BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan adalah suatu keadaan sempurna secara fisik, mental, spiritual maupun sosial (Anonim, 1946). Seseorang yang berada dalam kondisi sehat memungkinkan untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Salah satu upaya untuk mewujudkan keadaan sehat dari sakit adalah dengan melakukan pengobatan. Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah swamedikasi. Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh seseorang untuk mengatasi penyakit maupun gejala tanpa menggunakan resep dokter (Anonim, 1998). Salah satu jenis obat yang sering digunakan oleh masyarakat dalam swamedikasi adalah antibiotik. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Widayati et al. (2011) pada 559 responden di Kota Yogyakarta, sebesar 7,3% responden menggunakan antibiotik untuk swamedikasi dalam kurun waktu 1 bulan. Amoksisilin menjadi antibiotik yang paling banyak digunakan dalam swamedikasi untuk mengatasi gejala common cold, seperti batuk, radang tenggorokan, sakit kepala, dan gejalagejala lainnya dengan waktu penggunaan kurang dari 5 hari. Alasan responden menggunakan antibiotik dalam pengobatan sendiri antara lain adalah karena penggunaan
antibiotik
sebelumnya
16
yang
sudah
terbukti
berkhasiat
menyembuhkan, menghemat waktu dan uang untuk pergi ke dokter, maupun karena adanya kecenderungan dari dokter untuk selalu meresepkan antibiotik yang sama. Penggunaan antibiotik dalam pengobatan sendiri menjadi masalah kesehatan yang penting saat ini dikarenakan penggunaan antibiotik dilakukan secara tidak rasional, seperti antibiotik digunakan untuk infeksi non-bakteri atau tidak diminum sampai habis sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotik pun dapat terjadi. Meningkatnya resistensi antibiotik menyebabkan semakin sempitnya jenis antibiotik yang dapat digunakan. Hal ini menjadi masalah kesehatan global, terutama bagi negara berkembang dimana kejadiannya lebih tinggi dibanding negara maju (Anonim, 2001). Sebuah studi yang dilakukan oleh Radyowijati dan Haak (2002) menyatakan bahwa masyarakat di negara berkembang memiliki pandangan bahwa antibiotik merupakan “obat super” yang dapat menghilangkan berbagai gejala maupun menyembuhkan penyakit. Contohnya adalah masyarakat sering menggunakan antibiotik untuk mengobati influenza, padahal penyakit ini tidak disebabkan oleh bakteri. Dilain pihak, orang tua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotik berlebihan. Pendapat sebagian orang tua bahwa apabila tidak memakai antibiotik maka penyakitnya akan lama sembuh. Atas dasar itulah keputusan penggunaan antibiotik ada pada orang tua, khususnya ibu sehingga para orang tua membeli sendiri antibiotika tanpa resep dokter (Wahyuni, 2009).
17
Pemahaman masyarakat akan penggunaan antibiotik dengan resep pun sering tidak tepat. Antibiotik tidak diminum sampai habis sesuai dengan yang sudah diberikan oleh dokter. Kadang pasien beranggapan apabila kondisi kesehatannya sudah pulih maka antibiotik tidak
perlu dilanjutkan lagi
penggunaannya. Hal seperti ini juga dapat menyebabkan resistensi antibiotik semakin luas terjadi (Anonim, 2001). Minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan penggunaan antibiotik menjadi penyebab terjadinya penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Tugas apoteker adalah memberikan edukasi yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik agar masyarakat dapat sepenuhnya memahami dan mengetahui penggunaan antibiotik yang rasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran pengetahuan masyarakat tentang penggunaan antibiotika di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Palangka Raya. Kelurahan Panarung merupakan salah satu kelurahan dari 6 kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Pahandut, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Jumlah penduduk di Kelurahan ini adalah sebanyak 20.693 jiwa (Anonim, 2012b) dengan karakteristik masyarakat yang beragam dari segi agama, mata pencaharian, maupun pendidikan karena dari segi penataan lingkungan kota, Kelurahan Panarung termasuk dalam wilayah kota (Indrayani, 2012). Kelurahan Pahandut Seberang merupakan kelurahan yang juga berada di wilayah Kecamatan Pahandut. Kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 3921 jiwa ini (Anonim, 2012b) berada di pinggiran Sungai Kahayan yang merupakan
18
sungai terpanjang di Kalimantan Tengah dengan topografi tanah datar dan rawa (Loren, 2012). Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada potensi sungai. Dilakukannya penelitian di 2 tempat yang dari segi karakteristik wilayahnya berbeda adalah untuk melihat bagaimanakah tingkat pengetahuan masyarakat di kedua wilayah yang berbeda tersebut. Dengan mengetahui tingkat pengetahuan dari suatu masyarakat, maka akan diketahui kondisi sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan edukasi melalui penyuluhan, konseling, maupun pembagian leaflet.
