hak dan kewajiban kedua belah pihak dituangkan dalam suatu akta, baik akta dibawah tangan maupun akta otentik. Untuk lebih memperoleh kepastian hukum, maka ada baiknya dibuat dengan akta otentik yang dibuat oleh Notaris. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka pihak-pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah susun harus mengacu pada Pasal tersebut. Salah satu unsurnya adalah kata sepakat. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (Overeen Stemende Will Verklaring) antara pihak-pihak. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi dalam hal ini tidak boleh hanya karena kemauan salah satu pihak saja ataupun terjadinya kesepakatan itu oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Kata sepakat itu sifatnya bebas. Dalam arti harus benar-benar atas kemauan para pihak yang mengadakan perjanjian tidak ada unsur : a. Paksaan, terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. b. Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. c. Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan. 10 10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, Tahun 1985, hal 135.
Universitas Sumatera Utara
20
Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pengembang dengan konsumen harus memenuhi ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata11 tersebut, sehingga perjanjian itu dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak, hubungan hukum yang timbul diantara mereka adalah hubungan Perdata, yaitu hubungan yang dikuasai oleh hukum perjanjian dimana mereka tunduk pada perjanjian yang mereka buat. Di dalam Perjanjian Perikatan Jual beli biasanya mengatur beberapa hal berikut : 1. Komparisi Perjanjian, yaitu para pihak yang akan menandatangani perjanjian jual beli. Dalam hal ini pihak pembeli/konsumen perlu mengetahui apakah badan hukum perusahaan pengembangan telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini penting sehubungan dengan pertanggungjawabannya bila perusahaan pengembang bubar dan pailit. 2. Premisi, yaitu penjelasan awal mengenai perjanjian yang harus menegaskan bahwa pengembang telah memiliki atau menguasai lahan lokasi proyek secara sah dan tidak dalam keadaan dijaminkan. Selain itu pengembang juga telah mendapat izin-izin yang diperlukan oleh proyek tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tentang Perjanjian Perikatan Jual Beli. 3. Isi Perjanjian Perikatan Jual Beli yaitu : a. Harga Jual dan biaya-biaya lain yang ditanggung konsumen. b. Tanggal serah terima fisik yang tidak boleh melebihi 18 bulan sejak pembayaran pertama. c. Denda keterlambatan bila pengembang terlambat melakukan serah terima fisik kepada konsumen, demikian pula denda keterlambatan jika konsumen terlambat melakukan pembayaran. d. Spesifikasi bangunan dan lokasi. e. Hak pengembang untuk membatalkan perjanjian bila konsumen lalai untuk melakukan pembayaran. f. Hak konsumen untuk membatalkan perjanjian, bila pengembang lalai akan kewajiban dengan pembayaran kembali seluruh uang yang telah disetor konsumen berikut dengan denda-dendanya sebagaimana pengembang membatalkan perjanjian bila konsumen lalai melakukan kewajibannya.
11
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa : Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Universitas Sumatera Utara
21
g. Penandatanganan akta jual beli haruslah ada kepastian tanggalnya dan denda bila terjadi keterlambatan serah terima fisik yang didenda. h. Masa pemeliharaan 100 (seratus) hari sejak tanggal serah terima unit rumah susun. i. Force majeure, dalam kondisi bagaiman dapat dikatakan terjadinya force majeure dan apa konsekuensinya, secara hukum tidak ada pihak yang dapat dituntut akibat adanya Force majeure, termasuk pengembang tidak wajib mengembalikan uang, dan pembelian dari pembeli. 12 Pada dasarnya, isi klausula dalam perjanjian perikatan jual beli wajib merujuk pada ketentuan yang termaktub dalam Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor : 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, Oleh karena ada perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman yang mempromosikan rumah susun/apartemen dengan penawaran perdana melalui berbagai pameran, padahal beberapa izin yang diperlukan seperti, izin prinsip, izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan belum diperoleh serta tanahnya pun belum ada dan untuk mengamankan kepentingan para perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman serta para calon pembeli rumah susun/apartemen dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak yang terkait, diperlukan adanya pedoman perikatan jual beli satuan rumah susun. Dengan dikeluarkanya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat tersebut, maka dimungkinkan pemasaran/penjualan satuan-satuan rumah susun sebelum rumah susun yang bersangkutan selesai pembangunannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perikatan jual beli yang dilakukan antara penyelenggara pembangunan rumah susun dengan calon pembeli.
