BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang. Kesadaran masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa, bernegara
dan
bermasyarakat
telah
pula
mendapatkan pelayanan yang lebih baik,
meningkatkan
tuntutan
sebagai hak warga negara,
sebaliknya aparatur pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan, karena untuk itulah negara ini ada. Dengan perkataan lain peningkatan kesejateraan masyarakat merupakan raiso d’etre, Negara dan Pemeirintah, karena itu aparat penyelenggara pelayanan yang bertanggung jawab, wajib melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan, sekaligus memberi jaminan dan kepastian bahwa pejabat tata usaha negara akan memberikan pelayanan yang diperlukan kepada masyarakat. Salah satu segi pelayanan oleh Pemerintah adalah layanan bidang kesehatan, hal ini dikarenakan kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pengelolaan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi
pembinaan sumber daya manusia
Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Pengelolaan kesehatan hakekatnya
menyangkut semua segi
kehidupan baik fisik, mental maupun sosial ekonomi, dan dalam bidang
1
kesehatan telah terjadi perubahan orientasi, baik tata nilai maupun pemikiran, terutama upaya pemecahan masalah dibidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, social dan budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut
akan
mempengaruhi
proses
penyelenggaraan
dalam
pengelolaan
pengelolaan
kesehatan. Disamping
hal
tersebut
diperhatikan jumlah penduduk yang istiadat,
menghuni
ribuan
pulau
kesehatan
perlu
terdiri dari berbagai suku dan adat yang
terpencar
dengan
keadaan
penduduk, keadaan ekonomi, keadaan pendidikan, keadaan lingkungan serta keadaan perilaku masyarakat. Penjelasan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
1992
tentang
Kesehatan, secara tegas menyebutkan bahwa“Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan penderita, secara bersangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan kesehatan
yang
menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) harus dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Berkenaan dengan itu peningkatan pelayanan kesehatan melalui perspektif hukum, diwujudkan dengan melengkapi perangkat hukum, sebagai landasan atau arah pengelolaan kesehatan yang saat ini ditengarai dengan, pertama Perubahan
orientasi publik, kedua, peningkatan kesadaran
mengenai arti kesehatan, ketiga, Negara dihadapkan suatu kenyataan untuk
2
melayani warga Negara yang menghuni di ribuan pulau yang tersebar dan kekurangan fasilitas kesehatan. Ditinjau dari aspek penyediaan peraturan perundang-undangan, pengelolaan hukum kesehatan, dapat dikatakan telah mencukupi, namun dalam kenyataan praktek, dan bervariasinya kasus kesehatan, tampak masih adanya celah kekosongan. Kompilasi
hukum
yang
mendiskripsikan
peraturan
perundang-
undangan bidang Kesehatan, dimaksud untuk menjawab pertanyaan akademis, mengapa kasus-kasus di bidang kesehatan masih senantiasa terjadi padahal penyediaan perangkat peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan telah disediakan dan di sempurnakan dari tahun ke tahun mengikuti perubahan dan dinamika masyarakat. Guna memberikan gambaran yang konkrit, kompilasi ini berusaha untuk menghadapkan antara ketersediaan peraturan perundang-undangan dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek. Sejauhmana perangkat lunak tersebut mampu menampung aspirasi publik yang bermaksud memperoleh layanan publik di bidang kesehatan, Mengingat luasnya cakupan dan tingkat kesadaran rakyat mengenai arti kesehatan, kompilasi ini memfokuskan bahasan, pada a).
Ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan
mengenai
kerumahsakitan b).
Pelayanan kerumahsakitan terhadap masyarakat miskin
c)
Publik yang membutuhkan layanan kesehatan, berdomisili di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
3
Pemilihan wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta didasarkan pada anggapan bahwa kondisi kondisi itu akan mampu merefleksikan kenyataan praktek, mengingat sifat heterogenitas masyarakat dan tingkat kelayakan kehidupan masyarakat . Selain mengedepankan wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta juga akan diuraikan beberapa kasus dari daerah sekitar atau perbatasan dengan Jakarta, dan daerah lain yang memiliki criteria yang sama. Persoalan yang mengemuka adalah adanya suatu kenyataan bahwa dinamika masyarakat tidak selalu dapat diantisipasi dengan penyediaan perangkat peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, perlunya di kaji kembali metode relasi pengaturan di bidang Kesehatan yang saat ini telah diterapkan.
2.
Maksud dan Tujuan. Maksud kompilasi ini adalah untuk mendiskripsikan problema peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dalam penerapannya dan sejauhmana telah dapat memenuhi kebutuhan publik. Untuk itu, kegiatan kompilasi dilakukan melalui pengumpulan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pelayanan dan pengelolaan Kesehatan, khususnya di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan dihadapkan pada kenyataan praktek. Oleh karena itu, tujuan dari kompilasi ini adalah memperoleh suatu kumpulan berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi masyarakat, pengguna hukum .yang berkaitan
4
dengan pelayanan publik di bidang kesehatan sebagai salah satu fungsi utama Pemerintah Daerah.
3.
Ruang Lingkup. Cakupan kompilasi ini dibatasi pada pelayanan publik dibidang kesehatan, termasuk didalamnya kebijakan Pemerintah Daerah Khusus Ibu kota tentang pengaturan retribusi kesehatan.
D.
Metodologi Kompilasi Berangkat dari makna secara etimologi, yang oleh Black Law Dictionary diartikan bahwa Compilation adalah: “bringing togher of preexisting statutes in the form in which they were
enected,
the removal of section which have been repeated and the substitution
with of
amandement in an arrangement designed to facilitate their use. A literary production composed of the works or selected extracts of other
and
arranged methodical manner”. Kompilasi ini dilakukan melalui pengumpulan Peraturan Perundangundangan, Peraturan Menteri, ada surat edaran Menteri, yang khusus mengatur hal-hal di bidang Kerumahsakitan, sebagai upaya memberikan gambaran pengelolaan kesehatan khususnya kerumahsakitan. Pemilihan peraturan perunang-undangan yang dikumpulkan tersebut, menggunakan bahan, literatur hasil penelitian , kajian, analisa dan evaluasi hukum di bidang pelayanan publik,
sebagai parameternya. Hasil
pengumpulan bahan dimaksud diintegrasikan dengan berbagai kebijakan
5
dan pengaturan yang khusus, bermaksud memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang menggunakan jasa rumah sakit. Untuk khususnya
mengetahui Pemerintah
sejauhmana Propinsi
peranan
Daerah
Pemerintah
Khusus
IbuKota
Daerah, Jakarta,
memberikan layanan kesehatan bagi golongan masyarakat miskin di Rumah Sakit , Kompilasi
ini dilengkapi dengan berbagai evaluasi
terhadap
Kebijakan Pemerintah Provinsi mengatur besarnya retribusi
5.
Jadual Kegiatan. Januari – Maret, Persiapan/Penyusunan Proposal April – Mei,
Inventarisasi Bahan, pembahasan Proposal
Juni – Juli, Diskusi, Pembagian tugas Agustus – September, pengumpulan tugas-tugas tim-diskusi lanjutan. Oktober – Nopember, Penyusunan Laporan akhir Desember - Penyerahan Laporan akhir.
6.
Susunan Persoanlia.
Ketua
: Nurmadjito, S.H.,M.H.
Sekretaris
: Dra. Diana Yusyanti, MH.
Anggota
: 1. Brian A. Prastyo, S.H. 2.Km Jauhhari, S.H. 3. Indah Harlina, S.H.,M.H 4. Rianti Anggraini, S.H.MARS. 5. Andriani, S.H.
6
6. Drs. Sularto, S.H. 7. Yunan Hilmy, S.H.,M.H. 8. Bungasan Hutapea, S.H. Asisten :
1. Drs. Seniman 2. Dadang Iskandar, S.Sos
Pengetik : 1. Edi Wikarta 2. Tri Sadewo Y..
7
BAB II GAMBARAN UMUM PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH
1.
Dimensi Pelayanan Publik Amanat Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak,
hakekatnya
Negara Republik Indonesia sebagaimana
menegaskan Pembukaan
tujuan Undang-
undang Dasar Tahun 1945 bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan semata-mata menciptakan masyarakat sejahtera (social welfare), adil dan makmur secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tujuan tersebut harus dilaksanakan secara komprehensif melalui suatu penataan tugas dan kewenangan aparatur, dan hubungan hukum antar warga negara dengan pemerintah. Salah
satu
upaya
pencapaian
tujuan
negara
adalah
menetapkan Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi utama Pemerintah.
Pelayanan publik dari perspektif politik dimaksudkan
menjadi salah satu alasan sekaligus tujuan dibentuknya negara, sekaligus merupakan refleksi dari pelaksanaan peran negara melayani warga
negara
pembentukan
berdasarkan negara.
Peran
kontrak
sosial
(social
negara
dalam
pelayanan
contract) publik
dilaksanakan oleh suatu pemerintahan yang dijalankan oleh kekuatan politik yang berkuasa. Sehingga parameter aspiratif atau tidaknya 8
kekuatan politik dalam meraih dukungan masyarakat didasarkan pada komitmen dan pelaksanaan komitmen kekuatan politik tersebut dalam hal Pelayanan publilk. Dari perspektif sosial budaya, pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat demi mencapai kesejahteraan sosial yang di dalam pelaksanaannya penuh dengan nilai-nilai, sistem kepercayaan, dan bahkan unsur religi yang merupakan refleksi dari kebudayaan dan kearifan lokal yang berlaku. Dari sisi ini, pelayanan publik tidak hanya penting dari segi kualitas
material,
seperti
ketetapan
waktu,
melainkan
tingkat
penyesuaian aparat pelayanan dengan sistem sosial budaya yang berlangsung di tempat melakukan pelayanan. Aspek yang dipuaskan bukan hanya lahir, termasuk bathin masyarakat, sehingga masyarakat makin memberikan kepercayaan kepada pemerintah. Pelayanan publik ditinjau dari dimensi ekonomi, dimaksudkan bahwa penyediaan pelayanan publik yang diharuskan dilakukan oleh pemerintah dikarenakan sektor swasta tidak bersedia memproduksi pelayanan tersebut sebagai akibat adanya kegagalan pasar (market failure) atau karena secara alamiah (natural), pelayanan tersebut harus disediakan secara eksklusif oleh negara. Dari sisi hukum, pelayanan publik merupakan suatu ketentuan konstitusi yang wajib diberikan oleh pemerintah guna memenuhi hakhak warga negara dan atau penduduk atas suatu pelayanan. Maknanya, tidak adanya suatu kewajiban dari pemerintah untuk memberikan layanan publik selama hal itu tidak dicantumkan dalam
9
ketentuan hukum, atau, sebaliknya tidak ada hak dari warga negara atau penduduk untuk menuntut suatu pelayanan dari pemerintah selama alas hak itu tidak tercantum dalam suatu aturan hukum. Dari berbagai dimensi tersebut, Pelayanan Publik
dimaksud
kan sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat; baik atas pengadaan barang, jasa maupun atas informasi yang diperlukan masyarakat. Tegaknya sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh ada tidaknya pelayanan yang memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Itu
sebabnya Undang-Undang Dasar Tahun 1945
mengamanatkan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat, karena Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa.
2.
Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Negara Meningkatnya
kesadaran
masyarakat
dalam
kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat telah pula meningkatkan tuntutan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, karena hal ini merupakan hak warga negara. Sebaliknya aparatur pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan, karena untuk itulah negara didirikan.
Dengan
lain
perkataan:
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat merupakan raison d'entre negara dan pemerintah. Karena itu aparat penyelenggara pelayanan yang bertanggung jawab, wajib melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan yang
10
telah ditetapkan, sekaligus memberi jaminan dan kepastian bahwa pejabat tata usaha negara akan memberikan pelayanan yang diperlukan kepada masyarakat. Pada umumnya, pelayanan publik harus diberikan oleh badan/pejabat
tata
usaha
negara
untuk
dan
atas
nama
Pemerintah/Lembaga Negara di Pusat dan Daerah, sangat luas ruang lingkupnya, antara lain meliputi kewenangan pemberian izin, sertifikat (tanda bukti), penyediaan barang atau jasa, dan pemberian informasi yang berkaitan dengan seluruh bidang pemerintahan. Dengan demikian,
instansi
pemerintah
mempunyai
kewajiban melayani
masyarakat yang diperlukan. Pelayanan publik atau dalam artian pemenuhan tanggungjawab pemerintah menyediakan barang atau jasa publik untuk kebutuhan rakyat awalnya menjadi tuntutan dan lambat laun menjadikan mekanisme
mengkontrol
kebijakan
pemerintah.
Berdasarkan
perspektif ini pelayanan publik menjadi tanggung jawab pemerintah dan oleh sebab itu harus memenuhi kriteria bahwa produk tersebut merupakan kebutuhan
setiap orang atau masyarakat dalam kondisi
tertentu dan atau sifatnya sedemikian rupa, sehingga: a. Apabila penyediaan dilakukan oleh swasta dapat menimbulkan ketidakadilan; b. ketidakbersediaan swasta dikarenakan tidak menguntungkan/ tidak memberikan benefit, atau terjadi kegagalan pasar.
11
Oleh karena kedudukannya itu, barang publik harus diproduksi secara efisien, efektif, transparan, sehingga biaya atau tarifnya murah, terjangkau oleh publik dan cukup tersedia disetiap saat rakyat membutuhkan. Dari kriteria itu, untuk memahami batasan barang publik, dilakukan dengan cara memasuki ruang lingkup publik sektor yang terdiri dari 4 (empa) jenis, yaitu: a.
barang publik adalah semua barang atau jasa yang dibutuhkan oleh semua pihak yang tidak diproduksi oleh sektor swasta.
b.
produksi barang publik mengeksternalisasi pengaruh negatif dalam perhitungan biaya produksi, yang seharusnya dapat diinternalisasi.
c.
produk barang publik memiliki karakter monopoli secara alamiah yang hanya diproduksi oleh satu produsen.
d.
pendistribusian barang publik memerlukan intervensi pemerintah guna menghindari ketidakmerataan atau ketidaksetaraan antar individu, daerah, waktu sebagai akibat adanya hukum permintaan dan penawaran.
Berdasarkan kriteria itu, peran pemerintah sangat menentukan untuk memaksimalkan kepentingan publik dan indikator keberhasilan menyediakan keperluan publik diukur dari social benefit yang pada gilirannnya akan memperoleh kepercayaan rakyat. Oleh karena itu acuan untuk melakukan pelayanan publik, digunakan hal-hal sebagai berikut:
12
a. pelayanan yang efisien,
yaitu bekerja berdasarkan prinsip
rasionalitas ekonomi seperti meminimumkan biaya; b. integritas
dalam
pelayanan
dengan
menghindarkan
keterpengaruhan kepentingan pihak lain selain memaksimalkan kepentingan publik; c. pelayanan non-diskriminatif; d. keputusan dan pekerjaan pelayanan yang terakunkan (akuntable); e. keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan yang mampu memberikan alasan rasional dalam hal penyediaan pelayanan; dan f. pelayanan yang costumer oriented pada kepentingan publik.
3.
Barang Publik: Jasa Publik dan Layanan Civil Berangkat dari kenyataan tersebut, Pelayanan Publik terkait dengan out put yaitu barang publik, dan
barang publik ditengarai
dalam dua jenis, yaitu, layanan civil, dan jasa publik, sebagai berikut:
a. Layanan civil Layanan civil dikenal sebagai produk yang tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan, namun lebih dari itu yaitu sebagai pemenuhan hak warga negara. Produk ini sangat berlainan dengan jasa publik, karena layanan civil merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa harus dibebani atau suatu kewajiban apapun. Bagi Indonesia, layanan civil yang wajib dilaksanakan pemerintah berdasarkan ketentuan konstitusi yang tercantum dalam pasal 26, 27, 28, 28A, 29, 31 dan 34 Undang-undang Dasar 1945. layanan civil
13
yang diatur adalah: (a) pengakuan sebagai warga negara; (b), pengakuan kedudukan di depan hukum; (c) memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak; (d). kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat; (e), kebebasan memilih keyakinan hidup dan
memeluk
agama;
(f)
memperoleh
pengajaran;
dan
(g)
memperoleh pemeliharaan sebagai fakir miskin dan anak terlantar. Layanan civil dilaksanakan oleh setiap unit kerja yang menjadi kewajiban pemerintah. Provider layanan civil adalah setiap unit kerja publik (eksekutif, legislatif dan yudikatif), termasuk pihak yang kegiatannya terkait dengan publik. Bentuk atau tampilan dan nilai layanan civil bervariasi seperti: pendirian, sikap, perilaku, ucapan, pidato, alat, cara, sarana yang digunakan, kegiatan, perbuatan dan tuntutan yang dilakukan oleh atau melalui sistem kelembagaan, kelompok dan pelaku pemerintahan. Wujud layanan civil adalah akting pelaku pemerintah. Layanan civii berfungsi mendukung jasa publik.
b.