B. Rumusan Masalah Seperti apakah gambaran pengetahuan antibiotik masyarakat di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Palangka Raya ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran pengetahuan antibiotik masyarakat di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Palangka Raya.
D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi kepada masyarakat tentang penggunaan antibiotika yang rasional.
19
2. Bagi apoteker yang mengelola apotek adalah sebagai dasar untuk memperketat penjualan antibiotika tanpa resep dokter di apotek-apotek. 3. Bagi instansi kesehatan pemerintah dapat sebagai masukan dalam peningkatan promosi kesehatan tentang penggunaan antibiotika yang tepat. 4. Data dan informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk penelitian berikutnya.
E. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik a. Definisi Antibiotik Antibiotik adalah zat yang secara alami dihasilkan oleh suatu mikroorganisme untuk menghambat patogenisitas mikroorganisme yang lain (Pratiwi, 2008). Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Antibiotik termasuk ke dalam golongan obat anti-infeksi bersama dengan antifungi, antivirus, dan antiparasit (Leekha et al., 2011). Antifungi digunakan untuk infeksi jamur yang biasanya disebabkan oleh dermatofit yang mempengaruhi kulit, rambut, serta kuku diikuti infeksi eksternal dan Candida albicans yang menyebabkan infeksi pada membran mukosa. Antivirus digunakan uuntuk infeksi karena virus yang terdiri dari materi genetik (asam nukleat) dan kapsul yang terdiri dari protein, biasanya diselubungi oleh fosfolipid bilayer dengan protein (Lullman et al., 2005).
20
Antiparasit digunakan untuk infeksi karena parasit, yaitu dalam hal ini helmintes (cacing) dan protozoa (Neal, 2006). b. Aktivitas dan Spektrum Antibiotik Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik terbagi menjadi dua yaitu antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik dan antibiotik yang bersifat mematikan bakteri disebut bakterisida. Selain itu berdasarkan sifat aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antibiotika spektrum luas (board spectrum) yang dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif dan negatif, contohnya tetrasiklin, dan antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum) yang hanya aktif pada beberapa jenis bakteri saja, contohnya Penicillin G (Lullman et al., 2005). c. Mekanisme Kerja Antibiotik Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja terbagi menjadi tiga kelompok (Neal, 2006) : 1) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini : Sulfonamid, Kuinolon, Metronidazol, dan Rifampisin. Asam nukleat merupakan bagian yang sangat vital bagi perkembangbiakan sel. 2) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini : Penisillin, Karbapenem,
Monobaktam,
Sefalosporin,
dan
Vankomisin.
Antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat
21
sintesis enzim atau inaktivasi enzim menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan lisis. Dinding sel berfungsi untuk melindungi bagian dalam sel terhadap perubahan osmotik dan kondisi lingkungan lainnya. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Struktur dinding sel bakteri Gram-positif berbeda dengan bakteri Gram-negatif. Pada bakteri Gram-positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan teikuronat. Bakteri Gram-negatif memiliki lapisan di luar dinding sel yang mengandung 5-10%
peptidoglikan,
selain
itu
juga
terdiri
dari
protein,
lipopolisakarida, dan lipoprotein. Peptidoglikan pada bakteri Grampositif berperan pada rigiditas, sedangkan pada bakteri Gram-negatif berperan pada integritas. Oleh karena itu, gangguan sintesis komponen ini dapat menyebabkan lisis dan kematian sel. 3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini : Tetrasiklin, Aminoglikosida, Kloramfenikol, dan Makrolida. Sel mikroba perlu mensintesis
protein
untuk
kehidupannya.