12
Erwin Kallo, Op.Cit, hal 43.
Universitas Sumatera Utara
22
Hubungan jual beli antara pengembang dan konsumen adalah merupakan hubungan hukum, yaitu terjadi kesepakatan antara pengembang sebagai penjual dengan konsumen sebagai pembeli apartemen berlandaskan hukum. Hubungan hukum antara pengembang dan konsumen disebut dengan perjanjian jual beli adalah merupakan suatu perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak. Dalam hubungan hukum yang dituangkan dalam perjanjian itu adakalanya timbul masalah yang dilakukan oleh pengembang terhadap konsumen, misalnya pengembang tidak dapat menyelesaikan pembangunan apartemen tersebut sesuai dengan yang telah diperjanjikan,seperti yang terjadi pada pembangunan apartemen TRR di Medan. Dalam Perjanjian perikatan jual beli antara PT. ABS sebagai pengembang dari apartemen TRR dengan Tuan JJ sebagai pembeli/konsumen yang dibuat dihadapan Notaris SW Sarjana Hukum berdasarkan Legalisasi dengan judul Perikatan diri Untuk Melakukan Jual Beli Nomor : 1521/III/Leg/2005, disebutkan dalam perjanjian tersebut yaitu pada Pasal 4 (empat) menyebutkan : ”Bahwa Pihak pertama berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menyelesaikan dan menyerahkan rumah susun tersebut yang dibangun menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 diatas dalam tempo 20 bulan terhitung sejak tanggal penandatanganan surat ini dan bersamaan dengan menandatangani akta jual beli atas rumah susun tersebut secara resmi dihadapan Pejabat yang berwenang. Apabila pihak pertama lalai, maka untuk tiap-tiap hari lalai, pihak pertama dikenakan denda uang sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) yang harus dibayar dengan seketika dan sekaligus kepada dan di kantor serta dengan kwitansi dari pihak kedua atau wakilnya yang sah. Tanpa mengurangi aturan denda yang dimaksud di atas, apabila dalam tempo 1 bulan terhitung sejak tanggal yang dimaksud dalam ayat pertama di atas, pihak pertama belum juga memenuhi kewajibannya, maka pihak kedua berhak dan kepadanya oleh pihak pertama diberi kuasa untuk meneruskan atau menyuruh orang lain untuk menyelesaikan rumah susun tersebut dengan biaya dan ongkos
Universitas Sumatera Utara
23
pihak pertama yang besarnya akan ditentukan sendiri oleh pihak kedua, pembayaran mana akan diperhitungkan dengan sisa uang harga penjualan/pembelian dari rumah susun tersebut, yang akan dibayar pihak kedua kepada pihak pertama sebagaiman yang dimaksud dalam Pasal 2 sub b dan sub c diatas, ketentuan apabila ada sisa uang, maka sisa uang tersebut harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama dan apabila kurang, maka kekurangan tersebut wajib ditambah dan dibayar oleh pihak pertama kepada pihak kedua” Pihak Pengembang berjanji akan menyelesaikan dan menyerahkan rumah susun/apartemen tersebut dalam waktu 20 bulan terhitung sejak penandatanganan perjanjian jual beli tersebut, namun pada waktu yang telah ditentukan pengembang tidak dapat menyerahkan rumah susun/apartemen tersebut oleh karena bangunan rumah susun/apartemen tersebut tidak mempunyai izin ketinggian dari Menteri Perhubungan untuk sampai dengan 20 lantai, hanya 14 lantai sesuai dengan izin mendirikan bangunan, padahal rumah susun/apartemen yang di jual oleh pihak pengembang kepada pembeli/konsumen berdasarkan rencana pembangunan berada di lantai 18. Didalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak karena kesalahannya tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan bahwa pihak tersebut wanprestasi atau cidera janji.13 Oleh karena itu apabila atas perjanjian yang telah disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang
13
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini. Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, Tahun 2001, hal 18.