Jasa publik. Jasa publik adalah produk untuk memenuhi kepentingan masyarakat seperti
air minum, kesehatan,
jalan raya,
listrik,
telekomunikasi dan sebagainya. Proses produksi setiap jasa publik disebut dengan pelayanan umum. Produk ini diproduksi dan diperjualbelikan berdasarkan peraturan, yang meliputi: (a) mutu, (b) harga, (c) pelayanan, (d) distribusi
dan (e) ketersediaan saat
dibutuhkan.
14
Jasa publik senantiasa terkait antara hak dan kewajiban, berbeda halnya dengan layanan civil yang tidak terbebani atau tidak terkait dengan kewajiban apapun. Setiap pihak yang memerlukan jasa publik harus membayar sesuai dengan besaran kebutuhan yang diperlukan. Namun transaksi demikian berbeda halnya dengan transaksi antara konsumen dan produsen swasta. Jasa publik sebagai bagian dari kewajiban pemerintah untuk menyediakannya, harus senantiasa keingkaran
memberikan pengaturan agar terhindar terjadinya janji.
Ketidakmampuan
atau
kegagalan
memenuhi
kewajiban tersebut akan menimbulkan ketidaksenangan publik atas kinerja
pemerintah
yang
pada
gilirannya
akan
menimbulkan
ketidakpercayaan.
4. Asas Umum Penyelenggara Pemerintahan dan Pelayanan Publik Asas umum penyelenggaraan pemerintahan merupakan salah satu pedoman untuk memaksimalkan pelayanan pemerintah dalam pelayanan publik. Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme harus menjadi tolok ukur yang digunakan
mengukur
seberapa
jauh
aparat
pemerintah
telah
menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik sebagaimana menjadi harapan seluruh bangsa. Khususnya sejauh mana penyelenggara pemerintahan telah memproduksi barang atau jasa yang diproduksi untuk kepentingan masyarakat secara efisien, efektif, berkualitas, dan cukup tersedia sehingga setiap orang dapat memperolehnya. Demikian pula pemerintah perlu menjamin agar setiap warga negara
15
dan
penduduk
memperoleh
pelayanan
yang
diperlukanmya,
sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam
kenyataannya,
bertahun-tahun
diungkapan
keluhan
masyarakat
dan bahkan
yang
keluhan dari
sudah pejabat
Pemerintah sendiri. Aparatur masih menghasilkan kualitas pelayanan yang rendah dan malah terjadi berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme,
sebagai
akibat
peluang
dan
ineffisiensi
dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Karena itu upaya perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi harus dilaksanakan secara sistemik dan internal agar dapat diwujudkan pelayanan yang cepat, murah, mudah, adil, pasti, transparan dan tanggung jawab, sehingga semakin meningkatkan kepercayaan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaduan maupun keluhan yang disampaikan masyarakat baik melalui media massa maupun langsung kepada unit/kantor pelayanan merupakan indikasi bahwa sistem dan prosedur pelayanan masih belum berjalan dengan baik, sekali pun pemerintah telah mengupayakan berbagai upaya perbaikan. Namun pelayanan yang diberikan masih kurang akomodatif, kurang konsisten, sehingga tidak menjamin kepastian hukum, mengulur-ngulur waktu, dan masih dipungut biaya serta pungutan tidak resmi Kesepuluh Asas Umum Penyelenggara Pemerintahan yang dapat digunakan aparat untuk memberikan pelayanan, sebagai berikut:
16
a.
Kecermatan dalam mengambil keputusan atau mengatur sesuatu
b.
Obyektivitas
c.
Keseimbangan
d.
Kesamaan (hal-hal yang sama harus diselesaikan sama pula)
e.
Keadilan
f.
Pemberian pertimbangan yang jelas dan benar
g.
Keputusan dan Undang-Undang tidak dapat berlaku surut
h.
Menumbuhkan/mengandalkan kepercayaan (trust) pada janji (pacta sunt sevanda)
i.
Menjamin kepastian
j.
Larangan untuk tidak melampui kewenangan atau menggunakan kewenangan untuk tujuan lain (abuse de droit/ onrechmatige overheidsdaad, detournement de pouvoir).
5.
Perubahan Struktur Penyelenggaraan Pelayanan Publik Untuk memperlancar pelayanan umum kepada masyarakat, diperlukan serangkaian tindakan yang sistemik, dimulai dengan perubahan atau modernisasi struktur dan organisasi kelembagaan, perbaikan proses dan prosedur pemberian pelayanan, tenaga aparatur pemberi pelayanan umum, keterbukaan melalui pemberian informasi yang benar, tepat dan jelas, dan sebagainya.
17
Pelayanan umum menjadi penting untuk diatur secara jelas dan tegas karena: Pertama, sering menjadi sasaran isu politik. Kedua, telah terbitnya berbagai Undang-Undang sebagai perangkat keras yang mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang serta tanggung jawab setiap instansi pemerintah, dan ketiga untuk meningkatkan kerja profesional para pejabat negara dan pegawai negeri sipil lainnya, juga telah tersedianya berbagai perangkat hukum lunak seperti kode etik dan tata tertib lainnya. Namun, perangkat tersebut tampaknya berfungsi pada tataran memperkuat peran negara dan kurang berorientasi pada terciptanya peningkatan dan akuntabilitas aparatur dalam Pelayanan Umum. Penguatan peran negara melalui peningkatan fungsi birokrasi pemerintahan secara sektoral berdampak pada lahirnya model Pelayanan Umum yang mengecewakan dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, oleh karena itu perlunya suatu pemerintahan yang bersih, didukung oleh sistem politik demokratis, keterbukaan informasi, supremasi hukum, non diskriminatif dan adanyapartisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan.
6. Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan sebagai tolok ukur Beberapa parameter, di samping asas umum penyelenggaraan pemerintahan, dapat menjadi sangat membantu untuk mengurangi berbagai hambatan, baik dari segi kepastian hukum dan sikap sebagian pejabat yang hanya mau dilayani. Juga ternyata karena struktur dan organisasi lembaga pemerintah serta aparat pemerintah
18
yang belum cukup profesional belum diperbaiki kinerja pelayanan yang kurang memuaskan masyarakat. Kurangnya orientasi tugas dan fungsi aparat pemerintah; antara lain disebabkan karena tiadanya peraturan hukum yang jelas tentang fungsi dan tugas masing-masing instansi pemerintah, tetapi juga belum adanya panduan yang secara komprehensif memberikan arahan bagi penyelenggara Pelayanan Umum secara menyeluruh. Amandemen
sangat
jelas
menegaskan kembali tujuan dan tanggung jawab negara
bagi
pemenuhan undang
Undang-Undang
Dasar
1945
kebutuhan dan hak-hak rakyat. Pasal 34, Undfang-
Dasar
1945,
menyelenggarakan
menetapkan
Pelayanan
Umum
bahwa
negara
yang
baik
dituntut
tanpa
ada
diskriminasi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Amanat konstitusi sudah seharusnya
diterjemahkan dan diuraikan oleh sistem,
perangkat, aparat dan budaya politik dari penyelenggara negara itu. Di
saat
ditingkatkan
pelaksanaan
sesuai
dengan
Pelayanan harapan
Umum
publik,
seharusnya
Indonesia
masih
dihadapkan pada berbagai ketimpangan lain, seperti : (1) kesejangan ekonomi antar sektor; (2) ketimpangan penyebaran aset di kalangan swasta; (3) kesejangan antar wilayah; (4) Ketimpangan antar subwilayah; (5) kesenjangan antar golongan sosial ekonomi; (6) kesenjangan pembangunan diri manusia Indonesia; (7) ketimpangan antara desa dan kota; dan (8) ketimpangan dalam menjalankan pemerataan kesejahteraan. Ketidak merataan itu bukan hanya terjadi
19
antar sektor, melainkan juga disebabkan oleh sedikitnya perhatian Pemerintah pada penyelenggara Pelayanan Umum itu sendiri. Penurunan kualitas Pelayanan Umum di satu sisi dan di sisi lain
pemerintahan
berkewajiban
mewujudkan
penyelenggaraan Pelayanan Umum karena
peningkatan
merupakan kewajiban
utama Pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional.
7. Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Pemerintahan Daerah Kebijakan politik memberikan otonomi kepada daerah ditandai dengan
pemberian
wewenang
kepada
Pemerintahan
Daerah
melaksanakan urusan pemerintahan, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota. Kebijakan tersebut, sejak kemerdekaan
telah
diamanatkan,
namun
demikian
awal belum
dilaksanakan sepenuhnya dan setelah reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1999, langkah menyerahkan urusan ke daerah, di tandai dengan diundangkan Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya diubah dengan Undangundang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undangundang ini diikuti dengan Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kebijakan ini merupakan hasil dari kesadaran bahwa model penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentral ternyata belum bisa
menghasilkan
pelayanan
publik
yang
langsung
diterima
manfaatnya oleh publik. Desentralisasi, dilihat dari sudut pandang pemerintahan daerah, diakui oleh Smith (1985), memiliki nilai,
20
pertama, mewujudkan political equality, yakni terbukanya partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas politik di tingkat daerah. Kedua, adanya kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hakhak dari masyarakat, local accountability. Ketiga, pemerintah daerah dianggap mengetahui lebih banyak tentang berbagai masalah yang dihadapi oleh warganya, local responsiveness. Menurut Sjarif Hidayat, pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan menjadi jalan terbaik untuk
mengatasi
sekaligus
meningkatlkan
akselerasi
dan
pembangunan sosial dan ekonomi daerah. Dari sudut teori, perubahan sistem penyelenggaraan menjadi kebijakan otonomi merupakan antithesis dari sistem ekonomi-poliitk yang sentral. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya menjaga keseimbangan kekuatan ekonomi-politik di Indonesia, yaitu kekuasaan ekonomi-politik didistribusikan kepada kekuasaan di daerah. Pelaksanaan kebijakan otonomi mengandung pengertian pendelegasian
urusan
kepada
pemerintah
daerah,
terutama
pemerintah kabupaten dan kota. Dari kebijakan ini, aparat birokrasi daerah
dapat
memahami
dan
melayani
langsung
kebutuhan
masyarakat tanpa harus menunggu rantai birokrasi dari pusat. Pemerintah Daerah
diberikan peran melayani
dan memenuhi
kebutuhan masyrakat, seperti ditetapkan dalam undang-undang : Bidang
Pemerintahan
yang
wajib
dilaksanakan
oleh
daerah
Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
21
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, perumahan, social, koperasi dan tenaga kerja. Ketentuan ini dengan jelas menggambarkan urusan pemerintah daerah yang cukup luas dan selanjutnya menjadi media melayani masyarakat dan mengurusi hal-hal yang selama ini secara tidak langsung dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Pelayanan publik yang dilakukan oleh daerah, ditinjau dari sisi sosial budaya dapat diartikan bahwa birokrasi dapat dengan cepat mampu mengetahui kondisi dan kebutuhan masyarakat melalui pemahaman sosial budaya masyarakat. Karena pelayanan publik tidak bisa dilaksanakan dalam suasana vaccum of cultural and sosial life. Upaya pencapaian maksimal pelaksanaan pelayanan publik sudah
seharusnya
mendasarkan
kepada
nilai-nilai,
sistem
kepercayaan, religi masyarakat dimana pelayanan itu dilakukan. Dimensi ini mewakili seluruh capaian manusia dalam bidang kehidupan sosial dan budaya, sekaligus menciptakan hubungan kausalitas ketika menilai apakah pelayanan publik itu berhasil atau gagal; serta apakah sesuai dengan tuntutan masyarakat Diwujudkannya
penyelenggaraan
pelayanan
publik
ke
pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat menyebabkan munculnya keinginan untuk membangkitkan identitas kultural dalam skala
paling
memunculkan
mikro
pada
urbanisasi
level dan
daerah. peralihan
Ketika
modernisasi
identitas
kultural,
desentralisasi disambut dengan penggalian identitas kulural daerah.
22
Persoalannya apakah pemerintah daerah mampu membiayai pelayanan publik, sebab pelayanan publik tidak bisa dilepaskan dari tenaga kerja, sarana, teknologi, sampai biaya langsung yang digunakan. Pembiayaan ini tidak bias sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah. Pelayanan bukanlah sesuatu yang dilakukan secara gratis, masalahnya kemudian, seberapa besar perimbangan antara kualitas pelayanan yang didapatkan dengan biaya yang diberikan. Fasiltas umum atau fasilitas sosial sebagai salah bentuk pelayanan publik hakekatnya merupakan sarana memperoleh pendapatan daerah , dan warga masyarakat berkepentingan menggunakan. Oleh karena itu kesadaran menjaga fasilitas publik tersebut merupakan hakekat dari pelayanan publik. Kesadaran untuk menjaga fasilitas publik sama pentingnya membangun sosial budaya, dan dari sisi solidaritas sosial, semangat memelihara fasilitas publik
melalui kesadaran, antri, tidak saling
mendahului, dan memandang bahwa urusan orang lain sama pentingnya dengan urusan diri sendiri, sangat mendukung upaya mendapatkan pelayanan publik yang memuaskan. Pandangan ini hakekatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari pelayanan publik, pemerintah yang melakukan pelayanan memerlukan publik yang sadar untuk memelihara fasilitas publik, atau sebaliknya kerusakan fasilitas publik merupakan kerugian bagi masyarakat. Begitu pula publik membutuhkan aparatur pemerintah yang memahami nilai-nilai social budaya ditempat mereka melakukan pelayanan.
23
Pendekatan budaya daerah merupakan salah satu
upaya
membangun standar pelayanan. Publik membutuhkan kenyamanan, keramahan dan kerendah-hatian dari orang-orang yang melayaninya. Sebaliknya publik akan antipati bilamana menemui aparat yang melakukan pelayanan bermuka masam, kasar dan menyebalkan. Publik akan sangat mendukung sebuah pemerintahan yang ramah terhadap kebutuhan publik. Begitu pula sistim religi juga mendapatkan kekhususan dalam pelayanan publik.
8. Pelayanan Publik di bidang Kesehatan Sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pembentukan negara Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945, tujuan membangun masyarakat
memperoleh kesehatan, kebahagiaan, toleransi dan kepercayaan merupakan
aspek
penting
dalam
pelayanan
publik.
Kegiatan
pembangunan kesehatan masyarakat sebagai landasan menciptakan masyarakat yang sehat dan sejahtera diletakan dalam kerangka yang sistemik dalam penyelenggaraan negara. Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur Pasal 34 ayat (3): Negara bertanggungjawab
atas penyediaan fasilitas
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, merupakan landasan
konstitusional
dari
tanggungjawab
pemerintah
menyelenggarakan kesehatan bagi seluruh rakyat, sebagai bagian dari pelayanan publik. Atas dasar ketentuan tersebut, dari sejak kemerdekaan, Pemerintah Indonesia senantiasa memiliki Departemen
24
yang mengurusi kegiatan kesehatan masyarakat. Saat ini dikenal dengan Departemen Kesehatan. Program kegiatan departemen untuk membangun masyarakat sehat senantiasa dilakukan dan hingga kini. Beberapa parameter, untuk mengetahui keberhasilan secara phisik dalam rangka pelayanan publik, telah dibangun sarana dan prasarana di bidang kesehatan, baik dalam bentuk peranti keras, maupun piranti lunak sebagai operator pelaksana kesehatan. Selain membangun sendiri, juga dilakukan melalui upaya mendorong masyarakat untuk membangun sarana kesehatan, seperti Rumah Sakit Sukanto. Rumah sakit sebagai salah satu bentuk pelayanan publik pemerintah dimaksudkan sebagai upaya mendorong masyarakat menjadi sehat. Ukuran keberhasilannya, tidak terletak pada jumlah pasien yang berobat, melainkan tumbuhnya rasa keinginan sehat di masyarakat sekitarnya. Bentuk ukuran atau standar pelayanan publik tersebut sangat dibutuhkan untuk mengetahui sejauhmana pemerintah berhasil atau gagal melaksanakan pelayanan publik di bidang kesehatan.