Sintesis
protein
berlangsung di dalam ribosom dengan bantuan tRNA dan mRNA. d. Resistensi Antibiotik 1) Mekanisme resistensi Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotik. Resistensi sel mikroba merupakan suatu mekanisme alamiah pertahanan hidup mikroba. Mekanisme yang
22
bertanggung jawab untuk resistensi terhadap antibiotik adalah sebagai berikut (Neal, 2006) : a) Menginaktivasi enzim yang merusak obat β-laktamase
yang
dihasilkan
oleh
banyak
stafilokokus
menginaktivasi sebagian besar Penisilin dan Sefalosporin. b) Mengurangi akumulasi obat Resistensi tetrasiklin terjadi bila membran sel bakteri menjadi impermeabel terhadap obat atau peningkatan efluks. c) Perubahan tempat ikatan Aminoglikosida dan Eritromisin terikat pada ribosom bakteri dan menghambat sintesis protein. Pada organisme yang resisten, tempat ikatan obat dapat mengalami modifikasi sehingga tempat ikatan tersebut tidak lagi memiliki afinitas terhadap obat. d) Perkembangan jalur metabolik alternatif Bakteri dapat menjadi resisten terhadap Sulfonamid dan Trimetoprim karena obat ini masing-masing menghasilkan enzim dihidropteroat sintetase dan dihidrofolat reduktase termodifikasi yang mempunyai sedikit atau tidak mempunyai afinitas terhadap obat. 2) Faktor Pemicu Resistensi Antibiotik Faktor utama penyebab resistensi antibiotik adalah akibat penggunaan antibiotik yang irasional (Anonim, 2012a) seperti, waktu penggunaan yang terlalu singkat, dosis terlalu rendah, maupun
23
diagnosis penyakit salah (Bisht et al., 2009). Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya efek terapeutik yang diharapkan, meningkatnya morbiditas dan mortalitas, serta semakin bertambahnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien. Terdapat beberapa faktor lain seperti (Bisht et al., 2009) : a) Faktor terkait pasien Pasien
memiliki
penggunaannya
pandangan apabila
bahwa
antibiotik
merasa sudah sembuh
dihentikan walaupun
antibiotik masih tersisa. b) Dokter sebagai penulis resep Kurangnya pengetahuan mengenai pemilihan antibiotik secara empirik. c) Rumah sakit Epidemi dan endemi infeksi yang diakibatkan oleh resisten beberapa strain diikuti oleh penggunaan antibiotik secara intens di rumah sakit, khususnya di unit perawatan intensif dimana akan mengarah pada terjadinya resistensi antibiotik. d) Antibiotik yang dijual secara bebas Antibiotik yang dijual bebas akan memudahkan masyarakat membeli antibiotik tanpa adanya diagnosis dan resep dari dokter sebelumnya.
