BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Anak adalah pelita dan harapan bagi suatu masyarakat, bangsa, dan negara yang kelak menjadi motor penggerak bagi kehidupan bermasyarakat, dan bernegara demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Hidup matinya suatu bangsa dimasa mendatang berada di pundak anak. Agar kelak anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya seperti mendapatkan pendidikan, dilindungi, dan disejahterakan. Sekarang ini yang terjadi adalah semakin banyaknya kita jumpai anak yang putus sekolah bahkan ada yang tidak sempat mengecap pendidikan. Hal ini merupakan bukti nyata dari ketidak mampuan masyarakat dan pemerintah untuk menjamin pendidikan bagi anak, yang disebabkan oleh kemiskinan. Ketika krisis ekonomi tak kunjung usai keinginan untuk segera membebaskan anak-anak Indonesia usia sekolah (7-15 tahun) dari ancaman buta huruf dan kemungkinan putus sekolah tampaknya semakin jauh dari harapan. Dalam acara rapat koordinasi Nasional Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun di Sawangan Bogor, 2 Maret 2002 lalu, Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan secara resmi telah mengemukakan rencana pemerintah untuk menunda waktu penyelesaian penuntasan Program Wajar Diknas lima tahun kebelakang, yang semula tahun 2004 menjadi tahun 2009. Alasan pemerintah mengundurkan target waktu
10
penuntasan program pendidikan dasar tersebut, selain karena situasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya pembengkakan jumlah penduduk miskin, juga karena keterbatasan situasi keuangan negara (Suyanto, 2002:197). Seperti yang kita ketahui bahwa masih banyak penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan dan kemiskinan itu yang membuat anggota masyarakat kurang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk di dalamnya pendidikan. Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 lalu, sebetulnya waktu itu telah diproyeksikan sekitar 35 juta anak usia 7-15 tahun sudah bisa bersekolah di jenjang SD dan SLTP. Tetapi, akibat inflasi, gelombang PHK, kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan tekanan kemiskinan yang semakin parah, acap kali terjadi keluarga miskin yang ada terpaksa mengorbankan kelangsungan pendidikan anakanaknya, dan lebih memilih mengeluarkan atau tidak meneruskan sekolah anaknya baik untuk sementara waktu maupun untuk seterusnya. Pada tahun ajaran 1998/1999 jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah diperkirakan mencapai 5-6 juta dan diduga akan terus bertambah jika kemampuan pemerintah untuk memberikan beasiswa bagi anakanak dari keluarga tidak mampu menurun. Pada tahun 2006 saja jumlah anak putus sekolah di Indonesia sudah mencapai 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20% menjadi 11,7 juta jiwa. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SLTP/SMP, yaitu 48%. Di tingkat SD tercatat 23% sedangkan presentase jumlah putus sekolah ditingkat SLTA/SMA adalah 29%. Jika digabungkan kelompok usia pubertas yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77%. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang
11
(http://ayomerdeka.word press.com. ). Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Sedangkan data/persentase jumlah anak putus sekolah di Sumatera Utara berkisar 8,08% dari 448.893 penduduk Medan yang berada pada usia sekolah 7-18 tahun atau sekitar 36.288 jiwa. Dari persentase tersebut diketahui jumlah siswa yang putus sekolah tertinggi/besar di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut data statistik kota Medan bahwa presentase jumlah anak putus sekolah pada tahun ini yang putus sekolah memasuki SMA berkisar 23,9% dari 109.898 remaja kelompok usia 16-18 tahun. Jumlah ini terpaud jauh dari siswa putus sekolah saat memasuki SMP berkisar 6,25% dari 112.636 remaja kelompok usia 13-15 tahun dan berkisar 1,42% anak putus sekolah pada tingkat SD (kelompok umur 7-12 tahun) 223.356 anak (http://bainfokom sumut.go.id). Apabila kemiskinan ini tetap dipertahankan tanpa ada usaha yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, maka dapat mengakibatkan terbunuhnya anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus bangsa. Kaum muda yang seharusnya menjadi kaum intelektual akan “hilang”. Seharusnya hal tersebut tak seharusnya terjadi, apabila kita (pemerintah maupun masyarakat) bekerja sama dan berusaha dalam menanggulangi masalah ini. Oleh karena itu sekaranglah saatnya kita harus bertindak cepat untuk mempersiapkan anakanak sebagai generasi penerus bangsa agar mereka tumbuh selayaknya anak-anak lainnya yang dapat bersekolah tanpa harus memikirkan mencari nafkah atau menjadi pekerja anak untuk menyambung hidupnya. Sebagai alat untuk mempersiapkan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa adalah dengan memberikan pendidikan yang benar-
12