25
BAB III KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN A. Kebijakan di Bidang Rumah Sakit 1.
Dasar Hukum a.
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
1992
Tentang
Kesehatan (LN 1992 No. 100, TLN No. 3495). b.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
262/
Menkes/
Per/VII/1979 Tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah. c.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
920/
Menkes/
Per/Xii/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik d.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
806b/
Menkes/
Sk/Xii/1987 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta e.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
159b/
Menkes
/Per/Ii/1988 Tentang Rumah Sakit f.
Peraturan Menteri Kesehatan No 585/ Menkes/Per/Ix/ 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent).
g.
Peraturan Menteri Kesehatan No 749a /Menkes/Per/Xii/ 1989 Tentang Rekam Medis
h.
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 983/ Menkes/Sk
/Xi/1992 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum i.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
282/
Menkes/
Sk/Iii/1993 Tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta j.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 Tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta
k.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Kepmenkes
Nomor
582/Menkes/Sk/Vi/1997 Tentang Pola Tarif Rumah Sakit Pemerintah 26
l.
Peraturan
Menteri
Kewsehatan
Nomor
363/Menkes/Per/Iv/1998 Tentang Pengujian Dan Kalibrasi Alat Kesehatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan m.
Keputusan Menteri Kesehatan No 1333/Menkes/Sk/Xii/1999 Tentang Standar Pelayanan RS
n.
Keputusan Menteri Kesehatan
Dan Kesejahteraan Sosial
Nomor 191/Menkes-Kesos/Sk/Ii/2001 Tentang Perubahan Kepmenkes Perubahan
Ri
Nomor
157/Menkes/Sk/Iii/1999
Kedua
Atas
Permenkes
Tentang Nomor
159b/Menkes/Per/Ii/1988 Tentang Rumah Sakit. o.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
875/Menkes/Sk/Viii/2001 Pengelolaan
Tentang
Lingkungan
Dan
Nomor
Penyusunan Upaya
Upaya
Pemantauan
Lingkungan (Ukl-Upl) Kegiatan Bidang Kesehatan p.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 228/Menkes/Sk/Iii/2002 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Yang Wajib Dilaksanakan Daerah
q.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 772/Menkes/Sk/Vi/2002 Tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws).
r.
Keputusan
Menteri
1335/Menkes/Sk/X/2002
Kesehatan Tentang
Standar
Nomor Operasional
Pengambilan Dan Pengukuran Sampel Kualitas Udara Ruangan Rumah Sakit s.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1439/Menkes/Sk/Xi/2002 Tentang Penggunaan Gas Medis Pada Sarana Pelayanan Kesehatan t.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor1165a/Menkes/Sk/X/2004 Tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit u.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 173/Menkes/Per/X/2004 Tentang Rumah Sakit Gigi Dan Mulut
v.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 197/Menkes/Sk/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit 27
w.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 199/Menkes/Per/X/2004 Tentang Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja Di Sarana Kesehatan Milik Pemerintah
x.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 204/Menkes/Sk/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
y.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/Menkes/Sk/Iv/2005 Tentang Pedoman Audit Medis Di Rumah Sakit
z.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631/Menkes/Sk/Iv/2005 Tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis ( Medical Staff Bylaws) Di Rumah Sakit
aa.
Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 25/Menkes/E/Vi/2004 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik.
2.
DEFINISI, TUGAS DAN FUNGSI RUMAH SAKIT a. Definisi Rumah
sakit
adalah
upaya
kesehatan
menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian (Peraturan Menteri Kesehatan 159b/1988 tentang Rumah Sakit). Sebagai suatu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan Rumah sakit yang menyediakan rawat inap dan rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri dari observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan ( RUU RS ).
b. Tugas Rumah sakit kesehatan
mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
dengan
mengutamakan
kegiatan
penyembuhan 28
(kuratif) pasien dan pemulihan (rehabilitatif) keadaan cacat badan dan jiwa yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan
(promotif)
dan
pencegahan
(preventif)
serta
melaksanakan upaya rujukan. c. Fungsi Rumah sakit mempunyai fungsi : 1) Menyediakan dan menyelenggarakan : a) pelayanan medik; b) pelayanan penunjang medik; c) pelayanan asuhan keperawatan; d) pelayanan rehabilitasi; e) pencegahan dan peningkatan kesehatan. 2) Sebagai tempat pendidikan dan atau pelatihan tenaga kesehatan. 3)
Sebagai
tempat
penelitian
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
3.
STANDAR DAN PERSYARATAN Rumah sakit harus memenuhi standar dan persyaratan meliputi lokasi, bangunan, prasarana, ketenagaan, kefarmasian, peralatan, dan perizinan perizinan.( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik ) Lokasi Tentang Standarisasi Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah) a).Lokasi
1) Rumah Sakit harus berlokasi pada tempat yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan sesuai dengan ketentuan 29
tata ruang dan telah memenuhi hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan rumah sakit. 2)
Persyaratan
kesehatan
lingkungan
Pemantauan Lingkungan Lingkungan(UKL),
mencakup
Upaya
(UPL) dan Upaya Pengelolaan
atau
dengan
Analisis
Dampak
Lingkungan. 3)
Ketentuan tentang tata ruang
harus sesuai dengan
peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RDTRKP) dan atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
b.
Bangunan ( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik ). Bangunan rumah sakit harus memenuhi ketentuan persyaratan administratif dan teknis sesuai fungsi rumah sakit, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan, perlindungan dan keselamatan.
Persyaratan administrasi
meliputi persyaratan status hak atas tanah, dan atau izin pemanfaatan atas tanah, status pemilikan bangunan dan izin mendirikan bangunan (IMB). 1) Persyaratan
administrasi
bangunan
rumah
sakit
harus
memenuhi peraturan yang berlaku. 3) Bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan,
pendidikan
dan
pelatihan,
serta
penelitian dan pengembangan. 4) Bangunan rumah sakit sekurang-kurangnya terdiri ruang gawat jalan, ruang rawat inap, ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman dan pelataran parkir yang mencukupi. 30
c.
Ketenagaan. ( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik ) Rumah sakit wajib memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya dan tenaga non kesehatan. 1)
Jumlah dan jenis tenaga tersebut harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi rumah sakit.
2)
Rumah sakit harus memiliki data tenaga yang melakukan praktik atau pekerjaan.
3)
Rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai ketentuan perundang-undangan.
4)
Pimpinan rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai
kemampuan
dan
keahlian
di
bidang
perumahsakitan. 5)
Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia.
6)
Tenaga tertentu kecuali tenaga kesehatan masyarakat yang melakukan pelayanan di rumah sakit harus memiliki izin.
7)
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak-hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
8)
Rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga kesehatan asing sesuai
kebutuhan
pelayanan.
Pendayagunaan
kesehatan asing dilaksanakan sesuai peraturan
tenaga
perundang-
undangan
31
d.
Kefarmasian. ( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik )
1)
Rumah sakit harus menjamin sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat dan keamanannya.
2)
Setiap rumah sakit swasta harus menyediakan berbagai jenis dan bahan obat-obatan sekurang-kurangnya sama dengan yang ditetapkan dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
3)
Pelayanan sediaan farmasi di rumah sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian.
4)
e.
Pengelolaan sediaan farmasi harus dilakukan satu pintu.
Peralatan ( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik )
1) Peralatan medis dan peralatan non medis di rumah sakit harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan, kemanfaatan dan laik pakai. 2)
Peralatan medis tertentu yang akan digunakan dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit harus melalui penapisan teknologi.
3)
Peralatan medis harus dilakukan pengujian dan kalibrasi sesuai ketentuan yang berlaku.
4)
Jenis peralatan rumah sakit yang harus dilakukan pengujian dan/atau kalibrasi ditetapkan oleh Menteri.
5)
Penggunaan peralatan medis dan penunjang medis di rumah sakit harus sesuai dengan indikasi medis pasien.
6)
Pengoperasian dan pemeliharaan peralatan rumah sakit harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya. 32
7)
Pemeliharaan peralatan rumah sakit harus didokumentasi dan dievaluasi secara berkesinambungan.
e.
Perizinan ( Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ Th.1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan swasta di bidang medik ) 1) Setiap penyelenggaraan rumah sakit wajib memiliki izin. 2) Izin sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri dari izin mendirikan dan izin penelenggaraan 3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memenuhi standar dan persyaratan sesuai
ketentuan
peraturan yang ditetapkan. 4) izin mendirikan diberikan oleh pemerintah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. 5)
Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
6) Izin penyelenggaraan terdiri dari izin penyelenggaraan sementara dan izin penyelenggaraan tetap,. 7) Izin penyelenggaraan sementara diberikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selama 2 (dua ) tahun bila baru memenuhi persyaratan minimal operasional dan dapat diperpanjang 1 kali untuk 2 (dua) tahun. 8)
Izin penyelenggaraan tetap diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali sepanjang memenuhi persyaratan.
9)
Rumah sakit yang akan didirikan dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Menteri dan disetujui oleh instansi yang berwenang.
4. JENIS DAN KLASIFIKASI
33
1) Jenis a. Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. Rumah Sakit Khusus Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. c. Rumah Sakit Pendidkan 1) Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus dapat ditetapkan
menjadi
Rumah
memenuhi
persyaratan
Sakit
administratif
Pendidikan dan
setelah
persyaratan
akademis. 2) Persyaratan
administratif
penyelenggaraan
pendidikan
kedokteran meliputi: a) lulus akreditasi Rumah Sakit Pemerintah minimal memiliki 12 (dua belas) jenis pelayanan; b) memiliki kerjasama dengan Fakultas Kedokteran; c) memiliki rencana program penyelenggaraan pendidikan kedokteran. 3) Persyaratan akademis meliputi : a) lulus akreditasi Rumah Sakit Pendidikan; b) memiliki tenaga medis pengajar yang kompeten; c) memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk proses belajar mengajar
2) Klasifikasi Rumah Sakit a. Rumah Sakit Umum Pemerintah
Kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik luas. 34
Kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis sekurang-kuranya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.
Kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik dasar.
Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis dasar.
b. Rumah Sakit Umum Swasta
Kelas
Utama
pelayanan
adalah
medik
rumah
bersifat
sakit umum,
yang
memberikan
spesialistik
dan
subspesialistik.
Kelas Madya
adalah rumah sakit yang memberikan
pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik dalam 4 (empat) cabang.
Kelas Pratama adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan medik bersifat umum.
5. PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/Ii/1988 Tentang Rumah Sakit) a) . Rumah sakit dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta. b).
Rumah sakit yang diselenggarakan oleh swasta harus berbentuk badan hukum.
c).
Badan hukum yang menyelenggarakan rumah sakit dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangganya harus memuat lingkup usaha yang meliputi penyelenggaraan rumah sakit.
d).
Rumah sakit yang dikelola oleh badan dan atau lembaga yang bersifat sosial harus tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini serta perundang-undangan yang berlaku dalam pengelolaan badan dan atau lembaga sosial.
35
e).
Setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel.
6. KEWAJIBAN RS a).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, efektif, dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.
b).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien tanpa uang muka atau jaminan;
c).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada orang tidak mampu atau miskin;
d).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan diluar kemampuan pelayanan rumah sakit.
e).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
f).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menghormati hak-hak pasien dan melaksanakan etika rumah sakit;
g). Setiap
rumah
sakit
mempunyai
kewajiban
menyusun
melaksanakan peraturan internal rumah sakit ( hospital
dan
by laws).
Peraturan internal (hospital by laws) tersebut adalah suatu produk hukum yang merupakan anggaran rumah tangga rumah sakit yang mengatur : organisasi, peran, tugas dan kewenangan pemilik; peran, tugas dan kewenangan direksi rumah sakit; organisasi, peran, tugas dan kewenangan staf medis. h). Rumah sakit mempunyai kewajiban menyelenggarakan upaya penatalaksanaan korporasi dan melaksanakan praktik klinik yang baik (good
clinical
governance).
Penatalaksanaan
bertujuan
agar
pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit bermutu, efektif, efisien dan akuntabel. i).
Rumah sakit mempunyai kewajiban menyelenggarakan audit. Audit dapat berupa pengukuran kinerja dan audit medis. kinerja dan audit medis dapat dilakukan secara
Pengukuran
internal dan atau
eksternal. Pengukuran kinerja eksternal dapat dilakukan oleh tenaga pengawas. 36
j).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan informasi tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat;
k). Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana; l).
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban mematuhi pola tarif nasional sesuai ketentuan yang berlaku;
m). Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional; n). Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Rumah sakit dalam melaksanakan standar keselamatan pasien tersebut melalui pelaporan insiden, menganalisa, menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan. o). Setiap rumah sakit swasta wajib melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit yang ditetapkan sesuai dengan kelas dan bentuk pelayanan rumah sakit. p). Rumah sakit swasta wajib memberikan pertolongan pertama kepada pasien gawat darurat tanpa memungut biaya pelayanan terlebih dahulu. q). Rumah sakit wajib memberikan pelayanan yang dilaksanakan 24 (dua puluh empat) jam per hari terus menerus dan harus tersedia dokter jaga di rumah sakit. r).
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
s).
Setiap rumah sakit wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
t).
Setiap rumah sakit wajib menyelenggarakan rekam medis.
u). Setiap rumah sakit wajib melaksanakan sistem rujukan. v).
Setiap rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial
37
7. AKREDITASI a).
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali.
b).
Akreditasi rumah sakit dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit ( KARS ).
c). Tujuan Akreditasi Rumah Sakit, meliputi: 1. Umum Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit 2. Khusus Memberikan jaminan, kepuasan
dan perlindungan kepada
masyarakat d) Tingkat Akreditasi 1. Tingkat Dasar ( 5 Pelayanan ) • Adminitrasi dan manajemen •
Pelayanan medis
•
Pelayanan gawat darurat
•
Pelayanan keperawatan
•
Rekam medik
2. Tingkat Lanjut ( 12 Pelayanan ) •
Adminitrasi Dan Manajemen
•
Pelayanan Medis
•
Pelayanan Gawat Darurat
•
Pelayanan Keperawatan
•
Rekam Medik
•
Pelayanan Kamar Operasi
•
Pelayanan Laboratorium
•
Pelayanan Radiologi
•
Pelayanan Farmasi
•
Pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja(K3) •
Pengendalian Infeksi
•
Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi, 38
3. Tingkat Lengkap ( 16 Pelayanan ) •
Adminitrasi Dan Manajemen
•
Pelayanan Medis
Pelayanan Gawat Darurat
•
Pelayanan Keperawatan
Rekam Medik
•
Rekam Medik
•
Pelayanan Laboratorium
•
Pelayanan Radiologi
•
Pelayanan Farmasi
•
Pelayanan K3
•
Pengendalian Infeksi
•
Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi
•
Pelayanan Darah
•
Pelayanan Rehabilitasi Medik
•
Pelayanan Gizi
8. FUNGSI SOSIAL a)
Setiap rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosialnya dengan antar lain menyediakan fasilitas untuk merawat pasien tidak/kurang mampu. Ditentukan sebagai berikut: 1).
Rumah sakit pemerintah sekurang –kurangnya 75% dari kapasitas tempat tidur yang tersidia;
2).
Rumah sakit swasta sekurang-kuranya 10 % dari kapasitas tempat tidur kelas III yang tersedia.
3).
Setiap rumah sakit swasta wajib melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk: a).
Penyediaan tempat tidur kelas IIterendah untuk masyarakat yang kurang/tidak mampu.
b).
Keringanan sampai dengan pembebasan biaya pelayanan
kesehatan
bagi
masyarakat
tidak
mampu.
39
c).
Tidak memungut uang muka bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan atau pasien gawat darurat.
d)
Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan program Pemerintah bidang kesehatan.
e)
Keikutsertaan penanggulangan bencana nasional ataupun lokal dan melakukan bakti sosial, sejalan dengan misi kemanusiaan.
4.
Disamping fungsi sosial tersebut rumah sakit swasta dapat mengembangkan fungsi sosialnya yang meliputi: (a)
Mengembangkan pelayanan dasar di luar rumah sakit bagi masyarakat yang kurang/tidak mampu.
