Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.Kondisi ini dapat dibuktikan dari jumlah penduduk yang mengandalkan hidupnya bekerja pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari petanian (Sunarti, 1990:11).Jumlah rumah tangga usaha pertanian tahun 2013 sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Subsektor Tanaman Pangan 17,73 juta rumah tangga, Hortikultura 10,60 juta rumah tangga, Perkebunan 12,77 juta rumah tangga, Peternakan 12,97 juta rumah tangga, Perikanan kegiatan budidaya ikan 1,19 juta rumah tangga, Perikanan kegiatan penangkapan ikan 0,86 juta rumah tangga, Kehutanan 6,78 juta rumah tangga, dan Jasa Pertanian 1,08 juta rumah tangga.Jumlah rumah tangga petani gurem tahun 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sebesar 55,33 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan, mengalami penurunan sebanyak 4,77 juta rumah tangga atau turun 25,07 persen dibandingkan tahun 2003.Jumlah petani pada tahun 2013 sebanyak 31,70 juta orang, terbesar di Subsektor Tanaman Pangan sebanyak 20,40 juta orang.Jumlah rumah tangga menurut petani utama yang berusia diatas 54 tahun pada tahun 2013 relatif besar, yaitu sebanyak 8,56 juta rumah tangga (32,76 persen).Rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian tahun 2013
seluas 0,89 ha, meningkat sebesar 118,80 persen dibandingkan tahun 2003 yang seluas 0,41 ha. (BPS Indonesia, 2013) Besarnya peranan pertanian di Indonesia memberi motivasi masyarakat pedesaan untuk memiliki lahan pertanian yang dapat dijadikan sumber produksi. Oleh karena itu para petani berupaya dengan berbagai cara untuk memiliki lahan pertanian baik yang ada di wilayah tempat tinggalnya ataupun di luar desanya. Diharapkan dengan telah dimilikinya lahan pertanian tersebut, mereka akan dapat membiayai kebutuhan hidup bagi keluarganya. (Sunarti, 1990:2). Namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh petani pada umumnya, banyak petani yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini dikarenakan petani hanya memiliki lahan pertanian yang sempit atau bahkan sama sekali tidak mempunyai lahan pertanian. Di desa sering kita jumpai para petani yang mengerjakan sebagaian dari tanah milik mereka sendiri, menyewakan sebagian kecil dari tanah mereka itu, dan menyewa tanah yang lain dan bahkan juga kadang – kadang menuai di sawah orang lain sebagai orang upahan. Kesulitan petani itu tampaknya tidak hanya disebabkan oleh relatif sempitnya tanah atau lahan yang mereka garap. Akan tetapi, dengan hasil yang diperolehnya mereka harus menyisihkan untuk berbagai macam dana, seperti: sewa tanah, penggantian, upacara dan pendidikan. Oleh karena itu, surplus yang mereka peroleh habis untuk menutupinya.Malahan sering sekali tidak cukup. Dalam kaitan ini, R. Wolf (1983) dalam Sunarti (1990:2) mengatakan bahwa lebih dari setengah dari seluruh yang diperoleh petani disisihkan untuk keperluan produksi. (Sunarti,
1990:2).Kebutuhan lain yang harus dipenuhi selain kebutuhan pangan, sandang dan papan ialah kebutuhan untuk upacara adat seperti pesta perkawinan selain itu biaya pendidikan anak juga merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh petani juga. Kondisi ini yang membuat kebutuhan para petani semakin terasa berat. Salah satu provinsi di Indonesia yang penduduknya terdapat banyak petani yaitu Sumatra Utara, khususnya kabupaten Simalungun.Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kabupaten yang memiliki daerah yang cukup luas, yaitu dengan luas 4.386,60 Km menjadikannya sebagaidaerah terluas ketiga setelah kabupaten Madina dan kabupaten Langkat.Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 kecamatan dan kecamatanGirsang Sipangan Bolon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten simalungun. Luas wilayah Kecamatan Girsang Sipangan Bolon adalah 12.039 Ha atau sekitar 2,74% dari total luas Kabupaten Simalungun. Desa Sipangan Bolon adalah salah satu diantara dua desa dan tiga kelurahan di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon yang memiliki luas wilayah 3975 Ha. Penggunaan lahan di Desa Sipangan Bolon adalah sebagian besar ladang gembala/hutan 1975 Ha dan kemudian penggunaan lahan perkebunan rakyat yaitu 1200 Ha, penggunaan lahan pertanian sawah yaitu 200 Ha, penggunaan lahan untuk bangunan/pekarangan yaitu 15 Ha, penggunaan lahan untuk permukiman 100 Ha dan luas prasarana umum lainnya 480 Ha. (Data Monografi Desa Sipangan Bolon, 2014). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sebagian besar luas wilayah Desa Sipangan Bolon digunakan untuk lahan ladang dan sawah. Dapat dilihat dari luas lahan yang digunakan untuk pertanian yaitu ladang gembala/hutan 1975 Ha, lahan