Universitas Sumatera Utara
24
menderita kerugian.14 Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut ialah dapat di minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Berbagai macam persoalan yang merugikan pihak konsumen diakibatkan oleh kondisi dan situasi yang dibuat oleh pihak pengembang yang membuat kedudukan konsumen sering kali berada dalam pihak yang tidak menguntungkan. Masih banyaknya pengembang yang lebih bersikap dan berorientasi profit dan pada akhirnya menjebak banyak konsumen mendapat kerugian. Di saat itulah konflik di antara kedua belah pihak mencuat ke permukaan, sehingga permasalahan yang semestinya diselesaikan bersama pun masuk ke ranah publik bahkan sampai ke pengadilan, seperti yang terjadi pada kasus di atas, di sinilah pengembang akhirnya harus mempertaruhkan kredibilitasnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut di atas, untuk kegagalan pengembang dalam jual beli apartemen, dengan judul penelitian ini adalah Analisis Yuridis Atas Kegagalan Pengembang Dalam Memenuhi Klausula Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/Pdt.G/2008/PN.Mdn). B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
14
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Tahun 2004, hal 115.
Universitas Sumatera Utara
25
1. Bagaimana bentuk-bentuk kegagalan pengembang dalam perjanjian jual beli apartemen
dalam
kasus
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
69/Pdt.G/2008/PN.Mdn? 2. Bagaimana kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian jual beli apartemen/rumah susun dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/Pdt.G/2008/PN.Mdn? 3. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim terhadap kegagalan pengembang dalam memenuhi klausula jual beli apartemen dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/Pdt.G/2008/PN.Mdn? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kegagalan pengembang dalam perjanjian jual beli apartemen. 2. Untuk mengetahui kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian jual beli apartemen. 3. Untuk mengetahui dasar hukum Hakim terhadap kegagalan pengembang dalam memenuhi klausula jual beli apartemen. D. Manfaat Penelitian Dari pembahasan masalah dalam kegiatan penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktek. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal
Universitas Sumatera Utara
26
maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan dengan kegagalan pengembang dalam memenuhi klausula jual beli apartemen. Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak yang terkait dalam persoalan jual beli apartemen terutama : 1. Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat mendatang apabila mereka ingin membeli apartemen dan akan membuat perjanjian perikatan jual beli apartemen. 2. Untuk mengetahui prinsip hukum yang mengikat para konsumer dalam jual beli apartemen dalam kenyataannya. 3. Memberi gambaran bagaimana penegak hukum menyikapi permasalahan yang ada, khususnya Pengadilan. E. Keaslian Penelitian. Berdasarkan
informasi
dan
penelusuran
kepustakaan
di
lingkungan
Universitas Sumatera Utara khususnya pada Perpustakaan Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Penelitian tentang rumah susun/apartemen pernah dilakukan yaitu oleh : 1. Lidya Merlin Sigalingging, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2005, dengan judul ”Perjanjian Jual Beli Rumah Susun Dengan Penyerahan Penggunaan Bersama Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit dengan permasalahan yaitu : a. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan pemberian kredit rumah susun.
Universitas Sumatera Utara
27
b. Tindakan-tindakan apakah yang dapat dilakukan pihak bank apabila debitur wanprestasi. c. Apakah perjanjian pendahuluan jual beli rumah susun merupakan perjanjian baku. 2. Muchairani, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2010, dengan judul ” Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di Dalam Kerangka Hukum Benda” dengan permasalahan yaitu : a. Bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun dalam kerangka hukum benda? b. Apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA? c. Bagaimana prosedur hukum perjanjian jual beli atas satuan rumah susun? 3. Irma Yulia, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2010 dengan judul ” Tinjauan Hukum Terhadap Bangunan Hotel Sebagai Objek Kepemilikan Bersama” dengan permasalahan yaitu : a. Bagaimanakah pelaksanaan sertifikat Cambridge Condominium & Shopping Mall berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang rumah susun?
Universitas Sumatera Utara
28
b. Bagaimanakah
penerapan
sistem
kepemilikan
bersama
dalam
mewujudkan kepastian hukum atas Hak Milik Satuan Rumah Susun pada Cambridge Condominium & Shopping Mall? c. Bagaimana pelaksanaan perjanjian perikatan jual beli dan sewa menyewa pada Cambridge Condominium & Shopping Mall ditinjau dari ketentuan Hukum Perdata Indonesia? Jika dihadapkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan diatas dengan penelitian ini adalah berbeda dan judul tentang Kegagalan Pengembang Dalam Memenuhi Klausula Jual Beli Apartemen (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 69/Pdt.G/2008/PN.Mdn) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.15 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.16
15
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, Tahun 2007, hal 6. 16 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Edisi 1, Andi, Yogyakarta, Tahun 2006, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
29
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.17 Kerangka teori dalam Penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.18 Teori Hukum itu sendiri adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan keputusan-keputusan hukum, yang untuk suatu bagian penting sistem tersebut memperoleh bentuk dalam hukum positif.19 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan menjelaskan gejala yang diamati. Teori yang menjadi pedoman dalam penulisan tesis ini adalah teori keadilan. Dimana teori keadilan tersebut untuk melindungi konsumen dalam perkara jual beli apartemen dimana pihak pengembang telah gagal memenuhi klausula dalam perjanjian jual beli apartemen. Teori keadilan dipelopori oleh Plato, yang mengkaitkan keadilan dengan prinsip-prinsip etika dari sikap tindak manusia. Menurut Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara
17
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1994, hal 80. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1991, hal 254. 19 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1999, hal 18
4.