(b) Menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga rumah sakit. (c)
Pelayanan kesehatan lain yang diutamakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
9. POLA TARIF a)
Rumah Sakit Pemerintah 1)
Kebijaksanaan Tarif a)
Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
b)
Biaya penyelenggaraan RS Pemerintah dipikul bersama
oleh
Pemerintah
dan
masyarakat
dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. c)
Tarif RS tidak dimaksudkan untuk mencari laba dan ditetapkan berdasarkan asas gotong royong, adil
dengan
mengutamakan
kepentingan
masyarakat berpenghasilan rendah. d)
Tarif
RS
untuk
golongan masyarakat
yang
pembayarannya dijamin oleh pihak penjamin,
40
ditetapkan atas dasar saling membantu melalui suatu ikatan perjanjian tertulis. e)
Rawat jalan dan rawat inap kelas III A, II, I dan Utama
dapat
dikenakan
jasa
pelayanan
sedangkan Pasien Rawat Inap kelas III B tidak dikenakan jasa pelayanan. f)
Tarif RS diperhitungkan atas dasar unit cost dengan memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat,
RS
setempat
lainnya
serta
kebijaksanaan subsidi silang. g)
Tarif pelayanan bagi orang asing dan tarif general Check Up ditetapkan oleh Direktur RS.
h)
Besaran tarif untuk pelayanan rawat jalan dan rawat inap kelas III A dan kelas III B milik Depkes ditetapkan oleh Dirjen Bina Yanmed atas usulan Direktur RS.
i)
Besaran tarif untuk rawat inap kelas II, I dan Utama, ditetapkan oleh Direktur RS setelah mendapat
persetujuan
dari
Kepala
Dinas
Kesehatan Provinsi setempat. 2)
Pelayanan yang dikenakan tarif
Pelayanan di Rumah Sakit yang dapat dikenakan tarif dikelompokkan ke dalam pelayanan:
-
Rawat Jalan
-
Rawat Darurat
-
Rawat Inap
Pelayanan di RS yang dikenakan tarif berdasarkan jenis pelayanan terdiri dari: -
Pelayanan Medik
-
Pelayanan Penunjang Medik
-
Pelayanan Kebidanan dan Gynekologi: persalinan normal dan persalinan dengan tindakan
-
Pelayanan Penunjang Non Medik 41
-
Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Mental
-
Pelayanan Konsultatip Khusus
-
Pelayanan Medico Legal
-
Pemulasaraan/Perawatan Jenazah
Tarif pelayanan di RS tersebut meliputi komponen Jasa Sarana dan Jasa Pelayanan sesuai kebutuhan masing-masing pelayanan.
b ) Rumah Sakit Swasta 1)
Kebijaksanaan
Tarif
Pelayanan
memperhatikan
RS
nilai
ditetapkan
jasa
pelayanan
dengan RS
serta
kemampuan membayar masyarakat setempat
Tarif RS ditetapkan atas dasar jenis pelayanan, tingkat kecanggihan pelayanan dan kelas perawatan.
Pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan RS bagi pasien kurang/tidak mampu diatur oleh Direktur
RS
yang
bersangkutan
berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh Dirjen Bina Yanmed.
Tarif pelayanan RS untuk golongan masyarakat yang pembayarannya dijamin oleh pihak ketiga sebagai penjamin
ditetapkan
berdasarkan
asas
saling
membantu melalui suatu ikatan perjanjian tertulis.
Kelas perawatan di RS terdiri dari: Kelas Utama, Kelas I, Kelas II, Kelas III
Standar
minimal
fasilitas
masing-masing
kelas
perawatan tersebut diatas ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan
Provinsi
setempat
dengan
berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
Jumlah tempat tidur di dalam tiap ruang kelas perawatan
diatur
oleh
Direktur
RS
dengan
berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
Jumlah tempat tidur kelas III untuk kelompok Istitusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) minimal 25%, 42
sedangkan untuk RS Pemilik Modal minimal 10% dari jumlah seluruh tempat tidur yang tersedia di RS. Jumlah tempat tidur untuk masing-masing kelas utama, I dan II diatur oleh Direktur RS.
Besaran tarif pelayanan RS dimaksudkan untuk mengatasi biaya operasional dan pemeliharaan serta pengembangan denagn
dan
peningkatan pelayanan
memperhatilkan
prinsip-prinsip
RS sosio
ekonomi.
Penetapan besaran tarif pelayanan RS dilakukan dengan mempertimbangkan adanya subsidi silang bagi tarif pelayanan pasien kelas III.
Tarif tertinggi untuk pelayanan pasien kelas III ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat
dengan
memperhatikan
kepentingan
masyarakat kurang/tidak mampu. Tarif untuk kelas II, kelas I dan kelas Utama ditetapkan oleh Direktur RS. b)
Pelayanan yang dikenakan tarif
Pelayanan
RS
yang
dapat
dikenakan
tarif
dikelompokkan menjadi:
-
Pelayanan Rawat Jalan
-
Pelayanan Rawat Nginap
-
Pelayanan Gawat darurat
Tiap kelompok pelayanan mempunyai satu atau lebih komponen
pelayanan.
Jenis-jenis
komponen
pelayanan terdiri dari: -
Konsultasi Medis
-
Administrasi RS
-
Ruang Perawatan
-
Penunjang Diagnostik
-
Tindakan Medis Operatif
-
Tindakan Medis Non Operatif
-
Radioterapi 43
-
Rehabilitasi Medis
-
Farmasi
-
Perawatan Jenazah
-
Ambulans
dan
jasa
RS
lainnya
(seperti
penggunaan telepon, dll).
Kegiatan pelayanan yang tidak atau belum termasuk di dalam komponen tersebut di atas ditetapkan sebagai pelayanan lain-lain.
B. Kebijakan di Bidang Pelayanan orang Miskin Ketentuan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, 1948), UndangUndang Dasar 1945,Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak
setiap
warga. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan
kesehatannya, dan negara bertanggungjawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi warga negara termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Krisis moneter sekitar tahun 1997 telah meningkatkan biaya kesehatan, sehingga menekan akses penduduk
terhadap pelayanan
kesehatan , terutama penduduk miskin. Hambatan utama pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin adalah masalah pembiayaan kesehatan dan transportasi. Berbagai faktor turut menjadikan ketimpangan pelayanan kesehatan yang mendorong peningkatan biaya kesehatan, diantaranya perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket, dan subsidi pemerintah untuk
44
semua lini pelayanan, disamping inflasi di bidang kesehatan yang melebihi sektor lain. Guna
menjamin
akses
penduduk
miskin
terhadap
peiayanan
kesehatan, sejak tahun 1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK) tahun 1998 -2001, Program Dampak pengurangan Subsidi Energi
(PDFS) tahun 2001 dan Program
Kompensasi Subsidi bahan Bakar minyak (PKPS-BBM)Tahun 2002-2004. Program tersebut diatas berbasis pada 'provider' kesehatan (supply orientea), dimana dana disalurkan langsung ke Pusat kesehatan masyarakat dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas dan RS) berfungsi ganda yaitu : sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi
ini
menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Pusat kesehatan masyarakat, juga menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus berperan sebagai 'Payer sekaligus 'Provider. Akhir tahun 2004, Menteri Kesehatan mengeluarkan keputusan SK Nomor 1241/Menkes/SK/XI/2004, tanggal 12 November 2004, menugaskan PT ASKES (Persero) dalam mengelola program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dengan berbasis asuransi sosial. Pada Semester I tahun 2005, penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin dikelola sepenuhnya oleh PT ASKES (Persero) meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringan serta pelayanan kesehatan rujukan di Rumah Sakit dengan sasaran
45
36.146.700 jiwa sesuai data BPS rahun 2004. Dalam perjalanannya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, di semester I tahun 2005, ditemukan permasalahan yaitu terdapat perbedaan data jumlah masyarakat miskin menurut BPS dengan data jumlah masyarakat miskin di setiap daerah disertai beberapa permasalahan lainnya antara lain: a) b)
Program belum tersosialisasi dengan baik penyebaran kartu peserta belum merata
c)
keterbatasan sumber daya manusia PT ASKES (Persero) di lapangan
d)
minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas,
e)
kurang aktifnya Posyandu dan lain-lain. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka pada semester II tahun 2005, mekanisme penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin diubah. Untuk pembiayaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya disalurkan langsung ke Puskemas melalui bank Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT ASKES (Persero) hanya mengelola pelayanan
kesehatan rujukan bagi masyarakat
miskin di Rumah Sakit (RS). Disamping itu sasaran program disesuaikan menjadi 60.000.000 jiwa. Berdasarkan pengalaman pelayanan kesehatan di masa lalu dan upaya mewujudkan sistem pembiayaan yang efektif dan efisien masih perlu diterapkan mekanisme jaminan kesehatan yang berbasis asuransi sosial. Penyelenggaraan program ini melibatkan beberapa pihak yaitu Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan), Pemerirltah Daerah,
46
Pengelola Jaminan Kesehatan PT Askes (persero), dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yaitu Puskesmas dan RS dimana masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sarana yaitu mewujudkan pelayanan kesehatan dengan biaya dan mutu yang terkendali. Berlandaskan pada upaya pengembangan sistem jaminan tersebut, pada tahun 2006 penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang meliputi pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS dikelola sepenuhnya melalui mekanisme asuransi sosial oleh PT Askes (persero). Pedoman ini memberikan petunjuk secara umum kepada semua pihak terkait tentang mekanisme penyelenggaraan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin yang dikelola melalui mekanisme asuransi sosial oleh PT Askes (persero) yang selanjutnya dikenal dengan program ASKESKIN.
47
48
C. Tata Laksana Kasus di Rumah Sakit Langkah penanganan kasus hukum pelayanan medis adalah sebagai berikut : 1.
Menerlma keluhan/komplain Keluhan informasi diterima oleh satu unit kerja yang ditunjuk oleh Direksi (Customer Service I Humas) dari:
2.
a.
Media massa
b.
Kotak saran
c.
Laporan Staf Rumah Sakit
d.
Laporan keluhan dari pasien
e.
Somasi Pasien Kuasa Hukum
f.
Laporan LSM
g.
Tokoh masyarakat
h.
Telepon Pengaduan/SMS
Mengelola keluhan Unit kerja yang ditunjuk melakukan hal-hal sebagai berikut : a.
b.
Mencatat dan mengkaji informasi : -
Identitas dan kondisi pasien
-
Peristiwa
-
Tuntutan pasien
Menanggapi keluhan -
Mengucapkan terima kasih atas laporan
-
Memberikan penjelasan sementara
49
c.
d. 3.
-
menjamin keluhan akan ditindak lanjuti
-
menenangkan pelapor
-
memberikan tanda terima laporan
Melaporkan ke Direksi RS -
Mengisi formulir sesuai keluhan
-
Memberi pertimbangan
-
Memlnta pengarahan tindak lanjut
Menindaklanjuti instruksi Direksi
Investigasi kasus : a.
b.
Membahas kebenaran informasi tentang : -
Identitas pasien
-
Peristiwa
-
Rekam Medis
Penataan dokumen yang meliputi : -
Dokumen informasi
-
Berkas rekam medis ( medical record)
-
Dokumen persetujuan tindakan medis
-
Dokumen persetujuan tindakan medis tertentu (operasi)
-
Second opinion
-
Resume medis
-
Pendapat organisasi profesi
-
Keputusan MKEK /MOTK / MKOK
-
Juklak, Juknis dan SOP Pelayanan
50
c.
Rapat dengan bagian terkait
d.
Rapat Komite Medis dan Peserta group internal & Medicolegal advicer :
e. 4.
-
pertimbangan aspek medis
-
pertimbangan aspek manajemen
-
pertimbangan aspek medicolegal
Pendapat Komite Etik Rumah Sakit (KERS)
Analisis kasus a.
Hasil rapat koordinasi menentukan atau memilah katagori kasus dan selanjutnya menugaskan unit terkait untuk menindak lanjuti:
b.
-
Kasus Etik ditangani MKEK/MOTK/MKOKI/KERS
-
Kasus Adminisbasi ditangani Bagian SOM
-
Kasus Hukum ditangani Bagian I Bidang Hukum
-
Kasus Gabungan ditangani Bagian I Bidang Hukum
Telaahan Kasus. Masing-masing unit diatas menyusun telaahan kasus. Didalam menelaah kasus hal-hal yang perlu diperhatikan :
c.
-
Kebenaran identitas pasien
-
Kebenaran peristiwa
-
Barang bukti
-
Pertimbangan prosedur tindak lanjut
Masing-masing unit dimaksud melaporkan hasil telaahan disertai rekomendasi kepada manajemen.
5.
Tindak lanjut penanganan kasus
51
a.
Pendalaman kasus : -
Pendapat manajemen rumah sakit
-
Pendapat Komite Medik
-
Pendapat asuransi liability (corporate & profesional) analisis pembiayaan
-
Pendapat expert external (101, POGI, dan Asosiasi Profesi Kesehatan lain dan Depkes)
b.
c.
Pendapat konsultan hukum (apabila diperlukan) ,
Penyimpulan posisi kasus ditinjau dari : -
Kewenangandan kompetensi
-
Indikasi dan kontra indikasi
-
Persetujuan tindakan medik 'Informed consent
-
Kesesuaian tindakan dengan SPM den SOP
-
Kerugian , cidera dan sebab akibatnya
-
Hukum dan Perundang-undangan
Putusan manajemen tentang pilihan penyelesaian kasus : -
Apabila dari hasil pendalaman disimpulkan bahwa secara hukum posisi rumah sakit sudah cukup kuat maka penyelesaian yang dipilih adalah litigasi. Terhadap tuntutan ganti rugi yang lebih kecil dari pada prediksi biaya penyelesaian dapat dipertimbangkan penyelesaian non litigasi (ADR).
-
Apabila hasil pendalaman disimpulkan bahwa secara Hukum posisi rumah sakiUstaf tidak cukup kuat maka
52
penyelesaian yang dipilih adalah non litigasi (negosiasi, mediasi,konsilasi).
6.
Penyelesaian kasus Dalam hal penyelesaian kasus melalui litigasi maka hal-hat yang perlu dilakukan adalah: a.
Menunjuk Kuasa Hukum , Penasehat Hukum
b.
Menunjuk stat Bidang , Bagian Hukum sebagai mitra kerja
Dalam hal penyelesaian kasus non litigasi ditempuh : a.
Pihak rumah sakit (manajemen) mengundang pihak pengadu untuk membicarakan r penyelesaian kasus secara damai (negosiasi).
Dipertemukannya
pihak
pengadu
dengan
pertimbangan secara matang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. b.
Bila upaya negosiasi tidak berhasil maka menunjuk salah satu orang atau badan yang disepakati bersama dan mampu untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan kasus.
c.
Hasil perdamaian melalui negosiasi dan mediasi dituangkan dalam suatu peranjian yang sah secara hukum, bila perlu dikuatkan oleh Notaris atau didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
7.
Dokumentasl Kasus a.
Seluruh dokumen yang terkait dengan kasus di data dan diklarifikasi dengan pengkodean khusus.
53
b.
Dokumen disimpan di Direksi , Wakil Direksi Pelayanan Medik sampai kasus dianggap selesai
c.
Bila kasus telah selesai dokumen dapat dikembalikan ke bagian yang menangani dokumen.
8.
Penyelesaian tuntutan hukum (tergantung kasus ) a.
Diselesaikan dengan proses Perdata, Pidana atau Tata Usaha Negara
b.
Tuntutan harus dianalisa terlebih dahulu
Mekanime pelaksanaan penanganan kasus hukum pelayanan medis perlu dilaksanakan dengan tahapan yang meliputi : a.
Pengumpulan Informasl dan Bukti Informasi tentang adanya dugaan terjadi kasus hukum pelayanan medis disuatu rumah sakit, biasanya bersumber dari mass media baik cetak maupun elektronik .atau dari keluhan pasien (keluarga) baik langsung maupun yang disampaikan melalui kotak saran yang disediakan oleh rumah sakit. Selain daripada itu pengaduan lembaga swadaya masyarakat atau kuasa hukum pasien dapat pula menjadi sumber informasi adanya dugaan kasus hukum pelayanan medis. Atas dasar hal itu maka dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1)
Informasi awal dihimpun oleh Bag.Humas (SOP tersendiri )
2)
Laporan ke Direksi oleh Humas (Iihat lampiran VI)
3)
Instruksi I Disposisi dari Direksi kepada Komite Medik dan Bagian Hukum
54
4)
Komite Medik dan Bagian Hukum melaksanakan Instruksi I Disposisi Direksi
5)
Komite Medik bersama Bag.Hukum melakukan Koordinasi dgn unit terkait di RS (melengkapi data/dokumen)
6)
Menentukan strategi penanganan kasus : a.