24
e. Epidemiologi Kejadian Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik Prevalensi resistensi antibiotik semakin terus meningkat. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bell dan Turnidge (2002) melaporkan bahwa Staphylococcus aureus yang resisten terhadap Siprofloksasin mencapai 37% di Asia, sedangkan S.aureus yang resisten terhadap Metisilin cukup tinggi di beberapa negara Asia, seperti di Taiwan (60%), Cina (20%), Hongkong (70%), Filipina (5%), dan Singapura (20%). Sementara itu resistensi Streptococcus pyogens terhadap Makrolida dalam persentase yang tinggi yaitu sebesar 78% di Taiwan pada tahun 2001. Beberapa galur
Streptococcus
pneumonia
sudah
resisten
terhadap
Trimetoprim/Sulfametoksazol dan prevalensi resistensi mikroba ini terhadap Penisilin mendekati 40% di Asia (Jacobs, 2005), sedangkan persentase di negara lain adalah Australia (8%), Inggris (10%), Amerika (38%), Prancis (45%), dan Spanyol (50,76%) (Anonim, 2012c). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bell dan Turnidge (2003) selama 19982001 prevalensi ESBL (Extended Beta Lactamase) di Cina mencapai (24%), Hongkong (13%), Filipina (6,2%), Singapura (4%), Taiwan (13,8%), dan Jepang (1,4%). Di Indonesia sendiri prevalensi resistensi antibiotik menunjukkan angka yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari et al. (2008) prevalensi resistensi Eschericia coli terhadap Ampisilin
sebesar
73%,
25
sedangkan
terhadap
Trimetoprim/Sulfametoksazol sebesar 56%, Kloramfenikol sebesar 43%, dan Siprofloksasin sebesar 22%. f. Epidemiologi Pengobatan Sendiri dengan Antibiotik Pengobatan sendiri dengan antibiotika tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Di negara-negara Eropa masih ditemukan pengobatan sendiri dengan antibiotika dengan prevalensi yang tinggi (Grigoryan et al., 2006). Penggunaan antibiotika untuk pengobatan sendiri di Yunani mencapai 78% (Skliros et al., 2010), Denmark (3%) (Muscat et al., 2006), dan Spanyol (11%) (Väänänen et al., 2006). Prevalensi pengobatan sendiri dengan antibiotik di negara berkembang seperti Indonesia menunjukkan angka sebesar 7,3%. Data tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widayati et al. (2011) kepada responden di Kota Yogyakarta. g. Prinsip Penggunaan Antibiotik Secara Rasional Antibiotik hanya bekerja untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Penggunaan antibiotika secara rasional adalah penggunaan antibiotika yang tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat obat, dan waspada akan efek samping. Dalam arti konkritnya adalah (Anonim, 2012c) : 1) Pemberian resep tepat sesuai indikasi 2) Penggunaan dosis yang tepat 3) Lama pemberian obat yang tepat
26
4) Aman pada pemberiannya 5) Dengan harga yang serendah mungkin 2. Peraturan Perundang-undangan Tentang Antibiotik Di Indonesia telah dilakukan usaha untuk mencegah dan mengatasi dampak resistensi antibiotik akibat penggunaan sendiri oleh masyarakat tanpa resep dokter yaitu dengan dibuatnya Undang-Undang yang mengatur distribusi antibiotik di pasaran. Antibiotik merupakan salah satu jenis obat keras. Obat keras diatur menurut Undang-Undang obat keras St. No. 419, tanggal 22 Desember 1949. Pada pasal 1 butir a, disebutkan bahwa obat-obat keras, yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfektankan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh secretaries Van Staat, Hoofd van het department van Gesonheid, menurut ketentuan dalam pasal 2 (Anonim, 1949). Pasal 1 butir k : obat-obatan G (gevaarlijk) adalah obat-obat keras yang oleh Sec.V.St didaftar pada obat-obatan yang berbahaya (gevaarlijk; Daftar G). Obat G hanya boleh diserahkan kepada seseorang dengan resep dokter, kecuali bila digunakan untuk keperluan teknik (Joenoes, 2009). Pada tanggal 7 Agustus 1986, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan atas nama menteri kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan Nomor : 197/A/SK/77 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G sebagai berikut :
27
Pasal 2 a. Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras. b. Ketentuan dimaksud dalam ayat (a) merupakan pelengkap dari keharusan mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter” yang ditetapkan dalam keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977. c. Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip aluminium/ selofan, vial, ampul, tube atau wadah lain, apabila wadah tersebut dikemas dalam bentuk luar (Anonim, 1996). Obat keras hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di Apotek, Apotek Rumah Sakit, Puskesmas, dan Balai Pengobatan. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SK/VII/86 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G, disebutkan bahwa tanda khusus untuk obat keras adalah lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi. Tanda tersebut harus diletakkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat dan dikenali. Selain itu pencantuman kalimat “Harus dengan resep dokter” juga harus dilakukan (Wahyuni, 2009). 3. Pengetahuan Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan antibiotik di masyarakat dibutuhkan
pengetahuan
berkaitan
dengan
penggunaan
antibiotik.