Universitas Sumatera Utara
30
moral, bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia. Setelah itu, baru datang filosof Aristoteles, yang mengajarkan tentang prinsip-prinsip keadilan yang sangat berpengaruh, bahkan sampai saat ini, dengan jalan menganalisisnya secara telaten, sistematis, hati-hati dan tenang. Aristoteles mengartikan keadilan dalam arti sempit, hampir seperti pengertian keadilan dalam artinya yang modren. Dalam hal ini, keadilan dapat diartikan sebagai kesamaan perlakuan (equality) dan juga ”sesuai hukum” (lawfulness).20 Peraturan-peraturan yang mengatur tentang rumah susun harus sejalan dengan tujuan pembangunan hukum yaitu dapat melindungi pihak yang dirugikan dalam jual beli apartemen. Dalam penelitian ini pihak yang dirugikan adalah konsumen sebagai pembeli apartemen. Dalam hal ini tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, yaitu memberikan tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya. Keadilan tidak boleh dipandang sebagai penyamarataan, karena keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Hukum yang tidak adil dan tidak diterima akal sehat yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang. Keadilan hanya bisa di pahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak di wujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.
20
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, Tahun 2007, hal 83
Universitas Sumatera Utara
31
Oleh karena itu, apabila salah satu pihak dalam perjanjian merasa dirugikan oleh salah satu pihak lainnya, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian, keadilan serta ketertiban hukum. Asas keadilan harus mendapatkan perlindungan karena perjanjian tersebut sifatnya mengikat kepada pihak yang mengadakan perikatan sebagaimana asas hukum ”Pacta Sun Servanda” artinya perjanjian adalah Undang-Undang yang mengikat bagi yang membuatnya. Hanya saja, oleh karena hukum itu menghendaki kepastian maka perlu ada keseragaman tentang ukuran dari perjanjian, UndangUndang lalu mengatur dan menentukan syarat-syarat bagi perjanjian dengan mana dapat diadakan suatu perjanjian. Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguhsungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.21 Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenangwenang yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.22
21 22
Sudarno, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Tahun 1995, hal 49 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, Tahun
1988,
Universitas Sumatera Utara
32
Hubungan hukum dalam perjanjian setidak-tidaknya melibatkan dua pihak yang terikat oleh hubungan tersebut. Masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum itu berupa prestasi yang dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Munculnya hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata.23 Dari Pasal tersebut suatu perjanjian yang mengikat para pihak yang mempunyai kebiasaan untuk mengadakan segala jenis perjanjian asal tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata.24 Beberapa asas umum dalam perjanjian adalah : a. Terjadinya di antara dua orang atau lebih. b. Objeknya adalah prestasi yang terdiri dari : memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. c. Prestasi tersebut adalah tertentu atau dapat ditentukan. d. Prestasi tersebut harus yang halal dan dapat dilaksanakan. e. Prestasi bisa terjadi sekali perbuatan atau terus menerus. f. Perikatan umumnya bekerja timbal balik. g. Untuk memenuhi perikatan harta orang harus bertanggung jawab dengan seluruh kekayaannya. 25 Perjanjian yang telah dibuat secara sah mempunyai kekuatan atau mengikat pihak-pihak sebagai Undang-undang. Kadang-kadang di dalam pembuatan perjanjian,
23
Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa : ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang” 24 Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” 25 Hasnil Basri Siregar, Pengantar Hukum Indonesia, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, Tahun 1994, hal 77.