Memilah kasus : -
kasus etik kasus hukum (pidana, perdata, administrasi I disiplin)
-
7)
kasus gabungan etik dan hukum
b.
Melakukan analisis kasus
c.
Menetapkan langkah penanganan
Memitigasi / meminimalisasi dampak negatif dari pemberitaan ( pelaksananya Humas I PR ) ( sesuai SOP RS )
8)
Melakukan
upaya
pendekatan
kepada
keluarga
guna
menjelaskan posisi kasus (sesuai SOP RS ) 9)
Apabila penjelasan tidak dapat diterima oleh keluarga pasien, maka langkah selanjutnya : a.
Merespon langkah yang dilakukan oleh keluarga pasien I kuasa hukum sesuai tuntutan yg akan dilakukan
b.
Bila tuntutan dilakukan melalui litigasi maka dilakukan langkah persiapan litigasi ( SOP masing-masing RS)
9)
Bila ada kesepakatan untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, maka kasus diselesaikan secara damai
55
( SOP penyelesaian secara damai dibuat masing-masing RS). 11)
Setelah ada kesepakatan perdamaian segera membuat Akta Perdamaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang bcrlaku
b.
Alat Bukti Kasus Hukum Pelayanan Medis Dalam kasus hukum pelayanan medis diperlukan bukti yaitu: 1.
Dokumen informasi kasus medis dari mass media, kotak saran dll.
2.
3.
-
Catatan medis pasien
-
Catatan keperawatan pasien
Dokumen persetujuan tindakan Medis
4.
Dokumen persetujuan tindakan medis tertentu (operasi)
5.
Second Opinion
6.
Resume medis
7.
c.
Berkas rekam medis ( medical record) :
Pendapat organisasi profesi
8.
Keputusan MKEK I MDTK/MKDKI
9.
Juklak, juknis dan SOP pelayanan
Mekanisme Penanganan di Rumah Sakit Apabila suatu rumah sakit telah diduga terjadi penangannan kasus hukum pelayanan medis, maka yang diberi tugas dan wewenang untuk menangani penanganan kasus hukum pelayanan medis adalah Komite Medis dan Bagian Hukum I Bidang Hukum
56
Untuk beberapa rumah sakit, saat ini telah menyadari betul bahwa
perlu
adanya
Bagian
Hukum
yang
tugas
pokoknya
melaksanakan kegiatan pembinaan penyusunan peraturan intern rumah sakit, penyelenggaraan konsultasi hukum dan kegiatan ilmiah bidang hukum melalui pemberian layanan jasa dan kordinasi dengan setiap satuan kerja agar terwujud pelayanan rumah sakit yang sesuai dengan kaedah hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Atas dasar tugas pokok tersebut maka Komite Medis dan Bagian Hukum rumah sakit selanjutnya segera mengambil langkah l dengan mengumpulkan dan mempelajari secara seksama informasi yang berkaitan dengan dugaan adanya penanganan kasus hukum pelayanan medis. Komite Medik dan Bagian Hukum mempelajari dan menelaah informasi kasus hukum pelayanan medis yang disampaikan oleh pasien ,keluarga, LSM ataupun kuasa hukum baik lisan maupun tertulis. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dan perlu dilakukan pencatatan meliputi antara lain: 1)
Identitas pasien - Nama - Nama orang tua - Umur -Jenis kelamin -Alamat
2)
Ringkasan kejadian kasus
57
-
Kronologis kasus
-
Petugas yang terkait
-
Waktu terjadinya
-
Lokasi kejadian
-
Tindakan yang dilakukan
3)
Rencana/penanganan selanjutnya
Kondisi fisik pasien. -
Meninggal dunia
-
Cacat berat atau ringan
-
Luka berat atau ringan -
Keracunan obat atau makanan
-
Patah tulang
-
Perbuatan tidak menyenangkan -
4)
Lain-lain
Komplain/ Tuntutan PasIen / Keluarga -
Laporan -
Somasi
-
Tuntutan: Perdata, Pldana den Administrasi
-
Lain-lain
Selanjutnya Bagian Hukum melapor kepada Direksi Rumah sakit perihal adanya tuntutan pasien, dan atas arahan bagian Hukum mengundang rapat kordinasi satuan kerja terkait yaitu Komite Medik, Komite Keperawatan, Bagian Rekam Medik dan unit kerja lain ikut membahas penanganan kasus hukum pelayanan medis dari berbagai aspek.
58
Rapat pembahasan kasus medis bersifat tetutup, terbatas, rahasia dan jadual rapat pelaksanaan tersebut harus dilaporkan secara tertulis kepada direksi rumah sakit. Saat rapat koordinasi pembahasan penanganan kasus hukum pelayanan medis, masing-masing peserta rapat
telah
membawa bukti-bukti yang terkait penanganan kasus tersebut antara lain meliputi. Dalam rapat pembahasan kasus, hal-hal yang harus dibicarakan antara lain: a. b. c.
Kebenaran Identitas pasien Kebenaran peristiwa yang disampaikan pasien , Aspek
hukum
berkaitan
dengan
doktrin
tentang
kesalahan (kesengajaan dan kelalaian). d.
Malpraktik medis
e.
Etika kedokteran
f.
Status kepegawaian, surat izin praktik dan surat pengesahan dari Depkes bagi dokter yang menangani
g.
Indikasi medis
h.
Persetujuan tindakan medis
i.
Catatan medis dan catatan keperawatan apakah telah dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
j.
Kehati-hatian penanganan sesuai SOP
k.
Penerapan juklak dan juknis sarana den prasarana pelayanan
l.
Tuntutan pasien
59
Apabila dalam rapat pertama belum dapat diambil kesimpulan dan langkah-langkah penanganan yang diperlukan, bahkan bila dipandang perlu untuk diadakan pendafaman lebih lanjut, maka pembahasan kasus hukum pelayanan medis dapat dilanjutkan pada waktu lain yang disepakati oleh seluruh peserta rapat. Setiap kali rapat pembahasan kasus, harus dibuatkan dafter hadir peserta rapat dan risalah rapat dengan klasifikasi rahasia yang disampaikan secara terbatas hanya pada peserta rapat dan Direksi rumah sakit.
D.
Kasus Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia.
Apabila
kesehatan
seseorang
terganggu,
maka
produktifitasnya pun akan terganggu. Ia tidak akan dapat melakukan pekerjaan atau rutinitasnya secara optimal. Gangguan terhadap kesehatan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi cacat, kehilangan kemampuan organ tubuhnya, atau yang paling ekstrem menyebabkan kematian. Dampak dari gangguan kesehatan tidak hanya dirasakan oleh individu yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang bersangkutan. Dampak tersebut minimal dirasakan oleh keluarga, rekan sekolah, atau rekan kerja. Apabila penyakit yang menyebabkan gangguan kesehatan tersebut termasuk penyakit menular dan berbahaya, maka dampaknya bisa lebih luas lagi. Mengingat begitu pentingnya arti kesehatan tersebut bagi
60
manusia, maka pada umumnya setiap orang akan melakukan segala daya upaya untuk memperoleh kesembuhan jika mereka mengalami gangguan kesehatan. Rumah Sakit adalah salah satu lembaga yang akan didatangi oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan untuk memperoleh kesembuhan. Terhadap beberapa jenis gangguan kesehatan tertentu, orang yang bersangkutan bahkan wajib menjalani perawatan di Rumah Sakit. Hal itu dikarenakan alat yang diperlukan dan prosedur penyembuhan
untuk
gangguan
kesehatan
tersebut
hanya
terselenggara di Rumah Sakit. Namun, satu hal yang penting untuk dicatat; hubungan yang terjalin antara Rumah Sakit dengan orang yang mengalami gangguan kesehatan (selanjutnya disebut Pasien) tersebut
adalah
suatu
hubungan
yang
tidak
murni
bersifat
kemanusiaan, melainkan ada aspek bisnisnya. Rumah Sakit dalam hal ini merupakan pelaku usaha, yang oleh karena
itu memiliki
misi
mencari
keuntungan
ekonomis
dari
kegiatannya. Sedangkan, di sisi lain Pasien adalah konsumen yang membeli
jasa
kesehatan
dari
pihak
Rumah
Sakit.
Dalam
perkembangannya kegiatan bisnis yang dilakukan oleh Rumah Sakit ternyata telah melahirkan berbagai permasalahan penting yang perlu dicermati secara seksama; di antaranya tindakan Rumah Sakit yang menolak untuk merawat pasien miskin, Rumah Sakit menahan Pasien yang belum membayar biaya perawatan, Rumah Sakit tetap menagihkan biaya perawatan kepada Pasien yang miskin, dan
61
berbagai kasus kesalahan pelayanan medik atau yang umum dikenal dengan istilah mal-praktik. Berbagai permasalahan itu penting untuk dicermati agar dapat dirumuskan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Solusi tersebut dimaksudkan agar Rumah Sakit dapat secara optimal menjadi lembaga yang melayani masyarakat dan tidak semata-mata menjadi
mesin
pengeruk
keuntungan
yang
hanya
melayani
kepentingan pemegang saham Rumah Sakit tersebut.
2.
Kasus Penolakan Pasien Miskin Dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
(Perubahan Kedua) disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dengan menggunakan penafsiran acontrario dapatlah dikatakan bahwa siapapun tidak boleh menghalangi seseorang untuk, dalam konteks
ini, memperoleh pelayanan
kesehatan. Namun pada kenyataannya, beberapa Rumah Sakit masih ada yang menolak untuk merawat Pasien miskin. Kasus tersebut selengkapnya akan dipaparkan di bawah ini. Muhammad Zulfikri (selanjutnya disebut Zul) merupakan putra sulung pasangan Husein-Lailasari
yang
tinggal
di
Kelurahan
Makasar, Jakarta Timur, lahir pada hari Rabu, 13 Juli 2005. Bayi itu lahir prematur dengan berat 1,4 kg lewat pertolongan dukun beranak. Pada tanggal 21 Juli 2005, Zul terkena penyakit kuning setelah
62
dibawa
mengungsi
karena
rumah
kontrakan
Husein-Lailasari
kebanjiran. Pukul 09.00 WIB, Husein-Laila membawa Zul ke Puskesmas. Dari Puskesmas, mereka membawa Zul ke RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot
Subroto, RSAL Mintoharjo, RSAB
Harapan Kita, dan RS UKI. Keenam RS ini menolak. Baru pukul 20.00 (11 Jam kemudian), Zul diterima di RS Harapan Bunda di Pasar Rebo. RS Budhi Asih, Cawang menolak merawat dengan alasan berat Zulfikri hanya 1,4 kg. Ia lalu dibawa ke RSCM yang menolak dengan alasan tidak memiliki peralatan untuk merawat Zulfikri. Alasan yang sama juga dikemukakan RSAL Mintoharjo dan RS UKI. Sementara RSPAD Gatot Subroto menolak dengan alasan ruangan/inkubator sudah penuh namun sebelumnya pihak RS sempat menanyakan apakah orang tua Zulfikri sanggup membayar biaya perawatan Rp 700.000 sehari. RSBA Harapan Kita juga menolak dengan alasan tidak jelas. (Kompas, 28 Juli 2005) Namun setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda, kondisi Zul berangsur-angsur membaik. (Kompas, 31 Juli 2005) RS Harapan Bunda sebenarnya meminta uang sebesar Rp 1 juta untuk perawatan Zul secara khusus. Namun, karena tidak punya uang, petugas meminta orantua Zul untuk mengusahakan uang Rp 500.000. Husein lantas mengandalkan Sri Mulya, kakak kandungnya, agar mencarikan pinjaman. Pada Pukul 23.00 WIB, kakaknya Husein datang membawa uang Rp 250.000, yang langsung diserahkan
63
kepada perawat untuk keperluan obat. (Warta Kota, 25 Agustus 2005) Ironisnya Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menyatakan bahwa sanksi terhadap Rumah Sakit yang menolak Pasien miskin belum dapat diberikan. Alasannya ialah belum ada dasar hukumnya. (Media Indonesia, 4 Agustus 2005) Mahlil Ruby, Peneliti pada Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijkan Kesehatan FKM UI, berbeda pendapat dengan Menteri Kesehatan. Ia memandang bahwa penolakan Zulfikri oleh Rumah Sakit publik telah melanggar Pasal 34 Ayat (1) dan 28-H Ayat (1) UUD 1945. Ia juga berpendapat bahwa penolakan tersebut dikarenakan Rumah Sakit publik sudah berorientasi ekonomi; yaitu karena pelayanan pasien miskin tidak banyak menambah insentif tenaga kesehatan dan pemasukan kas Rumah Sakit, maka Zulfikri ditolak. (Mahlil Ruby, Rumah Sakit Publik Mulai Miskin Moral, Kompas)
3.
Kasus Penahanan Pasien Medio September 2004, Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci Tangerang dilaporkan ke Polisi oleh seorang anggota keluarga Pasien dengan tuduhan telah melakukan penyanderaan Pasien. Berikut ini adalah gambaran dari kasus ini yang dicuplik dari berita yang dimuat di Tempo Interaktif, 16 September 2004. Menurut Jessy Quantero, Direktur Utama Healt Care selaku pengelola Rumah Sakit Siloam, pasien bernama Leonardus, 53 tahun, memang merupakan pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit
64
itu. "Pasien itu memang pasien nakal dan tidak punya etikat baik," kata Jessy kepada Tempo. Leonardus, kata Jessy, mulai masuk dan dirawat di RS Siloam sejak 16 Agustus 2004 dengan kondisi cukup parah, karena sudah banyak komplikasi. Pihak rumah sakit pun sudah meminta komitmen pasien seputar kesanggupan membayar biaya pengobatan, karena pihak tempat Leonardus bekerja tidak mau menanggung biaya pengobatan membayar
Leonardus. sendiri,
dan
"Pasien kami
menyatakan menjalankan
sanggup
untuk
kewajiban
untuk
merawatnya," kata Jessy. Alhasil, kondisi Leonardus membaik, dan Leonardus berencana pulang. Tapi ketika pihak rumah sakit menagih biaya pengobatan, Leonardus justru mengaku disandera rumah sakit. "Mahalnya biaya perawatan selama sebulan dan operasi yang harus dibayar, membuat Leonardus
kalap
dan
takut.
Ia
tidak
bisa
pulang
sebelum
menyelesaikan semua Administrasi sebesar Rp. 45 Juta," kata Jessy. Menurut Jessy, pihaknya sudah mendahulukan nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak menagih secara rutin semua biaya dan mendahulukan pengobatan. Tapi kemudian, nyonya Leni -isteri Leonardus- melaporkan RS Siloam ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, karena suaminya disandera rumah sakit itu. "Walau Leonardus sudah membuat kami malu, kami tetap akan menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik," kata Jessy. Sebelum dilaporkan ke kepolisian, kata Jessy, pihaknya sudah mendapatkan kesepakatan dengan Leonardus: Leonardus akan
65
membayar tagihan dengan mencicil Rp. 3 juta per bulan. "Tapi ketika ditangani LBH Kesehatan, kesepakatan itu langsung berubah dengan tawaran mencicil Rp. 100 ribu per bulan," kata Jessy lagi.
4.
Kasus Penagihan Biaya Terhadap Pasien Miskin Sebagai
kompensasi
atas
pengurangan
subsidi
BBM,
pemerintah memperkenalkan program penggratisan biaya pengobatan untuk
Pasien
miskin.