Pengetahuan merupakan hasil setelah orang melakukan penginderaan 28
terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan, dan pengalaman (Notoatmodjo, 2003). Adapun macam-macam
pengetahuan menurut polanya
yaitu
(Notoatmodjo, 1993) : a. Tahu bahwa, adalah pengertian tentang informasi tertentu, tahu bahwa sesuatu terjadi, tahu bahwa ini atau itu memang demikian adanya, bahwa apa yang dikatakan memang benar. b. Tahu tentang, adalah sesuatu yang sangat spesifik menyangkut pengetahuan akan sesuatu atau seseorang melalui pengalaman atau pengenalan pribadi. Subjek mampu membuat penilaian tertentu atas objeknya karena pengenalan dan pengalaman pribadi yang bersifat langsung dengan objek, serta singular yaitu hanya berkaitan dengan barang atau objek khusus. c. Tahu bagaimana, adalah menyangkut bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan ini berkaitan dengan ketrampilan atau lebih tepat keahlian dan kemahiran teknis dalam melakukan sesuatu, namun tetap memiliki landasan atau asumsi teoritis tertentu. d. Tahu mengapa, jenis pengetahuan ini biasanya berkaitan dengan pengetahuan bahwa, hanya saja jauh lebih mendalam dan serius daripada pengetahuan bahwa karena pengetahuan ini berkaitan dengan penjelasan
29
yang tidak hanya berhenti pada informasi yang ada, melainkan masuk ke balik dan atau informasi yang ada. Berdasarkan penjelasan tersebut, tahu mengapa jauh lebih siklis, bahkan sampai pada tingkat mengkaitkan dan menyusun hubungan-hubungan yang tidak kelihatan antar berbagai informasi yang ada. Pengetahuan termasuk domain kognitif banyak berhubungan dengan informasi dan persepsi sebagai domain penting dalam terbentuknya sikap dan tindakan seseorang. Untuk pengukuran suatu pengetahuan salah satu teknik yang digunakan adalah pengisian angket, memuat isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Tingkat kedalaman pengetahuan yang ingin diukur disesuaikan dengan tingkatan domain kognitif. Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu (Notoatmodjo, 2003) : a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar
tentang
objek
yang
diketahui
menginterpretasikan materi tersebut dengan benar.
30
dan
dapat
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek yang penilaiannya berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau kriteria yang telah ada. 4. Profil Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut Seberang Penelitian dilakukan di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut Seberang, Kecamatan Pahandut, Kota Palangka Raya. Palangka Raya merupakan ibukota provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki luas wilayah 2.678,51 km² dan berpenduduk sebanyak 224.663 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 83,88 jiwa tiap km² (Anonim, 2012b). Kecamatan Pahandut merupakan salah satu dari 5 kecamatan yang ada di Palangka
31
Raya. Kini secara administratif, Kota Palangka Raya terdiri atas 5 kecamatan, yakni Pahandut, Jekan Raya, Bukit Batu, Sebangau, dan Rakumpit. Sebelum otonomi daerah pada tahun 2001, Kota Palangka Raya hanya memiliki 2 kecamatan, yaitu Pahandut dan Bukit Batu (Anonim, 2010). Kecamatan Pahandut terdiri dari 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Pahandut, Kelurahan Panarung, Kelurahan Langkai, dan Kelurahan Tumbang Rungan, Kelurahan Tanjung Pinang, dan Kelurahan Pahandut Seberang. Jumlah penduduk di Kelurahan Panarung adalah 20.693 jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kelurahan Pahandut Seberang adalah 3.921 jiwa (Anonim, 2012b). Sarana kesehatan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Palangka Raya adalah puskesmas. Kecamatan Pahandut memiliki 2 puskesmas, yaitu Puskesmas Pahandut dan Puskesmas Panarung. Puskesmas Pahandut memiliki 4 puskesmas pembantu salah satunya adalah Pustu Pahandut Seberang dan 15 posyandu. Sementara itu Puskesmas Panarung memiliki 8 puskesmas pembantu, 1 poskesdes, dan 27 posyandu. Dapat terlihat bahwa sarana kesehatan di wilayah Kelurahan Panarung jumlahnya lebih banyak (Anonim, 2011).
32