Universitas Sumatera Utara
33
Undang-undang mengharuskan pihak-pihak terkait untuk membuat perjanjian tersebut dengan akta otentik. Di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa asas-asas26, sebagai pendukung dari teori yang telah dipaparkan di atas yaitu : 1. Asas Kebebasan Mengadakan Perjanjian (Asas Kebebasan Berkontrak) Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Di dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap perlu dipertahankan, yaitu ”pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kepribadian hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. 2. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata yang menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (wil), yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubunganya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 3. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi
26
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Tahun 1996, hal 108-118.
Universitas Sumatera Utara
34
prestasinya di belakang hari, tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang. 4. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam suatu perjanjian terkandung suatu asas mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. 5. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusaia ciptaan tuhan. 6. Asas Keseimbangan Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika di perlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melaui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
Universitas Sumatera Utara
35
7. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak. 8. Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai
kewajiban
(hukum)
untuk
meneruskan
dan
menyelesaikan
perbuatanya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya. 9. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 10. Asas Kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata maka persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan dan UndangUndang. Pasal 1347 KUHPerdata mengatakan pula hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Perjanjian perikatan jual beli yang dibuat oleh pihak pengembang dan konsumen merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual), dalam hal ini pengembang mengikatkan diri untuk menjual apartemen kepada konsumen. Konsumen yang telah membeli apartemen tersebut berkewajiban membayar harga jualnya dalam bentuk angsuran uang muka dan sisanya dibayar kemudian hari dengan cara mencicil sesuai dengan klausula perjanjian yang dibuat. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peran konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstrak dan kenyataannya. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.27
27
Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1998,
hal 28.
Universitas Sumatera Utara
37
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarahan, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.28 Pentingnya defenisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa defenisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu : a. Rumah adalah Tempat untuk tinggal. Rumah juga mempunyai arti bangunan yang dijadikan manusia sebagai tempat tinggal selama periode waktu tertentu. b. Apartemen adalah Tempat tinggal yang terdiri atas ruang duduk, kamar tidur, kamar mandi, dapur dan sebagainya, yang berada pada satu lantai bangunan bertingkat yang besar dan mewah dilengkapi dengan berbagai fasilitas.29 c. Hak Apartemen adalah Suatu bagian dalam milik atas bangunan serta apa yang menjadi/merupakan bagiannya dan tanah dimana bangunan itu didirikan.30 d. Condominium adalah sebagai suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang dapat digunakan dan dihuni secara terpisah, serta dimiliki secara individual berikut 28
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal 133. M. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Kepemilikan Properti Orang Asing di Indonesia, PT. Mandar Maju, Bandung, Tahun 2010, hal 42. 30 Komar Andasasmita, Hukum Apartemen, Rumah Susun, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat, Bandung, Tahun 1986, hal 21. 29
Universitas Sumatera Utara
38
bagian-bagian lain dari bangunan itu dan tanah di atas mana bangunan itu berdiri yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki secara bersamasama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara individual. e. Satuan Rumah Susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.31 f. Pengembang adalah Suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas yang mempunyai kemampuan hukum sebagai subyek hukum, seperti halnya manusia bertindak sebagai pihak dalam jual beli. g. Konsumen/pembeli adalah Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain. h. Klausula adalah Pasal yang menjadi isi dalam suatu perjanjian. i. Perjanjian jual beli adalah Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerakan suatu benda dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Untuk 31
Lihat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 1angka 2.
Universitas Sumatera Utara
39
tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar lingkungan permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparisi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.32 2. Metode Pendekatan Demi tercapainya penelitian yang memberikan identifikasi masalah, sangat ditentukan dengan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.33 Pendekatan normatif yang digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi Peraturan PerundangUndangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori. Penelitian normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum,
32
Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, Tahun 1990, hal 14. 33 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, Tahun 2008, hal 57.
Universitas Sumatera Utara
40
sumber-sumber hukum, Peraturan Perundang-Undangan yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder dan data primer. A. Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari : a. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah. b. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum berupa peraturan perundangundangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulis tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan ditentukan. 4. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan
Universitas Sumatera Utara
41
hasilnya maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Dokumen Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kulitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan nara sumber hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,34 yaitu metode yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa deskriptif mengenai subjek yang diteliti.35 Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan serta dievaluasi, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, kemudian ditarik suatu kesimpulan. Sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan. 34
Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Universitas Indonesia Press, Tahun 1992, hal 15-20 35 Ibid, hal 15.
Universitas Sumatera Utara