perkebunan rakyat 1200 Ha, dan lahan pertanian sawah yaitu 200 Ha maka kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Sipangan Bolon bermata pencaharian sebagai petani. Pada masyarakat Desa Sipangan Bolon terdapat pembagian jenis petani, diantaranya petani yang hanya menyewakan tanahnya, petani pemilik tanah sekaligus penggarap, petani penyewa lahan dan buruh tani. Yang dimaksud petani pemilik tanah disini ialah petani yang memiliki lahan luas dan petani tersebut tidak mengerjakan lahannya karena ia memiliki pekerjaan lain seperti: pengusaha atau pegawai negeri dan lahan pertaniannya disewakan untuk dikerjakan oleh petani lain yang tidak memiliki lahan. Jenis petani yang kedua ialah petani penyewa, petani penyewa disini ialah petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian namun sempit sehingga ia harus menyewa lahan namun dalam proses penggarappannya petani penyewa disini menggunakan jasa buruh tani karena ia menyewa lahan dengan ukuran yang cukup luas sehingga tidak mampu mengengola lahan pertanian sewaan tersebut sehingga membutuhkan jasa buruh tani. Dan jenis petani yang ketiga di desa Sipangan Bolon yaitu buruh tani. Buruh tani maksudnya disini ialah petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian sempit, dengan lahan pertanian tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga ia harus bekerja pada petani lain agar kebutuhan hidupnya terpenuhi. (Monografi Desa Sipangan Bolon) Hubungan kerja antar petani terdapat hubungan pertukaran didalamnya.Petani pemilik lahan menggunakan jasa buruh tani dalam mengelola lahannya. Namun hubungan yang terjalin di antara para petani tidak hanya sebatas hubungan kerja tapi
meluas pada hubungan sosial seperti saling tolong menolong dalam menyelesaikan pekerjaan kemudian hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan kerja sama, kekerabatan, persaudaraan dan bahkan membentuk hubungan patronase. Petani pemilik lahan akan memberikan perlindungan ketika buruh tani mengalami masa krisis. Sebagai contoh pemilik lahan akan memberikan upah buruh tani diawal ketika buruh tani membutuhkan biaya mendadak. Petani pemilik lahan sudah memiliki kepercayaan bahwa buruh tani akan mengerjakan pekerjaan tersebut. Sebagai balasannya buruh petani akan menunjukkan loyalitasnya kepada pemilik tanah tersebut.Dengan sikap yang diberikan petani pemilik lahan maka buruh tani akan memberikan hasil kerja yang terbaik pada petani pemilik tanah tersebut. (Monografi Desa Sipangan Bolon) Sama halnya dengan jenis mata pencaharian lain, ada kalanya petani juga mengalami masa krisis. Namun harus tetap memberikan apa yang menjadi kewajiban. Dalam Damsar (1997) James Scott mengungkapkan tentang Etika Subsistensi.Etika subsistensi merupakan perspektifdari mana petani yang tipikal memandang tuntutan – tuntutan yang tidak dapat dielakkan atas sumber daya yang dimilikinya dari pihak sesama warga desa, tuan tanah atau pejabat. Tuntutan – tuntutan tersebut yang dinilai, pertama bukanlah dari segi tingkat absolutnya, Ini berarti bahwa kriteria petani tentang etika subsistensi adalah apa yang tersisa setelah semua tuntutan dari luar terpenuhi apakah yang tersisa tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan pokoknya dan bukannya tingkat tuntutan – tuntutan itu sendiri. Etika subsistensi tersebut, dalam Damsar (1997) menurut James Scott, muncul dari
kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan dan merupakan konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas dari krisis subsistensi. Suatu panen yang gagal berarti bukan hanya kekurangan makanan tetapi juga makna pengorbanan rasa harga diri karena menjadi beban orang lain atau menjual apa yang tersisa dari miliknya yang ada, misalnya menjual sepersekian keping sawah dari luas tanah yang memang dimilikinya sedikit atau menjual satu – satunya ternak sebagai pembajak sawahnya atau apa saja yang dapat dijual (Damsar, 1997). Petani di Desa Sipangan Bolon juga mengalami kondisi yang sama seperti yang diungkapkan oleh Scott, dimana petani juga harus memenuhi tuntutan – tuntutan yang tidak bisa dihindari. Ketika buruh petani
mengalami masa krisis, seperti muncul banyak
kebutuhan mendadak yang harus segera dipenuhi. Mereka merasa khawatir akan mengalami kekurangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun buruh tani mampu melewati itu semua karena pada umumnya hubungan petani pemilik tanah dengan buruh tani bukanlah hanya sekedar hubungan kerja saja namun ada hubungan yang lain. Menurut Scott, jaminan subsistensi mencakup pula pemberian subsidi untuk membantu buruh tani melalui masa krisis. Dengan
demikian,
maka
satu
jaminan
krisis
subsistensi
yang
lengkap
mengimplikasikan satu komitmen pribadi dari pihak pemilik lahan untuk menanggung kebutuhan – kebutuhan kesejahtraan yang minimal dari buruh tani.(Scott, 1976:69).Seperti yang dikatakan oleh Scott, maka pemilik lahan dalam hal ini sebagai patron mempunyai tanggung jawab moral untuk menanggung kesejahtraan buruh tani yang sebagai kliennya. Tanggung jawab yang diberikan
patron dengan memberikan bantuan – bantuan kepada kliennya untuk dapat melewati masa krisis tersebut, bantuan berupa memberi pinjaman yang tidak ditentukan batas pengembalian pinjaman tersebut, atau buruh tani dapat bekerja di rumah pemilik tanah dan lain – lain. Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan patron klien antara pemilik tanah dengan buruh tani di Desa Sipangan Bolon kecamatan Girsang Sipangan Bolon kabupaten Simalungun.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah ialah “Bagaimana hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani ?”
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan patron klien antara pemilik lahan dengan buruh tani 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana buruh tani dapat bertahan hidup ketika mengalami kesulitan
1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1
Manfaat Teoritis
1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu sosiologi pada khususnya sosiologi pedesaan dan kajian mengenai hubungan sosial. 2. Untuk menambah refrensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan. 1.4.2
Manfaat Praktis
1. Menjadi sumbangan pemikiran untuk kelembagaan pertanian untuk meningkatkan kesejahtraan para petani dan buruh tani 2. Untuk memberikan masukan – masukan kepada pihak – pihak atau lembaga – lembaga yang membutuhkannya, terutama bagi petani dan buruh tani supaya memiliki kelompok tani yang bisa menjadi tenaga penghubug untuk menghilangkan kesenjangan antara pemilik lahan dengan buruh tani dan memberikan kontribusi bagi para LSM untuk meningkatkan produktivitas petani.
1.5 Definisi Konsep Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep – konsep yang penting dalam penelitian ini adalah: 1. Patron klien
Patron klien adalah sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dikatakan sebagai pertukaran hubungan yang tidak seimbang atau setara dimana seorang individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk menyediakan perlindungan dan keuntungan – keuntungan bagi seorang dengan status lebih rendah (klien). 2. Petani Petani adalah seorang yang bergerak dibidang pertanian, utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman, dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. 3. Pemilik tanah Pemilik tanah adalah petani yang memiliki lahan yang cukup luas dan biasanya dalam proses pengerjaan lahan tersebut akan menggunakan jasa buruh tani atau lahan tersebut akan disewakan kapada petani lain. 4. Buruh tani Buruh tani adalah petani yang memperoleh penghasilan terutama dari bekerja yang mengambil upah untuk para pemilik tanah atau para petani penyewa tanah.