Namun
pada
kenyataannya
pelayanan
kesehatan gratis kepada masyarakat miskin sepenuhnya belum terlaksana dengan baik, bahkan cenderung cuma dalam tataran konsep. (Media Indonesia, 30 Juli 2005). Berita yang dimuat di harian Suara Merdeka pada hari Rabu, 14 September 2005 menjadi bukti mengenai hal tersebut. Berita tersebut mempublikasikan pengalaman Subarjo (55), warga Bantul, pemegang kartu sehat, berobat ke Rumah Sakit Wirosaban, Yogyakarta. Meski sudah menunjukkan kartu untuk keluarga miskin, dia tetap dikenai biaya Rp 240.000. Karena takut, Subarjo langsung membayar sesuai dengan biaya yang diminta petugas rumah sakit. Namun Subarjo masih beruntung, karena dalam waktu bersamaan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari mengetahui peristiwa tersebut. Saat itu juga Menteri Kesehatan langsung meminta petugas rumah sakit untuk segera mengembalikan uang pasien itu. Setelah dimarahi Menteri Kesehatan, petugas pun mengembalikan uang berobat Rp 240.000 kepada Subarjo. Sementara itu, petugas pelayanan rumah sakit mengungkapkan, Subarjo tetap dipungut biaya,
66
walaupun memegang kartu sehat karena obat yang ada dalam resep tidak termasuk dalam daftar obat kerja sama pemerintah dengan PT Askes. ''Ada dalam daftar atau tidak, pemegang kartu sehat harus mendapat pelayanan gratis,'' kata Menteri Kesehatan. Bukti bahwa program penggratisan biaya tersebut belum berjalan dengan baik juga terdapat dalam berita yang dimuat di Gatra pada 2 Januari 2006. Dalam berita itu dikatakan bahwa Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, saat mengunjungi RSUD M. Yunus Bengkulu mengungkapkan
kekecewaannya,
karena
mengetahui
banyak pasien miskin di kelas III masih dibebani biaya obat-obatan. "Ini sudah tidak benar, protapnya kan sudah jelas bahwa pasien miskin di kelas III harus gratis. Mana petugas Askes tolong dijelaskan kenapa pasien masih membayar," kata Menteri Kesehatan kepada dokter-dokter dari RSUD, anggota Komisi IX DPR-RI serta pejabat Departemen Kesehatan RI. Dari empat orang pasien miskin di kelas III RS itu, seluruhnya mengaku sudah mengeluarkan biaya untuk menebus obat-obatan. Ny. Febi, orang tua dari Gozi (2,5) yang menderita demam typoid, mengaku sudah membayar sampai Rp600 ribu untuk obat-obatan, begitu juga dengan Ny. Fatimah (65) penderita muntaber sudah membayar Rp500 ribu. Menkes yang ketika itu didampingi Dirut PT ASKES Dr Ori Sundari, dengan suara keras meminta agar semua biaya yang dikeluarkan pasien miskin dikembalikan saat itu juga. Kepada Direktur RSUD M. Yunus Dr Syarifuddin, ia minta agar jangan ada lagi pembayaran seperserpun yang dibebankan kepada pasien
67
miskin. Syarifuddin menegaskan, kalaupun pasien miskin membayar, nantinya dibebankan ke APBD. Namun Menkes dengan suara keras menyatakan, tidak dibenarkan pasien miskin membayar meski akhirnya diganti, karena setiap biaya pengobatan pasien miskin sudah dibayar negara dan ditagih melalui ASKES Anak Ny. Fatimah pasien muntaber yang dirawat, Suplin menyatakan dalam membayar obat-obatan kepada pihak rumah sakit, ia tidak diberi tanda bukti ataupun kwitansi. Menteri Kesehatan bahkan mengkhawatirkan obat-obatan untuk pasien miskin harus ditebus sendiri tapi oleh pihak rumah sakit dimintakan ke ASKES seolah-olah obat sudah diberikan secara gratis. Menkes menegaskan, RS harus memberikan perawatan optimal kepada pasien miskin, sama halnya dengan pasien di kelas maupun VIP. Pasien miskin sudah dibayar oleh negara dan pihak Rumah Sakit menagih ke ASKES, bahkan menurut Menkes, ada satu rumah sakit yang tagihan DI ASKES sampai Rp100 miliar. Pihak rumah sakit jangan memandang pasien mikin sebagai beban, bahkan seharusnya mereka berlomba-lomba merawat pasien miskin, karena segala perawatan dan obat-obatan diganti negara, bahkan jasa dokter juga dibayar. "Sangat keterlaluan kalau pihak rumah sakit masih membeda-bedakan pasien dari keluarga miskin. Pasien miskin harus gratis dan dirawat dengan baik dan saya tidak bisa terima dengan dalih apapun kalau ada pasien yang diabaikan," ujarnya. Dalam kunjungan ke RSUD M. Yunus, Menteri
Kesehatan
menemui
sekitar
10
pasien
miskin
dan
menanyakan perawatan yang diterima serta biaya perawatan.
68
Sebagian penjelasan dari dokter ditanyakan lagi ke pasien dan ada pernyataan dokter yang faktanya tidak sama dengan yang dialami pasien.
5. a.
Kasus-Kasus Malpraktek Kasus Agian – Permohonan Euthanasia Pertama di Indonesia Pemberitaan mengenai kasus ini diawali pada tanggal 29 Agustus
2004.
Saat
itu,
detik.com
dalam
judul
beritanya
menyebutkan, ”Ny. Agian, Korban Malpraktik Masih Tergeletak Lemas.” Berdasarkan keterangan dari suami Ny. Agian yang bernama Panca Satriya Hasan Kusumo yang dimuat detik.com pada 3 September 2004, awal mula kasus ini adalah sebagai berikut. ” Awalnya tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dari kehamilan istri saya ini. Setiap bulan istri saya memeriksakan kehamilan ke dokter Gunawan Muhamad, ahli kandungan. Selama sekian bulan rutin diperiksa dokter Gunawan, ia diberikan beberapa macam obat untuk kesehatan ibu dan anak. Tidak pernah ada gejala atau tanda-tanda keracunan. Setelah kehamilan memasuki bulan ke34, ia (Ny. Again) kembali diperiksa. Hasil USG muncul kecurigaan dan keraguan dalam diagnosa terhadap kondisi janin dengan alasan monitor terlalu kecil. Oleh dokter, istri saya disarankan melakukan pemeriksaan di Jakarta yang lebih lengkap. Terus kami bawa ke RS Harapan Kita, hasilnya tidak ada kelainan pada janin, kecuali tampak acitest pada ibu dan letak bayi sungsang. Rekomendasinya agar segera dilakukan operasi caesar. Kemudian tanggal 20 Juli dilakukan
69
operasi caesar di Rumah Sakit Islam Bogor. Operasi berjalan selamat, karena kondisi kesehatan bayi kurang, maka oleh pihak Rumah Sakit Islam bayi dirujuk di Rumah Sakit PMI Bogor untuk perawatan inkubator. Sedangkan istri saya normal, tak ada masalah bahkan komunikasi berjalan dengan baik dan malam itu dibawa ke Rumah Bersalin Yuliana untuk rawat inap. Keesokan harinya, saya diberitahu oleh pihak Rumah Bersalin Yuliana, bahwa istri saya tekanan darah naik, dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Islam Bogor tanpa persetujuan saya. Saya diminta langsung ke Rumah Sakit Islam. Sampai di sana istri saya sudah ditangani tim dokter, beberapa saat kemudian pihak Rumah Sakit memberikan satu resep untuk ditebus, untuk menurunkan tekanan darah. Dan hasilnya setelah resep saya tebus, beberapa saat dari situ saya tanya perkembangan lagi. Darahnya ternyata terlalu drop, 120/80.
Wah
terlalu rendah, pihak rumah sakit meminta saya menebus resep lagi. Saya tebus resep di rumah sakit itu. Saya tunggu beberapa saat. Pas ditensi, saya masuk, ternyata jadi 190/140. Dokter bilang pak ini ketinggian, bapak harus beli lagi namanya dupamin cair. Dua ampul plus pengantar untuk membeli darah dua kantong. Malam itu juga jam 12.00 saya berikan, tanggal 21 Juli itu, saya berikan 2 ampul dupamin dan dua ampul kantong darah. Saya menunggu lagi di luar, karena tak boleh di dalam. Sekitar jam 12.30 (setengah satu) saya dipanggil masuk ruangan dengan buru-buru, Pak-pak cepet-cepet. Pas saya masuk kedapatan istri saya nampak seperti sudah mati. Saya shock, mereka panik. Saya lihat mereka panik, dengan napas
70
bantuan. Saya lihat kantong darah sudah kosong satu dan infus dupamin itu. Setelah itu, saya lihat kira-kira 10 menit tanpa nadi dan napas. Tensi nol. Setelah kantong darah kedua dan dupamin diperas, kira-kira sepuluh menit muncul nadi dan napas. Pas ditensi, tensinya 60/40. Dari situlah dilanjutkan sampai kantong darah dan dupamin habis. Sampai kira-kira tinggal seperempat, ditensi, tensinya tidak terkendali. 60, 90, 150., 180 terus sampai 250/210. Ya setelah selesai, di situlah akhir dari tindakan itu. Kemudian istri saya diamkan dari jam 2 siang, katanya mau dirujuk ke ICU. Baru pada jam 8 malam, baru dapat ruang ICU di rumah sakit PMI Bogor. Setelah masuk PMI, kemudian di ICU 8 hari dan dirawat inap sampai 38 hari. Baru dapat kepastian tanggal 11 Agustus kalau perlu tindakan lanjutan. Kemudian saya membawa istri saya ke Rumah Sakit Pertamina untuk MRI, karena beberapa hari itu kondisinya spatik. Ternyata PMI membiarkan saja. Hanya melakukan pijat-pijat saja. Setelah saya bawa ke RS Pertamina, baru pasti ada kerusakan otak, kanan kiri, otak kecil kanan dan kiri, serta kerusakan pusat saraf otak yang permanen.” Pada 7 September 2004, diberitakan bahwa Ny. Agian Isnauli tidak hanya melaporkan dr Gunawan dari Rumah Sakit Islam Budi Agung ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan telah melakukan malpraktik saja. Tetapi, ia rencananya akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bogor. Pada 17 September 2004, Hasan beraudiensi dengan anggota DPRD Kota Bogor. Saat itu ia menyampaikan bahwa ia sudah 71
mengeluarkan uang Rp. 60 Juta untuk membiayai pengobatan istrinya dan masih berhutang Rp. 17 Juta lagi ke RS PMI Bogor. Ia mengatakan bahwa tidak memiliki uang lagi untuk membiayai pengobatan istrinya, karena itu ia memohon agar istrinya disuntik mati saja (euthanasia). Pada 27 September 2004, Menteri Kesehatan Suyudi mengatakan bahwa euthanasia dilarang di Indonesia. Diwawancarai pada hari yang sama, Hasan mengatakan bahwa apabila pemerintah melarang euthanasia, maka dia minta pemerintah ikut menanggung biaya pengobatan istrinya, karena Ia merasa tidak mampu lagi menyediakan dana untuk pengobatan istrinya. Polemik seputar permohonan euthanasia ini mengundang komentar dari dr Marius Widjajarta
dari
Yayasan
Konsumen
Kesehatan
Indonesia.
Menurutnya, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. Lebih lanjut Ia mengatakan, " Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara." Ternyata, pada 22 Oktober 2004 Hasan secara formal mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hari itu juga Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri Kesehatan. Namun untuk berjaga-jaga sekiranya Menteri Kesehatan menolak permohonan tersebut, Hasan juga menyerahkan surat kepada Menteri Kesehatan yang berisi permohonan keringanan biaya perawatan untuk istrinya.
72
Pada 26 Oktober 2004, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian di RSCM. Ia mengatakan,”untuk selanjutnya, biaya perawatan dan pengobatan Ny Agian akan kita tanggung. Mudah-mudahan gratis, kita akan bantu seluruh biaya." Namun, pada 10 November 2004 Hasan malah melaporkan Menteri Kesehatan ke polisi. Ia mengatakan "Waktu kunjungannya, menkes menjanjikan akan mengcover biaya perawatan istri saya. Tapi nyatanya tagihan baru terus berdatangan. Tagihan yang saya bawa ini saja sudah menghabiskan biaya sekitar Rp 20 juta. Bahkan ada obat-obatan yang belum saya tebus." Pada tanggal 6 Januari 2005 terjadi kejadian yang luar biasa. Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah sadar kembali. Ny Agian telah bisa meninggalkan tempat tidurnya dan melihat pemandangan dengan naik kursi roda; tentu saja masih dengan bantuan kerabatnya. Dia juga sudah bisa mengunyah karedok (makanan Sunda, sejenis gado-gado) dan sudah bisa berbicara. Menurut, Iskandar, kuasa hukumnya dari LBH Kesehatan, kondisi Agian membaik setelah mendapatkan berbagai pengobatan alternatif dari Manado, Sumut, Jabar hingga NTB. Jenis pengobatan alternatif itu misalnya pemijitan sistem refleksi dan dengan bau-bauan. Menurut Iskandar pengobatan tradisional ini merupakan upaya keluarga. "Tapi dokter tidak melarang," tandas Iskandar. Keluarga juga memberikan terapi memperdengarkan lagu-lagu nostalgia kepada Agian. "Ny Agian jadi ingat anaknya dan ingat pergaulannya dulu. Keluarga terus melakukan aneka terapi," kata Iskandar.
73
Pada 6 Januari 2005, Ny. Agian dapat melakukan aktifitas yang luar biasa. Ia dapat membaca surat Al Fatihah hingga selesai dan menyanyi lagu dangdut Goyang Dombret. Yanti, Perawat yang sehari-hari merawat Ny. Agian menceritakan, "Kira-kira seminggu sebelum lebaran (November 2004), Ny Agian sudah menunjukkan keadaan yang baik. Secara berangsur-angsur pulih dari tempat tidur duduk bersandar, duduk berjuntai, dan sekarang sudah kuat menopang lehernya." Dr M Imam, dokter jaga di Stroke Unit RSCM menambahkan, Ny Agian sudah mulai progesif. "Sudah sekitar 1 bulan terakhir ini. Dia sudah bisa berkomunikasi dan menerima rangsang-rangsang dari luar," kata Imam. Sedangkan ahli gizi Stroke Unit RSCM, Utih Arupah SKM, menyatakan, biaya makan per hari Agian mencapai Rp 100 ribu. Setiap hari Ny. Agian diberi susu peptamin ensure, 6 buah putih telor, sari buah, dan makan havermuth 3 kali sehari. "Untuk kembali sembuh, Ny Agian membutuhkan gizi yang prima. Karena itu ongkos makanannya pun mencapai Rp 100 ribu per hari," katanya. "Pasien VIP biasanya nggak lebih dari segitu (Rp 100 ribu). Tapi ini kita beri yang terbaik agar kondisinya semakin membaik," demikian menurut Utih. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek pada tanggal 7 Januari 2005 berkomentar bahwa apa yang terjadi pada Ny. Agian yang telah sadar dari koma panjangnya adalah suatu mukjizat. Pada tanggal 6 Januari 2005 itu pula Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari menjenguk Ny. Agian kembali. Pada saat itu Ia
74
mengatakan, "Tolong diberitakan ya! Orang yang sudah hidup begini masa mau disuntik mati. Ini bagi kaum perempuan sangat menyakitkan. LSM yang peduli perempuan diam saja.” Hasan saat itu tidak berada di tempat, karena sedang menjadi relawan penolong korban tsunami di Aceh. Ketiadaan Hasan membuat berbagai isu yang menjurus fitnah beredar. Salah satunya ialah isu yang mengatakan bahwa kepergian Hasan ke Aceh ialah untuk menghindari kebencian Ny. Again. Tetapi Ninda, aktivis LBH Kesehatan yang intens mendampingi Ny. Again, pada 7 Januari 2005 membantah isu tersebut. Pada 9 Januari 2005, Ninda memberitahu bahwa Ny. Agian terus menerus memanggil nama Hasan. Hal mana membuktikan bahwa Ny. Agian justru rindu pada suaminya, bukannya membencinya. Setelah pulang dari Aceh, Hasan kembali membuat berita. Pada tanggal 11 Januari 2005 ia mengumumkan pada pers bahwa ia akan melaporkan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari ke Mabes Polri dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ia merasa difitnah Menteri Kesehatan yang menuduhnya lari dari tanggung jawab menjaga istrinya yang sedang sakit di RSCM Agian Isna Nauli. Hasan menuturkan, berdasarkan pengakuan dua orang wanita dari LBH kesehatan yang menemani Agian saat Menteri Kesehatan wanita
datang, itu dan
keuntungan
Meteri menuduh
belaka
Kesehatan mereka dari
menunjuk hanya sakitnya
kedua mencari Agian.