benar sesuai dan kebijakan yang menyangkut pendidikan tersebut juga harus memperhitungkan berbagai hal yang salah satu diantaranya adalah dari segi perekonomian masyarakat. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan oleh semua orang tanpa terkecuali. Pendidikan juga merupakan alat yang sangat strategis digunakan dalam usaha untuk mengentas kemiskinan. Oleh karena itu, pendidikan mutlak diperuntukkan bagi rakyat. Kunci sukses pembangunan dimasa mendatang bagi bangsa Indonesia ialah pendidikan. Sebab lewat pendidikan diharapkan setiap individu dapat meningkatkan kualitas keberadaannya dan mampu berpartisipasi dalam gerak pembangunan. Pendidikan merupakan alat untuk memperbaiki keadaan sekarang, juga untuk mempersiapkan dunia esok yang lebih baik serta lebih sejahtera. Di samping itu pendidikan merupakan masalah yang amat kompleks dan teramat penting, karena menyangkut macam sektor kehidupan bagi pemerintah dan rakyat (Suprayogo, 2004: 23). Melihat begitu pentingnya pendidikan untuk rakyat, pemerintah telah menyediakan fasilitas untuk pendidikan seperti Universitas atau Perguruan Tinggi, sekolah-sekolah baik itu SD, SLTP, SLTA, Pusat Kegiatan Belajar Masyrakat (PKBM), Balai Latihan Kerja, dan sebagainya. Kesemuanya ini mencakup pendidikan formal dan non-formal dan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan ataupun keterampilan rakyat. Hal ini merupakan sasaran dari pada tujuan Nasional yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu juga mengigat hak-hak Warga Negara yang tercantum dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Serta kewajiban pemerintah
13
untuk menyelenggarakan pendidikan nasional seperti yang tertulis pada pasal 31 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional”. Melihat hal tersebut, maka pemerintah dalam rangka meningkatkan pemerataan atau
perluasan
akses
terhadap
pendidikan
dan
relevansi
pendidikan,
serta
mengembangkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah dan masyarakat, maka saat ini pemerintah telah menggalakan program pendidikan diluar sekolah (PLS) diberbagai daerah. Ini bertujuan agar anak putus sekolah bisa kembali belajar di lembaga non formal yang telah disediakan di setiap daerah. Pendidikan luar sekolah berfungsi untuk mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta membangun sikap kepribadian profesional. Salah satu program pendidikan di luar sekolah (PLS) ialah Pusat Belajar Masyarakat (PKBM). Untuk mengurangi angka anak putus sekolah yang besar tersebut maka keberadaan Lembaga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sangat diperlukan. PKBM yang mulai hadir pada pertengahan 1998, merupakan sebuah program pelayanan pendidikan luar sekolah yang dirancang berbasis pada masyarakat. Program ini hadir diprioritaskan untuk melayani masyarakat yang tidak tertampung dalam sistem persekolahan formal. Masyarakat optimis dengan keberadan PKBM-PKBM ini untuk menunjang kebehasilan pendidikan anak-anak yang banyak tertinggal akibat putus sekolah
karena
terpaksa
membantu
orang
tua
mencari
nafkah
(http://www.fasilitator.masyarakat.org/id/index). Dalam kenyataannya, tidak hanya pemerintah yang berhak atau berkewajiban menangani masalah sosial yang berhubungan dengan kesempatan mengeyam pendidikan
14
untuk anak miskin ini, tetapi setiap orang wajib merasa terpanggil untuk mengatasi setidaknya meminimalisasi masalah ini. Di Indonesia sudah banyak lembaga sosial yang turut melibatkan diri, baik itu dalam bentuk yayasan sosial, LSM maupun panti asuhan yang didirikan oleh pihak swasta. Keterlibatan dari setiap yayasan maupun lembaga sosial diharapkan mampu mengurangi masalah sosial anak miskin untuk dapat mengenyam pendidikan. Bentuk keterlibatan mereka terlihat dari berbagai bantuan yang berupa bantuan dana untuk menyekolahkan anak, membuat rumah singgah bagi anak jalanan, memberikan pendidikan di sektor informal agar anak dapat merasakan pendidikan seperti yang dirasakan oleh anak-anak dari keluarga mampu lainnya (Zuhairi, 2006:38). Salah satu yayasan sosial yang bergerak untuk menangani masalah pendidikan dari pada anak-anak miskin ini adalah Yayasan Peduli Anak Sumatera Utara. Yayasan Peduli Anak Sumatera Utara hadir ditengah-tengah masyarakat untuk memberikan pendidikan dan keterampilan dalam meningkatkan potensi anak-anak yang putus sekolah melalui pendidikan non-formal di PKBM Anak Sumatera, yang diharapkan dapat memberikan kesempatan anak putus sekolah mendapatkan pendidikan agar mereka mempunyai pengetahuan yang cukup dan memberikan pelatihan keterampilan agar mempunyai semangat maju dan memperoleh pekerjaan. Yayasan Peduli Anak Sumatera Utara (YAPENSU) berperan penting bagi perkembangan pendidikan anak putus sekolah dan meningkatkan sumber daya manusia. Melihat YAPENSU sebagai yayasan yang berperan aktif memberikan pendidikan kepada anak miskin. Hal ini membuat saya tertarik melakukan penelitian di yayasan tersebut dan mengangkat masalah ini untuk
15
dikaji secara mendalam, yang tertuang dalam judul “EFEKTIVITAS YAPENSU DALAM MENANGANI ANAK PUTUS SEKOLAH”.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah efektivitas YAPENSU dalam menangani anak putus sekolah ?”.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui efektivitas YAPENSU dalam menangani anak putus sekolah. 2. Untuk mengetahui sejauh mana program belajar mengajar di YAPENSU dalam memberikan pendidikan bagi anak putus sekolah. 1.3.2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis sendiri adalah dapat mempertajam kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah dan menambah pengetahuan di bidang pelayanan sosial. 2. Bagi fakultas, untuk memperbanyak refrensi karya ilmiah yang menyangkut efektivitas lembaga dalam menangani anak putus sekolah.
16
3. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat dalam upaya penanganan anak putus sekolah.
1.4. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan
BAB II
: TINJAUN PUSTAKA Dalam bab ini menguraikan secara teoritis variable-variabel yang diteliti, karangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III
: METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB IV
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian.
BAB V
: ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya.
BAB VI
: PENUTUP Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian
17