"Itu fitnah. 'Adik-adik' dari LBH Kesehatan itu justru yang selama ini
75
telah membantu saya. Saya sangat keberatan dengan itu," demikian kata Hasan. Pada
5
Februari
2005
diberitakan
bahwa
kondisi
kesehatan Ny. Agian semakin membaik, bahkan tangan dan kakinya sudah bisa digerakan. Ny. Agian bahkan sudah bisa menebar senyum dan mengenali siapa saja yang mengajaknya bicara. Mungkin karena dianggap kondisinya sudah membaik, maka pada tanggal 7 Februari 2005, pihak RSCM memindahkan Ny. Agian ke bangsal kelas III. Sebelumnya Ny. Agian dirawat di ruang khusus stroke Soepardjo Roestam RSCM. Menurut keluarga dan LBH Kesehatan yang mendampingi Ny. Agian, pemindahan dilakukan dengan paksa dikawal aparat kepolisian. Menurut Ninda, dari LBH Kesehatan, pemindahan Ny Agian ini dilakukan secara mendadak. Pihak keluarga sempat menentang pemindahan ini. Apalagi, saat itu suhu badan Ny Agian panas dan demam. Ninda menyatakan, alasan para perawat di ruang Soepardjo Roestam memindahkan Agian, karena Agian dinilai sudah tidak perlu perawatan secara medis lagi dan hanya butuh terapi saja. "Saat dipindahkan, sejumlah anggota polisi mengawal dan bahkan mereka berjaga di depan bangsal ini sampai Sabtu kemarin," jelasnya. Dibandingkan saat dirawat di ruang khusus perawatan Soepardjo Roestam, kualitas perawatan di bangsal kelas III jauh berbeda. Ny Agian kini dikumpulkan bersama dengan 30 pasien lainnya di bangsal itu. Dulu, Ny Agian berada di Ruang Soepardjo
76
Roestam seorang diri. Di bangsal ini juga tidak tampak ada peralatan medis semewah di ruang Soepardjo Roestam. Rencananya, kata Ninda, sebagai bentuk tidak terimanya keluarga atas pemindahan Ny Agian ini, minggu ini pihak keluarga akan memindahkan Ny Agian ke luar negeri. Pihak keluarga dan LBH Kesehatan juga menilai, RSCM sudah tidak serius lagi merawat Agian. Ini terihat, dari tindakan para perawat yang kurang respek terhadap Agian. "Memang, rencananya Bang Hasan (suami Agian) akan membawa Mami ke RS di Luar Negeri minggu ini. Karena di sini dinilai sudah tidak serius. Tapi, fixed atau tidaknya dipindahkan ke luar negeri, saya belum tahu," jelasnya. Sebelumnya, memang RSCM meminta kepada keluarga untuk merawat Ny Agian di rumah, karena kondisi Agian sudah membaik. Namun, saat itu Hasan mengaku belum siap. Seiring dengan kepindahan Ny Agian ke bangsal kelas III, wartawan juga tidak diperbolehkan oleh perawat untuk menengok atau mewawancarainya. Bila ingin melihat kondisi Ny. Agian, wartawan harus mendapat izin tertulis dari RSCM. Berita terakhir yang terkait dengan kasus ini dimuat di detik.com pada tanggal 20 Februari 2005. Dalam berita tersebut dikatakan bahwa untuk pemulihan kesehatannya Ny Agian Isna Nauli akan diberangkatkan ke Kuba. Namun, karena masalah biaya yang mencapai sekitar US$ 5.000, hal tersebut belum bisa dilakukan. Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan
77
bahwa awalnya ada tiga negara yang akan dituju untuk pemulihan kesehatan Ny Agian. Negara-negara tersebut adalah Kuba, Belanda dan Vatikan. "Tapi di antara tiga negara tersebut yang lebih responsif adalah Kuba," katanya. Menurut Sitorus, Ny Agian segera di berangkatkan ke Kuba jika uang tersebut terkumpul. "Tapi, sampai saat ini kami masih mencari donatur untuk biayanya karena sampai saat ini belum ada," ungkapnya.
b.
Kasus Adya – Gugatan Ditolak Hakim Karena Tidak Ada Otopsi Kasus ini berawal ketika Adya Vitry Harisusanti mengalami muntah darah 20 Oktober 2002. Ia kemudian dibawa ke RS Azra Bogor dan sempat diopname. Pasien ini kemudian diperbolehkan pulang keesokkan harinya. Tak lama kemudian, pasien ini kembali mengeluh sakit di bagian kandungannya dan dibawa ke RS Sukoyo. Ia divonis menderita kista bagian di kanan dan kiri kandungannya setelah melalui pemeriksaan USG dan kemudian dirujuk ke RS PMI Bogor. Adya lalu masuk RS PMI Bogor pada 10 November 2002 dan mendapat tindakan medis yang dianggap membingungkan karena tidak adanya informasi yang jelas. Pasien ini diberikan transfusi darah 300 cc padahal hasil lab menunjukkan kadar hemoglobin (HB)-nya masih normal. Dokter juga me-rontgen di bagian dada, padahal menurut penggugat, istrinya menderita sakit dibagian perut.
78
RS PMI, menurut Indra, juga dinilai telah melakukan kelalaian medis yang merugikan kondisi pasien. Pasien harus menunggu 1,5 jam dari jadual yang seharusnya dan tanpa alasan yang jelas operasi kista itu akhirnya batal dilakukan, pada 14 November 2002 karena dokter tak datang. "Tidak jadinya pelaksanaan operasi ini berakibat fatal pada kondisi fisik dan mental yang memperparah dan penyakit almarhum," kata Erna Ratnaningsih, penasehat hukum penggugat. Selama 14 hari tanpa penjelasan yang memadai mengenai kondisi istrinya, Indra kemudian memindahkannya ke RS Pelni Petamburan. Adya kembali ditransfusi darah 500 cc. Namun hingga dirawat di rumah sakit tersebut, dokter ternyata belum mampu menghentikan pendarahan terus menerus yang diderita pasien itu. Pemeriksaan
di
bagian
kandungan
juga
menurut
penggugat tidak dilakukan secara pantas dan melanggar etika kedokteran. Menurut Indra, dokter langsung memvonis istrinya terkena tumor miom (myoma) tanpa pemeriksaan lebih jauh seperti USG. Istrinya yang tanpa ditemani itu, menurutnya sangat ketakutan dan menderita depresi luar biasa. Setelah pemeriksaan USG ternyata tidak ditemukannya pendarahan di bagian kandungan dan tumor. Karena tidak puas, Indra lalu meminta rujukan ke RSCM. Adya kemudian dirawat di RSCM pada 17 Desember 2002. Ia diminta menceritakan seluruh tindakan medis yang pernah
79
dilakukan sebelumnya. Dokter RSCM yang menangani Adya cukup terkejut dengan apa yang dilakukan dokter sebelumnya. Setelah di diagnosa melalui radiologi nuklir ternyata ditemukan kebocoran sebanyak dua lubang di bagian usus Adya. Dokter pun memutuskan untuk mengoperasi dengan pemasangan alat CVP (Central Vena Presure). Ternyata pemasangan alat yang dilakukan dokter sebelumnya, berakibat fatal dan menyebabkan kematian Adya. Pemasangan alat melalui jarum suntik berukuran besar itu yang dilakukan melalui pembiusan itu ternyata tidak berhasil. Darah mengalir sesaat jarum suntik itu ditusuk ke tabung CVP dan membuat Adya semakin kritis. Alat itu ternyata, menurut Indra dipasang tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasl dari arteri jadi bukan masuk ke vena," katanya. Adya menghembuskan nafas terakhirnya 10 menit kemudian. Suami almarhumah Adya Vitry Harisusanti, yaitu Indra Syafri Yacub, kemudian menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI), yang dianggapnya telah melakukan malpraktik. Ketiga Rumah Sakit tersebut juga dilaporkan ke Menteri Kesehatan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran Peraturan Menteri Kesehatan. RSCM dan RS PMI Bogor diadukan karena tidak memberikan isi rekaman medis kepada Indra Syafri Yacub. Sedangkan RS
80
Pelni Petamburan diadukan karena salah satu dokternya tidak melakukan rekaman medis saat almarhumah Adya Vitry Harisusanti dirawat disana. Pada 30 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan malpraktek yang dilayangkan terhadap tiga rumah sakit. Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menilai gugatan malpraktek yang diajukan Indra Syafri Yacub, suami korban yang bernama Adya Vitry Harisusanti terhadap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Pelni Petamburan (Pelni) dan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia
(PMI),
terlalu
prematur.
"Sampai
diajukannya
gugatan, belum dilakukan pemeriksaan ataupun otopsi atas diri pasien
tersebut
sehingga
belum
diketahui
sebab-sebab
kematiannya," kata Sugito, salah satu hakim anggota saat membacakan putusan tersebut di PN Jakarta Pusat, Kamis (30/9). Menurut hakim, penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas gugatan perbuatan melawan hukum itu. Penasihat hukum Indra, Erna Ratnaningsih menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan pihaknya. Selain itu ia menilai dalam gugatan perbuatan hukum, otopsi bukanlah satu-satunya alat bukti. "Tidak ada seorang ahli pun mengatakan otopsi harus dilakukan," katanya. (Tempo Interaktif, 30 September 2004)
81
c.
Kasus Fellina – Pasien Sudah Kritis Baru Dibawa Ke Rumah Sakit Pada tanggal 18 Agustus 2004, Keluarga Fellina Azzahra, 16 bulan, melaporkan dokter Rumah Sakit Karya Medika Cibitung ke Polda Metro Jaya terkait malpraktek. Laporan disampaikan
oleh
orang tua
Fellina,
Masriah
dan
Iwan
Pahriaman. Kasus ini bermula dari operasi pada bulan Januari lalu untuk mengobati keluhan sakit yang diderita Fellina pada perutnya. Saat itu, menurut Masriah, usus anaknya didiagnosis mengalami tumpang tindih, akibatnya terjadi pembusukan usus sepanjang beberapa cm. Namun, operasi yang dilakukan menyebabkan usus besarnya juga keluar. Fellina, yang memiliki berat 5,5 kg, tampak sangat kurus dan terus menangis karena kesakitan. Di sekitar perutnya, masih tampak
bercak
merah,
khususnya
di
sepanjang
jahitan.
Sementara kantong plastik harus selalu diikatkan ke perutnya untuk menampung sari makanan yang keluar dari ususnya. Ibunya selalu membawa sekitar 10 kantong plastik kecil untuk mengganti setiap kantong plastik yang sudah penuh dengan cairan makanan. Rumah
Sakit
(RS)
Medika
Cibitung
membantah
melakukan tindakan malpraktek terhadap bocah bernama Fellina Azzahra, 16 bulan. Rumah sakit menganggap keluarga pasien tidak menuruti saran yang dianjurkan. Selain itu, makin parahnya
82
kondisi pasca operasi sehingga usus bocor karena keluarganya tidak rutin memeriksakan ke RS. Dokter Ottman yang menangani Fellina tetap bersikukuh tindakan penanganan terhadap pasien sudah benar. Operasi yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2004 sekitar pukul 01.00 wib ketika pasien dalam keadaan darurat. "Dilakukan empat jam setelah pasien masuk," kata dr. Ottman Nasution. Ottman menjelaskan Fellina dioperasi karena ususnya mengalami pembusukan. Diakui dr. Ottman, saat tindakan operasi, kondisi Fellina kurang sehat. Karena kondisi darurat, medis memutuskan tetap mengoperasi. "Saat itu, kondisi tubuhnya kurang sehat. Kenapa berat badannya cuma 6 kilo untuk bayi sembilan bulan," ungkap Ottman. Operasi
dinyatakan
berhasil,
beberapa
sentimeter
ususnya dibuang. Setelah dioperasi dan dijahit, keluarga itu sempat dirawat di RS. Pada 31/1, pasangan suami istri Iwan Pahriwan, 36 tahun dan Masriyah, 30 tahun memutuskan untuk pulang ke rumah karena sudah tidak memiliki biaya untuk bertahan di rumah sakit. Dokter Ottman menegaskan, persoalannya sebenarnya bukan kesulitan biaya. Rumah sakit menyalahkan keluarga Fellina yang tidak secara rutin seminggu sekali datang ke rumah sakit. "Ini bukan masalah uang. Saya anjurkan dia datang setiap minggu. Kalau enggak bayar enggak apa-apa kok," kata dia.
83
Rumah sakit mengakui memang waktu itu mengenakan uang Rp 12 juta ke keluarga Fellina untuk biaya operasi dan perawatan. Fellina kemudian dipindahkan ke RSCM. Namun, pada 7 September
2004
Fellina
meninggal
dunia.
Hal
yang
mengejutkan ialah Fellina dikatakan meninggal dunia karena penyakit campak. Padahal, pada saat dimasukkan ke RSCM tidak ada indikasi penyakit campak tersebut. (Tempo News Room, 7 September 2004) Orangtua Fellina mengakui bahwa anaknya sudah dirawat oleh pihak RSCM selama sekitar 15 hari mulai dari perawatan secara intensif di ruang ICU hingga ke ruang kontrol pasien yang lebih khusus selama menjalani perawatan. Ia juga mengatakan apa yang dilakukan pihak rumah sakit membuat berat anaknya meningkat hingga mencapai 7,5 kilogram dan bisa dilakukan operasi pada ususnya yang terbuka pascaoperasi di rumah sakit Karya Medika Cibitung, Jakarta Timur. Namun pada tanggal 15 September 2004, Ia tetap melaporkan pihak RSCM ke Polda Metro Jaya, karena dianggap melakukan pembiaran sehingga anaknya meninggal di Rumah Sakit tersebut. (Tempo, 15 September 2004)
d.
Kasus Lucy M Sudrajat – Penolakan Pemberian Rekam Medis Seorang dokter di Rumah Sakit Yayasan Pemeliharaan Kesehatan (YPK) bernama Dwiana Ocviyanti dilaporkan oleh
84
Dody Sudrajat dengan tuduhan telah melakukan kelalaian yang menyebabkan meninggalnya istri Dody, Lucy Maywati Sudrajat yang dioperasi caesar di rumah sakit tersebut. Pasal yang dikenakan adalah pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal. Dalam perkembangannya, Dody kembali melaporkan dr. Dwiana ke polisi dengan tuduhan telah melakukan penggelapan (Pasal 372 KUHP). Kejadian yang memicunya adalah tidak diberikannya rekam medis (medical record) almarhumah istrinya oleh pihak Rumah Sakit. Kasus ini diawali pada tanggal 24 April 2003. Saat itu istri Dody yang diperiksa dr. Dwiana dinyatakan harus segera masuk Rumah Sakit YPK. Menurutnya, "Saya tidak diberi pilihan dan tidak tahu fasilitas yang tidak dimiliki rumah sakit tersebut." Selang satu hari, pada 25 April 2003, ia tidak mendapat informasi harus menandatangani konfirmasi bersedia agar istrinya dioperasi caesar. Malah pada 26 April 2003, pukul 7
pagi,
empat
dokter
rumah
sakit
tersebut
langsung
mengoperasi istrinya dan putrinya lahir selamat. Namun, saat itu, ia diinformasikan keadaan istrinya gawat dan akhirnya mengalami henti jantung. Ia kemudian diminta untuk membawa istrinya ke rumah Sakit Thamrin; namun disana nyawa istrinya tidak tertolong lagi. (Tempo News Room, 7 Juli 2004) Kuasa Hukum dr. Dwiana, Retno Murniati, menyatakan pihaknya tidak memberikan rekam medis kepada Dody karena berpegang pada Peraturan Menteri Kesehatan no 749A/ Menkes/ Per/ XII/ 1985 tentang Medical Record dan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medis No 78 tahun 1991 tentang catatan medis pasien. Dalam kedua aturan itu, menurutnya, rekam medik adalah milik rumah sakit. Pasien, katanya, bisa 85
mendapatkan resume rekam medik bila memintanya. "Ini sudah saya katakan kepada kuasa hukum Pak Dody. Lisan dan tertulis," katanya. Resume itu, kata Retno, bisa ditambahkan, bila dirasakan masih ada informasi yang kurang. "Tapi aslinya milik rumah sakit," katanya. Ia sendiri mengatakan tidak memberikan foto kopi rekam medik itu, karena dalam peraturan sudah ditentukan yang bisa diberikan hanyalah resumenya saja. Menurut Retno, rekam medik hanya bisa diberikan bila hakim melalui pengadilan memutuskan harus diberikan kepada pasien. Tetapi, pendapat Retno tersebut dibantah oleh Rahil Jerdena Liputo dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan. Menurut Rahil pihak keluarga berhak mengetahui catatan medis tersebut, karena itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 585 tahun 1989.
e.
Kasus Ade Irma Effendi – Dugaan Kelalaian Oleh Perawat Rumah Sakit Siloam Gleaneagles dilaporkan ke polisi oleh Ade Irma Effendy (37). Ade mengatakan bahwa Ia mengalami keguguran setelah ditangani dan diberi obat oleh pihak rumah sakit. Ade menduga, RS Siloam melakukan malpraktik. Sebagaimana dilaporkan dalam Tempo Interaktif, 1 Juni 2004, kasus ini berawal ketika ibu beranak satu itu memeriksa kandungannya ke dokter Anthonius Heri yang membuka praktek
86
di salah satu apotik di kawasan Bumi Serpong Damai. Saat memeriksa kehamilan keduanya yang berusia 15 minggu, Ade mengeluhkan adanya flek merah pada celana dalam kepada dokter tetap keluarganya itu. Melihat
kondisi
Ade
yang
lemah,
Anthonius
menyarankannya untuk diperiksa lebih lanjut ke Rumah Sakit Siloam. Saat dilakukan pemeriksaan dengan ultra sonografi di Rumah Sakit Siloam pada 16 April 2004 malam, pihak dokter yang juga terdapat dokter Anthonius itu menyatakan, kandungan korban dalam kondisi baik dan sehat. Tapi, untuk menguatkan kandungan, dokter menawarkan Ade untuk beristirahat di rumah sakit atau di rumah. "Karena tidak ingin terjadi apa-apa, saya memilih dirawat di rumah sakit saja," kata Ade. Setelah Ade dimasukkan ke ruangan bersalin, salah satu perawat langsung memberi infus. Walau tidak didampingi seorang dokterpun, si perawat mengatakan, infus diberikan berdasarkan
saran
dokter
Anthonius.
Sekitar
15
menit
kemudian, obat bereaksi dan kandungan Ade mengalami kontraksi. Alhasil, janin bayi dalam kandungan Ade, keluar yang mengakibatkan kelahiran premature (abortus terancam) dan meninggal dunia. Ketika kasus ini ditanyakan kepada tim perawat yang menangani Ade, mereka mengemukakan kepada polisi bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan perintah dokter, yaitu Anthonius Herri.
87
Pihak Rumah Sakit Siloam sendiri membantah telah terjadinya
malpraktik.
"Tidak
benar,
pihak
rumah
sakit
melakukan mal praktek. Abortus Imenen (aborsi dalam proses) terhadap pasien, dikarenakan kondisi dan situasi pasien yang saat itu memang membutuhkan perawatan intensif. Tidak benar, pasien mengalami keguguran setelah meminum obat yang diberikan dokter. Karena pemberian obat selalu diberikan sesuai dengan petunjuk dokter dan diagnosa juga dilihat dari kondisi pasien," kata Manajer Operasional Rumah Sakit Siloam, Andre.
88
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA KHUSUSNYA RETRIBUSI RUMAH SAKIT
a)
Kebijakan Terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
termasuk
didalamnya
kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab Pemerintah sebagai penyelenggara negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kerangka tanggung jawab dimaksud, undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas dalam hal pelayanan kesehatan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bab mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan diatur bahwa Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UndangUndang ini ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Sehubungan dengan hal tersebut maka segala urusan pemerintah diluar urusan sebagaimana disebut dimuka diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk dilaksanakan, hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang dimaksud yang menyebutkan bahwa penanganan bidang kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam urusan kesehatan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pasal
89
3
undang-undang
dimaksud
diatur
bahwa
kewenangan
provinsi
dikelompokkan dalam bidang-bidang tertentu yang diantaranya adalah bidang kesehatan. Dalam pelaksanaan urusan kesehatan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pemerintah Daerah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ditetapkan bahwa sebagai unsur pelaksana Pemerintah Daerah di Bidang Kesehatan adalah Dinas Kesehatan, bertugas menyelenggarakan kegiatan di bidang kesehatan yang meliputi pelayanan kesehatan klinis, kesehatan masyarakat, kesehatan gawat darurat dan bencana, penanganan sosial dan pemasaran sistem informasi kesehatan, sumber daya manusia kesehtan, sistem manajemen mutu kesehatan, perencanaan kesehatan, pembiayaan kesehatan dan jaringan pelayanan kesehatan yang berwawasan lingkungan. Dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut dikoordinasikan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat. Sebagai penjabaran atas tugas pokok dan fungsi dinas Kesehatan sebagai unsur pelaksana kesehatan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, diterbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahub 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dimana sebagai unsur pelaksana bidang kesehatan Dinas Kesehatan mempunyai fungsi : 1. perumusan kebijakan teknis dibidang kesehatan;
90
2.
perencanaan,
pengawasan,
pengendalian
dan
pengembangan
pengendalian,
dan
pengembangan
dan
pengembangan
dan
pengembangan
pelayanan kesehatan klinis; 3.
perencanaan,
pengawasan,
pelayanan kesehatan masyarakat; 4.
perencanaan,
pengawasan,
pengendalian
pelayanan kesehatan gawat darurat dan bencana; 5.
perencanaan,
pengawasan,
pengendalian
pemasaran sosial kesehatan dan sistem informasi kesehatan; 6.
perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan sumber daya manusia kesehatan;
7.
perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan sistem manajemen mutu kesehatan;
8.
perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan sistem perencanaan dan pembiayaan kesehatan;
9.
perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan jaringan pelayanan kesehatan yang berwawasan lingkungan;
10.
pemberian izin tertentu atau rekomendasi dan evaluasi di bidang kesehatan;
11.
perencanaan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan;
12.
pemungutan retribusi di bidang kesehatan;
13.
penyelenggaraan akreditasi dan standarisasi pada sarana pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta;
14.
pemberian akreditasi jabatan fungsional tenaga kesehatan;
15.
pemberian bantuan penyelenggaraan kesehatan;
91
16.
penyediaan
sarana
dan
prasarana
pelayanan
kesehatan
bagi
masyarakat; 17.
pengelolaan dukungan teknis dan administrasi; dan
18.
pembinaan teknis pelaksanaan kegiatan suku dinas.
Pengaturan retribusi kesehatan Masyarakat sebagai pihak yang mendapat pelayanan kesehatan dari Pemerintah Daerah Terkait
dengan
hal
mengharapkan bentuk pelayanan yang maksimal. tersebut
Pemerintah
Daerah
dalam
tugasnya
melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat bermaksud memberikan pelayanan yang terbaik. Namun meskipun pelayanan yang diberikan dirasakan sudah cukup, masyarakat terkadang merasa juga belum terpuaskan. Sehubungan dengan kondisi di atas Pemerintah Daerah dalam rangka memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat disamping sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah juga menetapkan pungutan biaya (retribusi) atas pelayanan yang diberikannya. Hal tersebut dibutuhkan karena tidak bisa dipungkiri untuk memberikan pelayanan yang semakin baik semakin banyak pula biaya yang diperlukan. Pemerintah Daerah berkeinginan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelayanan kesehatan masyarakat dengan memperkecil atau bahkan menghapus sama sekali retribusi atas pelayanan kesehatan dimaksud. Karena besar/tidak ada/tidak adanya biaya/pungutan yang dibebankan kepada masyarakat atas jasa yang diberikan suatu pemerintah dapat menjadi indikator bagi tingkat pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah.
92
Untuk mengatur besaran tarif retribusi yang diantaranya tarif retribusi untuk pelayanan kesehatan, Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menetapkan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1999 tentang Retribusi Daerah dan telah disempurnakan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Guna mendapat gambaran dan perbandingan atas kedua peraturan tersebut diatas, khususnya bagaimana gambaran mengenai perbedaan besaran tarif untuk pelayanan kesehatan yang ditetapkan dalam kedua peraturan tersebut dapat disampaikan sebagai berikut :
93
Komparasi Pelayanan Tarif Retribusi Kesehatan Antara Perda 3/1999 Dan Perda 1/2006 Pelayanan Kesehatan di RS Umum Daerah Khusus Kelas III NO 1
2
3
4
5
6
7
JENIS PELAYANAN
BESARAN TARIF Perda 3/1999 Perda 1/2006
Poliklinik Spesialis Pagi
Kamar Gawat Darurat a. Dalam Perda 3/1999 ada 5 Kel. Pel. b. Dalam Perda 1/2006 ada 10 Kel. Pel. Pemeriksaan Patologi Klinik. a. Perda 3/1999 : 25 Jenis Pelayanan b. Perda 1/2006 : 30 Jenis Pelayanan Pemeriksaan Radio Diagnostik a. Perda 3/1999 : 15 Kel. Pelayanan b. Perda 1/2006 : 19 Kel. Pelayanan Kamar Bersalin a. Perda 3/1999 : 10 Kel. Pelayanan b. Perda 1/2006 : 20 Kel. Pelayanan Tindakan Gigi dan Mulut a. Perda 3/1999 : 10 Kel. Pel. b. Perda 1/2006 : 16 Kel. Pel. Perawatan Jenazah a. Perda 3/1999 : 4 Kel. Pelayanan
Rp. 5.000
Rp. 5.000
Rp. 15.000 s/d Rp. 75.000
Rp. Rp. Rp. Rp. 10)
Rp. 5.000 s/d Rp. 250.000
Rp. 5.000 s/d Rp. 250.000 (kel. 2-25) Rp. 260.000 s/d Rp. 300.000 (Kel. 6-10)
Rp. 26.000 s/d Rp. 1.000.000,-
Rp. 5.000 s/d Rp. 200.000
Rp. 15.000 s/d Rp. 600.000
Rp. 15.000 s/d Rp. 450.000
15.000 s/d 75.000 (Kel. 1-5) 100.000 s/d 300.000 (Kel. 6-
Rp. 26.000 s/d Rp. 1.000.000 (Kel. 1-15) Rp. 1.250.000 s/d Rp. 2.000.000 (kel. 16-19)
Rp 5.000 s/d Rp. 200.000 (Kel. 1-10) Rp. 200.000 s/d Rp. 500.000 (Kel. 11-20)
Rp. 15.000 s/d Rp. 600.000 (Kel. 1-10) Rp. 800.000 s/d Rp. 2.000.000 (Kel. 1116) Rp. 15.000 s/d Rp. 450.000 (Kel. 1-4) Rp. 600.000 s/d Rp. 800.000 (Kel. 5-7)
KETERANGAN Tidak ada kenaikan Tarif dan Penambahan Jenis Pelayanan Tarif baru diberlakukan untuk 5 jenis Pelayanan baru
Tidak ada Perubahan Tarif (Tarif baru untuk 5 jenis pelayanan baru)
Tidak ada perubahan tariff (ada perubahan 4 jenis pelayanan)
Tidak ada perubahan tariff (ada penambahan 10 jenis pelayanan)
Tidak ada perubahan tariff (ada penambahan 6 jenis pelayanan)
Tidak ada perubahan Tarif (ada perubahan 3 Jenis pelayanan)
b. Perda 1/2006 : 7 Kel. Pelayanan
94
Pelayanan Kesehatan di PUSKESMAS Milik Pemerintah Daerah NO
1
JENIS PELAYANAN
Rawat Jalan Kesehatan Dasar
BESARAN TARIF
KETERANGAN
Perda 3/1999
Perda 1/2006
Rp. 2.000 s/d
Rp 2.000 s/d
Ada
Rp. 7.500
Rp. 10.000
pelayanan
penambahan berupa
UGD
dari PUSKESMAS 24 jam. 2
Rawat Jalan Semi Sepecialis a. Perda 3/1999 : 11 Kel. Pel.
Rp. 5.000 (kec. 1 jenis
Rp. 5.000
pelayanan
Hanya ada kenaikan tariff pada 1 jenis pelayanan
bertarif Rp. 1.000)
(dari Rp. 1.000 – Rp. 5.000)
b. Perda 1/2006 : 16 Kel.
Ada penambahan 5 jenis
Pel. 3
Laboraturium
pelayanan. Kesling
pemeriksaan air
Rp. 15.000 s/d
Rp. 10.000 s/d
Tidak ada perubahan tariff
Rp. 100.000
Rp. 100.000
dan
penambahan
jenis
pelayanan. 4
Rawat Inap Rumah Bersalin
Rp. 10.000 s/d
Rp. 10.000 s/d
Tidak
perubahan
tariff
Rp. 25.000
Rp. 25.000
untuk tiap-tiap kelas kamar (kelas 3, kelas 2, kelas IB, dan kelas IA (AC))
95
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Pelayanan Publik sebagai pemenuhan tanggung jawab Pemerintah menyediakan barang atau jasa publik. Untuk kebutuhan rakyat, hakekatnya telah diberikan landasan konstitusi , khusus pelayanan kesehatan, ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 34 ayat (3) yang menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Dari perspektif politik, penempatan kewajiban negara untuk memberikan
layanan
kesehatan
dalam
konstitusi
menunjukan
kejelasan arah, mewujudkan masyarakat sejahtera (social welfare) . Namun
penerapannya
keinginan
ideal
tersebut
belum
dapat
sepenuhnya dipenuhi karena keterbatasan cara pandang untuk mengaplikasikan dalam kebijakan tertulis. Metode pengaturan yang dibangun melalui berbagai peraturan perundang-undangan, ternyata belum mampu menampung dinamika msyarakat yang senantiasa berkembang sejalan meningkatnya tingkat kesadaran akan arti kesehatan. Hal ini dapat dijumpai bahwa perangkat hukum kebijakan kesehatan di bidang Kerumahsakitan yang begitu lengkap, ternyata dalam prakteknya masih membuka celah yang dapat merugikan
96
kepentingan masyarakat. Stelsel pengaturan yang dibangun ternyata kurang dapat menampung kebutuhan masyarakat
dan
dalam
kenyataannya senantiasa ketinggalan dengan tuntutan masyarakat. Kompilasi hukum yang membahas pelayanan publik sebagai fungsi utama Pemerintah Daerah, berupaya menguraikan relasi antara penyelenggaraan peraturan
pelayanan
yang
perundang-undangan,
dilindungi
dengan
dengan
berbagai
masyarakat
terutama
golongan miskin yang sama sekali tidak memiliki alas hak untuk dapat dipenuhi
kebutuhan
pelayanan
kesehatan.
Ternyata,
dengan
mengambil studi kasus beberapa mal praktek sebagai contoh, keluhan masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan mengambil sampel dari ketentuan retribusi , Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, masih terjadi bias dalam pelayanan, dan untuk mengatasinya. Menghadapi kenyataan tersebut dapat diungkap bahwa Menteri Kesehatan sering melakukan berbagai ditribusi. Pengambilan langkah distribusi yang terlalu sering dapat diartikan bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan tersebut memiliki stelsel yang tidak sesuai dengan sistem
dan dinamika
masyarakat.
B.
SARAN Kompilasi ini berhasil mengedepankan suatu kenyataan bahwa dinamika msyarakat yang senantiasa meningkat kesadarannya akan arti penting kesehatan, ternyata tidak mampu di wadahi oleh berbagai
97
Undang-Undang, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan surat edaran yang terkait sejak satu dekade lalu. Oleh karena itu, disarankan agar dilakukan kajian yang lebih mendalam, untuk menemukan arsitektur hukum di bidang pelayanan kesehatan, yang memiliki nilai konstruktif dan akomodatif. Perlunya dibangun wawasan yang memiliki paradigma menempatkan rakyat tidak lagi sebagai obyek pengaturan, melainkan suatu subyek yang memiliki karakter dan wajib dilayani. Demikian pula, di sisi lain, diperlukan pengaturan yang menempatkan pengelola kesehatan tidak lagi memiliki determinasi yang lebih tinggi dari rakyat yang dilayani. Penambahan sistem melalui perubahan paradigma, perlu segera dilakukan guna menghindarkan semakin meningkatnya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap layanan masyarakat yang pada gilirannya
akan
berimbas
kepada
ketidak
percayaan
kepada
Pemerintah.
98
DAFTAR PUSTAKA
Biro Hukum Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. 2006. Selaku Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. Warta Peraturan Perundangundangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Bagian Hukum, Organisasi dan HUMAS, Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Jakarta 2005. Pedoman Advokasi dan Bantuan Hukum Dalam Penanganan Kasus Pelayanan Medis di Rumah Sakit.
Departemen Kesehatan RI .2006. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (ASKESKIN).
Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1999 tentang RETRIBUSI DAERAH
99